Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2025

Mengapa Merdeka?

Memikirkan negara adalah sesuatu yang wajar dilakukan, sekaligus aneh. Terkesan buang-buang waktu, padahal penting karena ini tentang hidup kita yang diperjuangkan. Semakin ke sini, aku juga merasa bahwa memikirkan negara adalah perjuangan yang sia-sia, karena negara terlanjur jatuh pada lubang yang sama, semakin dalam setiap harinya. Aku sudah terpapar dengan berita-berita di Indonesia sejak SD, karena orangtuaku memang suka menonton berita ketika malam. Lalu rasa penasaran dengan setiap kosakata yang baru selalu membuatku ingin belajar. Setidaknya hingga aku berhasil menjadi salah satu dari peserta kontestasi pemilihan umum di Indonesia. Menurutku, itu adalah sebuah pemilu yang betul-betul aku coba maksimalkan kehadiranku di sana.  Dulu saat aku bukan siapa-siapa (bukan pemilih) aku hanya mengikuti pilihan ayah atau ibu saja. Namun saat sudah diberikan kemampuan berpikir dan menganalisis, ternyata ada banyak sekali hal-hal yang begitu jelas terlihat namun ditutupi begitu lihai ke...

Merdeka: Berita Hilang

  Gambar-gambar tak lagi bersuara tulisan kehilangan nyawa sungai membakar bangkai langit melindungi buron Satu minggu berita hilang dari meja rapat dari dokumen tanda tangan dari keputusan para hakim Siklus berulang, seperti hujan asam namun datangnya bagai cuaca di Bogor membawa wangi polusi, panas tinggi, dan air mata setiap hari

Merdeka: Berisik

  Mencapai kata titik adalah perlombaan yang tidak disepakati disusun oleh berjuta huruf hingga memahaminya berbelit Kertas, papan, dinding haruslah terisi penuh oleh otak yang berpikir terus mengalir, bukan diam membatu Perubahan adalah kata berisik peluru yang dianggap lalu tapi bekasnya semua orang tahu perlu yang dianggap lalu Mencapai kata merdeka adalah kemenangan yang tidak disepakati dibentur oleh saudara sendiri hingga tuduh dan bunuh terjadi Merdeka, tiga kali kau ucap lantang dan garang membuat orang-orang gemetar sebab ada berjuta huruf berisik bertemu berisik selalu

Merdeka: Mantra Rakyat

  Ada gadis kecil di jalan tangannya dipegang erat tangisnya ditahan, kuat telinganya bergumam mantra Setiap Kamis ia turun ke jalan tak tahu apa yang dituntut karena mantra-mantra usang terus diulang sampai mayat tak tenang 'Beri kami keadilan, beri korban keadilan' gadis kecil bermain hujan bertanya, apa ada keadilan? Tak hanya Kamis gadis datang Senin sampai Rabu ia pergi merapalkan mantra, meminta uang Jumat sampai Minggu ia kembali merapalkan mantra, meminta hutan Ada gadis kecil di tepi jalan langkahna berani masuk kawanan mendobrak pintu coklat hitam tak gentar, ia membuang mantra Ada banyak gadis kecil, di tengah jalan yang dipaksa bersenggama atau sekarat bekerja sedangkan kawan lain mengucap mantra atau sekarat membangun hidup, atau sekarat di liang lahat Dengarlah, dengar... mantra rakyat yang berkumandang untuk hidup, makan, dan HAM untuk tanah, hutan, dan Tuhan

Merdeka: Lumpuh

 Tunas tidak lagi tumbuh pada cinta yang tak dipupuk semai tentu mati  pada jargon yang tak dipuji Suara-suara ambulan meruntuhkan rinduku padamu suara-suara anjing hutan tak gentar aku melawan Biarlah aku...lumpuh sampai sempat lidahku kaku lumpuhlah aku...biar sampai suara tak lagi keluar

Merdeka: Lobi

 Di ruang kantor, di ruang kelas, hingga di ruang cinta ada lobi-lobi yang dibuat mesra beralaskan kerta putih gading sidik jari membuat tanda Semua pura-pura tidak tahu peran sempurna tersenyum kaku mereka menipu manekin di depannya yang hanya bisa menonton dan bisu Berdasi atau tidak, lobi harus terjadi perintah adalah titah tak perlu dibantah, tak usah agar dua tapak tangan bersalaman Matamu jangan menutup dulu tanganmu jangan henti bertepuk ini...lobi-lobi juga berarti untukmu jika tak mau ikut mati

Merdeka: Gencatan Rasa

 Angin segar berwarna hitam adalah tanda kita berdamai bukan pada lawan namun pada amarah,  air mata, dan tawa yang hilang Pasir reruntuhan juga batu yang terlempar bukanlah tanda kita lemah itu cara menghibur pada tulisan yang terlupa, lukisan, dan memori yang tak hilang Bunga dan daun-daun mati menyiratkan tanda kemenangan bukan untuk negara sedang penjilat bersuka ria, atau orang gila dunia dan wanita Aur segar dari bola hitam menjadi tanda ketegaran pada hati yang tak terima gencatan rasa, menikam dalam diam Gencatan rasa telah disepakati tak ada lagi warna hitam atau rusaknya rumah taman hingga sinar matahari tembus warna-warni katanya... Lalu, semua memilih diam saling menyakiti jadi asing jantung berhenti berdebar walau harga senyum menjadi mahal katanya...

Merdeka: Dialog, Monolog, Epilog

 Berjejer rapi kursi dan meja berbaju rapi tuan dan nona panjang lebar menyusun naskah  mengutarakan kembali rasa cinta Berjejer rapi dokumen negara bermulut manis sang orang tua panjang lebar menyusun siasat mengutarakan tawa hampir gila Berjejer rapi rudal dan tank baja bersepatu klimis komandan prajurit panjang lebar membuat barikade mengutarakan peluru kepuasan Setelah melalui dialog, dengan petinggi tertinggi monolog kemarin malam bersepakat meledakkan perdamaian agar mencapai titik epilog.

Merdeka: Satu Nasib

 Di bingkai jendela kaca rambut pendek menatap cahaya membisikkan kalimat iba mengadu nasib pada Sang Pencipta Di bingkai jendela seberang lampu kamar tak menyala sebab Tuan rumah telah tidur mengadu nasib pada Sang Pencipta Bertemu atau tidak, bibir kita saling mendengar rambut kita saling jambar merasa perih tak usah dipungkiri Bertemu atau tidak, jendela kaca bergantian tutup-buka mata kita tak akan jenuh menampung amis tumpah darah Di bingkai jendela kaca embun malam meronta tak sanggup lagi ia dengarkan nasib-nasib menyedihkan

Merdeka: Sejarah atau Omong Kosong

 Suara tembakan yang berkali-kali suatu kejutan tak kunjung padam Sedang suara tangis yang bertubi-tubi suatu kenyataan tak kunjung tenggelam Daar! Dalam tinta merah, tertulis sejarah pada tubuh yang cerai berai,  pada tembok yang hancur lebur, juga pada tulisan ' pers ' sang pahlawan Daar! Cepat-cepat surat kabar dikirim tapi tak sempat terbaca sebab air mata terlanjur membuat buram menyayat hati, merusak jiwa Lalu di seberang sana omong kosong  telah dilontarkan tinggi sekali menginjak-injak sejarah mengubur enam puluh ribu mimpi Kini kutanya padamu: 'ini sejarah atau omong kosong?' sebab suaranya bising tapi tak ada yang menolong Daar...daar...daar...! Telah gugur, satu mata kiriku juga gugur, empat jari kananku juga gugur, kaki-kaki kecilku hanya tersisa hati dan pikirku

Merdeka: Kemerdekaan

 Telah menggebu kepal tangan mengetuk-ngetuk hati sampai tidak terbendung air mata sampai bergetar jari kaki Merdeka! Merdeka! Siapa bilang kita merdeka? Siapa suruh kita merdeka? dari apa kata merdeka dibuat, dari peluh yang tak kunjung kering, dari lari yang tak bisa henti, atau dari tubuh yang terbaring kaku? Masih menggebu pidato Bung Karno menjelma menjadi kepal tangan yang memburuku liar agar cepat teriakkan merdeka Merdeka, merdeka, merdeka untuk cinta untuk mimpi untuk hidup untuk bangsa yang masih terjajah