Langsung ke konten utama

Masak, Makan, Lempah Kuning

 

Masak, Makan, Lempah Kuning

“Wew, banyak kenek ge. Basing ka lah pon!” [1]

            Ucapan dari Ami, gadis Bangka yang sudah kutemui sejak lima hari bertugas di daerah ini, terus terngiang di antara malam-malam sepi di kamar berukuran lima kali tujuh meter. Suaranya begitu tinggi, mencekam, dan rasanya penuh kebencian. Raut wajahnya yang mengerut itu terus terbayang, juga ucapan dengan bahasa yang aku tidak mengerti sama sekali.

Jauh dari mal perbelanjaan, kafe yang selalu ramai, atau sekadar lalu lintas kota Yogya, aku terjebak sampai sembilan hari kedepan untuk mengerjakan tugas kuliahku di sini. Aku tidur menumpang kepada salah satu warga kenalan kawan kuliahku, yang juga berasal dari Bangka. Katanya itu adalah rumah seperadik[2]-nya. Pintu kamar yang menjadi tempat tidurku sementara tiba-tiba diketuk dari luar. Aku menghela napas, mencoba meraih gagang pintu dan membiarkan sinar lampu di ruang tengah masuk ke dalam kamar.

            “Bang, makan sana! Mak khawatir dari sore tadi tidak keluar kamar seperti biasanya. Aku lagi yang dimarahi. Tidak kasihan kau denganku?” suruh Ami dengan cepat dan sedikit ketus.

            Mak tadi cari telur asin sama goreng telur. Ada sambal belacan[3] juga biar enggak terlalu hambar. Makanlah, hanya itu yang kami punya di rumah. Kecuali kau mau makan ikan lempah kuning dan lempah darat,” jawab Ami lengkap.

            Aku mengangguk, bersiap menutup kembali pintu dan melangkah malas ke arah ruang makan. Ami mendahuluiku. Kami tidak bicara apa-apa, tapi sesampainya di ruang makan Ami dengan cekatan menimba dua centong nasi, membuka tudung saji, dan membiarkanku mengambil lauk yang tersedia di meja. Tanpa melirik piring selain telur goreng, aku mengambil lauk tersebut dan duduk berhadapan dengan Ami. Suara piring yang terpantuk sendok menjadi pengisi keheningan, hingga Ami kembali bicara padaku.

            “Bang, aku memang enggak mengerti tentang film dokumenter. Tapi kalau boleh kasih ide, coba kau buat proses nganggung[4] itu dimulai dari pembuatan masakannya. Karya kau mungkin bisa jadi lebih bervariasi, bukan hanya adegan nganggung atau wawancara dengan orang lain. Kau bisa menampilkan kepada orang-orang bahwa setiap masakan punya maknanya sendiri.”

            Aku mengangguk, ruang makan tempatku menyantap telur goreng dengan sambal belacan membiarkanku larut dalam saran Ami terhadap film dokumenterku. Sebenarnya proses nganggung yang telah kurencanakan hanya ingin menunjukkan bahwa masyarakat Bangka punya tradisi kebersamaan yang menarik. Hanya lewat makanan, mereka mampu duduk sama rata dan melupakan posisi yang dimiliki masing-masing orang. Sudah cukup bagus menurutku, tapi ide Ami menarik juga. Apalagi tadi siang aku menolak tawaran makan lempah kuning, lempah darat, dan rusip, yang belum kutau rasa serta cara membuatnya bagaimana.  Sebuah tolakan yang membuat aku dan Ami rusak sementara hubungannya.

Loh, namanya juga di daerah orang, Bang. Masa tidak coba masakan daerahnya? Apalagi Bang Fikri bikin film tentang nganggung yang esensinya makanan. Gawat kalau sang sutradara menceritakan budaya tapi enggak tahu rasa dari budaya itu sendiri,” Ami menyerocos, dengan suaranya yang besar itu hingga beberapa orang yang lalu lalang di sekitar kami memerhatikan.

Aku menggeleng, mencoba tetap sabar dengan tingkah laku gadis ini, “Ami, saya tahu masakan daerahmu pasti enak-enak. Tapi ini tentang selera saya. Harusnya kamu mengerti, Mi. Lagipula saya tidak merepotkan kamu untuk membuat makanan lain. Perkara film dokumenter itu urusan saya, jadi tak perlu repot-repot kamu ikut memikirkannya.”

Ami terlihat mengambil oksigen dalam-dalam, dan mengembuskannya dengan napas yang terdengar berat olehku. Senyum yang kadang terpancar saat matahari pagi baru muncul, tergantikan dengan bibir yang tertarik di bagian kanan. Matanya terlihat malas menatapku, kosong, dan rasa-rasanya kekesalan itu sempurna ditujukan kepadaku yang aku pun tak paham alasannya.

***

            Kamera fokus menyorot kuali sedang berisi bumbu lempah kuning. Campuran dari bawang merah, belacan, kunyit, asam jawa, dan juga cabai rawit membuat aroma di sekitar dapur harum. Sedikit menusuk hidungku sebenarnya, tapi nikmat juga. Lalu, empat helai daun salam segar ditambahkan oleh tangan kecil Ami yang begitu cekatan. Uap yang mulai terlihat dihilangkan dengan mengoseng-oseng bumbu hingga matang. Tidak lagi terasa bau tajam dari belacan dan cabai.

            Sepersekian detik kemudian, air matang dituangkan ke dalam kuali. Menimbulkan bunyi desis minyak dan air. Perlahan api kompor menghangatkan air hingga titik didih dan barulah ikan kerisi ditambahkan sebagai bintang utama di lempah kuning. Aku menangkap semua proses masak dengan serius. Membiarkan tanganku lelah memegang kamera, sekaligus memastikan audio masuk dengan lembut dan bagus.

            Seperti saran Ami malam kemarin, akhirnya aku memutuskan untuk mengambil vidio masak lempah kuning. Masakan daerah Bangka yang ternyata tak butuh waktu lama dan teknik  sulit. Sebelum memulai rekaman, aku pasang kamera pada sudut yang terjangkau untuk semua gerakan masak Ami. Sesekali membantunya mengupas bawang, memotong cabai rawit, hingga memberanikan diriku untuk menyiangi ikan. Kurang lebih sepuluh menit kemudian, lempah kuning yang setengah matang ditambahkan potongan nanas dan disajikan dengan uap mengepul lima menit setelahnya.

            Aku tercengang melihat hasil masakan daerahku yang pertama kali. Bahkan di Yogya aku belum pernah memasak gudeg atau rawon. Hanya tahu makan saja, itu pun pilih-pilih yang menurutku enak. Tapi hari ini, Ami benar-benar menunjukkanku arti dari sebuah masakan, yang dibuat dari hati. Warna kuning sedikit kemerahan perlahan membuat mulutku gatal untuk mencobanya. Aroma yang tak amis, dengan daging ikan segar berwarna putih ketika Ami belah, menggetarkan hatiku. Belum lagi potongan nanas itu. Ah, memang harusnya saat nganggung kemarin aku membuang egoku yang pilih-pilih makanan.

            “Vidionya sudah jadi. Tinggal saya rekam kamu saat makan saja,” kataku, tersenyum puas melihat setiap adegan yang kuambil.

            “Kau sudah janji malam itu, Bang,” ingat Ami kepadaku.

            Aku memainkan rambut, “ya, saya akan makan ini bersamamu. Tapi dikit saja dulu, ya. Terlihat enak, sih, tapi masih harus menyesuaikan dengan lidah saya.”

            Ami mengangguk, menyendokkan nasi yang juga baru saja matang di penanak. Tanpa berlama-lama ia menyodorkan piring hangat tersebut, memberikan juga mangkuk untuk lempah kuning. Aku melihat Ami yang melakukan hal sama untuk membuat porsi makannya sendiri. Aku tersenyum kecil, memerhatikan banyaknya nasi dan lauk yang dia ambil. Sedikit geli juga, ternyata, masalah kami siang itu dengan cepat menguap hanya lewat masak dan makan.

Semoga.



[1]Melayu Bangka: “Wah, banyak maunya. Terserah kamu saja kalau begitu!”

[2] Melayu Bangka: sepupu

[3] Melayu Bangka: terasi

[4] Tradisi Bangka dalam merayakan hari besar, terutama keagamaan, berupa makan bersama sama rata

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi : Novel Nebula Karya Tere Liye

Novel “NEBULA” Karya Tere Liye :  Rahasia Pengintai Terbaik dan Kembalinya Musuh Lama Oleh : Lubna Anfaresi Judul                : NEBULA Penulis             : Tere Liye Penerbit             : Gramedia Pustaka Utama Kota Terbit       : Jakarta Cetakan II        : April 2020 Ketebalan         : 376 halaman Pendahuluan             Serial Bumi merupakan salah satu serial yang dikeluarkan oleh penulis Tere Liye dan berhasil menarik minat pembaca di tanah air. Serial fantasi ini sudah memiliki sembilan seri dengan seri terbaru berjudul “NEBULA”. Sama seperti seri sebelumnya yang berjudul “SELENA”, seri ke-9 ini menceritakan kisah dari sudut pandang Selena sebaga...

Nugget

Pernah berpikir untuk masak nugget goreng yang dicocol dengan cuko ? Itu yang Bene lakukan. Aneh, iya. Tapi Bene tidak akan peduli dengan komentar orang, karena toh dia sekarang ada di kontrakannya. Sendirian. Setelah berkutat dengan kertas-kertas laporan praktikumnya selama satu semester, Bene bisa beristirahat sejenak. Gadis itu tidak pergi ke luar kontrakannya, kecuali untuk membeli makan atau bahan masakan. Keinginannya untuk naik gunung setiap liburan juga harus kandas. Alasanya sederhana, karena ia tidak punya teman untuk naik ke atas sana. Jika kalian semua mendorong gadis itu untuk pergi sendiri,             “Terima kasih.” Dua kata itu akan keluar dari bibirnya yang sedikit kering. Saran dari kawan-kawan dekatnya, biarkan saja Bene asyik dengan dunianya. Ia bisa saja pergi ke Bandung sekarang juga, atau ke Jakarta. Tapi buat apa? Ia tidak mau menghabiskan lebih banyak uang beasiswa yang baru cair satu pekan lalu...