Halo semuanya!
Kali ini aku mau menceritakan salah
satu pengalaman yang terjadi selama virus Corona, atau nama ilmiahnya COVID-19.
Kalian tahukan, semua masyrakat dunia sedang gencar-gencarnya dengan virus ini.
Karena virus yang pertama kali mewabah di Wuhan, China pada bulan Desember 2019
sudah banyak memakan korban. Penularannya sangat cepat dan mudah, yaitu lewat
air ludah yang dihasilkan ketika kita batuk dan bersin. Virus ini pun dapat
ditularkan dengan menyentuh area wajah setelah berinteraksi dengan orang atau
benda yang sudah terinfeksi. Tapi jangan khawatir, penularan virus ini bisa
dicegah dengan tetap di rumah saja serta selalu memperhatikan protokol
kesehatan ketika bepergian. Ngomong-ngomong pengalaman yang aku kisahkan
terjadi ketika masa NewNormal, ya. Yaitu fase di mana masyarakat sudah bisa
bepergian untuk menjalankan kegiatan sosial-ekonomi.
Oke, daripada berlama-lama, yuk langsung baca aja!
Sabtu
kesekian dalam liburan pandemi corona,
seperti biasa aku bangun dan tidur lagi. Semua aktivitas sekolah, kerja,
jalan-jalan, lomba, bahkan perpisahan dan kelulusan sembilan tahun belajarku
harus ditunda, ditiadakan, atau diadakan lewat daring. Kemarin adalah hari
kelulusanku, siaran langsung di kanal YouTube
salah satu guru sekolah. Sebenarnya malam sebelum kelulusan aku menyarankan Bu
Nurhasanah untuk melakukan kelulusan dengan aplikasi Zoom atau Google Meeting.
Kedua aplikasi tersebut tengah ramai digunakan masyarakat di seluruh dunia
untuk mengadakan rapat atau sekadar bertemu, bersapa, dan bertukar cerita di
masa pandemi ini. Selain itu, aku juga menyarankan Bu Nurhasanah –selaku wakil
kurikulum SMP kami saat itu, untuk menyiarkan kelulusan siswa-siswi kelas
sembilan lewat Live YouTube. Aku
tidak tahu apakah Bu Nur menerima saranku atau keputusan rapat guru-guru memang
demikian. Aku benar-benar tidak tahu!
Ngomong-ngomong bukan soal pandemi corona yang ingin ku kisahkan pada kalian. Juga bukan tentang kelulusan siswa-siswi kelas sembilan di sekolah kami, atau sekolah-sekolah lainnya. Kisah yang ku tulis ini, tentang kejadian hari ini.
Bulan Syawal, Juni, 2020.
Sudah kuniatkan untuk berpuasa Syawal, sayangnya tak sempat bangun sahur. Aku baru tidur jam dua belas lewat,
dini hari. Dalam kondisi lapar. Saat bangun sudah pukul lima lewat lima belas
dan kuputuskan untuk segera melaksanakan salat subuh. Samar-samar terdengar
suara Umi melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an.
Dulu, sekitar beberapa minggu
sebelum Ramadhan dan selama Ramadhan pula, aku selalu menyempatkan diri menyapu
dan mencuci piring kotor setelah bangun tidur dan sebelum tidur lagi di paginya.
Jujur saja aku pemalas, namun demi tidak tidur pagi dan bermimpi yang aneh-aneh
maka aku sempatkan. Tapi itu dulu. Pagi ini aku langsung tidur kembali. Mukena
ku lipat rapi, tak peduli nanti bangun pukul berapa. Yang pasti aku sangat
mengantuk. Ditambah, aku harus menyimpan energi untuk terus kuat sampai jam
berbuka puasa. Tak sahur bukan berati tak puasa.
Aku terbiasa tidur pagi hari selama
wabah COVID-19 –itu nama ilmiahnya. Karena aku tidak perlu repot-repot mandi
pagi dan pergi ke sekolah. Lagi pula sudah lulus, tak ada tugas dari sekolah
yang harus dikerjakan seperti yang dialami adikku. Aku terus terlelap dalam
tidur, bermimpi, sadar itu mimpi, lalu tidur lelap lagi. Begitu seterusnya
sampai tiba-tiba Abiku berteriak, sedikit marah atau banyak. Aku tidak yakin.
“Kalian ini, kenapa belum keluar
juga? Abi kira sudah bergabung dengan yang lain di luar. Cepat keluar,
teman-teman kalian sudah ramai berkumpul. Kalian asik-asikan di sini!”
Dengan kecepatan sepersekian detik,
aku dan Mbak Nuha langsung bangkit dari tidur kami. Menatap bingung dan kosong.
Setelah aku sedikit sadar, ternyata abi memanggil abang-abangku dan adikku.
Mereka memang sudah berencana untuk ikut kegiatan bakti sosial hari ini bersama
ForDAS BABEL (Forum Daerah Aliran Sungai). Aku tak menyangka akan sepagi
ini, pukul delapan lewat empat puluh delapan menit. Dalam posisi sadar dan
tidak sadar, pusing, dan sedikit mengantuk, aku mendengar riuh di luar. Relawan
lingkungan –begitu sebutannya, berbaris rapi sambil mendengarkan aba-aba dan
amanat dari Abi. Ternyata mereka akan berangkat tepat pukul sembilan pagi.
Berarti sebentar lagi, yes, aku
bersorak dalam hati. Rumah ini akan sepi, bisa tidur lebih lama lagi.
Foto FORDAS BABEL bersama Relawan Lingkungan
Tapi baru saja sorakan itu terlintas di benakku. Baru saja Abi selesai memberikan amanat dan barisan dibubarkan. Baru saja aku bangun dari tidurku. Umi berteriak memanggil namaku dan Mbak Nuha, “Lubna, Nuha! Lubna, Nuha! Segera bersiap, kalian di suruh ikut karena ada satu cewek. Abi bilang kalian harus temenin!”
Kalian bisa membayangkan? Baru
bangun tidur, masih dengan wajah kusut, rambut acak-acakan, kepala pusing, dan
tangan kesemutan karena tidak sengaja tertindih, tiba-tiba saat itu juga
diminta untuk pergi. Raut mukaku langsung berubah. Yang awalnya senang jadi
masam dan bingung. Bagaimana mungkin kami bersiap secepat itu, hanya tersisa
lima menit lagi. “Cepatlah, kalian sudah ditunggu! Itu kayaknya teman Mbak
Nuha, deh. Kenal enggak?” umi masuk ke dalam kamar kami. Aku ingat sekali saat
itu benar-benar kesal. Jika memang harus ikut, kenapa tidak bilang dari
kemarin. Minimal lima belas menit sebelumnya.
“Hah, siapa? Enggak kenal, mi.” Mbak
Nuha segera masuk ke kamar mandi. Aku kira Mbak Nuha akan pergi, ikut kegiatan
tersebut. Ternyata tidak.
Aku dengan langkah gontai berjalan
menuju lemari pakaian. Memilih baju dan celana yang akan dipakai. Mematut diri
di cermin, lantas berganti lagi dengan baju lain. Hah! Yang benar saja, mataku
masih berat untuk membuka dan menerima kejadian pagi ini. Sedikit basah diujung
mata sambil meruntuk dalam hati, akhirnya aku menemukan baju yang pas dan
nyaman. Peduli amat tidak matching
dengan relawan lingkungan lainnya, yang penting aku pergi. Sebenarnya tidak,
aku sengaja mencari baju lebih lama agar nanti rombongan meninggalkan aku.
Hehe, ternyata tidak bisa begitu.
“Kamu jadi pergi, Lub?” tanya Mbak
Nuha yang baru saja keluar dari kamar mandi. Aku yang sedang bercermin menjawab
malas, “entah. Semoga saja ditinggalkan.”
Harapan yang tak terwujud itu
perlahan menjadi pengalaman yang mengasyikkan. Aku naik ke mobil putih,
sedangkan rombongan lain naik ke atas mobil pick-up
yang berisi tanaman-tanaman dan sembako. Di dalam mobil yang ku tumpangi telah
duduk perempuan seumur Mbak Nuha. Dia memulai percakapan, membuka ruang
canggung antar kami berdua. Aku ingat sekali diberikan dua permen, bahkan
satunya masih tersimpan di tasku, hehe. Namanya Yuk Anggun, usianya dua tahun
di atas Mbak Nuha. Yuk Anggun merupakan lulusan UNY fakultas biologi murni
(kalau tak salah ingat), dia bilang ingin bekerja di laboratarium. Orangnya
ramah, syukurlah.
Tapi
aku masih dalam keadaan membenci hari ini, padahal belum setengah hari dan
belum setengah perjalanan. Pokoknya kalian harus mengalaminya dulu baru
mengerti. Ngomong-ngomong karena aku disuruh pergi, aku tidak jadi puasa
Syawalnya. Itu juga menjadi salah satu alasan aku benci hari ini –saat belum
merasakan perjalanan seru.
Selain kami berdua di mobil tersebut
ada Bang Inong –yang pernah menjadi duta bahasa Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung, lalu ada Om Ajat –teman Abi, dan mungkin anaknya yang duduk di
belakang. Mobil kami meluncur setelah empat mobil lainnya, kami akan menjemput
dua orang dulu.
***
Pemberhentian ketiga, akhirnya kami
menambah personil baru di mobil ini. Seorang perempuan juga, dan umurnya sama
dengan Yuk Anggun. Namanya, Yuk Siti yang setelahnya aku baru tahu ia adalah
seorang guru. Sejenak percakapan di mobil yang awalnya seru, terhenti dengan
kedatangan Yuk Siti. Tapi itu hanya berlangsung sebentar sampai kami tiba di
tempat pembagian sembako dan pupuk yang pertama, sebuah masjid di dusun Aik Tungkat. Kami memulai dengan pertanyaan sederhana dari Yuk Anggun dan membangun
keakraban.
Ternyata Yuk Siti sudah pernah
mengikuti kegiatan seperti ini sebelumnya dan merupakan satu-satunya relawan
perempuan yang ikut. Aku dan Yuk Anggun bertanya-tanya dan sesekali kami
tertawa bersama. Sebenarnya kami berdua yang masih baru dalam kegiatan seperti
ini, tidak tahu harus melakukan apa. Yuk Siti bilang, bantu-bantu saja yang dibisa
atau ngekorin orang-orang, hehe. Maka seperti yang dikatakan Yuk Siti, kami
membantu membawakan sembako ketika acaranya sudah mulai.
Foto pemberian kata sambutan sebelum pembagian sembako dan bibit
Berselang dua sampai tiga puluh
menit, acara selesai. Yuk Siti dan Yuk Anggun yang kelihatannya lebih akrab
menuju tempat penanaman pohon di masjid itu. Seperti yang kubilang sebelumnya,
relawan lingkungan! Aku sebenarnya ingin ikut, tapi ketinggalan. Alhasil aku
menunggu di tempat parkir bersama Bang Sayyid dan Nejad. Kami menjaga tanaman
dan sembako yang tersisa. Memberikannya kepada warga yang baru datang. Sedangkan Bang Syamil -abangku yang satu lagi, ikut aktif dalam kegiatan menanam pohon bersama lainnya.
Foto kegiatan menanam pohon oleh relawan lingkungan ForDAS BABEL
“Kegiatannya sampai kapan, sih? Udah
panas nih, gerah!” ucapku pada Bang Sayyid.
“Sampai sore. Makanya mandi, kok mau pergi enggak mandi dulu.” Bang
Sayyid tertawa mengejek setelah mengatakan hal itu. Yap! Benar sekali, kalau
kalian membaca saksama ceritaku di awal aku sama sekali tidak menuliskan kata ‘mandi’.
Dan Bang Sayyid adalah orang yang pertama kali kuberitahu, kalau aku belum
mandi.
“Ye, siapa suruh orang baru bangun
tidur langsung diajak pergi.”
“Makanya Mbak Lub, bangun tuh pagi-pagi kayak Nejad. Biar bisa
mandi...hehe,”ejek Nejad yang ternyata mendengar obrolan kami. Aku ber-puh pelan lantas mangangkat bahu. Mana ku
tahu akan diajak, kan kemarin Abi bilang yang cowok saja boleh ikut. Yang perempuan
bantu Umi di rumah.
Kegiatan menanam pohon di masjid
selesai dan dilanjutkan dengan coffetime.
Ya, walaupun kami minum sirup, sih. Setelahnya kami melanjutkan perjalanan. Aku
benar-benar tidak tahu akan dibawa kemana saja. Aku pun tidak tahu, aku tidak
akan mandi pagi sampai malam tiba. Hahaha, yang artinya mandi pagi hari ini
akan diganti mandi malam.
Perjalanan selanjutnya tidak terlalu
jauh, dusun Puntik. Kami pun tidak berlama-lama di dusun tersebut, selain
karena cuaca yang mendadak gerimis, tidak ada acara pengumpulan masa seperti
yang dilakukan tadi. Hal yang ku ingat dari dusun ini hanya mengantarkan
sembako ke rumah pak RT (kalau tidak salah) yang masih muda. Pemberhentian berikutnya
adalah dusun Nyambang. Nah, di dusun ini penumpang di mobil kami tidak turun. Kami
berhenti cukup jauh dari masjid lokasi pembagian sembako. Di dalam mobil aku,
Yuk Anggun, Yuk Siti, dan Bang Inong membahas hal-hal random dan makan snack.
Foto pemberian sembako oleh ForDAS BABEL
***
Eits, ceritanya belum
selesai. Yaiyalah, baru sepertiga perjalanan...hehe, lanjutan kisahnya bisa
temen-temen baca di blog ini juga dengan judul ‘During COVID-19 (pt2)’. Semoga kalian
senang dengan kisahnya dan tetap penasaran, yaaa!
Oh, iya info tentang ForDAS BABEL dan kegiatannya bisa
dilihat di facebook-nya : ForDAS
BABEL atau klik link berikut...




Bagus nihh, knp ga dituangkan dlm bentuk cerita wattpad wkwk. Bikin lagi kak yg seru seruu ntr di up di wp, siapa tau jadi penulis handal aamiin
BalasHapusBelum bisa rutin upload, kalo di wp juga teralihkan sama cerita2 lain jadi ga fokus. Di blog dulu, mungkin nanti bisa di wp...makasih ya sarannya
Hapus