Langsung ke konten utama

During COVID-19 (pt2)

             Halo semua!

            Sebelum membaca kisah di blog ini, kalian sudah mampir ke part satunya kan? Kalau belum lebih baik dibaca dulu, deh...biar nyambung dan makin seru ceritanya. Hehe, bisa kalian cek di ‘During COVID-19 (pt1)’.
            Okede, selamat membaca kelanjutan pengalamanku yaa!

Perjalanan awal terasa membosankan bagiku, karena kukira akan ada kegiatan menanam pohon bersama-sama (memang ada, tapi di pos pertama aku sengaja tidak ikut. Dasar!) atau pembagian sembako oleh kami, relawan lingkungan ke warga secara langsung atau door to door. Tapi aku tidak bilang perjalanan ini tidak menyenangkan. Seru! Cukup seru untuk setengah hari ini. Tidak tahu dengan setengah yang lain.
            Karena sudah setengah hari, kami memutuskan untuk berhenti di salah satu masjid yang berada di dusun Tuing. Yang sekaligus, masjid tersebut merupakan pos keempat. Aku membantu menurunkan beberapa tanaman dari mobil pick-up. Lantas saat azan zuhur dikumandangkan, bersiap-siap untuk salat. Di masjid ini kami akan melaksanakan ISOMA atau Istirahat Salat Makan. Aku, Yuk Anggun, dan Yuk Siti harus bersabar menunggu giliran mengambil wudu karena tempatnya hanya satu dan terbuka. Sambil menunggu kami kembali bercakap-cakap. Dan sambil bercakap kami melihat ke arah jalan, sekumpulan polisi terlihat di sana.
            Ternyata pasukan Bhayangkara (jika aku tak salah) atau kepolisian juga datang membagikan sembako di dusun Tuing dan sekitarnya. Tapi mereka hanya mengantarnya saja, mungkin harus bergegas menuju pemberhentian selanjutnya. Syukurlah, karena kami kira kami harus menunggu lebih lama untuk mengambil air wudu.
            Beberapa relawan sudah selesai salat, sedangkan kami belum mulai wudu karena ada beberapa laki-laki di lingkungan mushola. Akhirnya Yuk Siti menyarankan untuk berwudu di kamar mandi saja. Aku dan Yuk Anggun mengangguk setuju, lantas bergerak menuju kamar mandi. Selesai salat, kami makan siang. Kami bertiga makan paling akhir karena salat paling akhir juga diantara relawan lingkungan lainnya. Menunya nasi padang, selama pandemi ini sudah lama gak makan nasi padang. Jadi kangen...hahaha.
            Seperti yang kalian ketahui, porsi nasi padang kalau dibungkus itu banyak banget. Sayangnya aku tipe yang enggak banyak makan dan lama makan, hehe. Alhasil ketika kami sudah mau berangkat ke pos selanjutnya yang juga pos terakhir, aku harus merelakan nasi padangku dibuang. Hikd, sedih. Padahal bisa kumakan jika waktunya masih panjang. Maafkan aku nasi, huhu.

 Foto makan bersama relawan lingkungan ForDAS BABEL

            Nah, sebenarnya dari tadi aku hanya ingin menceritakan bagian ini saja. Bagian di mana aku memandang semua kejadian yang tak sengaja terjadi hari ini untukku menjadi luar biasa. Pandemi Corona, sudah berhari-hari mungkin berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan aku tidak keluar rumah untuk melakukan perjalanan jauh. Paling-paling jogging keliling komplek, tempat les dan terakhir ke Pangkalpinang untuk membeli buku di gramed, atau makan bakso? Hmmm...intinya tujuh puluh lima persen kegiatanku hanya di rumah saja. Ditambah lagi, wilayah tempatku tinggal merupakan kota.
Ya, bukan kota besar seperti Jakarta, Bandung, atau kota-kota metropolitan seperti yang kalian bayangkan. Yang pasti banyak bangunan dan jalan-jalan pun sudah rapi. Fasilitas lumayan lengkap –tidak selengkap kota besar. Rumah-rumah berjejer rapi, tapi tidak rapat. Jadi pemandangan yang bisa dinikmati hanya rumah, bangunan, jalan, trotoar, dan hal-hal berbau kota kecil. Jika ingin pemandangan lain pun ada, tapi harus berjalan sedikit jauh. Contohnya, Pantai Matras, Pantai Tanjung Pesona, Panta Parai, Bukit Fat Thin San (hehe maaf kalau salah tulis), wisata Pagoda, dan sebagainya yang berbau pantai. Sangat jarang aku melihat rimbunnya hutan, walaupun rumahku persis di depan hutan lindung. Hutan di depan rumahku tidak selebat hutan yang ingin aku jelajahi, bahkan hutannya sudah banyak dipangkas untuk diperindah dan dijadikan area jogging. Tidak masalah dengan jogging track-nya, tapi pohonnya kasihan ditebang. Hutan lindung, kok ditebang hiks.
Lewat perjalanan ini aku akhirnya bisa melihat hutan dan berbagai macam tanaman yang belum pernah ku lihat sebelumnya. Simak yaaa...
Pos kelima sekaligus pos terakhir, lokasinya dusun Pejem. Nama-nama dusun di provinsiku terkadang memang aneh dan susah dimengerti makna dibaliknya. “Hayo, tebak kenapa dusun ini disebut dusun Pejem?” tanya Bang Inong. Kami berpikir dan menjawab asal. ‘Pejem’, dalam bahasa Bangka adalah ‘pejam’ artinya menutup mata. Kami berkesimpulan jika ingin ke dusun ini, harus memejamkan mata dulu. Haha, memang aneh tapi ada benarnya juga.
Perut kenyang sehabis makan siang, membuat mataku mengantuk. Tapi, aku tidak bisa tertidur. Tidak untuk kali ini karena aku penasaran dengan dusun Pejem dan pemandangan yang akan kami lewati menujunya. Pada awal perjalanan seperti biasa hanya terlihat rumah-rumah yang tidak rapat. Sesekali diselingin ilalang tinggi di kanan kiri jalan. Hari mulai hujan, aku bersyukur setidaknya tubuhku tidak berkeringat yang memicu bau badan. Kalian masih ingatkan, aku dari pagi belum mandi. Hehe.
Kami mulai memasuki gang kecil, dengan tanah merah yang becek sehabis hujan. Jalannya menjadi berundak dan banyak tikungan tajam. Aku, Yuk Anggun, dan Yuk Siti diam sepanjang perjalanan. Menatap pemandangan yang belum pernah kami lihat. Sesekali berseru takjub dan ngeri dengan jalan yang terjal. Kami bahkan melihat truk miring di tikungan jalan, hebatnya pengemudi dan orang di dalamnya santai saja duduk di atas truk, haha. Setelah jalan tanah merah yang berliku kami masuk ke jalan tanah merah yang cukup aman dan dihiasi pemandangan, waw!!
Penghasil timah, sahang, dan sawit yang terkenal. Itulah Provinsi Kep. Bangka Belitung. Aku sudah pernah lewat tempat pengerukan timah dan proses pencucian timah. Aku juga sudah pernah lewat kebun sahang selama perjalanan ke dusun-dusun. Dan sebenarnya aku juga sudah sering melihat perkebunan sawit. Tapi yang kali ini berbeda! Tanah merah yang menuju kebun kelapa sawit yang satu ini, superduper luar biasa besar dan luas! Aku tidak tahu tepatnya berapa luas, yang pasti sepanjang jalan, kiri dan kanan, hanya ada kelapa sawit. Aku benar-benar takjub, tak pernah melihat yang seperti ini sebelumnya. Saking antusiasnya aku dan Yuk Anggun –karena sepertinya Yuk Siti sudah pernah lewat sini, begitupula Bang Inong dan Om Ajat, tak berhenti melihat pemandangan kelapa sawit.
Sepanjang jalan hanya kelapa sawit! Andai aku bawa handphone-ku akan kuabadikan. Sesekali antar kebun atau petak kelapa sawit di batasi perempatan. Aku tidak bisa membayangkan jika ada orang yang tersesat di sini, sumpah serem. Karena kebun kelapa sawit yang satu ini panjang sampai-sampai aku tidak punya bayangan bagaimana bentuk dusun Pejem. Aku berimajinasi, mungkin diujung jalan kelapa sawit ini sebuah kota yang sangat modern akan terlihat. Kota fantasi masa depan dengan rumah-rumah yang berbeda dengan kotaku, itulah yang ada dipikiranku. Kalau tidak, sebuah dusun yang sangat tradisional sampai-sampai masih menggunakan rumah adat untuk tempat tinggal. Hahaha.
Masih dengan pemandangan yang sama. Kadang ada hutan lebat dengan macam tumbuhan liar seperti buah kedebik, keramunting, tanaman simpur, batang seruk, dan paku-pakuan. Aku mulai bosan, mulai mengantuk. Ingin tidur, tapi semua pemandangan ini terasa harus diabadikan walaupun tidak oleh kamera. Akhirnya aku menegerti mengapa dusun ini disebut Pejem. Mungkin karena untuk sampai ke dusunnya kita harus memjamkan mata dulu atau tidur. Tapi ingat ya, sopirnya jangan ikut mejem. Bisa-bisa tersesat dan tak tahu arah jalan pulang eaaak. Eh, tapi kata Om Ajat kalau ingin keluar dari perkebunan sawit ini cukup mengikuti tiang listrik. Pasti tembus, deh.
Singkat cerita akhirnya kami tiba di perumahan. Masih dengan jarak yang renggang-renggang, setidaknya mataku tidak menjadi bosan lagi karena melihat pohon sawit terus, hahaha. Kami sempat tersesat sekali. Begitupun satu mobil rombongan di belakang, bahkan mereka lebih jauh lagi tersesatnya.
Kami turun dari mobil sesampainya di rumah kepala desa atau dusun (tidak ingat). Tiga mobil sebelumnya sudah terparkir dan beberapa relawan sudah beristirahat, minum minuman yang disediakan. Aku merasa lelah sekali, tapi juga menyenangkan. Aku duduk disamping Yuk Siti, eh atau Yuk Anggun? Entahla, yang pasti untuk beberapa saat kami berbincang-bincang seru dengan realawan lingkungan lainnya. Saling melempar pertanyaan dan candaan.


Foto persiapan relawan lingkungan ForDAS BABEL berbagi ke rumah warga

Dua puluh menit kemudian, ketika hujan mulai reda Abi memerintahkan kami untuk bersiap memberikan sembako ke rumah-rumah warga. Waw! Sesuatu yang sangat aku tunggu-tunggu. Tentu saja aku harus ikut yang ini, sebenarnya tujuan utama aku ingin ikut (sebelum kejadian tadi pagi) adalah untuk menumbuhkan jiwa sosialku yang rendah. Mungkin dengan berbagi, sedikit demi sedikit bisa tumbuh? Aku berjalan menuju rumah-rumah warga, ditemani relawan lingkungan lainnya. Awalnya sedikit canggung, tapi aku memberanikan diri untuk menyapa warga dan memberikan kantong sembako yang ku bawa. Sebelum kembali ke mobil kami sempat berfoto terlebih dahulu. Aku semakin dekat dengan relawan lingkungan lainnya.


 Foto saat berbagi ke rumah warga

Foto bersama salah satu warga 

Kegiatan berakhir, akhirnya helaku. Sedikit senang dan sedikit kecewa. Senangnya karena perjalanan kami akan segera berakhir dan aku bisa mandi, hehe gerah banget euy. Kecewanya karena harus berpisah dengan ayuk-ayuk dan relawan lingkungan yang hebat-hebat. Yah, mungkin lain kali bisa bertemu dan berkegiatan lagi. Semoga.
Selesai membagikan sembako di dusun Pejem, kami berhenti salat Asar sebentar di salah satu masjid besar yang sedang direnovasi, tepatnya di kota Belinyu. Kalian tahu tidak? Kamar mandi dan tempat wudu wanitanya asik dan luas banget. Bahkan aku jadi berpikiran untuk mandi sebentar di sana, tentu saja tidak benar-benar aku lakukan. Gara-garanya pula kami jadi berlama di kamar mandi sekaligus tempat wudu itu, sehingga aku, Yuk Anggun, dan Yuk Siti ditinggal rombongan yang selesai salat dan sudah jalan duluan. Dasar kami.
 Perjalanan ini kami lanjutkan dengan coffe break di salah satu restoran di pasar Belinyu. Belinyu punya kota yang unik dan masih menjaga bangunan-bangunan kuno. Ingin sekali rasanya berhenti sejenak di jalan-jalan pasar Belinyu untuk sekadar berfoto. Hehe, habis keren banget sih, kalau si kotaku Sungailiat, lebih banyak bangunan rumah modern minimalis. Walaupun tidak semodern dan minimalis kota metropolitan.
Oh, iya ada kejadian menarik nih, saat perjalanan pulang. Sudah sore sekali, hampir magrib. Mobil rombongan kami jadi ngebut dan berlomba-lomba. Lima mobil awal berubah menjadi empat, karena salah satunya ada urusan sehingga mesti melewati jalan lain. Empat mobil rombongan keluar dari dusun Pejem lewat Belinyu. Sedangkan satu mobil lainnya harus kembali menyusuri kebun kelapa sawit yang sangat luas dan konon menyimpan banyak misteri.
Jadi saat dua mobil di depan kami mulai menaikkan kecepatan untuk saling medahului, tiba-tiba mobil Abi –mobil pertama, meninjak rem mendadak karena ada seekor ayam lewat. Alhasil dua mobil di depan kami pun harus melambatkan lajunya dan hampir bertabrakan satu sama lain. Aku yang awalnya ingin tidur saja, langsung terbangun. Aroma ban yang tergeser dengan jalan karena rem mengeluarkan bau hangus. Suasana mendadak tegang. Kedua mobil di depan kami akhirnya melambatkan laju. Mungkin ini pengingat untuk tidak ugal-ugalan di jalan, haha syukurlah semua selamat! Saat waktu magrib tiba, untungnya ada sebuah mushala dan kami mengakhiri perjalanan kami selesai salat.
***
Jadi, inilah akhir kisahku. Hehe, apakah menurut kalian menarik? Mengesampingkan menarik atau tidaknya kisahku kali ini, aku punya pengalaman baru yang seru dan mungkin tak terulang lagi. Banyak sekali pesan yang kudapat dari pengalaman hari ini. Kalau kalian punya pengalaman menarik apa selama pandemi COVID-19?

            Ngomong-ngomong, info tentang ForDAS BABEL dan kegiatannya bisa dilihat di facebook-nya : ForDAS BABEL atau klik link berikut...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi : Novel Nebula Karya Tere Liye

Novel “NEBULA” Karya Tere Liye :  Rahasia Pengintai Terbaik dan Kembalinya Musuh Lama Oleh : Lubna Anfaresi Judul                : NEBULA Penulis             : Tere Liye Penerbit             : Gramedia Pustaka Utama Kota Terbit       : Jakarta Cetakan II        : April 2020 Ketebalan         : 376 halaman Pendahuluan             Serial Bumi merupakan salah satu serial yang dikeluarkan oleh penulis Tere Liye dan berhasil menarik minat pembaca di tanah air. Serial fantasi ini sudah memiliki sembilan seri dengan seri terbaru berjudul “NEBULA”. Sama seperti seri sebelumnya yang berjudul “SELENA”, seri ke-9 ini menceritakan kisah dari sudut pandang Selena sebaga...

Masak, Makan, Lempah Kuning

  Masak, Makan, Lempah Kuning “Wew, banyak kenek ge. Basing ka lah pon!” [1]             Ucapan dari Ami, gadis Bangka yang sudah kutemui sejak lima hari bertugas di daerah ini, terus terngiang di antara malam-malam sepi di kamar berukuran lima kali tujuh meter. Suaranya begitu tinggi, mencekam, dan rasanya penuh kebencian. Raut wajahnya yang mengerut itu terus terbayang, juga ucapan dengan bahasa yang aku tidak mengerti sama sekali. Jauh dari mal perbelanjaan, kafe yang selalu ramai, atau sekadar lalu lintas kota Yogya, aku terjebak sampai sembilan hari kedepan untuk mengerjakan tugas kuliahku di sini. Aku tidur menumpang kepada salah satu warga kenalan kawan kuliahku, yang juga berasal dari Bangka. Katanya itu adalah rumah seperadik [2] -nya. Pintu kamar yang menjadi tempat tidurku sementara tiba-tiba diketuk dari luar. Aku menghela napas, mencoba meraih gagang pintu dan membiarkan sinar lampu di ruang tengah masuk ke d...

Nugget

Pernah berpikir untuk masak nugget goreng yang dicocol dengan cuko ? Itu yang Bene lakukan. Aneh, iya. Tapi Bene tidak akan peduli dengan komentar orang, karena toh dia sekarang ada di kontrakannya. Sendirian. Setelah berkutat dengan kertas-kertas laporan praktikumnya selama satu semester, Bene bisa beristirahat sejenak. Gadis itu tidak pergi ke luar kontrakannya, kecuali untuk membeli makan atau bahan masakan. Keinginannya untuk naik gunung setiap liburan juga harus kandas. Alasanya sederhana, karena ia tidak punya teman untuk naik ke atas sana. Jika kalian semua mendorong gadis itu untuk pergi sendiri,             “Terima kasih.” Dua kata itu akan keluar dari bibirnya yang sedikit kering. Saran dari kawan-kawan dekatnya, biarkan saja Bene asyik dengan dunianya. Ia bisa saja pergi ke Bandung sekarang juga, atau ke Jakarta. Tapi buat apa? Ia tidak mau menghabiskan lebih banyak uang beasiswa yang baru cair satu pekan lalu...