Langsung ke konten utama

Cerpen : Dua Anak Tambang

 

Dua Anak Tambang

            Bunyi mesin pengeruk menyumbat telinga Udin dan Samsul yang sedang asyik mengayak pasir mencari timah, jagoan kepulauan ini. Baju mereka berdua sudah kuyup oleh air pencucian dan keringat mereka sendiri. Kulit legam kembali dibakar panas matahari yang tak kenal ampun, hingga gelap dan bau matahari yang mereka dapati. Hari ini bukan hari spesial, hanya hari-hari biasa yang Udin dan Samsul lalui sebagai anak berusia empat belas tahun. Mereka pun tak yakin jawaban tepat usia tersebut karena kebanyakan waktu dihabiskan bersama belasan dewasa dan remaja lain yang mencari uang di sini. Yang mereka ingat hanyalah tujuan melimbang untuk mencari cuan dan terpaksa meninggalkan pendidikan.

            “Aku tidak pernah suka sekolah, di sinilah harusnya aku berada. Bersama remaja-remaja, terlihat kuat dan lebih berguna ketimbang di sekolah.” Begitu jawaban Udin ketika Samsul bercerita mengenai kerinduannya berseragam dan belajar dalam ruangan kelas.

Umurnya masih belia saat ia diajak bapaknya bekerja sebagai pelimbang timah. Bapaknya berkata suatu hari nanti ia akan menyesal telah bersekolah tinggi-tinggi karena ilmu yang didapat tak akan bisa mengisi perutnya yang kelaparan. Awalnya Udin ragu-ragu, namun seminggu ia bolos sekolah menemani Bapaknya melimbang di salah satu pertambangan kecil sudah cukup membuatnya lupa sekolah. Ditambah lagi, Udin terpengaruhi pendapat bapaknya bahwa sekolah itu membosankan. Hanya mengejar nilai saja dan ia tak pernah diperhatikan. Lalu membenarkan argumen tersebut dan berakhir ia sangat mencintai pekerjaan melimbang ini.

“Kau dulu anak yang cukup pandai, Udin. Harusnya kau menyesal tidak melanjutkan sekolah, berbeda dengan aku. Satu materi pun aku tak mengerti. Herannya lagi, aku ingin kembali bersekolah, bermain, bercengkerama dengan teman-teman dan Bu Sela.” Sanggah Samsul terhadap pendapat Udin yang menyepelekan arti sekolah.

“Lantas mengapa kau di sini? Ini jam sekolah, seharusnya kau belajar, mengerjakan latihan-latihan soal, mendapat nilai terbaik, lantas menunggu pujian guru. Untuk apa semua itu? Nilai dan pujian tidak mengenyangkan perut!”

“Aku dan kau berbeda, Udin. Bapak memaksaku untuk melimbang dan ia mengancam akan membakar sekolah bila aku tak turuti perkataannya. Awalnya aku tak percaya, tapi hari itu ia mengawali ancamannya dengan membakar seluruh buku dan seragam sekolahku. Bapak juga berkata, aku terlalu bodoh untuk sekolah dan tubuhku ini sayang jika tenaganya dibuang percuma hanya untuk menulis di atas kertas.” Jawab Samsul dengan sedu.

Tubuh Samsul yang besar dan semakin berotot setelah bekerja sebagai pelimbang ditepuki oleh tangan kecil dan krempeng Udin seraya berkata, “Bapakmu tidak salah dan kau juga lama-lama akan melupakan kenangan indahmu di sekolah. Ayolah, aku lebih dulu melimbang dibanding kau dua tahun. Aku tahu perasaan bimbang dan galau ini akan hilang jika kau bekerja, menikmati prosesnya. Baiklah! Waktu istirahat sudah habis. Kita sudah diteriaki bos, mari lanjut bekerja.”

Udin dan Samsul bangkit untuk kemudian berjalan menuju area tambang. “Tapi Udin, aku tak pernah satu pemikiran dengan Bapakku dan kau mengenai sekolah. Belajar itu tidak sia-sia, kita bisa mencari uang dengan menjual ilmu.”

“Maksudmu menjual soal ujian seperti guru kita waktu itu? Bah, bahkan melimbang lebih mulia, kawan!” Udin mengibaskan tangannya kepada Samsul, tanda ia tak ingin membahas perihal ini lagi. Mereka harus fokus bekerja untuk mendapat penghasilan maksimal, syukur-syukur diberi bonus.

Lokasi tambang itu sangatlah dekat dengan pemukiman warga, yang membuat anak-anak ramai mendatanginya. Sudah dilarang berkali-kali oleh emak dan bapak mereka namun tak digubris serius kalau belum ada yang membuat kapok. Langit oranye yang berpadu mesra dengan pendar-pendar matahari terpampang indah bak lukisan. Awan tipis menjadi pelengkap senja hari itu, mempertemukan dua anak tambang dengan kawan lamanya. Percakapan yang diawali dengan basa-basi karena sudah lama tak bersua, lama-lama berbelok ke arah yang cukup serius. Ini perihal masa depan Damar dan emaknya.

Sambil menikmati senja yang akan tenggelam bersama segala keindahannya, Udin menceburkan dirinya ke dalam kulong[1] yang baru saja jadi sekitar dua-tiga bulan yang lalu. “Sudahlah, lebih baik kau segera bergabung dengan kami, Mar! Aku yakin walaupun harga timah sekarang sedang turun, setidaknya kau akan dapat uang. Bukannya menghabiskan uang emak kau untuk sekolah. Toh, kita butuh hasil nyata dan segera bukan?” ujar Udin seraya merapikan rambutnya yang basah.

“Tidak, kau harus lulus SMP dulu, Mar! Dengan ijazah SMP-mu, kau bisa melamar pekerjaan yang lebih baik di kota kelak. Uangnya pun bisa lebih banyak ketimbang upah kami di sini, lanjutkanlah sekolahmu. Lagipula jika kau melimbang, emakmu akan bertambah khawatir dan tidak ada yang merawatnya.” Samsul menepuk pundak Damar, memberikan ia perhatian lebih agar tak termakan omongan Udin. Jangan sampai Damar menjadi korban penyesalan, seperti yang ia alami.

“Tapi, bang, emak sudah tak sanggup lagi bekerja. Lantas aku sekolah bagaimana? Makan sehari-hari pun kadang tidak, sudah seharusnya aku menjadi tulang punggung keluarga menggantikan bapak.” Balasnya dengan sopan dan terkenang kondisi emak yang kian memprihatinkan.

“Kau tidak pernah melihat realitas kehidupan kita, Sul. Sebagai rakyat kecil seharusnya pemerintah memberikan kita bantuan-bantuan. Beras pun susah untuk membelinya apalagi membayar obat rumah sakit. Kalau pemerintah peduli sekalian saja rumah kita direnovasi dan kita diberi beasiswa pendidikan. Seharusnya saat pemerintah tahu tambang kita mempekerjakan remaja bahkan anak-anak, mereka peduli dan melarang kita untuk menambang serta menyekolahkan minimal sampai tamat SMP. Tapi bodo amat dengan pemerintah, kalau tidak peduli mendingan aku lanjut melimbang.”

Sejenak hanya angin sepoi dan suara tilawah Qur’an sumbang di musala kampung yang menemani sore mereka. Matahari sudah setengah tenggelam di ufuk Barat tanda pulang sebelum emak meneriaki dari pintu dapur. Anak-anak lain sudah beranjak dari permainan yang mereka buat untuk menghibur diri yang terkaburkan teknologi. Udin, Samsul, dan Damar masih berdebat manakah yang lebih penting antara melimbang dengan sekolah.

            “Aku pun tahu sekolah itu sangat penting, Sul, Mar. Sebenarnya jika aku harus membongkar kenangan sekolah, sudah dipastikan aku tak mau lagi melimbang. Tapi aku terpaksa menguburnya agar menikmati pekerjaan ini. Dan tetap saja kita bersekolah untuk mendapatkan pekerjaan, sedangkan sekarang kita sudah bekerja. Lebih cepat dari mereka yang sedang bersekolah, bukan?” Udin mengangkat bahunya lantas kembali menyelam. Air kulong kini tambah keruh dibuatnya.

            Samsul mengangguk takzim, “benar juga yang kau ucapkan, Din. Tapi, aku tetap mendukung Damar untuk bersekolah. Kau bisa mencari pekerjaan lain yang lebih mudah dan sedikit risikonya daripada melimbang. Aku yakin, kau akan sukses di masa depan dan kau akan banyak membantu emakmu mendapat fasilitas kesehatan yang layak.”

            “Terima kasih, Bang Udin dan Bang Samsul akan kupikir-pikir lagi pendapat kalian berdua. Mari kita pulang! Hari sudah petang dan pasti emakku sudah khawatir di rumah.” Ajak Damar sambil beranjak dari duduknya yang diikuti pula oleh Samsul.

            “Sebentar, aku mau berenang sebentar lagi! Lebih baik kalian berdua ikut. Aku mau lomba berenang dengan kalian!” ajak Udin yang sudah mundur berlangkah-langkah dari tepi kulong.

            “Din, sebentar lagi magrib. Cepatlah pulang, lomba renang bisa kita lakukan esok-esok. Apalagi kulong ini baru dua bulan ,masih dalam bisa-bisa kau tenggelam!”

            “Mana mungkin. Aku kan, jago berenang...”

            “Udin!” seru Samsul sambil berlari masuk ke dalam kulong. Matahari sempurna tenggelam, bertepatan dengan azan yang berkumandang. Damar terdiam kaku dengan wajahnya yang seperti mayat. Harusnya ia segera berteriak, tapi lidahnya kelu dan suara pun tercekat.

            Peristiwa itu terputar kembali di pikiran Damar yang kini bekerja sebagai guru sekolah lamanya. Menjadi teror bagi anak-anak kampung untuk bermain dan berenang di sekitar kulong. Bahkan setelah kejadian tersebut, tambang timah yang ternyata ilegal ditutup oleh pemerintah dan seluruh pekerjanya luntang-luntung setelah hilang mata pencaharian. Hari itu pula yang membuat Damar membuang niatnya menambang dan memilih untuk belajar di sekolah sungguh-sungguh. Meski kini upahnya sebagai guru tak seberapa, setidaknya ia masih bisa menemani emaknya di hari tua.


 (Cerpen ini diunggah pada Januari 2021 untuk mengikuti lomba menulis cerpen yang diselenggarakan Literasi Bangsa)



[1] Cekugan yang terbentuk dari proses tambang timah yang terisi oleh air (Bangka)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi : Novel Nebula Karya Tere Liye

Novel “NEBULA” Karya Tere Liye :  Rahasia Pengintai Terbaik dan Kembalinya Musuh Lama Oleh : Lubna Anfaresi Judul                : NEBULA Penulis             : Tere Liye Penerbit             : Gramedia Pustaka Utama Kota Terbit       : Jakarta Cetakan II        : April 2020 Ketebalan         : 376 halaman Pendahuluan             Serial Bumi merupakan salah satu serial yang dikeluarkan oleh penulis Tere Liye dan berhasil menarik minat pembaca di tanah air. Serial fantasi ini sudah memiliki sembilan seri dengan seri terbaru berjudul “NEBULA”. Sama seperti seri sebelumnya yang berjudul “SELENA”, seri ke-9 ini menceritakan kisah dari sudut pandang Selena sebaga...

Masak, Makan, Lempah Kuning

  Masak, Makan, Lempah Kuning “Wew, banyak kenek ge. Basing ka lah pon!” [1]             Ucapan dari Ami, gadis Bangka yang sudah kutemui sejak lima hari bertugas di daerah ini, terus terngiang di antara malam-malam sepi di kamar berukuran lima kali tujuh meter. Suaranya begitu tinggi, mencekam, dan rasanya penuh kebencian. Raut wajahnya yang mengerut itu terus terbayang, juga ucapan dengan bahasa yang aku tidak mengerti sama sekali. Jauh dari mal perbelanjaan, kafe yang selalu ramai, atau sekadar lalu lintas kota Yogya, aku terjebak sampai sembilan hari kedepan untuk mengerjakan tugas kuliahku di sini. Aku tidur menumpang kepada salah satu warga kenalan kawan kuliahku, yang juga berasal dari Bangka. Katanya itu adalah rumah seperadik [2] -nya. Pintu kamar yang menjadi tempat tidurku sementara tiba-tiba diketuk dari luar. Aku menghela napas, mencoba meraih gagang pintu dan membiarkan sinar lampu di ruang tengah masuk ke d...

Nugget

Pernah berpikir untuk masak nugget goreng yang dicocol dengan cuko ? Itu yang Bene lakukan. Aneh, iya. Tapi Bene tidak akan peduli dengan komentar orang, karena toh dia sekarang ada di kontrakannya. Sendirian. Setelah berkutat dengan kertas-kertas laporan praktikumnya selama satu semester, Bene bisa beristirahat sejenak. Gadis itu tidak pergi ke luar kontrakannya, kecuali untuk membeli makan atau bahan masakan. Keinginannya untuk naik gunung setiap liburan juga harus kandas. Alasanya sederhana, karena ia tidak punya teman untuk naik ke atas sana. Jika kalian semua mendorong gadis itu untuk pergi sendiri,             “Terima kasih.” Dua kata itu akan keluar dari bibirnya yang sedikit kering. Saran dari kawan-kawan dekatnya, biarkan saja Bene asyik dengan dunianya. Ia bisa saja pergi ke Bandung sekarang juga, atau ke Jakarta. Tapi buat apa? Ia tidak mau menghabiskan lebih banyak uang beasiswa yang baru cair satu pekan lalu...