Waktu yang Terbuang
Lagi-lagi seperti ini, muncul rasa
sesal di hatiku sebab datang ke pertemuan tak berarti yang diselenggarakan
teman-teman alumni. Bukannya tak menikmati reuni kecil hanya saja aku tak
sanggup lagi mendengar bualan yang keluar dari bibir cantik, merah merona itu.
Suasana yang ramai di tongkrongan mewah atau biasa disebut cafe tak membuat mereka berhenti membahas kejelekan Wirda. Bahasan
sampah yang tak selayaknya berada di tempat mewah.
“Kalian tahu, kemarin aku melihat
status Wirda membeli tas mewah. Aku yakin itu palsu atau kalau asli pun, karena
dia menggoda lelaki lain.” Salah satu temanku yang memang terkenal lihai bergunjing,
mengarahkan pembicaraan.
“Masa, sih? Setauku Wirda anak yang
adem-adem saja, lagipula dia kan sudah bersuami dan sedang berbadan dua...”
“Alah, kau kira hal seperti itu tak
mungkin terjadi?” celetuk yang lain.
Aku ikut menyimak atau lebih
tepatnya berpura-pura menyimak. Menyesap kopi hitam yang ku pesan lima belas
menit lalu. Siang ini terasa membakar ubun-ubun kepalaku yang terselimuti
jilbab menutup dada. Walau di dalam ruangan sudah tiga pendingin dinyalakan.
Aku menggoyangkan kakiku tanda bosan, lantas berselancar di sosial media
mencari hal-hal yang semoga lebih penting dibanding gunjingan teman.
Waktu terasa amat lambat, ingin
sekali kupulang cepat dan istirahat. Memuakkan ketika kalian berada dalam
pertemuan sedang kalian tak dibutuhkan. Ditambah lagi tenggat waktu pengumpulan
tugas dari dosen pukul dua belas malam ini. Pekerjaanku masih jauh dari kata
selesai dan sekarang barulah menyesal mengapa kuterima ajakan perkumpulan ini.
Harusnya aku bisa mengerjakan tiga sampai lima halaman jika di rumah saja dan
berkencan dengan monitor serta keyboard-ku.
Tapi apalah dikata mereka jikalau diri tak datang. Sudah tiga teman alumni
absen tak ikut berkumpul, yang mereka gunjingkan. Aku berpikir dan sangat
penasaran sekali cerita apa yang akan dibuat dari bibir-bibir berlipstik tebal
ini mengenai diriku.
“Hei, kalian tahu kasus korupsi
pejabat kementerian? Bukankah itu sangat gila, menghabiskan dana sukarelawan
untuk membeli harta dan kekayaan? Yang bahkan ia sudah lebih dari cukup
memilikinya.” Sahutku ketika rasa dongkol ini tak lagi terbendung. Aku berharap
semuanya berhenti membicarakan pribadi orang yang bahkan tidak lebih buruk dari
mereka sendiri.
“Wah, iya tuh! Saya juga
dengar...memang pemerintah zaman sekarang makin liar saja memalak warganya!”
satu orang terpancing dengan topik yang ku lempar.
“Benar juga katamu, Sarimah. Mereka
bukan lagi pejabat pilihan rakyat, tapi tukang palak eh, lebih tepat pencuri
uang rakyat!” dua orang sudah teralihkan dan aku tinggal memanjangkan kisah
ini.
“Lantas bagaimana, ya dengan hukuman
yang akan ia terima?” tanyaku sok penasaran.
“Alamak, kau masih saja bahas korupsi negeri? Orang di tevi[1] pun sudah muak kudengar, Lamtiar. Mending kita bahas cerita kita-kita saja, toh pejabat tak peduli dengan kita buat apa kita peduli urusan mereka?” Si Biang Gosip memotong kisahku. Ia kembali mengambil alih kemudi dan sekarang ditancap pula gasnya. Namun baru sesaat gas dipijak, yang dibincangkan malah datang.
Dengan
senyum yang tulus dan senang, Wirda masuk menyapa kami, “halo semuanya! Maaf,
ya telat datang. Tadi masih ada kerjaan di rumah,”
“Eh, Wirda! Enggak apa-apa, kok
santai aja. Udah pesen makanan, belum? Buruan gih, kami tungguin!” ekspresi
palsu yang dengan cepat ia pasang membuatku semakin muak dan mual. Tak berbeda
pula dengan teman-teman yang lain. Bibir yang tadi dipakai untuk menggunjing,
kini ramah menyapa menyembunyikan bangkai yang dilahap bersama. Tanpa basa-basi
aku pamit dari tempat. Bodo amat mereka membicarakanku setelah ini, yang pasti
aku tak ingin lagi membuang waktuku untuk hal-hal palsu seperti sekarang.
Angin sepoi menerbangkan kalimat
rindu dari pulau seberang. Merangkaikan sajak tak bertuan yang sedang asyik
menggoda sepasang insan. Deburan ombak riang berkejaran, berusaha saling
mendahului satu sama lain untuk tiba di jejak-jejak dan menghapusnya dalam
sekali datang. Matahari izin pulang lebih cepat dari biasanya. Meninggalkan
awan putih yang bersanding indah dengan merah saga dan kuning langsat,
menciptakan senja yang sempurna untuk ditatap. Seberkas cahaya memandikanku
yang duduk di pondok kayu. Kayunya kokoh namun terlihat berumur. Aroma jagung
bakar yang sedari tadi mengajakku berdansa, tak kuhiraukan karena cantiknya
langit petang ini. Kelapa muda yang dibakar dan disiram gula aren cair, terjun
bebas di kerongkongan. Membuat nafsuku terbalas lunas.
Hanya
satu yang menggangguku sedari tadi, bising motor dan kalimat kotor yang
terlontar dari remaja-remaja tanggung dengan jarak dua pondok dariku. Tawa
mereka yang lantang benar-benar mengganggu pelancong lain. Seakan seluruh dunia
mesti tahu betapa lucunya cerita mereka. Tak hanya kalimat kotor dan tawa yang
keluar dari bibir mereka, asap putih yang kubenci aromanya melayang-layang dan
terbawa angin pantai.
Kutolehkan wajahku ke tempat lain di mana sepasang muda-mudi tadi bermesraan. Ekspresiku berubah drastis, “Astaghfirullah!”
Bagaimana bisa mereka seberani itu di tempat
umum? Kukira sajak yang diantar sepoi tadi hanya membisikkan kalimat-kalimat
cinta yang nyaman dipandang mata. Namun malah membuat diri semakin jijik dan
mual. Kuputuskan tuk segera melahap jagung bakar dan pulang ke rumah, tidak
mampir lagi seperti yang kulakukan saat ini. Magrib akan segera tiba, lagipula
masih ada tugas dosen yang menunggu untuk kukerjakan. Setelah menghabiskan
sebongkol kenikmatan dan sebuah kesegaran aku beranjak dari dudukku. Melihat ke
belakang untuk mengucapkan perpisahan pada langit yang tak lama lagi bertuan
rumah sang bulan. Melihat ke belakang untuk berduka atas mirisnya pantai yang
dihiasi muda-mudi keasyikan dan lupa diri.
Sampainya di rumah kurebahkan diri
di atas kasur. Melepas lelah seharian yang sebenarnya cukup menyenangkan.
Lantas kuambil telepon pintar dari tas dan kumainkan akun sosial media. Sepuluh
menit menatap layar akhirnya kumatikan, bersiap untuk mandi dan tunaikan salat
magrib. Niatnya diri ingin langsung mengerjakan tugas dosen, tapi sayang mataku
yang sudah berat mengisyaratkan untuk rehat sejenak.
Pukul sembilan malam masih ramai
kendaraan lalu lalang. Aku mengunyah makanan yang kubuat sendiri sambil
menonton kanal youtube favoritku. Jam
terus berdetak, waktu terus bergerak, dan aku terus menonton sambil sesekali
mengecek pesan-pesan yang dikirimkan temanku. Kami sedang panik dan berkeluh
kesah mengenai tugas dosen, hanya berkeluh kesah entah dikerjakan atau tidak
itu urusan belakangan. Masih ada beberapa jam sebelum tenggat pengumpulan.
Hasrat untuk segera menyelesaikan tugas itu sudah mendobrak pintu hati, hanya
saja belum berhasil menggerak badan.
Aku mengambil secarik kertas. Lantas sambil
ditemani suara kendaraan, detak jam, musik yang kupasang, dan kipas angin yang
berputar untuk mendinginkan badan, kutuliskan sajak-sajak penuh gairah.
Kutuliskan apa saja yang selama ini membuatku resah. Entahlah itu benar sebuah
sajak atau hanya rangkaian kata-kata tak berarti. Setidaknya setiap kali
menulis aku selalu tersadarkan ucapan guruku, ‘menulis itu suka-suka’.
Pukul
sepuluh lewat akhirnya aku sadar akan pentingnya tugas dosen. Kubuka dengan
malas pertanyaan lalu mencoba untuk menjawabnya. Tak disangka lebih susah dari
dugaanku. Aku melirik jam di laptop, “apakah bisa terkejar?” tanyaku pada diri
sendiri. Kuhentikan video dari youtube
lalu menjauhkan segala macam distraksi berharap agar segera fokus. Tiba-tiba
kantuk menyerang di waktu yang salah, maka aku harus segera selesaikan tugas
dosen ini. Terlampau lama aku abaikan dan bermalas-malasan.
Baru
sekarang aku menyesal tak mengerjakan tugas yang diberikan senin kemarin. Herannya lagi dalam
seminggu ini tak ada kegiatan berat yang seharusnya bisa kuselesaikan dalam
waktu yang sangat panjang. Herannya lagi, kenapa penyesalan selalu datang
terkahir. Membuatku semakin panik dan tak percaya diri akan hasil tugas.
Berkali-kali
kulihat jam di pojok laptopku, sambil terus mengetik dan menuliskan konsep-konsep
di kertas yang tadi kugambarkan emosi diri. Mentok lima belas menit, lalu
mengejar semua ketertinggalan. Sepuluh menit lagi mesti dikumpulkan tapi
pikiranku masih kacau. “Ah dasar, pemalas! Ayo cepat berpikir dan kumpulkan!”
aku marah dengan diriku sendiri. Entah apa yang sudah kuketik, bodo amat! Yang
penting ketika nanti sudah kukirimkan pada dosen, nilai sudah digenggaman
tangan.
“Hah,
harusnya aku tadi tak usah berkumpul dan mendengar orang-orang bergunjing.
Harusnya aku tadi tak usah menghabiskan waktu dengan melihat pelancong di pantai.
Generasi yang kulihat sekarang ini, benar-benar tak pernah menghargai waktu dan
selalu menghabiskannya untuk hal tak berguna!” ucapku setelah mengirimkan tugas
dua menit sebelum tenggat waktu. Hatiku lega dan ragaku ingin segera istirahat.
Aku
menutup laptop, lantas bercinta dengan telepon pintarku. Merebahkan diri di
atas kasur, bercakap ria dengan teman di ujung sana. Kami asyik begadang,
padahal tadi saat mengerjakan tugas bukan main kantuknya. Herannya aku, ketika
menghabiskan waktu untuk hal yang tak perlu mengapa bisa semenyenangkan ini?
Herannya aku, dengan generasi saat ini.
Komentar
Posting Komentar