Langsung ke konten utama

Cerpen : Pawang Hujan

 

Pawang Hujan

 

Lagi-lagi bertemu dia di belokan gang rumahku. Seorang perempuan paruh baya yang selalu menggunakan pakaian merah hitam, dengan aksesoris kepala dan kalung yang cukup heboh. Tangannya selalu memegang mangkuk dan tumbukan, mulutnya komat-kamit membaca mantra. Aku selalu takut setiap bertemu dengan perempuan itu. Macam orang gila saja atau kadang terlintas dipikiranku dia seorang penjahat yang menyamar. Baru-baru ini pun setelah muncul kabar tentang intel dari negara atau kepolisian membuat aku curiga ia juga seorang intel yang memata-matai keluarga di perumahan ini. Namun kedatangannya satu bulan lalu diyakini penduduk hanya sebagai ‘pawang hujan’. Aneh memang dan aku tak mau memercayainya.

Entah apa yang membuat Mak Jan -panggilan pawang hujan itu, datang ke lingkungan perumahan kami. Padahal kami tidak pernah punya masalah dengan hujan. Banjir tidak pernah juga, kerugian yang didatangkan mentok-mentok tidak bisa main ke luar rumah. Entah siapa pula yang memanggil Mak Jan ke perumahan kami. Cukup mengherankan karena rata-rata masyarakat di sini rajin beribadah ke masjid dan tak percaya dengan dukun atau tahayul.

“Bukankah dia seharusnya kita usir? Sangat mengganggu kenyamanan masyarakat.” Ucap salah seorang warga dalam pertemuan rutin yang digelar karang taruna dekat perumahan.

“Entahlah, saya juga bingung dia mau ngapain di sini. Kalau dibilang mengganggu kenyamanan sih, tidak juga. Orang dia hanya komat-kamit enggak jelas di depan gang.” Kali ini bapak-bapak berkumis tebal berpendapat.

“Komat-kamit membaca mantra juga membuat warga resah, pak. Kita di sini semuanya beragama, siapa pula yang percaya dengan kekuatannya menahan hujan turun. Seharusnya hujan itu datang dan menyuburkan bumi Allah ini, eh dia malah menahan di sini. Rugi juga kita kalau cuaca tidak normal.” Kembali pemuda tangguh yang sebelumnya berkata.

“Loh, jadi kamu percaya dia bisa menahan hujan?”

“Aduh, enggak tahulah! Yang pasti saya rasa dia perlu diusir.”

“Tapi kalian tidak heran? Sebulan setelah kedatangan dia, benar-benar tidak ada air yang turun dari langit. Jangan-jangan dia memang punya kekuatan untuk menahan hujan.” Seorang anak SMA menyusupkan pemikirannya ke dalam organisasi, membuat orang-orang mulai berpikir lagi.

“Sudahlah kita bahas yang lain saja. Bagaimana dengan kegiatan kita, apakah sudah mendapat persetujuan dari RW?” pemimpin pertemuan mengembalikan jalan diskusi. Mereka berhenti membahas Mak Jan begitu pun aku yang juga masuk dalam organisasi ini.

***

Hari jumat pukul satu siang, sehabis jumatan harusnya aku sudah membawa sepeda motor bututku ke lokasi kegiatan karang taruna. Kami akan mengadakan diskusi final terkait pembangunan kampung hijau yang akan dilaksanakan secara gotong royong pada hari minggu ini. Yah, walaupun perumahan, kami tetap saja orang-orang kampung. Berbeda dengan selebritis media sosial yang tinggal di rumah milyaran dan suka buang-buang uang. Kami sebagai organisasi yang berdiri untuk masyarakat harus juga membangun masyarakatnya, membangun kampung, supaya lebih berkelas sedikit dari RW sebelah.

Sayangnya dan sangat tidak diduga hujan turun amat lebat. Memaksaku dan Ridho terjebak di teras masjid sambil keheranan. Ini masih bulan empat, mana mungkin sudah turun hujan selebat ini. Lagipula seperti satu bulan belakangan harusnya hujan tidak turun karena ada Mak Jan. Apakah pawang hujan itu sudah tidak ada lagi?

“Mak Jan gimana, sih? Giliran kita ada kegiatan besar malah pergi.” Gerutu Ridho seakan tahu apa yang aku tanya dalam hati.

“Eh, jangan kayak gitu. Berarti kita percaya dong sama pawang hujan. Kemarin kan kita sudah ikut pengajian tentang Mak Jan dan dukun-dukun lainnya. Mungkin Mak Jan masih nongkrong di sana, cuma hari ini Allah berkehendak untuk menurunkan hujan.” Kataku sok bijak, padahal tadi pun sempat terlintas pikiran seperti Ridho.

“Aih, terus kita gimana, Hab? Masa kita nunggu di sini? Mau sampai kapan?” Ridho bertanya bertubi-tubi membuatku bingung menjawabnya.

“Palingan hujan kayak gini sebentar doang,”

Cetar!

Terlihat kilat menyambar disertai bunyinya yang memekakkan telinga, tepat di depan kami. Aku dan Ridho terkejut bukan main, langsung lari masuk ke masjid. “Mana mungkin sebentar kalau sudah ada kilat.” Sanggah Ridho sambil mengelus-elus dada.

Langit benar-benar gelap, kilat semakin liar berlari-lari. Seakan sedang ada pertandingan seru di atas sana. Suara guntur juga saling bersahut-sahutan. Mengatakan kepada kami dengan tegas ‘kami tidak akan membiarkan kalian pergi!’. Angin mulai menusuk-nusuk baju kokoku yang tipis. Ia juga ikut-ikutan ribut di luar masjid, membuat jendela kayu di sisi-sisi menjadi terbanting. Cuaca gila seperti ini sudah lama tidak hadir dalam kampung kami. Setidaknya tepat ketika Mak Jan datang.

Ruangan masjid yang terbilang kecil ini bahkan tak terang ketika lampu dinyalakan, saking gelapnya sekitar. Ah, harusnya kalau begini aku sudah di rumah sambil tidur berkemul atau mengaduk mi instan lengkap dengan dua cabai, telor setengah matang, dan kornet. Jendela-jendela kayu ditutup oleh orang-orang yang juga terjebak bersama kami. Hampir semua jamaah masih setia menunggu hujan reda. Tentu saja karena hampir semua jamaah berpergian dengan kaki atau sepeda motornya. Hanya satu dua orang -yang dinilai berada, menggunakan mobil dan pulang dengan santai ke rumah. Mungkin orang-orang bermobil itu sekarang sudah asik menyantap mi, menyeduh air jahe hangat, atau memimpikan hal-hal indah.

Jamaah yang bosan menunggu mulai membuat kelompok-kelompok kecil. Membicarakan hidup, rumah tangga, sekadar melepas waktu yang mereka punya saat ini. Aku dan Ridho juga memutuskan untuk bergabung dengan kelompok remaja yang terdiri dari banyak macam. Tak sedikit pula yang memilih untuk mengambil Al-Qur’an, mengaji dengan suara kecil dan amat khusyuk.

Kumpulan remaja itu terdiri dari delapan orang termasuk kami berdua. Ada Bujeng -nama aslinya Randika, sebagai ketua remaja masjid yang sebenarnya tak begitu alim. Hanya saja dia memang jago untuk memimpin orang-orang. Lalu ada Dimas dan Harun yang juga anggota remaja masjid. Ada pula anggota karang taruna yang sama dengan kami, Ical dan Ahdan. Dua lainnya hanya remaja biasa yang menghabiskan waktu membantu orang tua, belajar, atau nongkrong sana-sini. Mereka adalah Ucup dan Jeri.

“Aku memang tidak melihat Mak Jan saat berangkat ke sini. Sepertinya kekuatan Mak Jan menahan hujan memang tidak bisa kita sepelekan.” Topik dimulai oleh Jeri dengan bahasan pawang hujan depan belokan gang rumahku.

Yeah, mau dibilang sama ustad berkali-kali pun kalau kenyataannya begini mau tidak mau aku jadi percaya juga. Bagaimana bisa, ya dia menahan hujan begitu?” Bujeng bertanya sambil memegang dagunya. Seakan berpikir sangat keras.

“Benar juga yang kalian bilang, lagipula pawang hujan itu sudah ada sejak dulu. Menjadi budaya dan kearifan lokal Indonesia. Sudah sepatutnya kita percaya hal mistis seperti itu. Kalian tahu? Bahkan waktu pejabat kota sedang mengadakan acara yang mengundang banyak pejabat lainnya, beliau diam-diam mengundang pawang hujan. Bayarannya fantastis, setidaknya lebih besar dari gaji bapak-bapak kita!” Ical menanggapi dengan antusias.

“Kalau tidak salah mereka memang punya hubungan dengan dunia gaib. Melihat cara Mak Jan menahan hujan, setiap hari dia suka sekali membawa mangkok dan pengaduk. Kalau isi mangkoknya sih, aku juga kurang tahu. Mungkin Wahab tahu, nih. Setiap hari dia kan lewat depan Mak Jan biar bisa pulang ke rumah.” Kali ini Ridho berpendapat sambil menyenggolku. Aku hanya nyengir, membiarkan teman-temanku yang lain untuk bicara. Padahal aku tahu mereka menunggu sekitar dua puluh detik untuk mendengarkan aku membeberkan isi mangkok Mak Jan, yang bahkan aku pun tak pernah mengintipnya.

Cetar!

Astaghfirullahal’adzim!” serempak kami berdelapan mengucapkan istighfar setelah kilat lewat tepat di tengah-tengah lingkaran yang kami buat. Untuk beberapa saat lamanya kami masih terdiam, lantas saling menatap wajah satu sama lain dan tertawa. Bahkan kami perlu ditegur dulu oleh jamaah lain karena terlalu berisik mengejek wajah pias masing-masing.

“Halah, kalian ini kalau masih ngucap jangan diterusin bahasan syiriknya. Allah langsung negur, kan.” Harun berkata setelah sekian tawa kami.

“Tapi, Run inilah kenyataannya! Nenek aku juga di rumahnya dipasang lidi yang ditusuk-tusuk dengan bawang merah dan cabe. Hasilnya? Tidak ada air setetes pun yang jatuh!” Ical masih antusias walau kilat bersiap untuk ikut nimbrung percakapan kami.

“Ya, mungkin saat itu lagi musim kemarau.” Aku menjawab sekadarnya.

“Ini juga harusnya masuk musim kemarau, masa sudah hujan selebat ini?” Ucup bertanya, mendukung argumen Ical.

“Gimana kalau kita buktiin aja sekarang? Kita pergi ke depan gang Mawar, apakah di situ beneran ada Mak Jan atau enggak?” kini Jeri menantang untuk membuktikan siapa yang benar.

“Bisa saja Mak Jan emang gak ada di tempat karena udah tahu hujan lebat. Dia peramal cuaca kali atau lihat di gawainya.” Harun tak sependapat.

“Enggak, hujan turun gini karena Mak Jan enggak ada. Bukan kayak skenario yang kamu pikir.” Ahdan mulai terpengaruhi oleh argumen Ucup, dia siap untuk berangkat.

Aku dan Ridho saling pandang. Seakan mengerti apa yang dipikirkan lantas kami juga beranjak dari duduk. Toh, lebih baik menerobos hujan daripada berdiam diri di sini. Sekalian iseng mengecek Mak Jan aku juga jadi bisa pulang. Tak apalah hujan-hujanan, untuk laki-laki sudah biasa. Kalau pun tidak bertemu Mak Jan, aku bisa mengecek dulu apakah kegiatan karang taruna tetap dilaksanakan atau ditunda sampai reda.

“Jadi siapa saja, nih yang ikut?” tanya Ical sebagai pemimpin observasi. Aku, Ridho, Jeri, Ahdan, dan Bujeng mengangkat tangan. Sedangkan Harun dan Dimas memilih untuk berdiam diri di masjid sambil mengisi hati dengan lantunan Qur’an.

Sebelum benar-benar pergi dari percakapan, guntur bergemuruh dari luar. “Aku sudah ingatkan, ya jangan percaya dengan hal begituan. Kalau kalian disambar petir di tengah jalan kami tidak heran lagi, sih.” Harun berkata tak acuh sambil mengangkat kedua bahunya. Dimas segera mengambil kitab suci dan mencari tempat yang cukup nyaman untuk bermesraan dengan Tuhan. Aku mulai berpikir, apakah harusnya aku tidak ikut saja? Aku juga mulai berpikir, apakah harusnya yang menjadi ketua remaja masjid bukan Bujeng, melainkan Harun atau Dimas?

***

Basah kuyup sekujur tubuhku sesampainya di rumah pukul setengah tiga. Setelah cukup lama menunggu hujan yang tak kunjung reda di masjid, serta membuktikan apakah benar Mak Jan punya kekuatan mistis menangkal hujan? Aku yang membonceng Ridho mengecek perkumpulan karang taruna terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk mengantar Ridho dan pulang ke rumah. Aku parkirkan sepeda motor di garasi yang tak begitu luas, lantas masuk melalui pintu samping. Air menetes lewat rambut-rambutku membuat lantai ikutan basah. Segera ku menuju kamar mandi, membuka pakaian dan bersiap mengguyurkan segayung air segar ke tubuhku.

Di luar sana masih hujan, namun tak selebat saat pukul satu siang tadi. Kilat masih menyambar sesekali, angin mulai jinak dan tidak lagi mengganggu jendela atau pintu yang tidak dikunci rapat. Siang tadi sesampainya kami di depan gang rumahku sama sekali tidak ditemukan Mak Jan komat-kamit seperti pada hari biasanya.

“Sudah kubilang ini pasti karena Mak Jan tidak hadir,” ucap Ical. “Apakah Mak Jan sudah diusir dari kampung ini? Bisa-bisa kampung kita yang tidak pernah banjir, karena hilangnya Mak Jan jadi banjir bandang!” lanjutnya.

“Jangan begitu, Cal. Kalau sampai beneran aku dan keluarga mau tinggal di mana? Rumahku tidak bertingkat seperti Pak Jono dan keluarganya. Nanti bukan hanya harta benda yang terseret dan hilang, nyawaku pun bisa ikutan.” Jeri berkata dengan raut wajah yang ketakutan. Aku hanya nyengir melihat percakapan mereka.

“Ya, mungkin Mak Jan cuma sakit. Besok pasti sudah cerah lagi.” Kata Ahdan menyenangkan dirinya sendiri.

“Tapi berdasarkan diskusi karang taruna waktu itu, bukankah sudah ada warga yang menginginkan Mak Jan untuk diusir?” tanya Ridho.

“Sudahlah, kan kita sudah membuktikan kebenarannya. Lebih baik sekarang kita pulang. Bukan Mak Jan nanti yang sakit malah kita berenam. Mari, aku duluan, ya!”

Bujeng yang pamit membuat kami memutuskan untuk pulang juga. Berdasarkan observasi yang kami lakukan ternyata memang benar hujan ini datang karena Mak Jan tidak menjalankan ritualnya di belokan gang rumahku. Entah beliau sakit, pindah, atau diusir itu bukanlah menjadi urusanku. Walau demikian pernyataan mengenai pawang hujan dan kesaktiannya membawaku dalam kebingungan sampai sekarang.

Hujan terus membungkus kampung dan perumahan kami. Hanya berhenti sebentar lalu diteruskan dengan rintik-rintik kecil. Bahkan hingga besoknya awan mendung tak mau beranjak dari langit. Mereka tidak membiarkan sinar matahari barang sedikit saja untuk menghangatkan tubuh kucing jalanan yang meringkuk kedinginan. Akibat hujan yang tidak diduga-duga ini tukang sayur langganan jadi tidak bisa datang, ibu-ibu juga tidak bisa ke pasar, beberapa anak sekolah memilih untuk bolos karena malas berangkat. Untungnya sekolahku juga sedang libur. Hari ini hari terakhir ujian kelas dua belas.

Aku tinggal bersama ibuku saja. Bapak sudah meninggal lama, sedangkan kakakku satu-satunya sedang merantau ke negeri orang. Jarak kami tiga tahun, kira-kira sekarang dia sedang menyelesaikan semester empat atau lima perkuliahannya dan akan lulus sebentar lagi. Dari minggu kemarin ibu terus sakit-sakitan, batuk, demam, juga ibu bilang sedikit sesak napas. Kami sudah mencoba ke rumah sakit dan membeli beberapa obat atas saran dokter, tapi entahlah yang kulihat kesehatan ibu memburuk.  Sebenarnya pula ibu sudah begini sejak lama, mungkin saat aku duduk dibangku SMP. Tapi semakin hari penyakitnya semakin parah, ditambah lagi beliau yang menafkahi keluarga ini. Membuka usaha katering dan aku terkadang membantu untuk mengantarkan pesanan.

Perasaan cemas terus hadir di hatiku karena memikirkan kemungkinan terburuk mengenai hidupku ini. Setiap aku bertanya kondisi ibu, beliau bilamg baik-baik saja padahal aku tahu beliau sedang menderita. Aku selalu melarangnya untuk bekerja seminggu terakhir. Tabunganku masih cukup untuk membeli kebutuhan pokok, begitu pula dengan tabungan milik ibu. Kadang kalau memang ada pesanan penting aku yang membuatkannya, yah masakanku tidak seburuk yang dikira orang. Tentunya aku sudah belajar dan diajari ibu bertahun-tahun lamanya.

“Hab, tolong kamu belikan daging di pasar! Sama bawang merah, cabai keriting, dan pala. Ada orang yang pesan makanan untuk besok. Stok kita sudah habis.” Pinta ibu saat mengecek bumbu dapur. Aku segera beranjak dari tidurku dan mengambil jaket yang belum kucuci sejak dua minggu kupakai. Toh, tidak bau juga.

“Hati-hati di jalan, ya! Pakai jaket atau jas hujan, dari kemarin hujannya awet sekali. Padahal akhir-akhir ini panas terus.” Lanjut ibu sambil melihatku yang hendak pergi.

“Karena enggak ada Mak Jan, Bu. Kemarin kami juga batal kumpul buat kegiatan karang taruna gara-gara hujan lebat sekali. Waktu dicek di belokan gang kita, Mak Jan tidak menahan hujan seperti biasanya.” Aku berkata seenaknya, menjawab rasa penasaran ibu.

“Hush, enggak boleh gitu, Hab! Kamu ini percaya Allah atau Mak Jan? Syirik namanya kalau kamu percaya sama Mak Jan. Dosa besar itu, nanti salatmu enggak diterima empat puluh hari mau?”

“Bercanda, Bu. Aku pergi dulu, ya!” sahutku kemudian. Ibu hanya geleng-geleng kepala dari dapur.

***

Hari ini hari Senin, matahari bersinar seperti hari-hari sebelum jumat. Sebenarnya aku tak mau percaya dengan kekuatan Mak Jan, tapi mau bagaimana lagi?  Saat aku belanja kepasar di hari Sabtu, hujan masih saja turun. Bahkan hingga malam harinya. Secara kebetulan atau memang karena kekuatan magisnya, Mak Jan tidak ada di belokan gang rumahku. Benar-benar tidak ada! Beberapa kali aku mengecek, saat belanja ke pasar, saat berkumpul bersama anggota karang taruna membahas kegiatan hari Minggu, saat jajan malam bersama Ridho, sama sekali tidak ada Mak Jan dan hujan terus saja turun. Ya, walaupun saat malam hujan hanya rintik-rintik saja dan reda sekitar pukul setengah sembilan.

Sedangkan pada hari Minggunya, pagi-pagi sekali secara mengejutkan matahari menyembul dari balik rumah terujung dan tertinggi. Pasukan karang taruna yang sudah mempersiapkan rencana B untuk kegiatan kampung hijau karena hujan berturut selama dua hari, menjadi super semangat sekaligus terheran-heran. Aku yang penasaran segera saja berlari menuju belokan gang rumah dan menemui Mak Jan yang sedang komat-kamit membaca mantra. Sulit dipercaya tapi sulit juga untuk tidak percaya.

Anggota karang taruna yang lain saat aku menceritakan hal ini langsung terbagi menajdi empat kelompok. Yang pertama memercayai kekuatan Mak Jan, yang kedua tetap berpegang teguh dengan kekuasaan Tuhan, yang ketiga menggunakan ilmu pengetahuan dengan bilang bahwa sekarang terjadi perubahan iklim yang tak terkendali, dan kelompok terakhir yang memilih tidak peduli. Sedangkan aku merasa bingung harus masuk ke kelompok yang mana. Untungnya bahasan itu langsung dibubarkan oleh ketua karang taruna yang meminta kami untuk segera bersiap-siap melaksanakan kegiatan gotong royong.

Hari ini pun matahari bersinar seperti biasa dan aku mendapati Mak Jan lagi-lagi di depan belokan gang rumahku saat ingin berangkat sekolah. Oleh karena hal itu pula aku tidak membawa jaket, payung, atau jas hujan karena yakin hari ini tidak mungkin turun hujan. Keyakinan tersebut terus menumpuk seiring dengan matahari yang meninggi hingga membuat es teh di kantin sekolah laku terjual. Sepulang sekolah aku menyempatkan untuk nongkrong bersama Ridho, Ahdan, dan Bujeng di warung kopi murahan. Warung kopi itu melewati gang rumahku dan aku masih melihat Mak Jan menjalankan pekerjaannya. Setidaknya cuaca masih sangat cerah sampai pukul tiga sore.

***

Langit kembali menumpahkan tangisnya. Disertai dengan amarah guntur dan tebasan kilat serta angin yang ikut-ikutan ribut. Aku, Ridho, Ahdan, dan Bujeng sontak terkejut mendapati cuaca yang tiba-tiba berubah drastis. Panas matahari yang tadinya menyengat dan membuat kami memesan es kopi, berubah tiba-tiba menjadi badai tak terkendali.

 Padahal kami ingat betul, benar-benar dengan mata kepala sendiri melihat Mak Jan berada di belokan gang rumahku. Membaca mantra, mengaduk-aduk mangkoknya, memejamkan mata seperti khusyuk sekali bekerja menahan hujan. Padahal kami berempat sudah berencana untuk langsung pergi jalan lagi, menuntaskan dan memuaskan tiga hari sebelumnya yang terkendala hujan dan kegiatan. Tapi apalah daya, langit tidak berkehendak. Mak Jan tidak sehebat yang kami kira.

Aku dan Ahdan yang penasaran mengajak kedua teman kami untuk segera mengecek belokan gang rumahku. Mengejutkan bagi kami karena sesampainya di sana masih berdiri Mak Jan dengan ekspresi panik, berusaha menenangkan badai. Air yang deras membuat basah sekujur tubuh. Derasnya melebihi hari Jumat yang lalu. Berisik guntur, angin, dan kejar-kejaran kilat juga lebih dahsyat dari Jumat yang lalu. Aku mulai merasakan ada yang tidak benar dengan cuaca hari ini.

“Mak Jan, bagaimana bisa hujan badai ini turun. Kau tidak membaca mantranya dengan benar atau bagaimana?” tanya Ahdan sesampainya di depan Mak Jan. Suaranya ia besarkan untuk mengalahkan berisik air menabrak jalanan.

“Pergi! Pergilah hujan! Tapi aku tak bisa menahan segala air yang tumpah dan langit yang mengamuk. Kekuatannya terlalu kuat, ada orang baik yang pergi. Perginya tak bisa kutahan seperti aku menahan hujan. Perginya membuat air tumpah dan langit mengamuk!”

Itulah jawaban yang diberikan Mak Jan. Kami berempat terdiam dalam keheranan untuk beberapa detik lantas memutuskan untuk meneduh di rumahku yang paling dekat dengan posisi sekarang. Tidak mungkin kami menunggu kalimat lain dari mulut pawang hujan itu. Daripada rasa penasaran, kami lebih tidak mau kena sambar amukan langit di atas sana. Di rumahku nanti setidaknya kami bisa beristirahat, mengeringkan pakaian dulu dan makan mi instan rebus dengan taburan cabai juga telur setengah matang. Tidak apa-apa gagal jalan, kami masih bisa bersantai. Begitu pikirku, sebelum akhirnya terjadilah apa yang dikatakan Mak Jan.

Hujan tidak hanya terjadi di luar. Badai tak hanya mengamuk di kampung kami. Apa yang dikatakan Mak Jan benar, tapi aku tak lagi memercayai kehebatannya. Bagaimana bisa aku percaya? Mak Jan tidak mampu menadang hujan di luar sana, pun di dalam sini. Bahkan hujan di dalam hatiku jauh lebih lebat dan mengamuk lebih dahsyat tatkala kami sampai di rumah. Ibu sudah tergelatak tak berdaya di lantai ruang tamu. Tangannya tampak memegang sofa, kakinya tertekuk, wajahnya sudah pucat, dan detak jantung sudah berhenti.

Bukan hanya di luar, tangisan langit menghipnotisku untuk ikut menangis dan berteriak liar. Ketiga temanku terkejut pun langsung memeluk erat diriku. Tak ada kata yang bisa mendeskripsikan hari itu. Aku hanya bisa mengatakan bahwa kejadian itu seburuk cuaca hari itu pula. Aku berkali-kali memanggil ibu dan berusaha untuk membangunkannya, nahas nyawa ibu sudah hilang. Seharusnya aku di rumah ini dan menemani waktu terakhir ibu di dunia. Seharusnya aku tahu bahwa penyakit ibu benar-benar serius dan melarang ibu untuk bekerja sabtu kemarin. Hatiku hancur. Hari ini akan menjadi cuaca terburuk dalam hidupku dan kedepannya tak akan ada lagi matahari.

Jika kau bertanya padaku apakah aku percaya pawang hujan atau tidak? Maka aku akan menjawab dengan tegas bahwa aku tidak memercayainya. Hujan di dalam hatiku bahkan hingga hari ini belum mereda. Terkadang ia hanya rintik kecil, lebih sering ia menjadi badai. Kalaupun kalian memintaku untuk percaya, maka satu-satunya pawang hujan yang kupercaya adalah ibuku. Karena semenjak hari itu, hujan terus turun. Semenjak hari itu pawang hujanku telah berpulang ke rahmat Allah dan hujan tak akan pernah berhenti. Entah sampai kapan. Rintik, hujan, dan badai dalam diri akan terus ada dan bersembunyi karena pawangnya telah meninggalkan bumi.

 

 

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi : Novel Nebula Karya Tere Liye

Novel “NEBULA” Karya Tere Liye :  Rahasia Pengintai Terbaik dan Kembalinya Musuh Lama Oleh : Lubna Anfaresi Judul                : NEBULA Penulis             : Tere Liye Penerbit             : Gramedia Pustaka Utama Kota Terbit       : Jakarta Cetakan II        : April 2020 Ketebalan         : 376 halaman Pendahuluan             Serial Bumi merupakan salah satu serial yang dikeluarkan oleh penulis Tere Liye dan berhasil menarik minat pembaca di tanah air. Serial fantasi ini sudah memiliki sembilan seri dengan seri terbaru berjudul “NEBULA”. Sama seperti seri sebelumnya yang berjudul “SELENA”, seri ke-9 ini menceritakan kisah dari sudut pandang Selena sebaga...

Masak, Makan, Lempah Kuning

  Masak, Makan, Lempah Kuning “Wew, banyak kenek ge. Basing ka lah pon!” [1]             Ucapan dari Ami, gadis Bangka yang sudah kutemui sejak lima hari bertugas di daerah ini, terus terngiang di antara malam-malam sepi di kamar berukuran lima kali tujuh meter. Suaranya begitu tinggi, mencekam, dan rasanya penuh kebencian. Raut wajahnya yang mengerut itu terus terbayang, juga ucapan dengan bahasa yang aku tidak mengerti sama sekali. Jauh dari mal perbelanjaan, kafe yang selalu ramai, atau sekadar lalu lintas kota Yogya, aku terjebak sampai sembilan hari kedepan untuk mengerjakan tugas kuliahku di sini. Aku tidur menumpang kepada salah satu warga kenalan kawan kuliahku, yang juga berasal dari Bangka. Katanya itu adalah rumah seperadik [2] -nya. Pintu kamar yang menjadi tempat tidurku sementara tiba-tiba diketuk dari luar. Aku menghela napas, mencoba meraih gagang pintu dan membiarkan sinar lampu di ruang tengah masuk ke d...

Nugget

Pernah berpikir untuk masak nugget goreng yang dicocol dengan cuko ? Itu yang Bene lakukan. Aneh, iya. Tapi Bene tidak akan peduli dengan komentar orang, karena toh dia sekarang ada di kontrakannya. Sendirian. Setelah berkutat dengan kertas-kertas laporan praktikumnya selama satu semester, Bene bisa beristirahat sejenak. Gadis itu tidak pergi ke luar kontrakannya, kecuali untuk membeli makan atau bahan masakan. Keinginannya untuk naik gunung setiap liburan juga harus kandas. Alasanya sederhana, karena ia tidak punya teman untuk naik ke atas sana. Jika kalian semua mendorong gadis itu untuk pergi sendiri,             “Terima kasih.” Dua kata itu akan keluar dari bibirnya yang sedikit kering. Saran dari kawan-kawan dekatnya, biarkan saja Bene asyik dengan dunianya. Ia bisa saja pergi ke Bandung sekarang juga, atau ke Jakarta. Tapi buat apa? Ia tidak mau menghabiskan lebih banyak uang beasiswa yang baru cair satu pekan lalu...