Pawang
Hujan
Lagi-lagi
bertemu dia di belokan gang rumahku. Seorang perempuan paruh baya yang selalu
menggunakan pakaian merah hitam, dengan aksesoris kepala dan kalung yang cukup
heboh. Tangannya selalu memegang mangkuk dan tumbukan, mulutnya komat-kamit membaca
mantra. Aku selalu takut setiap bertemu dengan perempuan itu. Macam orang gila
saja atau kadang terlintas dipikiranku dia seorang penjahat yang menyamar.
Baru-baru ini pun setelah muncul kabar tentang intel dari negara atau
kepolisian membuat aku curiga ia juga seorang intel yang memata-matai keluarga
di perumahan ini. Namun kedatangannya satu bulan lalu diyakini penduduk hanya
sebagai ‘pawang hujan’. Aneh memang dan aku tak mau memercayainya.
Entah
apa yang membuat Mak Jan -panggilan pawang hujan itu, datang ke lingkungan
perumahan kami. Padahal kami tidak pernah punya masalah dengan hujan. Banjir
tidak pernah juga, kerugian yang didatangkan mentok-mentok tidak bisa main ke
luar rumah. Entah siapa pula yang memanggil Mak Jan ke perumahan kami. Cukup
mengherankan karena rata-rata masyarakat di sini rajin beribadah ke masjid dan
tak percaya dengan dukun atau tahayul.
“Bukankah
dia seharusnya kita usir? Sangat mengganggu kenyamanan masyarakat.” Ucap salah
seorang warga dalam pertemuan rutin yang digelar karang taruna dekat perumahan.
“Entahlah,
saya juga bingung dia mau ngapain di sini. Kalau dibilang mengganggu kenyamanan
sih, tidak juga. Orang dia hanya komat-kamit enggak jelas di depan gang.” Kali
ini bapak-bapak berkumis tebal berpendapat.
“Komat-kamit
membaca mantra juga membuat warga resah, pak. Kita di sini semuanya beragama,
siapa pula yang percaya dengan kekuatannya menahan hujan turun. Seharusnya
hujan itu datang dan menyuburkan bumi Allah ini, eh dia malah menahan di sini.
Rugi juga kita kalau cuaca tidak normal.” Kembali pemuda tangguh yang
sebelumnya berkata.
“Loh,
jadi kamu percaya dia bisa menahan hujan?”
“Aduh,
enggak tahulah! Yang pasti saya rasa dia perlu diusir.”
“Tapi
kalian tidak heran? Sebulan setelah kedatangan dia, benar-benar tidak ada air yang
turun dari langit. Jangan-jangan dia memang punya kekuatan untuk menahan
hujan.” Seorang anak SMA menyusupkan pemikirannya ke dalam organisasi, membuat
orang-orang mulai berpikir lagi.
“Sudahlah
kita bahas yang lain saja. Bagaimana dengan kegiatan kita, apakah sudah
mendapat persetujuan dari RW?” pemimpin pertemuan mengembalikan jalan diskusi.
Mereka berhenti membahas Mak Jan begitu pun aku yang juga masuk dalam
organisasi ini.
***
Hari
jumat pukul satu siang, sehabis jumatan harusnya aku sudah membawa sepeda motor
bututku ke lokasi kegiatan karang taruna. Kami akan mengadakan diskusi final
terkait pembangunan kampung hijau yang akan dilaksanakan secara gotong royong
pada hari minggu ini. Yah, walaupun perumahan, kami tetap saja orang-orang kampung.
Berbeda dengan selebritis media sosial yang tinggal di rumah milyaran dan suka
buang-buang uang. Kami sebagai organisasi yang berdiri untuk masyarakat harus
juga membangun masyarakatnya, membangun kampung, supaya lebih berkelas sedikit
dari RW sebelah.
Sayangnya
dan sangat tidak diduga hujan turun amat lebat. Memaksaku dan Ridho terjebak di
teras masjid sambil keheranan. Ini masih bulan empat, mana mungkin sudah turun
hujan selebat ini. Lagipula seperti satu bulan belakangan harusnya hujan tidak
turun karena ada Mak Jan. Apakah pawang hujan itu sudah tidak ada lagi?
“Mak
Jan gimana, sih? Giliran kita ada kegiatan besar malah pergi.” Gerutu Ridho
seakan tahu apa yang aku tanya dalam hati.
“Eh,
jangan kayak gitu. Berarti kita percaya dong sama pawang hujan. Kemarin
kan kita sudah ikut pengajian tentang Mak Jan dan dukun-dukun lainnya. Mungkin
Mak Jan masih nongkrong di sana, cuma hari ini Allah berkehendak untuk
menurunkan hujan.” Kataku sok bijak, padahal tadi pun sempat terlintas pikiran
seperti Ridho.
“Aih,
terus kita gimana, Hab? Masa kita nunggu di sini? Mau sampai kapan?” Ridho
bertanya bertubi-tubi membuatku bingung menjawabnya.
“Palingan
hujan kayak gini sebentar doang,”
Cetar!
Terlihat
kilat menyambar disertai bunyinya yang memekakkan telinga, tepat di depan kami.
Aku dan Ridho terkejut bukan main, langsung lari masuk ke masjid. “Mana mungkin
sebentar kalau sudah ada kilat.” Sanggah Ridho sambil mengelus-elus dada.
Langit
benar-benar gelap, kilat semakin liar berlari-lari. Seakan sedang ada
pertandingan seru di atas sana. Suara guntur juga saling bersahut-sahutan.
Mengatakan kepada kami dengan tegas ‘kami tidak akan membiarkan kalian pergi!’.
Angin mulai menusuk-nusuk baju kokoku yang tipis. Ia juga ikut-ikutan ribut di
luar masjid, membuat jendela kayu di sisi-sisi menjadi terbanting. Cuaca gila
seperti ini sudah lama tidak hadir dalam kampung kami. Setidaknya tepat ketika
Mak Jan datang.
Ruangan
masjid yang terbilang kecil ini bahkan tak terang ketika lampu dinyalakan,
saking gelapnya sekitar. Ah, harusnya kalau begini aku sudah di rumah sambil
tidur berkemul atau mengaduk mi instan lengkap dengan dua cabai, telor setengah
matang, dan kornet. Jendela-jendela kayu ditutup oleh orang-orang yang juga
terjebak bersama kami. Hampir semua jamaah masih setia menunggu hujan reda.
Tentu saja karena hampir semua jamaah berpergian dengan kaki atau sepeda
motornya. Hanya satu dua orang -yang dinilai berada, menggunakan mobil dan
pulang dengan santai ke rumah. Mungkin orang-orang bermobil itu sekarang sudah
asik menyantap mi, menyeduh air jahe hangat, atau memimpikan hal-hal indah.
Jamaah
yang bosan menunggu mulai membuat kelompok-kelompok kecil. Membicarakan hidup,
rumah tangga, sekadar melepas waktu yang mereka punya saat ini. Aku dan Ridho
juga memutuskan untuk bergabung dengan kelompok remaja yang terdiri dari banyak
macam. Tak sedikit pula yang memilih untuk mengambil Al-Qur’an, mengaji dengan
suara kecil dan amat khusyuk.
Kumpulan
remaja itu terdiri dari delapan orang termasuk kami berdua. Ada Bujeng -nama
aslinya Randika, sebagai ketua remaja masjid yang sebenarnya tak begitu alim. Hanya
saja dia memang jago untuk memimpin orang-orang. Lalu ada Dimas dan Harun yang
juga anggota remaja masjid. Ada pula anggota karang taruna yang sama dengan
kami, Ical dan Ahdan. Dua lainnya hanya remaja biasa yang menghabiskan waktu
membantu orang tua, belajar, atau nongkrong sana-sini. Mereka adalah Ucup dan
Jeri.
“Aku
memang tidak melihat Mak Jan saat berangkat ke sini. Sepertinya kekuatan Mak
Jan menahan hujan memang tidak bisa kita sepelekan.” Topik dimulai oleh Jeri
dengan bahasan pawang hujan depan belokan gang rumahku.
“Yeah,
mau dibilang sama ustad berkali-kali pun kalau kenyataannya begini mau tidak
mau aku jadi percaya juga. Bagaimana bisa, ya dia menahan hujan begitu?” Bujeng
bertanya sambil memegang dagunya. Seakan berpikir sangat keras.
“Benar
juga yang kalian bilang, lagipula pawang hujan itu sudah ada sejak dulu.
Menjadi budaya dan kearifan lokal Indonesia. Sudah sepatutnya kita percaya hal
mistis seperti itu. Kalian tahu? Bahkan waktu pejabat kota sedang mengadakan
acara yang mengundang banyak pejabat lainnya, beliau diam-diam mengundang
pawang hujan. Bayarannya fantastis, setidaknya lebih besar dari gaji
bapak-bapak kita!” Ical menanggapi dengan antusias.
“Kalau
tidak salah mereka memang punya hubungan dengan dunia gaib. Melihat cara Mak
Jan menahan hujan, setiap hari dia suka sekali membawa mangkok dan pengaduk.
Kalau isi mangkoknya sih, aku juga kurang tahu. Mungkin Wahab tahu, nih. Setiap
hari dia kan lewat depan Mak Jan biar bisa pulang ke rumah.” Kali ini Ridho
berpendapat sambil menyenggolku. Aku hanya nyengir, membiarkan teman-temanku
yang lain untuk bicara. Padahal aku tahu mereka menunggu sekitar dua puluh
detik untuk mendengarkan aku membeberkan isi mangkok Mak Jan, yang bahkan aku
pun tak pernah mengintipnya.
Cetar!
“Astaghfirullahal’adzim!”
serempak kami berdelapan mengucapkan istighfar setelah kilat lewat tepat di
tengah-tengah lingkaran yang kami buat. Untuk beberapa saat lamanya kami masih
terdiam, lantas saling menatap wajah satu sama lain dan tertawa. Bahkan kami
perlu ditegur dulu oleh jamaah lain karena terlalu berisik mengejek wajah pias masing-masing.
“Halah,
kalian ini kalau masih ngucap jangan diterusin bahasan syiriknya. Allah langsung
negur, kan.” Harun berkata setelah sekian tawa kami.
“Tapi,
Run inilah kenyataannya! Nenek aku juga di rumahnya dipasang lidi yang
ditusuk-tusuk dengan bawang merah dan cabe. Hasilnya? Tidak ada air setetes pun
yang jatuh!” Ical masih antusias walau kilat bersiap untuk ikut nimbrung
percakapan kami.
“Ya,
mungkin saat itu lagi musim kemarau.” Aku menjawab sekadarnya.
“Ini
juga harusnya masuk musim kemarau, masa sudah hujan selebat ini?” Ucup
bertanya, mendukung argumen Ical.
“Gimana
kalau kita buktiin aja sekarang? Kita pergi ke depan gang Mawar, apakah di situ
beneran ada Mak Jan atau enggak?” kini Jeri menantang untuk membuktikan siapa
yang benar.
“Bisa
saja Mak Jan emang gak ada di tempat karena udah tahu hujan lebat. Dia peramal
cuaca kali atau lihat di gawainya.” Harun tak sependapat.
“Enggak,
hujan turun gini karena Mak Jan enggak ada. Bukan kayak skenario yang kamu
pikir.” Ahdan mulai terpengaruhi oleh argumen Ucup, dia siap untuk berangkat.
Aku
dan Ridho saling pandang. Seakan mengerti apa yang dipikirkan lantas kami juga
beranjak dari duduk. Toh, lebih baik menerobos hujan daripada berdiam diri di
sini. Sekalian iseng mengecek Mak Jan aku juga jadi bisa pulang. Tak apalah
hujan-hujanan, untuk laki-laki sudah biasa. Kalau pun tidak bertemu Mak Jan,
aku bisa mengecek dulu apakah kegiatan karang taruna tetap dilaksanakan atau
ditunda sampai reda.
“Jadi
siapa saja, nih yang ikut?” tanya Ical sebagai pemimpin observasi. Aku, Ridho,
Jeri, Ahdan, dan Bujeng mengangkat tangan. Sedangkan Harun dan Dimas memilih
untuk berdiam diri di masjid sambil mengisi hati dengan lantunan Qur’an.
Sebelum
benar-benar pergi dari percakapan, guntur bergemuruh dari luar. “Aku sudah
ingatkan, ya jangan percaya dengan hal begituan. Kalau kalian disambar petir di
tengah jalan kami tidak heran lagi, sih.” Harun berkata tak acuh sambil
mengangkat kedua bahunya. Dimas segera mengambil kitab suci dan mencari tempat
yang cukup nyaman untuk bermesraan dengan Tuhan. Aku mulai berpikir, apakah
harusnya aku tidak ikut saja? Aku juga mulai berpikir, apakah harusnya yang
menjadi ketua remaja masjid bukan Bujeng, melainkan Harun atau Dimas?
***
Basah
kuyup sekujur tubuhku sesampainya di rumah pukul setengah tiga. Setelah cukup
lama menunggu hujan yang tak kunjung reda di masjid, serta membuktikan apakah
benar Mak Jan punya kekuatan mistis menangkal hujan? Aku yang membonceng Ridho
mengecek perkumpulan karang taruna terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk
mengantar Ridho dan pulang ke rumah. Aku parkirkan sepeda motor di garasi yang
tak begitu luas, lantas masuk melalui pintu samping. Air menetes lewat
rambut-rambutku membuat lantai ikutan basah. Segera ku menuju kamar mandi,
membuka pakaian dan bersiap mengguyurkan segayung air segar ke tubuhku.
Di
luar sana masih hujan, namun tak selebat saat pukul satu siang tadi. Kilat
masih menyambar sesekali, angin mulai jinak dan tidak lagi mengganggu jendela
atau pintu yang tidak dikunci rapat. Siang tadi sesampainya kami di depan gang
rumahku sama sekali tidak ditemukan Mak Jan komat-kamit seperti pada hari
biasanya.
“Sudah
kubilang ini pasti karena Mak Jan tidak hadir,” ucap Ical. “Apakah Mak Jan
sudah diusir dari kampung ini? Bisa-bisa kampung kita yang tidak pernah banjir,
karena hilangnya Mak Jan jadi banjir bandang!” lanjutnya.
“Jangan
begitu, Cal. Kalau sampai beneran aku dan keluarga mau tinggal di mana? Rumahku
tidak bertingkat seperti Pak Jono dan keluarganya. Nanti bukan hanya harta
benda yang terseret dan hilang, nyawaku pun bisa ikutan.” Jeri berkata dengan
raut wajah yang ketakutan. Aku hanya nyengir melihat percakapan mereka.
“Ya,
mungkin Mak Jan cuma sakit. Besok pasti sudah cerah lagi.” Kata Ahdan
menyenangkan dirinya sendiri.
“Tapi
berdasarkan diskusi karang taruna waktu itu, bukankah sudah ada warga yang
menginginkan Mak Jan untuk diusir?” tanya Ridho.
“Sudahlah,
kan kita sudah membuktikan kebenarannya. Lebih baik sekarang kita pulang. Bukan
Mak Jan nanti yang sakit malah kita berenam. Mari, aku duluan, ya!”
Bujeng
yang pamit membuat kami memutuskan untuk pulang juga. Berdasarkan observasi
yang kami lakukan ternyata memang benar hujan ini datang karena Mak Jan tidak
menjalankan ritualnya di belokan gang rumahku. Entah beliau sakit, pindah, atau
diusir itu bukanlah menjadi urusanku. Walau demikian pernyataan mengenai pawang
hujan dan kesaktiannya membawaku dalam kebingungan sampai sekarang.
Hujan
terus membungkus kampung dan perumahan kami. Hanya berhenti sebentar lalu
diteruskan dengan rintik-rintik kecil. Bahkan hingga besoknya awan mendung tak
mau beranjak dari langit. Mereka tidak membiarkan sinar matahari barang sedikit
saja untuk menghangatkan tubuh kucing jalanan yang meringkuk kedinginan. Akibat
hujan yang tidak diduga-duga ini tukang sayur langganan jadi tidak bisa datang,
ibu-ibu juga tidak bisa ke pasar, beberapa anak sekolah memilih untuk bolos
karena malas berangkat. Untungnya sekolahku juga sedang libur. Hari ini hari
terakhir ujian kelas dua belas.
Aku
tinggal bersama ibuku saja. Bapak sudah meninggal lama, sedangkan kakakku
satu-satunya sedang merantau ke negeri orang. Jarak kami tiga tahun, kira-kira
sekarang dia sedang menyelesaikan semester empat atau lima perkuliahannya dan
akan lulus sebentar lagi. Dari minggu kemarin ibu terus sakit-sakitan, batuk,
demam, juga ibu bilang sedikit sesak napas. Kami sudah mencoba ke rumah sakit
dan membeli beberapa obat atas saran dokter, tapi entahlah yang kulihat kesehatan
ibu memburuk. Sebenarnya pula ibu sudah
begini sejak lama, mungkin saat aku duduk dibangku SMP. Tapi semakin hari
penyakitnya semakin parah, ditambah lagi beliau yang menafkahi keluarga ini. Membuka
usaha katering dan aku terkadang membantu untuk mengantarkan pesanan.
Perasaan
cemas terus hadir di hatiku karena memikirkan kemungkinan terburuk mengenai
hidupku ini. Setiap aku bertanya kondisi ibu, beliau bilamg baik-baik saja
padahal aku tahu beliau sedang menderita. Aku selalu melarangnya untuk bekerja
seminggu terakhir. Tabunganku masih cukup untuk membeli kebutuhan pokok, begitu
pula dengan tabungan milik ibu. Kadang kalau memang ada pesanan penting aku
yang membuatkannya, yah masakanku tidak seburuk yang dikira orang. Tentunya aku
sudah belajar dan diajari ibu bertahun-tahun lamanya.
“Hab,
tolong kamu belikan daging di pasar! Sama bawang merah, cabai keriting, dan
pala. Ada orang yang pesan makanan untuk besok. Stok kita sudah habis.” Pinta ibu
saat mengecek bumbu dapur. Aku segera beranjak dari tidurku dan mengambil jaket
yang belum kucuci sejak dua minggu kupakai. Toh, tidak bau juga.
“Hati-hati
di jalan, ya! Pakai jaket atau jas hujan, dari kemarin hujannya awet sekali. Padahal
akhir-akhir ini panas terus.” Lanjut ibu sambil melihatku yang hendak pergi.
“Karena
enggak ada Mak Jan, Bu. Kemarin kami juga batal kumpul buat kegiatan karang
taruna gara-gara hujan lebat sekali. Waktu dicek di belokan gang kita, Mak Jan
tidak menahan hujan seperti biasanya.” Aku berkata seenaknya, menjawab rasa
penasaran ibu.
“Hush,
enggak boleh gitu, Hab! Kamu ini percaya Allah atau Mak Jan? Syirik namanya
kalau kamu percaya sama Mak Jan. Dosa besar itu, nanti salatmu enggak diterima
empat puluh hari mau?”
“Bercanda,
Bu. Aku pergi dulu, ya!” sahutku kemudian. Ibu hanya geleng-geleng kepala dari
dapur.
***
Hari
ini hari Senin, matahari bersinar seperti hari-hari sebelum jumat. Sebenarnya
aku tak mau percaya dengan kekuatan Mak Jan, tapi mau bagaimana lagi? Saat aku belanja kepasar di hari Sabtu, hujan
masih saja turun. Bahkan hingga malam harinya. Secara kebetulan atau memang
karena kekuatan magisnya, Mak Jan tidak ada di belokan gang rumahku.
Benar-benar tidak ada! Beberapa kali aku mengecek, saat belanja ke pasar, saat
berkumpul bersama anggota karang taruna membahas kegiatan hari Minggu, saat jajan
malam bersama Ridho, sama sekali tidak ada Mak Jan dan hujan terus saja turun.
Ya, walaupun saat malam hujan hanya rintik-rintik saja dan reda sekitar pukul
setengah sembilan.
Sedangkan
pada hari Minggunya, pagi-pagi sekali secara mengejutkan matahari menyembul
dari balik rumah terujung dan tertinggi. Pasukan karang taruna yang sudah
mempersiapkan rencana B untuk kegiatan kampung hijau karena hujan berturut
selama dua hari, menjadi super semangat sekaligus terheran-heran. Aku yang
penasaran segera saja berlari menuju belokan gang rumah dan menemui Mak Jan
yang sedang komat-kamit membaca mantra. Sulit dipercaya tapi sulit juga untuk
tidak percaya.
Anggota
karang taruna yang lain saat aku menceritakan hal ini langsung terbagi menajdi
empat kelompok. Yang pertama memercayai kekuatan Mak Jan, yang kedua tetap
berpegang teguh dengan kekuasaan Tuhan, yang ketiga menggunakan ilmu
pengetahuan dengan bilang bahwa sekarang terjadi perubahan iklim yang tak
terkendali, dan kelompok terakhir yang memilih tidak peduli. Sedangkan aku
merasa bingung harus masuk ke kelompok yang mana. Untungnya bahasan itu
langsung dibubarkan oleh ketua karang taruna yang meminta kami untuk segera
bersiap-siap melaksanakan kegiatan gotong royong.
Hari
ini pun matahari bersinar seperti biasa dan aku mendapati Mak Jan lagi-lagi di
depan belokan gang rumahku saat ingin berangkat sekolah. Oleh karena hal itu
pula aku tidak membawa jaket, payung, atau jas hujan karena yakin hari ini
tidak mungkin turun hujan. Keyakinan tersebut terus menumpuk seiring dengan
matahari yang meninggi hingga membuat es teh di kantin sekolah laku terjual.
Sepulang sekolah aku menyempatkan untuk nongkrong bersama Ridho, Ahdan, dan
Bujeng di warung kopi murahan. Warung kopi itu melewati gang rumahku dan aku
masih melihat Mak Jan menjalankan pekerjaannya. Setidaknya cuaca masih sangat
cerah sampai pukul tiga sore.
***
Langit
kembali menumpahkan tangisnya. Disertai dengan amarah guntur dan tebasan kilat
serta angin yang ikut-ikutan ribut. Aku, Ridho, Ahdan, dan Bujeng sontak
terkejut mendapati cuaca yang tiba-tiba berubah drastis. Panas matahari yang
tadinya menyengat dan membuat kami memesan es kopi, berubah tiba-tiba menjadi
badai tak terkendali.
Padahal kami ingat betul, benar-benar dengan
mata kepala sendiri melihat Mak Jan berada di belokan gang rumahku. Membaca
mantra, mengaduk-aduk mangkoknya, memejamkan mata seperti khusyuk sekali
bekerja menahan hujan. Padahal kami berempat sudah berencana untuk langsung
pergi jalan lagi, menuntaskan dan memuaskan tiga hari sebelumnya yang
terkendala hujan dan kegiatan. Tapi apalah daya, langit tidak berkehendak. Mak
Jan tidak sehebat yang kami kira.
Aku
dan Ahdan yang penasaran mengajak kedua teman kami untuk segera mengecek
belokan gang rumahku. Mengejutkan bagi kami karena sesampainya di sana masih
berdiri Mak Jan dengan ekspresi panik, berusaha menenangkan badai. Air yang
deras membuat basah sekujur tubuh. Derasnya melebihi hari Jumat yang lalu. Berisik
guntur, angin, dan kejar-kejaran kilat juga lebih dahsyat dari Jumat yang lalu.
Aku mulai merasakan ada yang tidak benar dengan cuaca hari ini.
“Mak
Jan, bagaimana bisa hujan badai ini turun. Kau tidak membaca mantranya dengan
benar atau bagaimana?” tanya Ahdan sesampainya di depan Mak Jan. Suaranya ia
besarkan untuk mengalahkan berisik air menabrak jalanan.
“Pergi!
Pergilah hujan! Tapi aku tak bisa menahan segala air yang tumpah dan langit
yang mengamuk. Kekuatannya terlalu kuat, ada orang baik yang pergi. Perginya
tak bisa kutahan seperti aku menahan hujan. Perginya membuat air tumpah dan
langit mengamuk!”
Itulah
jawaban yang diberikan Mak Jan. Kami berempat terdiam dalam keheranan untuk
beberapa detik lantas memutuskan untuk meneduh di rumahku yang paling dekat
dengan posisi sekarang. Tidak mungkin kami menunggu kalimat lain dari mulut
pawang hujan itu. Daripada rasa penasaran, kami lebih tidak mau kena sambar
amukan langit di atas sana. Di rumahku nanti setidaknya kami bisa beristirahat,
mengeringkan pakaian dulu dan makan mi instan rebus dengan taburan cabai juga telur
setengah matang. Tidak apa-apa gagal jalan, kami masih bisa bersantai. Begitu pikirku,
sebelum akhirnya terjadilah apa yang dikatakan Mak Jan.
Hujan
tidak hanya terjadi di luar. Badai tak hanya mengamuk di kampung kami. Apa yang
dikatakan Mak Jan benar, tapi aku tak lagi memercayai kehebatannya. Bagaimana
bisa aku percaya? Mak Jan tidak mampu menadang hujan di luar sana, pun di dalam
sini. Bahkan hujan di dalam hatiku jauh lebih lebat dan mengamuk lebih dahsyat
tatkala kami sampai di rumah. Ibu sudah tergelatak tak berdaya di lantai ruang
tamu. Tangannya tampak memegang sofa, kakinya tertekuk, wajahnya sudah pucat,
dan detak jantung sudah berhenti.
Bukan
hanya di luar, tangisan langit menghipnotisku untuk ikut menangis dan berteriak
liar. Ketiga temanku terkejut pun langsung memeluk erat diriku. Tak ada kata
yang bisa mendeskripsikan hari itu. Aku hanya bisa mengatakan bahwa kejadian
itu seburuk cuaca hari itu pula. Aku berkali-kali memanggil ibu dan berusaha
untuk membangunkannya, nahas nyawa ibu sudah hilang. Seharusnya aku di rumah
ini dan menemani waktu terakhir ibu di dunia. Seharusnya aku tahu bahwa
penyakit ibu benar-benar serius dan melarang ibu untuk bekerja sabtu kemarin. Hatiku
hancur. Hari ini akan menjadi cuaca terburuk dalam hidupku dan kedepannya tak akan
ada lagi matahari.
Jika
kau bertanya padaku apakah aku percaya pawang hujan atau tidak? Maka aku akan
menjawab dengan tegas bahwa aku tidak memercayainya. Hujan di dalam hatiku
bahkan hingga hari ini belum mereda. Terkadang ia hanya rintik kecil, lebih
sering ia menjadi badai. Kalaupun kalian memintaku untuk percaya, maka
satu-satunya pawang hujan yang kupercaya adalah ibuku. Karena semenjak hari
itu, hujan terus turun. Semenjak hari itu pawang hujanku telah berpulang ke
rahmat Allah dan hujan tak akan pernah berhenti. Entah sampai kapan. Rintik,
hujan, dan badai dalam diri akan terus ada dan bersembunyi karena pawangnya
telah meninggalkan bumi.
Komentar
Posting Komentar