Langsung ke konten utama

Sudut Pandang : Ramadhan Bulan Berbagi Bukan Meminta-minta

 

Bulan Ramadhan identik dengan banyak kebaikan, identik dengan orang-orang saleh yang berlomba-lomba mencapai titik tertinggi sebagai seorang makhluk, yaitu takwa. Salah satu kegiatan yang sering dilakukan oleh orang-orang di bulan Ramadhan adalah berbagi, entah itu berbagi sedekah, takjil, sembako, atau makanan berat untuk makan malam dan sahur. Kegiatan berbagi baik di bulan suci ini atau di bulan-bulan lainnya merupakan perbuatan yang terpuji dan sangat dianjurkan oleh Rasulullah bahkan tertuang pula dalam ayat-ayat Al-Qur’an.

Namun yang akan menjadi perbincangan saya kali ini bukan tentang orang yang berbagi, karena sepertinya bahasan seperti itu sudah sering dibicarakan. Kali ini saya ingin membahas salah satu fenomena di Bulan Ramadhan yang akhir-akhir ini membuat saya merasa risih. Bukan membahas orang yang memberi tapi orang yang menerima. Sebelumnya saya akan menceritakan mengapa saya mengangkat topik ini baru setelahnya akan memberikan sudut pandang saya.

Setiap hari Sabtu pada bulan Ramadhan tepatnya pukul satu atau dua siang akan datang satu atau dua orang ibu-ibu yang terkadang membawa serta anaknya, ke rumahku. Ketika ditanyai mengapa datang, apakah hendak bertemu dengan kedua orang tuaku, maka mereka akan menggeleng dan menjawab “minta sedekahnya”. Saya tentu saja bingung menanggapi jawaban tersebut. Pada kali pertamanya saya bertanya kepada ibu saya lantas memberikannya uang sepuluh ribu. Jujur saja saya cukup iba jika melihat orang-orang datang ke rumah untuk meminta sedekah atau berjualan hal-hal kecil sedangkan mereka sudah cukup tua. Ditambah harus berjalan jauh, pasti itu hal yang sangat melelahkan terlebih lagi di bulan puasa. Tapi ketika melihat dua orang tersebut hati saya tidak tersentuh sama sekali.

Kedua kalinya mereka datang saya langsung berkata tidak punya uang dan tidak ada orang di rumah selain saya. Padahal saat itu mungkin saya masih mengantongi beberapa lembar rupiah, tapi tetap saja hati saya tidak terketuk untuk memberikannya. Sudah dua kali saya berhadapan dengan situasi dan orang yang sama. Seharusnya jika mereka masih ingin meminta sedekah bisa mencari rumah yang lain bukan? Berselang satu jam tiga puluh menit, salah seorang dari mereka datang kembali. Wah, tentu saja saya terkejut dan jengkel. Tanpa basa-basi saya katakana bahwa saya tidak punya uang dan sedang kerja kelompok.

Gayanya menggunakan jilbab, wajahnya memelas dan seperti letih sekali. Mengapa saya masih tidak terketuk untuk memberi? Bukankah memberi pada bulan Ramadhan merupakan hal yang terpuji dan bisa menambah pahala saya berkali lipat?

Yang pertama karena ibu saya bilang bahwa orang-orang tersebut setiap Sabtu selalu datang untuk meminta-minta. Yang kedua karena saat pertama kali saya memberikan uang sepuluh ribu, mereka ternyata tidak perlu berjalan kaki jauh dari tempat asalnya melainkan naik sepeda motor yang tepat diparkirkan di depan rumah saya. Yang ketiga karena saat penolakan saya pada hari kedua, oknum yang awalnya menggunakan jilbab ketika meminta di rumah saya, tiba-tiba terlihat sedang memainkan rambut pendeknya dan berjalan ke rumah di depan.

Jadi haruskah saya iba dan memberi uang yang saya punya kepada orang-orang yang meminta dengan membawa sepeda motornya itu? Kalau pun mereka ingin berbohong, apakah tidak bisa memarkirkan motornya agak jauh dari rumah atau sekalian saja tidak usah bawa motor. Mengapa tidak bekerja saja? Berjualan? Atau berusaha yang lain selain meminta-minta.

Saya kebetulan seorang siswa yang tergabung di organisasi sekolah dan kami mengadakan penggalangan dana untuk memberi sembako kepada warga yang membutuhkan. Bukankah seharusnya mereka merasa malu dengan orang-orang yang memang membutuhkan bantuan itu? Saat saya bertanya kepada salah satu kepala dusun mengenai pekerjaan para penerima sembako, beliau menjawab sebagian tidak bekerja karena sudah tua dan sebagiannya buruh harian. Atau tidakkah mereka malu kepada orang-orang yang walau terlihat kekurangan tetap menyedekahkan sebagian kecil usahanya? Sungguh menurut saya orang-orang tersebut lebih mulia ketimbang yang meminta-minta padahal jelas mereka masih bisa berusaha.

Fenomena ini merupakan penyakit sosial yang harus diberantas. Mengapa mendadak menjadi miskin ketika Bulan Ramadhan? Menggunakan kebaikan orang-orang saleh untuk memperkaya diri sendiri. Lantas apa yang bisa kita lakukan sebagai penduduk negeri dan generasi muda?

Menurut sudut pandang saya seharusnya kita tidak memberikan rasa kasihan dan menyedekahkan setiap kali orang-orang seperti ini datang. Ya, mungkin sekali dua kali bukan masalah, tapi jika dipelihara terus menerus maka hal inilah yang menjadikan orang-orang tersebut malas. Kita bukannya memberikan kebaikan, malah menjerumuskan mereka untuk terus melakukan kesalahan. Apabila kita memiliki keberanian lebih tentunya kita bisa menegur atau memberinya nasihat untuk tidak terus meminta-minta. Saya ingat sekali perkataan guru SMP saya,

           

Jangan pernah kalian menjadi tukang minta dan tukang curi, itu adalah dua pekerjaan yang menghinakan. Jangan biasakan kalian meminta dan mencuri di bangku sekolah, dengan mencontek kepada teman saat ulangan.

Mungkin saat itu, kalimat guru SMP saya hanya cocok untuk bangku sekolah. Tapi kini saya menyadari bahwa hal itu benar. Perilaku meminta dan mencuri bisa jadi merupakan buah dari kebiasaan kita di sekolah untuk menyalin atau mencontek jawaban teman-teman. Hal itu terus terlatih, apalagi jika teman-teman kita memberinya dengan cuma-cuma. Begitupula dengan perilaku orang-orang di Ramadhan ini, jika kita terus memberinya cuma-cuma dan tidak meluruskan perbuatan mereka maka akan menjadi kebiasaan dan membuat lingkungan sekitar berpenyakit sosial.

Selanjutnya kita bisa melakukan penggalangan dana dan memberikannya kepada warga yang memang membutuhkan, entah berdasarkan data dari kepala desa, memberikannya kepada yayasan, atau berbagi kebahagiaan di jalanan. Selain mengurangi risiko tidak tepat sasaran kita juga bisa melatih diri untuk terbiasa memberi bukan menerima. Kita bisa terhindar dari sifat meminta-minta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi : Novel Nebula Karya Tere Liye

Novel “NEBULA” Karya Tere Liye :  Rahasia Pengintai Terbaik dan Kembalinya Musuh Lama Oleh : Lubna Anfaresi Judul                : NEBULA Penulis             : Tere Liye Penerbit             : Gramedia Pustaka Utama Kota Terbit       : Jakarta Cetakan II        : April 2020 Ketebalan         : 376 halaman Pendahuluan             Serial Bumi merupakan salah satu serial yang dikeluarkan oleh penulis Tere Liye dan berhasil menarik minat pembaca di tanah air. Serial fantasi ini sudah memiliki sembilan seri dengan seri terbaru berjudul “NEBULA”. Sama seperti seri sebelumnya yang berjudul “SELENA”, seri ke-9 ini menceritakan kisah dari sudut pandang Selena sebaga...

Masak, Makan, Lempah Kuning

  Masak, Makan, Lempah Kuning “Wew, banyak kenek ge. Basing ka lah pon!” [1]             Ucapan dari Ami, gadis Bangka yang sudah kutemui sejak lima hari bertugas di daerah ini, terus terngiang di antara malam-malam sepi di kamar berukuran lima kali tujuh meter. Suaranya begitu tinggi, mencekam, dan rasanya penuh kebencian. Raut wajahnya yang mengerut itu terus terbayang, juga ucapan dengan bahasa yang aku tidak mengerti sama sekali. Jauh dari mal perbelanjaan, kafe yang selalu ramai, atau sekadar lalu lintas kota Yogya, aku terjebak sampai sembilan hari kedepan untuk mengerjakan tugas kuliahku di sini. Aku tidur menumpang kepada salah satu warga kenalan kawan kuliahku, yang juga berasal dari Bangka. Katanya itu adalah rumah seperadik [2] -nya. Pintu kamar yang menjadi tempat tidurku sementara tiba-tiba diketuk dari luar. Aku menghela napas, mencoba meraih gagang pintu dan membiarkan sinar lampu di ruang tengah masuk ke d...

Nugget

Pernah berpikir untuk masak nugget goreng yang dicocol dengan cuko ? Itu yang Bene lakukan. Aneh, iya. Tapi Bene tidak akan peduli dengan komentar orang, karena toh dia sekarang ada di kontrakannya. Sendirian. Setelah berkutat dengan kertas-kertas laporan praktikumnya selama satu semester, Bene bisa beristirahat sejenak. Gadis itu tidak pergi ke luar kontrakannya, kecuali untuk membeli makan atau bahan masakan. Keinginannya untuk naik gunung setiap liburan juga harus kandas. Alasanya sederhana, karena ia tidak punya teman untuk naik ke atas sana. Jika kalian semua mendorong gadis itu untuk pergi sendiri,             “Terima kasih.” Dua kata itu akan keluar dari bibirnya yang sedikit kering. Saran dari kawan-kawan dekatnya, biarkan saja Bene asyik dengan dunianya. Ia bisa saja pergi ke Bandung sekarang juga, atau ke Jakarta. Tapi buat apa? Ia tidak mau menghabiskan lebih banyak uang beasiswa yang baru cair satu pekan lalu...