Langsung ke konten utama

Cerpen: Semangkuk Bakso

 

Semangkuk Bakso

Pak Sony adalah penjual bakso kaki lima sejak tiga tahun yang lalu. Baksonya terbilang sangat laku di kalangan penjual kaki lima lainnya. Terkadang beberapa pedagang yang iri membuat cerita atau fitnah mengenai dagangannya. Ada yang bilang daging yang dipakai untuk bakso dari tikus, ada yang bilang pakai penglaris, dan ada juga yang bilang Pak Sony mengambil resep dari almarhum Pak Suki yang dulu pernah berjualan di tempat yang sama. Konon bakso Pak Suki juga digemari oleh orang-orang yang mencari kehangatan dan kenikmatan kaldu sapi.

Tentu saja semua hal itu tidak benar. Pak Sony tak perlu bersusah payah melawan semua cerita-cerita jahat tentang dirinya. Ia yakin bahwa Allah akan memberikan balasan kepada orang-orang yang telah menjelekkan dirinya. Ia juga yakin apabila yang dilakukannya benar maka tak ada yang perlu dirisaukan. Namun anehnya beberapa hari terakhir penjualan Pak Sony menurun. Hasil jualannya tidak untung, bahkan untuk balik modal pun tidak cukup. Ditambah lagi harga barang pokok sekarang naik, membuat Pak Sony kebingungan dengan uang yang ia punya. Tabungannya memang masih ada, tapi jika terus begini apakah cukup untuk menghidupi keluarganya?

Sekarang sudah pukul delapan malam, sedari pagi hanya ada lima orang yang mengunjungi dagangan Pak Sony. Dua remaja SMA yang baru pulang sekolah, satu anak kuliahan yang meminta untuk dibungkus, dan dua pekerja kantoran di jam makan siang. Bukan hanya Pak Sony yang heran, para pelanggan pun ikut-ikutan bertanya kepadanya. Begitupula dengan sahabat dagangnya yang berada tepat di samping lapak Pak Sony.

“Dari kemarin sepertinya daganganmu tidak laku seperti biasa, Son! Ada apa? Apakah kemahiranmu menurun?” tanya Pak Badudu yang menjual martabak.

            “Entahlah, aku juga heran. Mungkin di seberang sana atau di dekat sini ada toko bakso yang baru buka, jadi banyak yang mengunjungi toko itu.” Jawab Pak Sony dengan lesu. Ia harus merasa puas dengan mengantongi seratus lima ribu rupiah untuk hari itu.

            “Ya, aku dengar-dengar memang ada toko baru sih. Tapi bakso kau, kan se-legendaris itu. Masa hanya karena ada toko baru jadi tidak laku lagi? Atau jangan-jangan penglarismu sudah tidak mujarab, ya?” kali ini Agung, pembantu Pak Badudu bertanya. Segera saja ia ditimpuk serbet oleh Pak Badudu yang menyebutnya tidak sopan.

            Pak Sony nyengir mendengar pertanyaan Agung, “yah, mungkin saja penglarisku tidak sekuat penglaris toko baru itu.” Balasnya sambil mengangkat kedua bahu.

            “Betul itu, Pak Sony. Kalau bapak, kan penglarisnya cewe rambut panjang dengan wajah mengerikan dan badan setengah busuk. Beda dengan toko yang di sana. Cewenya cantik, ada tahi lalat di bawah bibirnya, kalau senyum manis sekali, yang terpenting dia manusia bukan setan.” Agung melanjutkan candaannya lantas disambut tawa dari Pak Sony dan Pak Badudu. Sayangnya percakapan itu terhenti ketika pelanggan datang untuk membeli martabak dengan porsi yang cukup banyak. Mungkin tiga laki-laki berumur dua puluhan itu sedang mengadakan pesta dengan teman-temannya hingga terlihat rakus sekali membeli enam kotak martabak.

            Malam semakin larut, udara pun dengan tega menusuk-nusuk baju tipis Pak Sony. Membuatnya mulai kedinginan. Awan mendung yang sedari tadi mengukung kota akhirnya menurunkan kesahnya. Rintik hujan mulai membasahi aspal yang rusak. Membuat cipratan air ke gerobak dan lapak milik Pak Sony. Seperti halnya sebuah rasa, rintik kecil itu kian membesar. Hujan turun semakin lebat bahkan angin pun ikut bergabung dalam pesta langit malam itu. Alhasil Pak Sony, Pak Badudu, dan Agung harus rela terjebak hujan malam ini yang tak tahu akan berakhir sampai kapan.

***

            Sejak percakapan terakhir mereka, Pak Badudu dan Agung banyak mendapat pesanan. Berbeda dengan Pak Sony yang masih menelan pil pahit atas penjualannya hari ini. Padahal cuaca sudah sangat mendukung untuk membeli semangkuk bakso. Dia kira isyarat langit akan membawakan setidaknya lima atau sepuluh pelanggan lagi. Keheranan Pak Sony itu akhirnya membawa dia untuk mengambil mangkuk dan mulai memasukkan komponen bakso. Pak Sony memasukkan mie putih dan kuning, lantas dua centong kuah kaldu sapi ia siram di atasnya. Lima pentol bakso kecil yang empuk dan berserat ditambahkan. Tak hanya itu Pak Sony pun mengambil dua iga sapi yang terbisu sejak pagi hari. Beberapa tetelan yang terikut pada kaldu pun tak ia pedulikan. Daun sop yang masih segar dan tersimpan dalam wadah, ia potong lalu menaburkannya ke atas bakso yang hampir sempurna. Bawang goreng sebagai pelengkap serta terakhir sedikit kecambah untuk menambahkan tekstur. Selesai!

            Slurp,

            “Ah, nikmatnya,” uap panas yang mengepul dan kuah hangat yang meluncur lewat tenggorokan, menentramkan hati Pak Sony. Suasana ini sungguh membuat siapa pun dapat terbang menuju kilasan waktu-waktu indah. Herannya waktu indah tersebut menyeret pemilik kenangan untuk bersedih, karena hal itu tak mungkin terjadi lagi. Kalau pun terjadi rasa yang ada akan berbeda. Waktu, manusia, dan perasaan yang berbeda akan membuat kenangan yang berbeda pula.

            Semangkuk bakso yang Pak Sony santap masih menyisakan mie dan iga, ketika seorang gadis yang sudah kuyup oleh hujan datang ke gerobak kaki limanya. Gadis itu seperti dirundung habis-habisan oleh langit malam ini. Rambut sebahunya telah acak-acakan, sepatu putih pun telah bercampur baur dengan warna bumi. Gadis itu hanya mengenakan gaun selutut tanpa lengan berwarna merah muda yang lembut. Lengannya ia lapisi dengan kemeja berwarna senada. Lebih buruknya lagi bukan hanya sekujur tubuh yang basah, namun matanya pun sembab merah seperti telah terjadi badai di dalam hati. Pak Sony lantas berdiri kaget dan langsung melayani gadis itu. Sambil membawa mangkuk bakso yang belum habis Pak Sony berkata kepada gadis itu,

            “Akan saya buatkan semangkuk bakso ternikmat. Silahkan duduk, nak!”

            Gadis itu hanya terdiam membisu, mengatur emosinya. Selang berapa detik kemudian ia duduk di kursi plastik butut. Badannya menggigil kedinginan. Wajahnya ia tutup dengan rambut dan kedua tangan, lantas tetap diam. Pak Sony tentu kebingungan dengan gadis itu. Tapi naluri ke-bapak-annya mengatakan bahwa ia harus membuat semangkuk bakso ternikmat dan terlengkap beserta satu gelas teh manis hangat. Segera saja Pak Sony menyiapkan hidangan itu walau tidak diminta. Biarlah semangkuk bakso dan teh manis hangat ini ia berikan cuma-cuma. Toh, daripada ia bawa pulang masih menyisakan banyak lebih baik ia berbagi untuk yang membutuhkan.

            Tidak perlu waktu lama, semangkuk bakso lengkap dengan iga dan tetelan serta segelas teh hangat telah terhidangkan di meja pelanggan. Uap kuah bakso mengepul, membawa harumnya kaldu sapi. Membuat siapa pun tergoda untuk menghabiskan lima pentol bakso kecil dan satu pentol besarnya. Gadis itu masih terdiam, namun sudah mengganti posisinya. Begitu pula dengan hujan, ia sudah mulai menjadi rintik kecil. Angin yang semula ikut mencari gara-gara akhirnya membisu juga. Walau demikian hawa dingin masih terus menyelimuti gerobak kaki lima Pak Sony.

            Waktu telah menunjukkan ke angka sepuluh, meminta semua penduduk untuk pulang ke rumah masing-masing dan beristirahat untuk menyambut esok hari. Begitu pula yang dilakukan Pak Badudu dan Agung, mereka bersiap-siap untuk menutup gerobaknya malam ini. Sudah tidak ada lagi pesanan dan pula mereka memang sudah dijadwalkan untuk tutup sekarang. Namun sebelum pulang, Pak Sony menyempatkan membungkus masing-masing dua porsi bakso untuk mereka.

            “Pak Sony tidak pulang juga?” kata Agung sambil menerima dua bungkus bakso untuknya.

            “Saya masih ada pelanggan, kalian duluan saja.” Jawab Pak Sony sambal menunjuk ke arah gadis bergaun merah muda tadi.

            “Baiklah kalau begitu, apakah Pak Sony tidak mau kami temani?” kali ini Pak Badudu yang bertanya.

            “Tidak usah, keluarga kalian di rumah pasti sudah menunggu. Duluan saja, kalian juga sudah mengantuk.”

            “Baik, terima kasih Pak Sony atas baksonya. Semoga besok-besok jualanmu laku. Ini benar tidak usah bayar, kan? Saya sebenarnya tak enak hati,”

            “Alah Pak Badudu bisa saja pura-pura tak enak hati. Hahahaha kalau senang hati jangan disembunyikan, pak.” Celetuk Agung. Pak Badudu menginjak kaki Agung untuk menutup mulutnya. Lantas memarahinya karena tidak sopan. Pak Sony tersenyum melihatnya seraya berkata,

            “Tak apa, senang bisa berbagi bersama kalian berdua. Hati-hati di jalan, ya!”

***

            Gadis dengan gaun merah muda itu meraih mangkuk bakso yang terus menggodanya sejak pertama kali dihidangkan. Cuaca yang dingin dan perut yang lapar turut memprovokasi diri untuk menghirup kuah kaldu sapi yang nikmat.

            Slurp!

            Bagaikan dihipnotis, mata gadis itu sontak membulat. Kuah kaldu yang hangat masuk melalui tenggorokan, membasahi lambung yang sedari tadi minta diisi. Sensasinya membuat siapa pun ingin lagi dan lagi menyendok habis semangkuk bakso. Kejadian-kejadian yang sebelumnya mengantarkan ia ke gerobak kaki lima entah milik siapa, seakan terlupa begitu saja. Yang ia ketahui dan ia ingat saat ini hanyalah kebahagiaan dari semangkuk bakso. Kebahagiaan yang mengantarkan ia kepada kenangan indah saat hujan, namun tak membuat ia bersedih.

            Potongan daging yang dibuat bulat, kenyal, dan berserat mengisi penuh bagian-bagian kosong di perutnya. Mi kuning dan putih juga demikian. Tak terlupakan sepotong iga sapi yang dimasak begitu matang dan lembut, bagaimana bisa dengan makanan senikmat ini ia masih bersedih? Setelah dilayani kenikmatan semangkuk bakso, gadis itu mulai meraih segelas teh hangat yang tak begitu jauh dari tangannya. Seteguk demi teguk mengalir begitu pelan namun pasti. Membawa kehangatan yang selama ini ia cari.

            Pukul tujuh malam, gadis itu sudah berdandan dengan dandanan terbaiknya. Ia tak suka hal yang berlebihan, hanya memakai bedak, sedikit gincu, perona wajah, yah setidaknya tidak membuat wajah pucat. Gaun selutut yang sudah lama tersimpan di lemari sengaja ia pakai untuk hari ini. Kemeja berwarna senada ia pakai untuk melapisi lengannya yang tidak tertutup. Rambut sepanjang bahu ia jepit dengan jepitan hitam tak terlihat. Sedangkan kakinya ia pakaikan sepasang sepatu kets berwarna putih dengan peninggi dua sentimeter pada solnya.

            Malam ini gadis dengan nama sederhana itu telah siap untuk pergi kencan dengan pacarnya. Nadia, sebut saja demikian. Ia sudah lama mendambakan hari ini untuk menghabiskan malam bersama Nabil. Terlebih lagi ada sesuatu yang istimewa, karena ini adalah hari lahir Nadia. Ia membayangkan betapa indah dan mesranya ulang tahun ke tujuh belasnya dirayakan bersama orang yang paling ia cintai. Sambil terus bercermin menilai penampilannya sendiri, Nadia menunggu pesan dari kekasihnya.

            Usia mereka memang masih muda. Namanya juga remaja, sedang berlomba-lomba untuk mengisahkan kisah kasih di sekolah. Asmara yang katanya indah dan penuh kebahagiaan itu nyatanya banyak memakan korban sakit hati. Galau hingga berhari-hari. Tapi tentu bagi mereka itu hal yang normal saja dan tetap dilakukan walau sudah tau konsekuensi. Nadia dan Nabil telah menjalani hubungan lima bulan. Selama lima bulan, bukan hal-hal bahagia saja yang terjadi. Bahkan jika dihitung-hitung Nadia banyak menangisnya dibanding senyum lebar. Ia tidak peduli walau teman-teman terdekat sudah mengingatkan untuk menyudahi hubungannya. Apalah mau dikata jika cinta sudah membuat buta? Nadia memaklumi tindakan Nabil. Ia bilang pada dirinya sendiri bahwa yang namanya cinta memang tak selalu indah.

            Janji malam ini sebenarnyalah tepat pukul tujuh ia akan dijemput Nabil. Sayangnya kini sudah berlangsung lima belas menit, namun tidak ada balasan sang pujaan hati. Nadia mulai gelisah, ia sudah mencoba mengirimkan pesan yang cukup banyak. Tidak mungkin dia lupa, kan? tanyanya pada diri sendiri. Nadia lantas menelpon nomor Nabil dan jawaban tetap sama, nihil.

Ia menghela napas cukup keras hingga akhirnya memutuskan untuk langsung pergi ke lokasi yang telah disepakati. Tabiat Nabil tidak berubah sejak awal jadian. Tapi tak mengapa, Nadia masih tetap sayang. Siapa lagi yang akan menyayanginya seperti Nabil? Yang selalu memberikan perhatian, sedikit posesif, cemburu, mentraktirnya ini itu, mendengarnya bercerita tentang hari-hari yang penuh suka duka, dan sebagainya. Udara malam terasa amat dingin. Nadia menyesal mengenakan gaun selutut tanpa lengan dan hanya melapisinya dengan kemeja tipis. Terlebih dia memilih ojek motor untuk membawanya ke sebuah kafe kecil. Tempat pertama kali Nadia dan Nabil kencan setelah resmi berpacaran. Tempat banyak kenangan yang tercipta tentang mereka, termasuk kenangan hari ini.

Setelah melewati perjalanan yang membuat beku badan, akhirnya Nadia sampai. Lantas ia membayar ongkos kepada supir ojek dan masuk ke dalam kafe. Untung saja udara kafe diatur hangat. Membuat Nadia merasa nyaman. Ia kemudian memilih salah satu kursi di pojok ruangan setelah memesan satu susu jahe hangat. Selepasnya ia mulai memainkan gawai. Membuka tutup ruang bincang bersama Nabil yang tak kunjung ada balasan. Waktu terus berjalan begitupula dengan bosan yang menyerang. Kini sudah pukul delapan malam dan hujan mulai membungkus kafe tempat Nadia berlindung. Yang ditunggu tak datang. Hatinya sudah mulai resah,

            “Kemana pula Nabil? Sudah ditunggu satu jam tapi belum juga memberi kabar.”

***

            Benarlah sudah terekam lagi kenangan dari tempat orang-orang minum kopi itu. Kenangan tidak harus indah bukan? Pasalnya kali ini Nadia harus berpuas hati dengan menunggu dua jam menyendiri. Sebelum akhirnya beranjak dari pojokan kafe, Nadia sempat memesan satu porsi pisang goreng. Setidaknya ia merayakan hari ulang tahun untuk dirinya sendiri, tanpa kekasih, tanpa teman. Persetan sweet seventeen seperti yang orang-orang bilang. Itu hanya mimpi yang tercapai oleh gadis-gadis cantik dan ber-uang. Bukan sepertinya yang tak cantik, tak pintar, tak punya uang, pun orang tersayang. Ah, harusnya dia ingat bahwa masih ada bapak dan ibu di rumah. Tapi apalah guna mengingat jika mereka berdua pun pergi kerja untuk kemudian pulang dan lupa bahwa ada yang membutuhkan di rumahnya.Entah Nadia yang kurang bersyukur atau orang tuanya yang tak bisa memahami apa mau Nadia, tapi inilah kenyataan.

Nadia kemudian membayar pesanannya, lantas keluar dari kafe. Berhenti sejenak untuk menimbang-nimbang hingga akhirnya menerobos air yang semakin liar jatuh ke tanah. Hujan masih sangat deras bahkan angin kencang membuatnya semakin buruk. Gaun merah muda Nadia dengan cepat basah, begitu pun dengan seluruh badannya. Terlanjur kedinginan dan sakit hati membuatnya tak lagi memedulikan masa depan. Nadia mulai menangisi hari lahirnya yang ke tujuh belas. Ia juga tak peduli pandangan orang-orang. Ia hanya terus berjalan dan berjalan menuju arah yang diyakini benar.

            Seakan tidak cukup dunia merundung Nadia hari ini, terlihatlah sebuah guntur menyambar Nadia. Bukan guntur sungguhan, tapi sungguhan membuat Nadia terkejut seakan-akan tersambar dari langit. Di antara derasnya air hujan serta lalu lintas yang masih cukup ramai dan gerobak-gerobak kaki lima di pinggir jalan. Di antara hari-hari yang pernah terlewati atau akan dilewati Nadia, mengapa harus hari ini ia melihat kekasihnya beradu asmara dengan gadis lain? Mengapa harus hari ini?

            “Nabil? Apa yang kamu lakukan di sini? Dua jam aku menunggumu di tempat janji kita, sedangkan kau asik menaruh rasa pada perempuan lain?” Nadia bertanya dengan berang. Wajah, pakaian, dan kondisinya sudah kacau. Ia benar-benar tidak peduli dengan pandangan orang. Ia hanya ingin menyelesaikan semuanya.

            “Ah, itu aku, ini bukan seperti yang kamu bayangkan. Kami hanya,”

            “Hanya teman? Brengsek! Jika hanya teman harusnya kamu mendahulukan aku yang pacarmu, menunggu sendiri di pojokan kafe! Dasar orang gila!” Nadia berseru sambil menunjuk-nunjuk Nabil. Emosinya benar-benar sudah di ubun-ubun. Sebelumnya ia tidak pernah bisa marah dan kesal seperti ini kepada Nabil. Ia hanya sabar saja, sabar, sabar, sampai meledak hari ini.

            “Hei, dengarkan aku dulu. Kami benar-benar hanya kenalan dan teman. Perihal janji, aku rasa kita tidak punya janji. Sejak kapan aku mengadakan janji denganmu?” Nabil juga tersulut emosi, ia mulai berbohong pada semua orang di sana. Ia tidak mau jadi aktor jahatnya. Seorang laki-laki yang tertangkap bermain di belakang oleh kekasihnya.

            “Hah, tidak ada? Kau yakin otakmu tidak terbentur? Oh, tidak punya otak, ya? Pantas saja kau dengan enteng main dengan perempuan lain di belakangku. Sampai lupa bahwa hari ini hari ulang tahunku. Sialan, brengsek kau!”

            Nabil panik dan mulai kehabisan akal. Ia tahu bahwa dirinyalah yang salah. Tapi ia tidak mau mengakui. Lantas Nabil melihat ke arah perempuan yang diajaknya makan malam itu. “Mungkin bisa kita bicarakan baik-baik, tidak enak dilihat bukan?” perempuan itu akhirnya ikut dalam pertikaian.

            “Wah, kau bisa diam saja tidak? Bicarakan baik-baik? Apakah menurutmu saya sedang dalam kondisi dapat bicara baik-baik? Hei semua pelanggan, bisakah kalian pakai akal sehat kalian dan memutuskan siapa yang salah di sini?”

            Suasana amat mencekam. Semua orang di sana berdegup kencang melihat adegan itu. Beberapa ada yang merekam dan membicarakan. Mereka tidak berani untuk melerai. Bahkan pedangang kaki lima terlihat menikmati hal tersebut. Ah, tentu tidak semua, seorang bapak-bapak dengan pakaian jaket hangat memberanikan bersuara.

            “Sudahlah dek, kalian ini masih muda ribet sekali urusannya. Kalau tak mau kejadian begini jangan main-main dengan cinta. Kau gadis muda bergaun pendek, putuskan saja laki-laki di depanmu. Cih, ia bahkan tidak layak lagi disebut laki-laki!” seru bapak itu sambil melihat ke arah keributan. Ia sebenarnya risih saja dengan permasalahan tiga remaja itu. Tapi ia lebih kesal dengan laki-laki yang bertingkah tak benar, alias Nabil.

            “Ya, benar! Selesaikan dek, jangan dilanjutkan lagi. Kami ini mau makan dengan tenang sambil menikmati hujan, bukan drama remaja tujuh belas tahun!” yang lain ikut berseru. Wajah Nabil dan perempuan yang diajaknya kencan mulai memerah menahan malu. Nabil sangat emosi, tapi mau apalagi. Dia sudah ditembak mati oleh semua orang di gerobak kaki lima itu.

            “Baik kalau kau tidak mau bicarakan baik-baik kita,” belum genap Nabil menyebutkan niatnya. Kalimat itu langsung diputus oleh Nadia dengan tangan halusnya yang selalu ia pakai untuk menulis cerita, sajak, dan tugas-tugas sekolah. Ditamparnya wajah Nabil dengan tamparan yang sangat keras hingga berbunyi dan bertambah merahlah wajah Nabil.

            “Enak saja kau! Aku yang sakit hati dari awal, sampai akhir pun mau kau tambahkan lagi rasa sakit itu, hah?”

            “Jadi mau kau apa?” Nabil menjadi semakin kesal. Ia mulai berpikir tidak waras.

            “Aku mau kita putus!” Seru Nadia dengan sangat lantang. Hening sepersekian detik, lalu disambut dengan tepuk tangan dan sorakan dari pelanggan kaki lima itu.

            “Bravo! Bravo!”

***

            Malam yang membungkus kota itu semakin sepi. Hanya satu dua kendaraan yang lewat, melintas dengan cepat karena sang pengemudi ingin segera tiba di rumah. Menghangatkan diri lantas tidur, untuk kemudian besoknya bangun lagi dan menjadi budak kapitalis. Gerobak Pak Sony mulai dikemas. Beberapa kursi dan meja juga sudah diangkat. Hari ini ada sebelas porsi yang ia hidangkan. Walau tak semuanya dibayar, setidaknya Pak Sony bersyukur masih diberi kesempatan untuk bisa berbagi. Gadis bergaun merah muda itu masih duduk di kursi yang sama. Kini ia lebih baik, bahkan Pak Sony memberikannya jaket walau hanya memberikan sedikit kehangatan.

Gadis itu menghapus sisa-sisa air mata. Kisahnya sudah selesai. Ia akhirnya terbebas dari kisah cinta tak berarti. Ia akhirnya mengenang rasa bahagia bukannya sedih. Ini semua berkat semangkuk bakso Pak Sony serta teh hangatnya. Gadis bergaun merah muda lantas tersenyum kecil, lalu mulai lagi menintikkan air matanya.

“Pak, terima kasih banyak. Terima kasih banyak, Pak. Saya kira hujan hari ini hanya membawa sial saja. Karena dari awal hujan turun saya sudah sakit hati,” ucap gadis itu. Suaranya kecil, namun Pak Sony tentu bisa mendengarnya dengan jelas.

“Nak, kita tidak boleh menyalahkan hujan. Ia turun sebagai rahmat dari Tuhan. Atas semua kejadian yang kau alami dan kau ceritakan pada bapak, cukuplah ia menjadi pembelajaran.” Pak Sony membalasnya dengan kalimat cukup panjang.

“Terima kasih, Pak. Harusnya Nadia dengar perkataan Bapak dan Ibu. Nadia yang keras kepala, Nadia yang tidak mau menerima, Nadia yang ingin segalanya. Maafkan Nadia, Pak. Padahal Nadia sudah seharusnya merasakan kasih sayang dari Bapak dan Ibu. Harusnya Nadia pengertian dengan Bapak dan Ibu. Harusnya Nadia percaya bahwa sampai sekarang Bapak dan Ibu lah yang paling cinta, sayang, dan perhatian kepada Nadia. Jadi Nadia tidak perlu lagi mencari perhatian itu dari orang lain, apalagi sampai pacaran segala.” Kalimat itu sudah cukup membuat Nadia menangis kembali. Ia merasa amat menyesal telah menyia-nyiakan kasih sayang kedua orang tuanya. Yang ia kira selama ini hanya hidup sendiri tanpa diperhatikan siapa-siapa kecuali Nabil, ternyata salah besar.

“Tidak, apa-apa nak. Ayo kita pulang, hari sudah semakin malam. Kamu juga nanti sakit. Bapak dan Ibu juga minta maaf kalau kurang melimpahkan kasih sayang. Bapak dan Ibu juga minta maaf karena harus pergi kerja pagi-pagi dan pulang malam, hingga kita tak bisa bertukar cerita. Ayo kita pulang, Nadia!”

Keindahan langit malam tetap terpancar walau tertutup awan mendung. Pak Sony amat berterima kasih kepada hujan yang telah mempertemukannya dengan Nadia. Membiarkan mereka saling jujur satu sama lain. Membiarkan keluarga utuh kembali. Serta membiarkan Nadia untuk mengingat kenangan indah di masa kecilnya dengan dihangatkan semangkuk bakso racikan Pak Sony.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi : Novel Nebula Karya Tere Liye

Novel “NEBULA” Karya Tere Liye :  Rahasia Pengintai Terbaik dan Kembalinya Musuh Lama Oleh : Lubna Anfaresi Judul                : NEBULA Penulis             : Tere Liye Penerbit             : Gramedia Pustaka Utama Kota Terbit       : Jakarta Cetakan II        : April 2020 Ketebalan         : 376 halaman Pendahuluan             Serial Bumi merupakan salah satu serial yang dikeluarkan oleh penulis Tere Liye dan berhasil menarik minat pembaca di tanah air. Serial fantasi ini sudah memiliki sembilan seri dengan seri terbaru berjudul “NEBULA”. Sama seperti seri sebelumnya yang berjudul “SELENA”, seri ke-9 ini menceritakan kisah dari sudut pandang Selena sebaga...

Masak, Makan, Lempah Kuning

  Masak, Makan, Lempah Kuning “Wew, banyak kenek ge. Basing ka lah pon!” [1]             Ucapan dari Ami, gadis Bangka yang sudah kutemui sejak lima hari bertugas di daerah ini, terus terngiang di antara malam-malam sepi di kamar berukuran lima kali tujuh meter. Suaranya begitu tinggi, mencekam, dan rasanya penuh kebencian. Raut wajahnya yang mengerut itu terus terbayang, juga ucapan dengan bahasa yang aku tidak mengerti sama sekali. Jauh dari mal perbelanjaan, kafe yang selalu ramai, atau sekadar lalu lintas kota Yogya, aku terjebak sampai sembilan hari kedepan untuk mengerjakan tugas kuliahku di sini. Aku tidur menumpang kepada salah satu warga kenalan kawan kuliahku, yang juga berasal dari Bangka. Katanya itu adalah rumah seperadik [2] -nya. Pintu kamar yang menjadi tempat tidurku sementara tiba-tiba diketuk dari luar. Aku menghela napas, mencoba meraih gagang pintu dan membiarkan sinar lampu di ruang tengah masuk ke d...

Nugget

Pernah berpikir untuk masak nugget goreng yang dicocol dengan cuko ? Itu yang Bene lakukan. Aneh, iya. Tapi Bene tidak akan peduli dengan komentar orang, karena toh dia sekarang ada di kontrakannya. Sendirian. Setelah berkutat dengan kertas-kertas laporan praktikumnya selama satu semester, Bene bisa beristirahat sejenak. Gadis itu tidak pergi ke luar kontrakannya, kecuali untuk membeli makan atau bahan masakan. Keinginannya untuk naik gunung setiap liburan juga harus kandas. Alasanya sederhana, karena ia tidak punya teman untuk naik ke atas sana. Jika kalian semua mendorong gadis itu untuk pergi sendiri,             “Terima kasih.” Dua kata itu akan keluar dari bibirnya yang sedikit kering. Saran dari kawan-kawan dekatnya, biarkan saja Bene asyik dengan dunianya. Ia bisa saja pergi ke Bandung sekarang juga, atau ke Jakarta. Tapi buat apa? Ia tidak mau menghabiskan lebih banyak uang beasiswa yang baru cair satu pekan lalu...