Semangkuk
Bakso
Pak
Sony adalah penjual bakso kaki lima sejak tiga tahun yang lalu. Baksonya
terbilang sangat laku di kalangan penjual kaki lima lainnya. Terkadang beberapa
pedagang yang iri membuat cerita atau fitnah mengenai dagangannya. Ada yang
bilang daging yang dipakai untuk bakso dari tikus, ada yang bilang pakai
penglaris, dan ada juga yang bilang Pak Sony mengambil resep dari almarhum Pak
Suki yang dulu pernah berjualan di tempat yang sama. Konon bakso Pak Suki juga
digemari oleh orang-orang yang mencari kehangatan dan kenikmatan kaldu sapi.
Tentu
saja semua hal itu tidak benar. Pak Sony tak perlu bersusah payah melawan semua
cerita-cerita jahat tentang dirinya. Ia yakin bahwa Allah akan memberikan
balasan kepada orang-orang yang telah menjelekkan dirinya. Ia juga yakin
apabila yang dilakukannya benar maka tak ada yang perlu dirisaukan. Namun
anehnya beberapa hari terakhir penjualan Pak Sony menurun. Hasil jualannya
tidak untung, bahkan untuk balik modal pun tidak cukup. Ditambah lagi harga
barang pokok sekarang naik, membuat Pak Sony kebingungan dengan uang yang ia
punya. Tabungannya memang masih ada, tapi jika terus begini apakah cukup untuk
menghidupi keluarganya?
Sekarang
sudah pukul delapan malam, sedari pagi hanya ada lima orang yang mengunjungi
dagangan Pak Sony. Dua remaja SMA yang baru pulang sekolah, satu anak kuliahan
yang meminta untuk dibungkus, dan dua pekerja kantoran di jam makan siang.
Bukan hanya Pak Sony yang heran, para pelanggan pun ikut-ikutan bertanya
kepadanya. Begitupula dengan sahabat dagangnya yang berada tepat di samping
lapak Pak Sony.
“Dari
kemarin sepertinya daganganmu tidak laku seperti biasa, Son! Ada apa? Apakah
kemahiranmu menurun?” tanya Pak Badudu yang menjual martabak.
“Entahlah, aku juga heran. Mungkin di seberang sana atau
di dekat sini ada toko bakso yang baru buka, jadi banyak yang mengunjungi toko
itu.” Jawab Pak Sony dengan lesu. Ia harus merasa puas dengan mengantongi
seratus lima ribu rupiah untuk hari itu.
“Ya, aku dengar-dengar memang ada toko baru sih. Tapi
bakso kau, kan se-legendaris itu. Masa hanya karena ada toko baru jadi tidak
laku lagi? Atau jangan-jangan penglarismu sudah tidak mujarab, ya?” kali ini
Agung, pembantu Pak Badudu bertanya. Segera saja ia ditimpuk serbet oleh Pak
Badudu yang menyebutnya tidak sopan.
Pak Sony nyengir mendengar pertanyaan Agung, “yah,
mungkin saja penglarisku tidak sekuat penglaris toko baru itu.” Balasnya sambil
mengangkat kedua bahu.
“Betul itu, Pak Sony. Kalau bapak, kan penglarisnya cewe
rambut panjang dengan wajah mengerikan dan badan setengah busuk. Beda dengan
toko yang di sana. Cewenya cantik, ada tahi lalat di bawah bibirnya, kalau
senyum manis sekali, yang terpenting dia manusia bukan setan.” Agung
melanjutkan candaannya lantas disambut tawa dari Pak Sony dan Pak Badudu.
Sayangnya percakapan itu terhenti ketika pelanggan datang untuk membeli
martabak dengan porsi yang cukup banyak. Mungkin tiga laki-laki berumur dua
puluhan itu sedang mengadakan pesta dengan teman-temannya hingga terlihat rakus
sekali membeli enam kotak martabak.
Malam semakin larut, udara pun dengan tega menusuk-nusuk
baju tipis Pak Sony. Membuatnya mulai kedinginan. Awan mendung yang sedari tadi
mengukung kota akhirnya menurunkan kesahnya. Rintik hujan mulai membasahi aspal
yang rusak. Membuat cipratan air ke gerobak dan lapak milik Pak Sony. Seperti
halnya sebuah rasa, rintik kecil itu kian membesar. Hujan turun semakin lebat
bahkan angin pun ikut bergabung dalam pesta langit malam itu. Alhasil Pak Sony,
Pak Badudu, dan Agung harus rela terjebak hujan malam ini yang tak tahu akan
berakhir sampai kapan.
***
Sejak percakapan terakhir mereka, Pak Badudu dan Agung
banyak mendapat pesanan. Berbeda dengan Pak Sony yang masih menelan pil pahit
atas penjualannya hari ini. Padahal cuaca sudah sangat mendukung untuk membeli
semangkuk bakso. Dia kira isyarat langit akan membawakan setidaknya lima atau
sepuluh pelanggan lagi. Keheranan Pak Sony itu akhirnya membawa dia untuk
mengambil mangkuk dan mulai memasukkan komponen bakso. Pak Sony memasukkan mie
putih dan kuning, lantas dua centong kuah kaldu sapi ia siram di atasnya. Lima
pentol bakso kecil yang empuk dan berserat ditambahkan. Tak hanya itu Pak Sony
pun mengambil dua iga sapi yang terbisu sejak pagi hari. Beberapa tetelan yang
terikut pada kaldu pun tak ia pedulikan. Daun sop yang masih segar dan
tersimpan dalam wadah, ia potong lalu menaburkannya ke atas bakso yang hampir
sempurna. Bawang goreng sebagai pelengkap serta terakhir sedikit kecambah untuk
menambahkan tekstur. Selesai!
Slurp,
“Ah, nikmatnya,” uap panas yang mengepul dan kuah hangat
yang meluncur lewat tenggorokan, menentramkan hati Pak Sony. Suasana ini
sungguh membuat siapa pun dapat terbang menuju kilasan waktu-waktu indah.
Herannya waktu indah tersebut menyeret pemilik kenangan untuk bersedih, karena
hal itu tak mungkin terjadi lagi. Kalau pun terjadi rasa yang ada akan berbeda.
Waktu, manusia, dan perasaan yang berbeda akan membuat kenangan yang berbeda pula.
Semangkuk bakso yang Pak Sony santap masih menyisakan mie
dan iga, ketika seorang gadis yang sudah kuyup oleh hujan datang ke gerobak
kaki limanya. Gadis itu seperti dirundung habis-habisan oleh langit malam ini.
Rambut sebahunya telah acak-acakan, sepatu putih pun telah bercampur baur
dengan warna bumi. Gadis itu hanya mengenakan gaun selutut tanpa lengan
berwarna merah muda yang lembut. Lengannya ia lapisi dengan kemeja berwarna
senada. Lebih buruknya lagi bukan hanya sekujur tubuh yang basah, namun matanya
pun sembab merah seperti telah terjadi badai di dalam hati. Pak Sony lantas
berdiri kaget dan langsung melayani gadis itu. Sambil membawa mangkuk bakso
yang belum habis Pak Sony berkata kepada gadis itu,
“Akan saya buatkan semangkuk bakso ternikmat. Silahkan
duduk, nak!”
Gadis itu hanya terdiam membisu, mengatur emosinya.
Selang berapa detik kemudian ia duduk di kursi plastik butut. Badannya
menggigil kedinginan. Wajahnya ia tutup dengan rambut dan kedua tangan, lantas
tetap diam. Pak Sony tentu kebingungan dengan gadis itu. Tapi naluri
ke-bapak-annya mengatakan bahwa ia harus membuat semangkuk bakso ternikmat dan
terlengkap beserta satu gelas teh manis hangat. Segera saja Pak Sony menyiapkan
hidangan itu walau tidak diminta. Biarlah semangkuk bakso dan teh manis hangat
ini ia berikan cuma-cuma. Toh, daripada ia bawa pulang masih menyisakan banyak
lebih baik ia berbagi untuk yang membutuhkan.
Tidak perlu waktu lama, semangkuk bakso lengkap dengan
iga dan tetelan serta segelas teh hangat telah terhidangkan di meja pelanggan.
Uap kuah bakso mengepul, membawa harumnya kaldu sapi. Membuat siapa pun tergoda
untuk menghabiskan lima pentol bakso kecil dan satu pentol besarnya. Gadis itu
masih terdiam, namun sudah mengganti posisinya. Begitu pula dengan hujan, ia
sudah mulai menjadi rintik kecil. Angin yang semula ikut mencari gara-gara
akhirnya membisu juga. Walau demikian hawa dingin masih terus menyelimuti
gerobak kaki lima Pak Sony.
Waktu telah menunjukkan ke angka sepuluh, meminta semua penduduk
untuk pulang ke rumah masing-masing dan beristirahat untuk menyambut esok hari.
Begitu pula yang dilakukan Pak Badudu dan Agung, mereka bersiap-siap untuk
menutup gerobaknya malam ini. Sudah tidak ada lagi pesanan dan pula mereka
memang sudah dijadwalkan untuk tutup sekarang. Namun sebelum pulang, Pak Sony
menyempatkan membungkus masing-masing dua porsi bakso untuk mereka.
“Pak Sony tidak pulang juga?” kata Agung sambil menerima
dua bungkus bakso untuknya.
“Saya masih ada pelanggan, kalian duluan saja.” Jawab Pak
Sony sambal menunjuk ke arah gadis bergaun merah muda tadi.
“Baiklah kalau begitu, apakah Pak Sony tidak mau kami
temani?” kali ini Pak Badudu yang bertanya.
“Tidak usah, keluarga kalian di rumah pasti sudah
menunggu. Duluan saja, kalian juga sudah mengantuk.”
“Baik, terima kasih Pak Sony atas baksonya. Semoga
besok-besok jualanmu laku. Ini benar tidak usah bayar, kan? Saya sebenarnya tak
enak hati,”
“Alah Pak Badudu bisa saja pura-pura tak enak hati.
Hahahaha kalau senang hati jangan disembunyikan, pak.” Celetuk Agung. Pak
Badudu menginjak kaki Agung untuk menutup mulutnya. Lantas memarahinya karena
tidak sopan. Pak Sony tersenyum melihatnya seraya berkata,
“Tak apa, senang bisa berbagi bersama kalian berdua.
Hati-hati di jalan, ya!”
***
Gadis dengan gaun merah muda itu meraih mangkuk bakso
yang terus menggodanya sejak pertama kali dihidangkan. Cuaca yang dingin dan
perut yang lapar turut memprovokasi diri untuk menghirup kuah kaldu sapi yang
nikmat.
Slurp!
Bagaikan dihipnotis, mata gadis itu sontak membulat. Kuah
kaldu yang hangat masuk melalui tenggorokan, membasahi lambung yang sedari tadi
minta diisi. Sensasinya membuat siapa pun ingin lagi dan lagi menyendok habis
semangkuk bakso. Kejadian-kejadian yang sebelumnya mengantarkan ia ke gerobak
kaki lima entah milik siapa, seakan terlupa begitu saja. Yang ia ketahui dan ia
ingat saat ini hanyalah kebahagiaan dari semangkuk bakso. Kebahagiaan yang
mengantarkan ia kepada kenangan indah saat hujan, namun tak membuat ia
bersedih.
Potongan daging yang dibuat bulat, kenyal, dan berserat mengisi
penuh bagian-bagian kosong di perutnya. Mi kuning dan putih juga demikian. Tak
terlupakan sepotong iga sapi yang dimasak begitu matang dan lembut, bagaimana
bisa dengan makanan senikmat ini ia masih bersedih? Setelah dilayani kenikmatan
semangkuk bakso, gadis itu mulai meraih segelas teh hangat yang tak begitu jauh
dari tangannya. Seteguk demi teguk mengalir begitu pelan namun pasti. Membawa
kehangatan yang selama ini ia cari.
Pukul tujuh malam, gadis itu sudah berdandan dengan
dandanan terbaiknya. Ia tak suka hal yang berlebihan, hanya memakai bedak,
sedikit gincu, perona wajah, yah setidaknya tidak membuat wajah pucat. Gaun
selutut yang sudah lama tersimpan di lemari sengaja ia pakai untuk hari ini.
Kemeja berwarna senada ia pakai untuk melapisi lengannya yang tidak tertutup.
Rambut sepanjang bahu ia jepit dengan jepitan hitam tak terlihat. Sedangkan
kakinya ia pakaikan sepasang sepatu kets berwarna putih dengan peninggi dua
sentimeter pada solnya.
Malam ini gadis dengan nama sederhana itu telah siap
untuk pergi kencan dengan pacarnya. Nadia, sebut saja demikian. Ia sudah lama
mendambakan hari ini untuk menghabiskan malam bersama Nabil. Terlebih lagi ada
sesuatu yang istimewa, karena ini adalah hari lahir Nadia. Ia membayangkan
betapa indah dan mesranya ulang tahun ke tujuh belasnya dirayakan bersama orang
yang paling ia cintai. Sambil terus bercermin menilai penampilannya sendiri,
Nadia menunggu pesan dari kekasihnya.
Usia mereka memang masih muda. Namanya juga remaja,
sedang berlomba-lomba untuk mengisahkan kisah kasih di sekolah. Asmara yang
katanya indah dan penuh kebahagiaan itu nyatanya banyak memakan korban sakit
hati. Galau hingga berhari-hari. Tapi tentu bagi mereka itu hal yang normal
saja dan tetap dilakukan walau sudah tau konsekuensi. Nadia dan Nabil telah
menjalani hubungan lima bulan. Selama lima bulan, bukan hal-hal bahagia saja
yang terjadi. Bahkan jika dihitung-hitung Nadia banyak menangisnya dibanding
senyum lebar. Ia tidak peduli walau teman-teman terdekat sudah mengingatkan
untuk menyudahi hubungannya. Apalah mau dikata jika cinta sudah membuat buta?
Nadia memaklumi tindakan Nabil. Ia bilang pada dirinya sendiri bahwa yang namanya
cinta memang tak selalu indah.
Janji malam ini sebenarnyalah tepat pukul tujuh ia akan
dijemput Nabil. Sayangnya kini sudah berlangsung lima belas menit, namun tidak
ada balasan sang pujaan hati. Nadia mulai gelisah, ia sudah mencoba mengirimkan
pesan yang cukup banyak. Tidak mungkin dia lupa, kan? tanyanya pada diri
sendiri. Nadia lantas menelpon nomor Nabil dan jawaban tetap sama, nihil.
Ia
menghela napas cukup keras hingga akhirnya memutuskan untuk langsung pergi ke
lokasi yang telah disepakati. Tabiat Nabil tidak berubah sejak awal jadian.
Tapi tak mengapa, Nadia masih tetap sayang. Siapa lagi yang akan menyayanginya
seperti Nabil? Yang selalu memberikan perhatian, sedikit posesif, cemburu,
mentraktirnya ini itu, mendengarnya bercerita tentang hari-hari yang penuh suka
duka, dan sebagainya. Udara malam terasa amat dingin. Nadia menyesal mengenakan
gaun selutut tanpa lengan dan hanya melapisinya dengan kemeja tipis. Terlebih dia
memilih ojek motor untuk membawanya ke sebuah kafe kecil. Tempat pertama kali
Nadia dan Nabil kencan setelah resmi berpacaran. Tempat banyak kenangan yang
tercipta tentang mereka, termasuk kenangan hari ini.
Setelah
melewati perjalanan yang membuat beku badan, akhirnya Nadia sampai. Lantas ia membayar
ongkos kepada supir ojek dan masuk ke dalam kafe. Untung saja udara kafe diatur
hangat. Membuat Nadia merasa nyaman. Ia kemudian memilih salah satu kursi di
pojok ruangan setelah memesan satu susu jahe hangat. Selepasnya ia mulai memainkan
gawai. Membuka tutup ruang bincang bersama Nabil yang tak kunjung ada balasan. Waktu
terus berjalan begitupula dengan bosan yang menyerang. Kini sudah pukul delapan
malam dan hujan mulai membungkus kafe tempat Nadia berlindung. Yang ditunggu tak
datang. Hatinya sudah mulai resah,
“Kemana pula Nabil? Sudah ditunggu satu jam tapi belum
juga memberi kabar.”
***
Benarlah sudah terekam lagi kenangan dari tempat orang-orang
minum kopi itu. Kenangan tidak harus indah bukan? Pasalnya kali ini Nadia harus
berpuas hati dengan menunggu dua jam menyendiri. Sebelum akhirnya beranjak dari
pojokan kafe, Nadia sempat memesan satu porsi pisang goreng. Setidaknya ia merayakan
hari ulang tahun untuk dirinya sendiri, tanpa kekasih, tanpa teman. Persetan sweet
seventeen seperti yang orang-orang bilang. Itu hanya mimpi yang tercapai
oleh gadis-gadis cantik dan ber-uang. Bukan sepertinya yang tak cantik, tak
pintar, tak punya uang, pun orang tersayang. Ah, harusnya dia ingat bahwa masih
ada bapak dan ibu di rumah. Tapi apalah guna mengingat jika mereka berdua pun
pergi kerja untuk kemudian pulang dan lupa bahwa ada yang membutuhkan di
rumahnya.Entah Nadia yang kurang bersyukur atau orang tuanya yang tak bisa
memahami apa mau Nadia, tapi inilah kenyataan.
Nadia
kemudian membayar pesanannya, lantas keluar dari kafe. Berhenti sejenak untuk
menimbang-nimbang hingga akhirnya menerobos air yang semakin liar jatuh ke
tanah. Hujan masih sangat deras bahkan angin kencang membuatnya semakin buruk. Gaun
merah muda Nadia dengan cepat basah, begitu pun dengan seluruh badannya. Terlanjur
kedinginan dan sakit hati membuatnya tak lagi memedulikan masa depan. Nadia
mulai menangisi hari lahirnya yang ke tujuh belas. Ia juga tak peduli pandangan
orang-orang. Ia hanya terus berjalan dan berjalan menuju arah yang diyakini
benar.
Seakan tidak cukup dunia merundung Nadia hari ini, terlihatlah
sebuah guntur menyambar Nadia. Bukan guntur sungguhan, tapi sungguhan membuat
Nadia terkejut seakan-akan tersambar dari langit. Di antara derasnya air hujan
serta lalu lintas yang masih cukup ramai dan gerobak-gerobak kaki lima di pinggir
jalan. Di antara hari-hari yang pernah terlewati atau akan dilewati Nadia,
mengapa harus hari ini ia melihat kekasihnya beradu asmara dengan gadis lain?
Mengapa harus hari ini?
“Nabil? Apa yang kamu lakukan di sini? Dua jam aku
menunggumu di tempat janji kita, sedangkan kau asik menaruh rasa pada perempuan
lain?” Nadia bertanya dengan berang. Wajah, pakaian, dan kondisinya sudah
kacau. Ia benar-benar tidak peduli dengan pandangan orang. Ia hanya ingin
menyelesaikan semuanya.
“Ah, itu aku, ini bukan seperti yang kamu bayangkan. Kami
hanya,”
“Hanya teman? Brengsek! Jika hanya teman harusnya kamu
mendahulukan aku yang pacarmu, menunggu sendiri di pojokan kafe! Dasar orang
gila!” Nadia berseru sambil menunjuk-nunjuk Nabil. Emosinya benar-benar sudah
di ubun-ubun. Sebelumnya ia tidak pernah bisa marah dan kesal seperti ini
kepada Nabil. Ia hanya sabar saja, sabar, sabar, sampai meledak hari ini.
“Hei, dengarkan aku dulu. Kami benar-benar hanya kenalan
dan teman. Perihal janji, aku rasa kita tidak punya janji. Sejak kapan aku
mengadakan janji denganmu?” Nabil juga tersulut emosi, ia mulai berbohong pada
semua orang di sana. Ia tidak mau jadi aktor jahatnya. Seorang laki-laki yang
tertangkap bermain di belakang oleh kekasihnya.
“Hah, tidak ada? Kau yakin otakmu tidak terbentur? Oh,
tidak punya otak, ya? Pantas saja kau dengan enteng main dengan perempuan lain
di belakangku. Sampai lupa bahwa hari ini hari ulang tahunku. Sialan, brengsek
kau!”
Nabil panik dan mulai kehabisan akal. Ia tahu bahwa dirinyalah
yang salah. Tapi ia tidak mau mengakui. Lantas Nabil melihat ke arah perempuan
yang diajaknya makan malam itu. “Mungkin bisa kita bicarakan baik-baik, tidak
enak dilihat bukan?” perempuan itu akhirnya ikut dalam pertikaian.
“Wah, kau bisa diam saja tidak? Bicarakan baik-baik?
Apakah menurutmu saya sedang dalam kondisi dapat bicara baik-baik? Hei semua
pelanggan, bisakah kalian pakai akal sehat kalian dan memutuskan siapa yang
salah di sini?”
Suasana amat mencekam. Semua orang di sana berdegup kencang
melihat adegan itu. Beberapa ada yang merekam dan membicarakan. Mereka tidak
berani untuk melerai. Bahkan pedangang kaki lima terlihat menikmati hal
tersebut. Ah, tentu tidak semua, seorang bapak-bapak dengan pakaian jaket
hangat memberanikan bersuara.
“Sudahlah dek, kalian ini masih muda ribet sekali
urusannya. Kalau tak mau kejadian begini jangan main-main dengan cinta. Kau
gadis muda bergaun pendek, putuskan saja laki-laki di depanmu. Cih, ia bahkan
tidak layak lagi disebut laki-laki!” seru bapak itu sambil melihat ke arah
keributan. Ia sebenarnya risih saja dengan permasalahan tiga remaja itu. Tapi ia
lebih kesal dengan laki-laki yang bertingkah tak benar, alias Nabil.
“Ya, benar! Selesaikan dek, jangan dilanjutkan lagi. Kami
ini mau makan dengan tenang sambil menikmati hujan, bukan drama remaja tujuh
belas tahun!” yang lain ikut berseru. Wajah Nabil dan perempuan yang diajaknya
kencan mulai memerah menahan malu. Nabil sangat emosi, tapi mau apalagi. Dia sudah
ditembak mati oleh semua orang di gerobak kaki lima itu.
“Baik kalau kau tidak mau bicarakan baik-baik kita,” belum
genap Nabil menyebutkan niatnya. Kalimat itu langsung diputus oleh Nadia dengan
tangan halusnya yang selalu ia pakai untuk menulis cerita, sajak, dan
tugas-tugas sekolah. Ditamparnya wajah Nabil dengan tamparan yang sangat keras
hingga berbunyi dan bertambah merahlah wajah Nabil.
“Enak saja kau! Aku yang sakit hati dari awal, sampai
akhir pun mau kau tambahkan lagi rasa sakit itu, hah?”
“Jadi mau kau apa?” Nabil menjadi semakin kesal. Ia mulai
berpikir tidak waras.
“Aku mau kita putus!” Seru Nadia dengan sangat lantang.
Hening sepersekian detik, lalu disambut dengan tepuk tangan dan sorakan dari
pelanggan kaki lima itu.
“Bravo! Bravo!”
***
Malam yang membungkus kota itu semakin sepi. Hanya satu
dua kendaraan yang lewat, melintas dengan cepat karena sang pengemudi ingin
segera tiba di rumah. Menghangatkan diri lantas tidur, untuk kemudian besoknya
bangun lagi dan menjadi budak kapitalis. Gerobak Pak Sony mulai dikemas. Beberapa
kursi dan meja juga sudah diangkat. Hari ini ada sebelas porsi yang ia
hidangkan. Walau tak semuanya dibayar, setidaknya Pak Sony bersyukur masih diberi
kesempatan untuk bisa berbagi. Gadis bergaun merah muda itu masih duduk di
kursi yang sama. Kini ia lebih baik, bahkan Pak Sony memberikannya jaket walau hanya
memberikan sedikit kehangatan.
Gadis
itu menghapus sisa-sisa air mata. Kisahnya sudah selesai. Ia akhirnya terbebas dari
kisah cinta tak berarti. Ia akhirnya mengenang rasa bahagia bukannya sedih. Ini
semua berkat semangkuk bakso Pak Sony serta teh hangatnya. Gadis bergaun merah
muda lantas tersenyum kecil, lalu mulai lagi menintikkan air matanya.
“Pak,
terima kasih banyak. Terima kasih banyak, Pak. Saya kira hujan hari ini hanya
membawa sial saja. Karena dari awal hujan turun saya sudah sakit hati,” ucap
gadis itu. Suaranya kecil, namun Pak Sony tentu bisa mendengarnya dengan jelas.
“Nak,
kita tidak boleh menyalahkan hujan. Ia turun sebagai rahmat dari Tuhan. Atas
semua kejadian yang kau alami dan kau ceritakan pada bapak, cukuplah ia menjadi
pembelajaran.” Pak Sony membalasnya dengan kalimat cukup panjang.
“Terima
kasih, Pak. Harusnya Nadia dengar perkataan Bapak dan Ibu. Nadia yang keras
kepala, Nadia yang tidak mau menerima, Nadia yang ingin segalanya. Maafkan
Nadia, Pak. Padahal Nadia sudah seharusnya merasakan kasih sayang dari Bapak
dan Ibu. Harusnya Nadia pengertian dengan Bapak dan Ibu. Harusnya Nadia percaya
bahwa sampai sekarang Bapak dan Ibu lah yang paling cinta, sayang, dan perhatian
kepada Nadia. Jadi Nadia tidak perlu lagi mencari perhatian itu dari orang
lain, apalagi sampai pacaran segala.” Kalimat itu sudah cukup membuat Nadia
menangis kembali. Ia merasa amat menyesal telah menyia-nyiakan kasih sayang
kedua orang tuanya. Yang ia kira selama ini hanya hidup sendiri tanpa
diperhatikan siapa-siapa kecuali Nabil, ternyata salah besar.
“Tidak,
apa-apa nak. Ayo kita pulang, hari sudah semakin malam. Kamu juga nanti sakit.
Bapak dan Ibu juga minta maaf kalau kurang melimpahkan kasih sayang. Bapak dan
Ibu juga minta maaf karena harus pergi kerja pagi-pagi dan pulang malam, hingga
kita tak bisa bertukar cerita. Ayo kita pulang, Nadia!”
Keindahan
langit malam tetap terpancar walau tertutup awan mendung. Pak Sony amat
berterima kasih kepada hujan yang telah mempertemukannya dengan Nadia. Membiarkan
mereka saling jujur satu sama lain. Membiarkan keluarga utuh kembali. Serta membiarkan
Nadia untuk mengingat kenangan indah di masa kecilnya dengan dihangatkan
semangkuk bakso racikan Pak Sony.
Komentar
Posting Komentar