Langsung ke konten utama

Sudut Pandang : Sistem Pendidikan

 

Kalian pasti tahu fungsi sekolah itu untuk mencetak sumber daya manusia yang cerdas dan berkualitas. Kalian juga pasti tahu tugas seorang guru itu untuk mendidik serta mengajar siswa-siswinya sehingga mampu menjadi pribadi yang lebih baik dibanding sebelumnya. Entah itu dalam jenjang paling rendah maupun jenjang atas, fungsi dan tugas sekolah serta guru tetap sama.

Herannya saat ini, ketika saya sedang mengampu pendidikan sekolah menengah atas, fungsi dan tugas tersebut sama sekali tidak saya rasakan. Saya bersekolah tapi seperti tidak bersekolah. Saya punya guru tapi seperti tidak punya guru. Rasanya di sini saya hanya berjuang sendiri, sedangkan guru benar-benar hanya menjadi fasilitator. Saya paham betul, bahwa di sini dilatih kemandirian. Tapi saya tidak menyangka untuk usia SMA seperti ini saya benar-benar dibebaskan untuk menentukan apa yang harus dilakukan.

Saya akan menjabarkan beberapa hal yang menjadi konsentrasi saya beberapa waktu belakangan. Saya akan mulai dari metode pembelajaran. Siapa yang tidak suka jam kosong saat pelajaran dimulai? Mungkin semua siswa akan menjawab dengan lantang bahwa tidak ada yang tidak suka dengan jam kosong belajar. Saya pun demikian. Namun kondisi yang menimpa saya dan teman-teman sekolah tidak bisa terus-terus ‘meng-iya-kan’ bahwa kami senang dengan jam kosong. Jam kosong di sini sangat berbeda. Hampir setiap hari ada jam kosong. Kalau pun tidak ada, jam pelajaran yang diisi oleh guru-guru sangat tidak efektif. Tidak sedikit guru-guru yang ketika jam mengajar, tapi diisi dengan motivasi atau ceramah keagamaan.

Saya paham bahwa itu adalah hal yang penting. Saya juga terkadang menikmati motivasi dan ceramah yang disampaikan. Akan tetapi hal itu membuat saya sebagai pelajar tidak mendapatkan asupan utama berupa materi-materi pelajaran. Materi pelajaran yang sangat berguna untuk tes masuk perkuliahan. Saya adalah seorang anak jurusan IPA tapi sampai sekarang tidak ada satu pun materi yang melekat. Materi jurusan IPA saja saya tidak mengerti, apalagi materi lintas minat IPS. Sedang untuk keagamaannya saya juga ragu bahwa saya bisa dengan benar bertingkah laku serta beribadah sesuai dengan syariat-syariat Islam. Lalu bagaimana dengan bahasa? Saya merasa bahwa penguasaan bahasa asing saya terutama bahasa Inggris, menurun drastis.

Seperti yang dituliskan sebelumnya, penerapan jam kosong dan ketidakefektivan pembelajaran merupakan faktor utama saya tidak bisa mendapatkan ilmu tentang mata pelajaran. Jam kosong mungkin disukai oleh siswa-siswi. Tapi hal itu tidak boleh diteruskan. Kenapa? Karena hakikatnya kita bersekolah memang untuk mendapatkan ilmu dan pengajaran. Bukan hanya tidur atau bermain-main di kelas. Semakin kosong jam pelajaran, semakin sulit pula siswa-siswi untuk memahami sebuah mata pelajaran. Jam kosong yang ditinggalkan guru-guru terkadang dengan tugas atau catatan, namun tak jarang benar-benar kosong. Membuat saya dan teman-teman bingung dan tidak tahu harus melakukan apa selain tidur, makan, dan bermain.

Baik, mungkin pembaca sekalian akan bertanya-tanya mengapa saya tidak inisiatif saja belajar mandiri. Yang pertama, tidak semua orang bisa belajar mandiri. Bukankah saya bersekolah karena saya ingin mendapat pengajaran dari guru berkualitas? Yang kedua saya dan teman satu angkatan bahkan tidak tahu materi pelajaran kami apa. Di sini semua serba elektronik, maka kami tidak diberikan buku fisik. Sedangkan saya rasa kehadiran buku fisik itu sangat membantu proses pembelajaran. Setidaknya dengan memiliki buku fisik yang sama, para siswa dapat menyamakan materi yang perlu dipelajari.

Poin yang kedua terkait dengan ulangan akhir atau pertengahan semester. Siapa lagi yang jika ditanya perlu kisi-kisi ulangan akan menjawab tidak? Sebagian besar pelajar pasti membutuhkan kisi-kisi. Namun yang mengherankan saya adalah kisi-kisi yang diberikan bukanlah seperti yang biasanya. Saat ulangan akhir semester kami bahkan dapat bocoran soal dan jawabannya dari guru-guru, dengan alih kisi-kisi. Bagaimana mungkin kami jadi manusia yang berpikir kritis kalau ulangan pun hanya mengandalkan modal hapalan jawaban? Bagaimana mungkin kami jadi ingin belajar lebih banyak hal dan mengetahui materi secara mendalam, jika soal yang keluar sama persis dengan kisi-kisi yang diberikan?

Saya sungguh jengkel dengan sistem pelajaran di sini. Bukan hanya sistem pembelajaran, kegiatan dan peraturan juga membuat saya ingin sekali mengubah sekolah ini. Lucunya saya bahkan merasakan, bahwa saya di sini bukan sebagai pembelajar. Saya di sini sebagai pembangun sekolah. Karena saya tidak belajar sebagaimana pelajar seusia saya, tapi saya membuat kegiatan, peraturan, mengajak banyak orang, dan sebagainya. Saya tidak masalah dengan hal itu, tapi saya ingin agar saya dapat pula mendapat ilmu pelajaran sebagai bekal di masa depan.

Ini hanyalah sudut pandang saya sebagai seorang pelajar yang labil namun tak mau pola pikir saya terkekang begitu saja. Mungkin dari hal-hal tersebut banyak yang tidak saya ketahui, ya karena memang transparansi di sini kurang sekali. Tapi poin utama dari sudut pandang ini adalah, saya menginginkan pendidikan yang bisa membuat saya intelek. Pendidikan yang memberikan ilmu pelajaran yang nantinya berguna untuk perkuliahan dan pekerjaan. Saya sangat senang dengan ilmu hidup yang bisa didapat di sini. Namun saya akan lebih senang dan bangga lagi apabila ilmu hidup tersebut dibarengi dengan ilmu pelajaran yang mendalam sehingga bisa saya gunakan untuk menggapai mimpi-mimpi saya kedepannya.

Masih banyak hal yang ingin saya katakan terkait dengan sistem pendidikan di sekolah saya. Tapi akan saya cukupkan sampai di sini. Seiring dengan waktu saya harap bisa menemukan jawaban atas gelisahnya diri. Terima kasih, apabila terdapat opini pribadi silahkan berkomentar di kolom komentar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi : Novel Nebula Karya Tere Liye

Novel “NEBULA” Karya Tere Liye :  Rahasia Pengintai Terbaik dan Kembalinya Musuh Lama Oleh : Lubna Anfaresi Judul                : NEBULA Penulis             : Tere Liye Penerbit             : Gramedia Pustaka Utama Kota Terbit       : Jakarta Cetakan II        : April 2020 Ketebalan         : 376 halaman Pendahuluan             Serial Bumi merupakan salah satu serial yang dikeluarkan oleh penulis Tere Liye dan berhasil menarik minat pembaca di tanah air. Serial fantasi ini sudah memiliki sembilan seri dengan seri terbaru berjudul “NEBULA”. Sama seperti seri sebelumnya yang berjudul “SELENA”, seri ke-9 ini menceritakan kisah dari sudut pandang Selena sebaga...

Masak, Makan, Lempah Kuning

  Masak, Makan, Lempah Kuning “Wew, banyak kenek ge. Basing ka lah pon!” [1]             Ucapan dari Ami, gadis Bangka yang sudah kutemui sejak lima hari bertugas di daerah ini, terus terngiang di antara malam-malam sepi di kamar berukuran lima kali tujuh meter. Suaranya begitu tinggi, mencekam, dan rasanya penuh kebencian. Raut wajahnya yang mengerut itu terus terbayang, juga ucapan dengan bahasa yang aku tidak mengerti sama sekali. Jauh dari mal perbelanjaan, kafe yang selalu ramai, atau sekadar lalu lintas kota Yogya, aku terjebak sampai sembilan hari kedepan untuk mengerjakan tugas kuliahku di sini. Aku tidur menumpang kepada salah satu warga kenalan kawan kuliahku, yang juga berasal dari Bangka. Katanya itu adalah rumah seperadik [2] -nya. Pintu kamar yang menjadi tempat tidurku sementara tiba-tiba diketuk dari luar. Aku menghela napas, mencoba meraih gagang pintu dan membiarkan sinar lampu di ruang tengah masuk ke d...

Nugget

Pernah berpikir untuk masak nugget goreng yang dicocol dengan cuko ? Itu yang Bene lakukan. Aneh, iya. Tapi Bene tidak akan peduli dengan komentar orang, karena toh dia sekarang ada di kontrakannya. Sendirian. Setelah berkutat dengan kertas-kertas laporan praktikumnya selama satu semester, Bene bisa beristirahat sejenak. Gadis itu tidak pergi ke luar kontrakannya, kecuali untuk membeli makan atau bahan masakan. Keinginannya untuk naik gunung setiap liburan juga harus kandas. Alasanya sederhana, karena ia tidak punya teman untuk naik ke atas sana. Jika kalian semua mendorong gadis itu untuk pergi sendiri,             “Terima kasih.” Dua kata itu akan keluar dari bibirnya yang sedikit kering. Saran dari kawan-kawan dekatnya, biarkan saja Bene asyik dengan dunianya. Ia bisa saja pergi ke Bandung sekarang juga, atau ke Jakarta. Tapi buat apa? Ia tidak mau menghabiskan lebih banyak uang beasiswa yang baru cair satu pekan lalu...