Herannya
saat ini, ketika saya sedang mengampu pendidikan sekolah menengah atas, fungsi
dan tugas tersebut sama sekali tidak saya rasakan. Saya bersekolah tapi seperti
tidak bersekolah. Saya punya guru tapi seperti tidak punya guru. Rasanya di
sini saya hanya berjuang sendiri, sedangkan guru benar-benar hanya menjadi
fasilitator. Saya paham betul, bahwa di sini dilatih kemandirian. Tapi saya
tidak menyangka untuk usia SMA seperti ini saya benar-benar dibebaskan untuk
menentukan apa yang harus dilakukan.
Saya
akan menjabarkan beberapa hal yang menjadi konsentrasi saya beberapa waktu
belakangan. Saya akan mulai dari metode pembelajaran. Siapa yang tidak suka jam
kosong saat pelajaran dimulai? Mungkin semua siswa akan menjawab dengan lantang
bahwa tidak ada yang tidak suka dengan jam kosong belajar. Saya pun demikian.
Namun kondisi yang menimpa saya dan teman-teman sekolah tidak bisa terus-terus ‘meng-iya-kan’
bahwa kami senang dengan jam kosong. Jam kosong di sini sangat berbeda. Hampir
setiap hari ada jam kosong. Kalau pun tidak ada, jam pelajaran yang diisi oleh
guru-guru sangat tidak efektif. Tidak sedikit guru-guru yang ketika jam
mengajar, tapi diisi dengan motivasi atau ceramah keagamaan.
Saya
paham bahwa itu adalah hal yang penting. Saya juga terkadang menikmati motivasi
dan ceramah yang disampaikan. Akan tetapi hal itu membuat saya sebagai pelajar
tidak mendapatkan asupan utama berupa materi-materi pelajaran. Materi pelajaran
yang sangat berguna untuk tes masuk perkuliahan. Saya adalah seorang anak
jurusan IPA tapi sampai sekarang tidak ada satu pun materi yang melekat. Materi
jurusan IPA saja saya tidak mengerti, apalagi materi lintas minat IPS. Sedang
untuk keagamaannya saya juga ragu bahwa saya bisa dengan benar bertingkah laku
serta beribadah sesuai dengan syariat-syariat Islam. Lalu bagaimana dengan
bahasa? Saya merasa bahwa penguasaan bahasa asing saya terutama bahasa Inggris,
menurun drastis.
Seperti
yang dituliskan sebelumnya, penerapan jam kosong dan ketidakefektivan
pembelajaran merupakan faktor utama saya tidak bisa mendapatkan ilmu tentang
mata pelajaran. Jam kosong mungkin disukai oleh siswa-siswi. Tapi hal itu tidak
boleh diteruskan. Kenapa? Karena hakikatnya kita bersekolah memang untuk
mendapatkan ilmu dan pengajaran. Bukan hanya tidur atau bermain-main di kelas.
Semakin kosong jam pelajaran, semakin sulit pula siswa-siswi untuk memahami sebuah
mata pelajaran. Jam kosong yang ditinggalkan guru-guru terkadang dengan tugas
atau catatan, namun tak jarang benar-benar kosong. Membuat saya dan teman-teman
bingung dan tidak tahu harus melakukan apa selain tidur, makan, dan bermain.
Baik,
mungkin pembaca sekalian akan bertanya-tanya mengapa saya tidak inisiatif saja
belajar mandiri. Yang pertama, tidak semua orang bisa belajar mandiri. Bukankah
saya bersekolah karena saya ingin mendapat pengajaran dari guru berkualitas?
Yang kedua saya dan teman satu angkatan bahkan tidak tahu materi pelajaran kami
apa. Di sini semua serba elektronik, maka kami tidak diberikan buku fisik.
Sedangkan saya rasa kehadiran buku fisik itu sangat membantu proses
pembelajaran. Setidaknya dengan memiliki buku fisik yang sama, para siswa dapat
menyamakan materi yang perlu dipelajari.
Poin
yang kedua terkait dengan ulangan akhir atau pertengahan semester. Siapa lagi
yang jika ditanya perlu kisi-kisi ulangan akan menjawab tidak? Sebagian besar
pelajar pasti membutuhkan kisi-kisi. Namun yang mengherankan saya adalah
kisi-kisi yang diberikan bukanlah seperti yang biasanya. Saat ulangan akhir
semester kami bahkan dapat bocoran soal dan jawabannya dari guru-guru, dengan
alih kisi-kisi. Bagaimana mungkin kami jadi manusia yang berpikir kritis kalau
ulangan pun hanya mengandalkan modal hapalan jawaban? Bagaimana mungkin kami
jadi ingin belajar lebih banyak hal dan mengetahui materi secara mendalam, jika
soal yang keluar sama persis dengan kisi-kisi yang diberikan?
Saya
sungguh jengkel dengan sistem pelajaran di sini. Bukan hanya sistem
pembelajaran, kegiatan dan peraturan juga membuat saya ingin sekali mengubah
sekolah ini. Lucunya saya bahkan merasakan, bahwa saya di sini bukan sebagai
pembelajar. Saya di sini sebagai pembangun sekolah. Karena saya tidak belajar
sebagaimana pelajar seusia saya, tapi saya membuat kegiatan, peraturan,
mengajak banyak orang, dan sebagainya. Saya tidak masalah dengan hal itu, tapi
saya ingin agar saya dapat pula mendapat ilmu pelajaran sebagai bekal di masa
depan.
Ini
hanyalah sudut pandang saya sebagai seorang pelajar yang labil namun tak mau
pola pikir saya terkekang begitu saja. Mungkin dari hal-hal tersebut banyak
yang tidak saya ketahui, ya karena memang transparansi di sini kurang sekali.
Tapi poin utama dari sudut pandang ini adalah, saya menginginkan pendidikan
yang bisa membuat saya intelek. Pendidikan yang memberikan ilmu pelajaran yang
nantinya berguna untuk perkuliahan dan pekerjaan. Saya sangat senang dengan
ilmu hidup yang bisa didapat di sini. Namun saya akan lebih senang dan bangga
lagi apabila ilmu hidup tersebut dibarengi dengan ilmu pelajaran yang mendalam
sehingga bisa saya gunakan untuk menggapai mimpi-mimpi saya kedepannya.
Masih
banyak hal yang ingin saya katakan terkait dengan sistem pendidikan di sekolah
saya. Tapi akan saya cukupkan sampai di sini. Seiring dengan waktu saya harap
bisa menemukan jawaban atas gelisahnya diri. Terima kasih, apabila terdapat
opini pribadi silahkan berkomentar di kolom komentar.
Komentar
Posting Komentar