Sebuah
surat kembali kuletakkan di atas meja Amsyar. Surat dengan sampul berwarna
putih kusam, dengan inisial ‘K’ di bagian belakangnya. Remaja usia tujuh belas
tahun berwajah keturunan arab itu sedang pergi bermain bola bersama teman-temannya.
Sebuah kesempatan yang selalu kugunakan untuk menyampaikan perasaan lewat
goresan tinta gadis kelas sebelah.
Kirana, itulah gadis yang selalu
menitipkan rasa yang bergejolak setiap melihat Amsyar kepadaku. Aku berteman
baik dengannya. Telah berkenalan sejak awal kepindahannya di dekat rumahku,
atau kurang lebih enam tahun yang lalu. Saat tahun pertama sekolah menengah
atas, selalu bercerita tentang betapa tampannya wajah Amsyar. Rambut hitamnya
selalu dirapikan ke belakang. Sengaja betul menunjukkan kening yang lebar.
Matanya dipasangkan sebuah kacamata berlensa kotak dan lebar. Hidungnya besar
dan mancung, kumis tipis terpasang rapi di bawahnya. Amsyar, nama itu selalu
dielu-elukan gadis di sekolah. Aku tak menyangkal bahwa Ia memiliki pesona
sebaik itu, tapi aku tak lebay pula seperti yang lain. Ia biasa saja di mataku.
Brak!
“Kacau! Tadi harusnya kau bisa
mencetak satu gol lagi. Kita jadi kalah dari anak kelas sepuluh,” seru Gilang
yang baru saja menyelesaikan satu pertandingan. Pukulannya di daun pintu
membuat orang-orang tersentak kaget.
“Sudahlah, tadi hanya latihan saja.
Kita bantai mereka waktu classmeeting. Aku yakin skor akan jauh sekali
dan kita akan jadi pemenangnya!” Amsyar menjawab perkataan Gilang dengan tangan
di kepal ke atas.
Seragam putih yang mereka gunakan
telah berganti menjadi kaus berwarna gelap. Masing-masing tangan membawa
seragam yang pasti sudah kusut dan tak bagus lagi jika dipandang. Aku melirik
sejenak ke arah pintu masuk. Memastikan bahwa yang datang itu benar Amsyar.
Lantas wajahku kembali kupasangkan topeng palsu, menyembunyikan perbuatanku
pagi ini.
“Pagi
Ren!” sapa Amsyar setibanya di tempat duduk.
Seragamnya
ia letakkan di kursi. Menunggu keringat kering sambil menggerakan buku layaknya
kipas tangan. Bibirnya membentuk senyum lebar. Aku balas menyapa dengan mata
tetap fokus pada tugas kelas. Singkat saja kubalas.
“Ah,
ini surat lagi?” kini Ia bertanya. Diambilnya kertas di atas meja, lantas
dibuka dan dibaca isinya, “siapa yang senang menulis surat-surat ini kepadaku?
Ren, kau tahu tidak? Aku penasaran sekali. Ini surat keempat dari orang yang
sama.”
“Manalah
aku tahu, Syar. Kau cari tahu saja sendiri. Bukankah kau sudah membaca keempat
surat itu?” aku menjawab dengan malas. Berusaha untuk tidak melihat ke arahnya
barang sekejap.
“Mungkin
kau pernah melihat seseorang meletakkannya di atas mejaku?”
Aku
menggeleng keras, “entahlah, aku tak pernah setertarik itu untuk melihat ke
arah orang lain.”
“Yah,
kau hanya asyik dengan hidupmu sendiri. Baiklah akan kusimpan surat-surat ini
sampai si pengirim benar datang kepadaku,” Amsyar lantas berbalik badan dan
duduk di kursinya. Beberapa saat kemudian ia memasangkan seragam dan
mengeluarkan beberapa buku tulis.
Kebiasaannya
yang sudah kuhapal. Sebuah botol berwarna hitam diletakkan di atas meja. Pena
hasil perburuan di tiap-tiap kelas mulai menuangkan segala isi pikirannya. Ia
sedang membuat sajak, terkadang puisi. Setelah jadi karyanya itu, Ia otomatis
akan bertanya pendapatku. Dengan suaranya yang tegas namun lembut, Ia
menjelaskan arti kata per kata, dan kalimat per kalimat. Amsyar ingin pendapat
yang jujur, maka jika aku tak tertarik dengan tulisannya aku bilang jelek. Jika
aku tertarik maka aku sebut pula bagus.
Selama
dua bulan duduk di belakangnya aku sudah membaca total enam puluh sajak.
Tentang hidup, cinta, teman, politik, budaya, alam, dan segala apa yang
tertuang. Selama dua bulan itu pula aku mempelajari bahasa sastra yang ia
gunakan. Indah, unik, dan menarik untuk dinikmati. Tak hanya bahasa yang Amsyar
gunakan, aku juga memerhatikan tulisan tangannya. Begitu rapi dan bersih. Jika
dibandingkan dengan tulisanku akan jauh sekali perbedaannya.
Setelah
dia memberikan sajaknya kepadaku, Amsyar akan mulai mengerjakan latihan soal. Tumpukan
kertas-kertas yang sudah terlihat rusak akan memenuhi meja belajarnya.
Buku-buku rumus fisika tertumpuk sembarang dengan kondisi terbuka. Ia akan
mulai masuk mode seriusnya. Begitulah Amsyar, yang menjadi primadona di sekolah
ini. Selain jago berolahraga, dirinya juga cerdas di dalam dan luar kelas.
Hatinya juga terlatih dan tertata karena sajak-sajaknya. Ia sempurna.
***
“Bagaimana
reaksinya, Ren?” pertanyaan rutin yang Kirana sampaikan kepadaku.
“Ia
lagi-lagi bertanya siapa pengirimnya. Kalau menurutku lebih baik kau tampakkan
saja dirimu. Amsyar benar-benar penasaran setiap mendapat surat darimu. Dia
bilang di antara semua surat, punyamu yang paling indah kata-katanya,” jelasku
sambil memotong bakso Mang Sony.
“Hah!
Benarkah? Aduh, kenapa kau baru bilang sekarang, Ren?”
“Aku
sudah bilang dua kali, kau mana ada peduli. Maunya sembunyi-sembunyi terus.”
Kirana
menutup wajahnya yang memerah. Rambutnya yang dikuncir kuda bergerak ke
kiri-kanan. Aku hanya tersenyum tipis melihat tingkah karibku yang satu ini. Walau
terkadang risih juga harus menjadi kurir cintanya, tapi aku berharap ia
berhasil. Sudah berkali-kali ia jatuh cinta, dan sudah berkali-kali juga ia
hanya mendapat jatuhnya. Kalau pun pernah mendapat cinta hanyalah berlangsung
beberapa hari saja.
Jika
dibandingakan dengan gadis-gadis saingannya aku yakin dia akan berhasil.
Wajahnya memang tak semanis Diska, nilainya juga tak sebesar Salma, tapi
strateginya lebih mulus dibanding siapa pun. Aku yang sudah duduk lama di
belakang Amsyar menyarankan Kirana untuk mengirimkan surat-surat cinta. Tapi
bukan yang lebay, Amsyar tak akan pernah membacanya. Mendekati Amsyar haruslah lewat
tulisan-tulisan sastra. Tulisan yang meningkatkan gelora cinta semasa ramaja.
Beruntungnya
aku selalu punya kesempatan untuk mengidentifikasi tulisan macam apa yang
disenangi Amsyar. Dengan kesempatan itu aku bisa menilai surat-surat cinta
Kirana. Itulah mengapa setiap Amsyar membaca kertas berwarna putih kusam dengan
inisial ‘K’, terbentuk senyuman di wajahnya. Matanya yang terbingkai juga ikut
menyipit. Lantas suratnya dirapikan dan disimpan ke dalam tas.
“Bagaimana
kalau besok aku menemuinya?” Kirana bertanya setelah puas membayangkan wajah
tampan Amsyar.
“Silahkan,
tapi kau jangan tarik aku untuk bertemu,” jawabku sekenanya.
***
Dag, dig, dug
Suara
degup jantung berpacu cepat. Aku masih berada di dalam kelas ketika sekelompok
siswa ramai berkumpul di depan. Ini adalah sesuatu yang sangat dinantikan seluruh
siswa di sekolahku. Mungkin juga menjadi mimpi buruk bagi puluhan gadis yang
meletakkan harap tingginya. Tatap mata fokus hanya melihat ke sumber, suara bisikan
mulai ramai. Banyak yang tak menyangka dengan kejadian hari ini. Pun aku
demikian. Tat kala sang tokoh utama mulai menyebutkan sepatah kata, semua yang
berada di sana serempak menahan napas.
“Ran,
mungkin perkenalan kita hanyalah sebentar. Tapi di setiap kata yang tertuang
dalam surat-suratmu itu, aku rasa kau adalah jawabannya.”
Teriakan
histeris gadis kelas bawah membuat orang-orang menoleh. Beberapa juga ada yang
menyerah dan mulai balik ke kelas. Tangisan kecewa akibat usahanya selama ini
mulai memenuhi lorong tempat cinta dinyatakan. Beberapa laki-laki sibuk
menyoraki, akhirnya teman mereka jatuh juga pada satu perempuan pilihannya. Sedangkan
yang menerima, menahan rasa malu dan senang yang bercampur aduk dengan wajahnya
yang memerah.
"Ran,”
“Iya, Syar?”
“Bisakah
kita lebih dari teman surat-menyurat? Bisakah kau tak lagi bersembunyi dari
samaranmu itu?”
Suara
yang ramai memenuhi jam istirahat pertama. Guru-guru mulai berdatangan. Sedangkan
aku yang berada di dalam kelas menaikkan volume musik, berhenti mengerjakan
tugas. Aku tak lagi fokus. Pikirku entah melayang ke mana. Pena di tangan mulai
melukiskan kisah hidup. Lepas kertas tercoret, aku sobek. Lepas jadi satu larik,
aku buang. Mencoba mencari inspirasi, mencoba menuangkan isi hati dan pikiran
yang membludak.
Jantungku
berdegup lebih cepat. Perasaan aneh yang muncul dan tenggelam sejak beberapa
hari yang lalu kembali melingkupi. Aku tak yakin. Lebih tepatnya tak mau
meyakini. Terasa hampa, sekaligus penuh. Terasa ingin keluarkan semuanya. Sekaligus
ingin sembunyikan.
Aku
menarik napas. Mencoba memahami lagi soal-soal yang telah kupelajari semalam
suntuk. Merasa gagal untuk kesekian kalinya. Ujian kali ini aku tak boleh
gagal. Ujian kali ini aku harus kerahkan dengan maksimal. Aku kembali mengambil
buku yang telah kututup. Membaca isinya dengan cermat dan menimang-nimang
jaawaban yang benar. Siang ini akan ada ujian biologi dan aku tak ingin
mendapat nilai kecil. Botol air minum kuteguk tiga kali, musik yang terputar
berganti menjadi lebih santai, sedangkan di luar masih ramai sorak-sorai kisah
kasih di sekolah.
***
Sebuah
surat kembali kuletakkan di atas meja Amsyar. Surat dengan sampul berwarna
putih kusam. Remaja usia tujuh belas tahun berwajah keturunan arab itu sedang
pergi bermain bola bersama teman-temannya. Sebuah kesempatan yang kugunakan
untuk menyampaikan perasaan lewat goresan tinta.
Esok
kami akan melaksanakan perpisahan sekolah. Masing-masing sibuk dengan urusannya.
Masing-masing sibuk mengisi hari terakhirnya di SMA. Aku mengemas laci meja
yang penuh dengan kertas corat-coret tak penting. Tak lama kemudian aku menyampirkan
tas di pundak dan berjalan dengan langkah pasti keluar kelas. Angin sepoi mengangkat
jilbab bagian belakangku. Aku menoleh ke kanan dan kiri, mencari teman-temanku yang
lain. Kami akan melakukan foto grup, dilanjutkan dengan jajan di kantin habis-habisan.
Kirana
di ujung lorong melambaikan tangannya. Ia sudah menunggu bersama dua temanku
yang lain. Aku sontak berlari pelan dengan senyum lebar. Beban-beban semasa SMA
tak terasa lagi di pundak. Persiapan kuliahku juga sudah matang, aku tinggal
mendaftar ulang pada universitas pilihanku. Rasanya sudah bebas, walau ada satu
hal yang terus menganggu pikirku. Pikiran yang memenuhi jiwa sejak beberapa
bulan yang lalu. Tapi biarlah Ia berada di sana untuk sebentar lagi. Aku
tinggal menunggu, jika itu terlalu lama maka akan kulupakan. Aku tinggal
menunggu, jika itu buruk akan kutinggalkan.
“Waduh,
Renai senang banget hari ini. Kayak habis menyatakan cinta saja,” celetuk Dinda.
“Bukan
gitu, Din. Ini hari terakhir di SMA! Memangnya kalian enggak senang?” tanyaku
membalas candaan Dinda.
“Senang
banget, akhirnya aku bisa pakai gincu tanpa ketahuan dan disita!” kali ini Nyimas
yang berkomentar.
“Aku
senang juga sih, tapi bakal jarang ketemu sama kalian. Apalagi sama Amsyar,”
“Alamak!
Berhentilah berbicara cinta sama kawan-kawanmu ini. Sudah mending punya pacar,
lihat Renai tiga tahun di SMA tak pernah ada yang mau dengannya,” Dinda
menyenggol bahu Kirana.
“Bukan
tak ada yang mau, dia yang tak mau. Ia kan, Ren?”
“Sudahlah,
mendingan kita foto sekarang. Aku sudah lapar, mau beli empek-empek kuah bakwan
dan gorengan,” aku mengganti topik yang selalu diungkit kawan-kawanku ini.
Kirana,
Dinda, dan Nyimas mengangguk tanda setuju. Perut mereka juga sudah berbunyi
rupanya. Dengan cekatan, Nyimas mengeluarkan telepon pintarnya. Mulai menyusun
formasi dan membuat gaya yang bermacam-macam. Setiap hitungan ketiga kami
berganti gaya. Setelah bergaya langsung kami lihat hasilnya, meminimalisir foto
yang jelek. Sekitar lima belas menit berfoto hanya sepuluh yang disimpan. Kami tertawa-tawa
melihatnya, menciptakan memori yang terbaik semasa SMA. Sambil berbincang asik,
aku melangkahkan kaki bersama tiga karibku menuju tempat terbaik di sekolah.
***
Kepada pemilik langit malam,
Terima kasih telah menemani gelapku,
terima kasih telah menemani sepiku. Kau Purnama yang selalu kunantikan.
Sempurna. Gagah, bercahaya, indah, sempurna.
Aku yang selalu mendengar nyanyianmu.
Aku yang selalu memandang wibawamu. Aku yang selalu terbayang dirimu.
Sempurna. Gagah, bercahaya, indah, sempurna.
Bukan aku tak mengenalmu. Bukan aku ingin
kau celaka. Aku tahu kau sudah bersama nyonya Matahari, tapi izinkan aku pribumi
untuk ungkap kagumku.
Sempurna.
Gagah, bercahaya, indah, sempurna.
Jagalah nyonyamu, jagalah, jagalah.
Sempurna.
Gagah, bercahaya, indah, sempurna.
Penikmat cahaya lembutmu
Kerennn🤩
BalasHapus