Langsung ke konten utama

Setiap Hari

 


Aku mengulang-ngulang sajak yang tertulis di kertas kusam. Kutemukan tergeletak begitu saja di atas mejaku. Goresan tinta yang berbeda. Seperti pernah membaca bahasa sajak ini, tapi tak lagi ingat. Bukan dari Kirana. Ia tak pernah lagi mengirimkan surat-surat seperti ini.

            Aku menyimpannya ke dalam tas. Kurasa sajak ini akan menjadi salah satu favoritku. Sederhana namun bermakna. Orang-orang bilang sajak dan puisi itu tergantung pembacanya. Bagiku juga demikian, tapi kurasa apa yang kupikirkan sama seperti apa yang penulis sajak ini pikirkan. Ada yang disembunyikan tapi tak mau terungkap. Bolehkah ini kujadikan rahasia saja? Tak usah kukatakan pada Kirana. Biarlah surat ini kusimpan, hingga aku tahu siapa penulisnya.

            Ah, kenapa tak kutanyakan saja pada Renai? Dia pasti tahu siapa yang melakukannya,” aku bergumam, mengingat-ingat wajah Renai.

***

            Cahaya matahari menyilaukan pandanganku tatkala asik membuat tulisan-tulisan abstrak. Pada secarik kertas bekas coretan fisika itu kugubah segala benda yang ada di hadapanku. Papan tulis, tembok, jendela, dan lainnya. Aku sedang bosan mengerjakan soal yang tak punya jawaban. Kawan kelas juga sibuk dengan urusan masing-masing. Demikian pula dengan Dodot dan Rahman, teman seperjuanganku yang mungkin sedang menyalin jawaban PR milik orang lain di kelas seberang.

            Dalam asiknya menulis, terdengar sayup-sayup namaku dipanggil. Kuanggap angin lalu saja. Bisa jadi aku pun salah dengar. Bukan Amsyar, tapi Syara. Gadis berkulit putih jambu bandar yang hobi sekali menggunakan kacamata tanpa lensa. Tempat duduknya diujung belakang, menempel dengan tembok. Kalau namaku dipanggil Ia reflek menoleh, begitu sebaliknya. Bahkan saking seringnya kejadian itu terjadi aku pernah meminta teman-teman untuk berhenti memanggilku ‘Amsyar’. Tapi itu tak berlangsung lama, seminggu pun sudah kembali lagi mereka panggil aku dengan Amsyar.

            “Syar, Amsyar!”

            Suara itu kian jelas. Aku sontak menoleh dengan gagap, mencari sumber suara yang sepertinya sudah berang sekali memanggilku. Di depan pintu kelas sudah berdiri gadis sepantaranku dengan kedua tangan di pinggang. Cengiran kuda kuberikan untuk mencairkan suasana. Sedangkan wajahnya sudah menatap malas ke arahku. Aku mengangkat kepalaku, isyarat bertanya.

            “Ada yang mencarimu,” ucap gadis bermata besar itu.

            “Siapa? Perempuan? Kalau perempuan bilang saja aku tidak ada,” aku membalas perkataannya dengan suara yang pelan.

            Terlihat sekali gadis itu lelah berurusan denganku. Matanya Ia sipitkan, kedua alis bertemu. Lantas sepersekian detik kemudian Ia menghembuskan napas dengan berat dan membalikkan tubuhnya ke luar kelas. Bermacam kalimat Ia ucapkan. Terserah apapun, alasan apapun itu aku setuju saja. Asalkan gadis-gadis itu berhenti mengejarku, mengajak ini itu, bilang kata-kata romantis berlebihan, dan sebagainya yang tak aku suka.

            Bukannya aku jual mahal, tapi diantara semua yang coba mendekatiku tak ada yang sesuai dengan inginku. Mereka selalu terang-terangan dan lebay. Ada yang berusaha mendekatiku sejak hari pertama masuk sekolah. Sudah kutolak juga berkali-kali, masih saja bebal. Ada satu yang diam-diam, bermain dengan rapi. Setelah kucari tahu lebih dalam ternyata Ia hobi mencuri dan menganggu barang orang. Ada pula yang cantik sekali, bahkan katanya kami cocok disandingkan. Setelah kucari tahu lebih dalam juga ternyata Ia punya satu cowok di setiap sekolah di kota ini.

            Alhasil Dodot dan Rahman menjulukiku playboy. Entah dari mana mereka bisa memutuskan hal seperti itu, padahal tak satupun gadis kudekati dengan serius. Saat ditanya alasannya, selalu mereka jawab,

“cewek-cewek itu sudah berharap sama kau, Syar. Kau selalu saja balas dengan senyumanmu itu. Kalau tidak, kata-kata yang terlontar dari mulut kau selalu lembut dan penuh perasaan. Kalau tidak, tingkah lakumu itu kadang buat mereka mabuk kepayang. Padahal sudah ditolak tapi tetap saja segala yang kau pikir, kau ucap, dan kau kerjakan bikin mereka salah tingkah. Makanya kau itu playboy!”

Setelah mereka berkata demikian aku pun pasti menepuk punggung keduanya sambil berkata, “tak jelas! Mending kalian belajar lebih banyak lagi!”

            Setelah berurusan dengan orang-orang di depan pintu, gadis itu berjalan ke arahku. Di tangannya telah tergenggam coklat dan bunga imitasi berwarna merah dengan daun-daun kecilnya. Aku memerhatikannya lekat-lekat sambil terus memberikan senyuman terima kasih atas jasanya. Ia kemudian meletakkan dengan ketus di atas kertas yang berserakan, tepat dihadapanku.

            “Mau sampai kapan kau menghindar dari mereka?” tanyanya sambil berlalu ke bangku di belakangku.

            “Entahlah, Ren. Perasaan itu tak bisa dipaksakan. Kalau memang aku tak suka, mau bagaimana lagi?” aku balik bertanya. Perlahan membuka bungkusan coklat yang berukuran cukup besar itu.

            “Kalau begitu, carilah cewek yang kau suka. Biar berhenti orang-orang itu,” ujarnya kemudian. Masih dengan nada ketus yang sama.

            “Kalau aku sukanya sama kau?”

            “Hah? Eh?”

            “Bercanda, hahahaha,”

            Sejurus kemudian sebuah kotak pensil kain dengan isi yang penuh, mendarat mantap di kepalaku. Aku mengaduh tapi tak bisa protes. Sambil melirik ke arah Renai yang kesal atas candaanku, aku lempar senyuman nakal.

           “Kau sebut lagi seperti itu, aku tak mau lagi baca sajak-sajakmu!” ancam Renai. Wajahnya sedikit merah. Matanya menatap ke banyak arah, napasnya tak teratur.

            “Ya ampun, Ibu Renai aku bercanda saja. Tak perlu kau salah tingkah seperti itu,” aku lanjut menggodanya. Belum pernah kulihat Renai seperti ini.

            Wajahnya bertambah merah, bibirnya yang tadi merenggut marah seketika membentuk sabit yang kurindukan. Tangannya kemudian menutup wajahnya. Ia bangkit dari berdirinya, membalikkan badan ke arah tembok. Lantas berjongkok seperti orang sedang menerima kegagalan. Suaranya tak lagi terdengar. Napasnya bertambah tak teratur, terlihat dari tubuh mungilnya yang bergerak-gerak.

            “Hei, Ren. Kau jangan marah hanya karena kugoda seperti itu. Itu sebagai latihan saja, supaya kalau-kalau kau bertemu orang yang suka menggoda kau tak gampang luruh seperti ini,” kataku mengarang alasan.

            Tak terdengar sepatah kata pun dari Renai. Aku mulai merasa tak tenang. Otakku memutar cara agar Ia kembali bicara denganku dan duduk di bangkunya. Haruskah aku minta maaf atau haruskah aku lempar candaan lagi? Seribu pertanyaan menggantikan soal-soal fisika yang tadi kukerjakan. Memaksaku untuk menjawabnya, sedangkan sang pemilik jawaban sedang berjongkok sambil membisu. Degup jantung yang tak menentu membuat efek dramatis di sekeliling kami.

Teman-teman kelas juga mulai memperhatikan. Bahkan Syara dipojok kelas mulai mengidentifikasi apa yang terjadi. Dengan suaranya yang cempreng dan lantang Ia memprovokasi teman-teman untuk menyudutkanku, seakan semua salahku. Walau memang ini salahku.

“Amsyar, kau apakan Renai? Seumur-umur aku belum pernah melihatnya duduk jongkok seperti orang bodoh. Kau rebut alat-alat tulisnya, kah? Oh, atau jangan-jangan kau mencontek ulangan dengannya tapi nilai kau lebih besar dari Renai. Sungguh Amsyar, ternyata kau punya sisi gelap seperti ini.”

Panjang lebar Syara berbual tentang kejadian aku dan Renai. Hebatnya teman-teman kelas juga ikut mendukung pernyataan tidak masuk akal Syara. Tak lama terdengar suara Gilang dari meja guru tempatnya duduk santai.

“Bukan, Syar. Dia dan Renai tadi sedang saling menggombal, jadilah Renai salah tingkah.”

Aku tambah bingung harus merespon bagaimana. Semua suara merundung dan memojokkanku. Beberapa juga bersiul-siul, mulai menjodoh-jodohkan kami berdua.  Tak lagi bisa aku berpikir jernih. Bahkan untuk sekadar membalas kalimat teman-teman kelas yang makin nyeleweng ke mana-mana pun tak bisa kulakukan.

Namaku kembali dipanggil saat aku baru saja membuka mulut, ingin meminta maaf. Dodot dan Rahman merangsek, membuyarkan kalimat-kalimat yang membuatku tak berdaya saat itu. Mereka bagaikan pahlawan di siang hari. Membantu walau telat dan sudah hampir selesai permasalahannya.

“Amsyar! Pak Toni mencarimu. Dia tanya program OSIS untuk bulan depan. Kau selesaikanlah, si Agus itu entah hilang kemana. Sudah capek kami cari keliling sekolah ini,” ucap Dodot dengan wajah meringisnya.

“Ada apa lagi ini? Jelek sekali wajahmu, Syar!” tanya Rahman kemudian.

“Macam kau tampan saja, Man,” celetuk salah satu kawan kelasku.

“Di mana Pak Toni, Dot?” tanyaku mengembalikan arah pembicaraan.

“Biasa, di kantin pojok. Sedang makan bakso tusuk plus teh botol dan sebatang DjiSamSoe."

Aku beranjak dari tempat dudukku. Memilih untuk menemui Pak Toni terlebih dahulu. Berharap pula aku bisa menemukan metode yang tepat untuk meminta maaf kepada Renai. Kaki yang terasa berat, aku angkat menuju luar kelas. Sorak-sorai menyertaiku untuk membujuk Renai. Sedangkan gadis itu masih tidak bergeming di dekat tempat duduknya.

 ***

            Buk!

            Tendangan mantap terarahkan menuju gawang lawan. Bola berwarna jingga yang sudah pudar dan jelek itu melesat bagaikan komet tanpa ekor. Jejak-jejak tanah yang basah oleh hujan kemarin malam ikut terangkat, memberi sedikit dorongan. Ia membawa misi yang sungguh mulia. Masuk ke gawang lawan, lantas poin akan menjadi seri. Jika bola tersebut berhasil melakukan misinya maka selamatlah tujuh orang pemain yang sudah basah oleh keringat masing-masing. Yah, setidaknya mereka hanya perlu melakukan gol sekali lagi dan berdoa tim lawan tidak berhasil.

Buk!

Sayangnya sang kiper berhasil menahan bola yang bergerak cepat dan tiba-tiba itu. Suaranya sungguh nyaring dan agaknya menyakiti dada penjaga gawang yang wajahnya tak lagi enak dipandang akibat tanah kuning yang terciprat kemana-mana. Tim lawan yang dipimpin oleh Pandi berteriak histeris, mereka heboh sendiri. Saling berpelukan satu sama lain dan sibuk mengepalkan tangan ke atas. Beberapa bahkan melakukan selebrasi yang berlebihan.

Sedangkan timku atau yang kalah, merutuk kesal. Beberapa kata kasar meluncur tanpa dosa. Ada pula yang melihat sinis ke arah lawan, dan sisanya menenangkan sambil meraih botol minum. Meneguknya sampai habis tanpa ingat bahwa ada teman tim yang juga kehausan. Permainan hari ini cukup dramatis dan menguras emosi. Padahal ini hanya pertandingan bola biasa, tanpa hadiah, dan tanpa kejuaraan pula. Namun siapa pun yang menontonnya pasti paham mengapa bisa sampai seemosional ini. Nanti akan aku ceritakan di lain hari.

Agenda yang rutin dilakukan di sini, bermain bola pagi-pagi sekali sebelum pelajaran dimulai. Walaupun kami tahu keringatnya akan memicu bau badan yang tak terelakkan, serta memecah konsentrasi belajar diri sendiri dan orang lain. Biasanya permainan akan dimulai pukul enam pagi selama empat puluh lima menit pada hari Selasa, Jumat, dan Sabtu. Bukan program sekolah sebenarnya, bukan pula program OSIS. Olahraga seperti ini spontan saja dilakukan oleh siswa-siswa untuk meningkatkan persaudaraan dan kemampuannya. Yah, walau pada akhirnya ada pula yang bermain menggunakan emosi seperti kami saat ini.

Setelah memberi pengarahan kepada teman-teman timku, aku berjalan menuju kelas. Diikuti pula oleh Dodot dan Rahman yang masih geram membahas kekalahan tim kami pagi ini. Seragam putih disampirkan pada pundak masing-masing. Keringat masih menetes dan lengket di badan. Aroma semerbak mulai muncul. Untungnya kami punya parfum bersama di kelas. Jadi tak perlu khawatir dengan bau badan.

Tak perlu waktu lama untuk tiba di kelas tercinta. Saat masuk ke dalam, seperti biasa kawan kelasku asik dengan kegiatannya. Ada rombongan Hasan yang berkelakar dengan tawanya yang memenuhi ruangan sempit, ada Syara dan dua karibnya di pojokan sedang mencoba kosmetik baru, ada Ibnu yang duduk sendiri di kursi sambil membaca ‘Rindu’ karya Tere Liye, ada juga Cece yang nama aslinya Meisya sedang bercengkrama dengan kekasihnya yang beda agama Ade, dan yang terakhir tertangkap mataku tentu Renai. Ia duduk tepat di belakang bangkuku, sedang mengerjakan tugas atau latihan soal atau sedang membaca buku atau entahlah.

Semenjak kejadian aku menggodanya, Renai jadi lebih diam. Aku bicara panjang lebar hanya dijawab satu kata, bahkan tak jarang Ia diam saja. Aku sudah berusaha meminta maaf, dan Renai juga sudah memaafkan katanya. Tapi suasana yang canggung itu masih melingkupi tempat duduk kami. Padahal dirinya lah yang paling sering kuajak bicara atau diskusi mata pelajaran. Kini sudah satu minggu berlalu, masalah di OSIS pun sudah selesai namun masalah gadis di belakangku ini tak kunjung usai.

Brak!

“Kacau! Tadi harusnya kau bisa mencetak satu gol lagi. Kita jadi kalah dari anak kelas sepuluh,” Gilang masuk dengan emosi yang belum stabil.

Memang dari pertandingan tadi dia masih belum terima kalah. Terlebih Gilang sudah mencetak gol tiga kali yang disusul pula oleh tim lawan, hingga jadilah pertandingan penalti. Keringatnya bercampur dengan air yang Ia basuhkan, hingga basahlah baju dalamnya. Rahangnya keras begitu pun dengan kepalanya. Sulit untuk mengendalikan Gilang yang sedang emosi. Jangan pernah kalian membalas api Gilang, Ia akan semakin berkobar dan menjadi lebih liar.

Aku yang kena semprot Gilang membalasnya santai. Tabiat kawanku satu ini memang tak perlu dianggap serius terus-menerus.

“Sudahlah, tadi hanya latihan saja. Kita bantai mereka waktu classmeeting. Aku yakin skor akan jauh sekali dan kita akan jadi pemenangnya!”

“Semoga saja, Syar. Kalau kau mengacaukan lagi dan tidak mencetak satu gol, jangan harap baik-baik saja setelahnya. Aku betulan kesal dengan kelas mereka itu!” Gilang membalas jawabanku.

Yah, tidak hanya kau, Lang, kita semua kesal dengan adik kelas tak punya sopan santun itu,” kini Dodot ikut dalam dialog.

Classmeeting tidak akan lama lagi. Setelah kita fokus belajar dan mendapat nilai terbaik, barulah kita hajar mereka agar bisa rebut piala tahun lalu!”

Rahman berseru mantap. Mereka bertiga kemudian terlarut dalam percakapan classmeeting. Aku memilih untuk kembali ke tempat duduk demi melihat sepucuk surat tergeletak di atas meja.

“Pagi, Ren!” sapaku kepada Renai yang tenggelam dalam dunianya.

Aku menggantung seragam putihku ke bangku, lantas membuka surat yang kurasa sudah lama menunggu dibaca. Kuperhatikan dengan saksama, lagi-lagi surat dengan kertas kusam berinisial ‘K’. Sudah empat kali surat ini nongkrong di mejaku. Jadwalnya sama persis. Setiap aku melakukan pertandingan antar kelas.

Pengirim surat ini sungguh membuatku bertanya-tanya. Tak pernah sekalipun kubalas suratnya, karena aku pun tak kenal dengan pengirimnya. Isinya terkadang kalimat-kalimat jelas bahwa Ia menyukaiku, kadang juga kata-kata yang dirangkaikan indah. Aku tak masalah dengan surat-surat ini. Aku menikmatinya. Tapi siapalah sang pengirim surat ini? Siapa yang membuat kata dan kalimat sederhana namun begitu manis jika terus-terusan dibaca?

“Kau tahu siapa pengirim surat ini, Ren? Ini sudah surat keempat yang kubaca, tapi masih tidak tahu siapa yang mengirimnya,” tanyaku kepada Renai. Akhirnya kami punya topik bicara lagi.

“Manalah aku tahu, Syar. Kau cari tahu saja sendiri. Bukankah kau sudah membaca keempat surat itu?” jawabnya dengan ketus. Aku jadi ciut untuk mengajaknya bicara lagi.

“Barangkali kau pernah melihat seseorang meletakkannya. Bangku kita, kan berdekatan,”

“Aku tak pernah tertarik melihat meja orang lain,” lagi dijawabnya dengan ketus.

Aku yang baru saja gagal mencetak gol, kekalahan tim kami pagi ini, kegiatan OSIS yang tak dihiraukan ketuanya, persiapan ulangan akhir, dan sekarang Renai yang masih berulah. Semua emosi itu menyeruak dalam dada. Air mukaku sudah berubah. Tak bisakah Renai berdamai denganku dan jelaskan apa masalah yang menjadi dinding antara kami berdua?

 Tenang Amsyar, gadis ini sebelas dua belas dengan Gilang. Semakin kau lawan semakin keras Ia membalas. Kusugestikan segala kata-kata baik di dalam pikiranku. Membentuk senyuman yang terpaksa dan membalas perkataan Renai. Setelahnya aku duduk di bangku dengan perasaan campur aduk. Kertas kusam bertuliskan kalimat cinta itu kumasukkan sembarang ke dalam tas.

Aku mengeluarkan beberapa buku fisika dan kertas coretan. Tak lupa botol air minum yang airnya masih setengah kuteguk dan letakkan di atas meja. Sebuah buku kecil berwarna coklat kuambil dari dalam laci. Kuraih sebuah pena hitam yang entah milik siapa. Jujur saja pena-pena yang ada di dalam laciku adalah hasil mencari pena terbengkalai di kelas ini dan kelas-kelas orang lain. Bukan salahku mengambilnya tanpa izin, salahkan mereka yang meletakkannya tanpa tanggung jawab.

Selepas menghembuskan napas panjang, tanganku mulai menari-nari indah di buku kecilku. Ia dikendalikan oleh pikiranku yang penuh dengan perasaan. Tak tahu topik apa yang kutulis pagi ini. Aku terlampau kacau. Rasa bersalah terus merangsek maju, namun Ia dihalau pikiran logis.

Kupu-kupu berlarian tanpa rasa takut tertangkap pemburu. Sedangkan pemburu harus menahan letihnya karena tak kunjung mendapatkan mangsa. Sekelebat terbang sebuah pesawat kertas dengan warna kusam. Pesawat itu mendarat indah di sungai dengan air jernih, lalu dengan kekuatan arus Ia hilang menuju lautan.

Tapak kaki kecil menjejaki sungai tadi. Mengacak-ngacak tatanan yang damai dengan senyuman lugunya, senyuman riangnya, senyuman yang aku rindukan. Kupu-kupu tadi terbang dengan senang, mengganggu pemilik kaki kecil itu. Pemburu akhirnya menemukan kupu-kupu incarannya. Dia siap untuk melemparkan jaring.

Telah terlempar jaring dan telah tertangkap kupu-kupu. Namun, sang pemilik senyuman bersembunyi. Hilang senyumannya, hilang dirinya. Pemburu merasa bersalah, Ia tak seharusnya menangkap kupu-kupu. Bagaimana jika Ia berkenalan saja dengan gadis yang membuat ikan-ikan sungai berlarian?

Perasaan bersalah semakin menumpuk. Pemburu menunggu saja. Gadis itu terus bersembunyi, tak mengucapkan sepatah kata pun. Tak memberi petunjuk apa pun. Pemburu jadi bingung. Sebingung diriku akan perasaan yang telah lama terpendam.

Abstrak.

Tulisanku selesai. Aku tak tahu menulis apa. Perasaan dan pikiranku saat ini terlampau sulit untuk dituangkan dalam kata-kata manusia. Aku membacanya kembali, lantas tersenyum getir. Menarik napas yang cukup dalam kemudian memberanikan untuk berbalik. Aku menyerahkan sajak yang kubuat atau bukan sajak. Apapun itu namanya kuserahkan kepada dia.

“Ren, ambilah. Tak perlu kau kembalikan, tak perlu pula kau komentari. Jika kau tak suka buang saja. Aku benar-benar minta maaf atas kejadian itu. Kuharap kita bisa seperti dulu lagi. Dinding ini sudah terlampau tebal dan tak enak pula jika Ia dibangun antara kita.”

Tak mau kudengar apa pun dari bibirnya yang merah pucat itu. Segera aku kembali ke posisiku. Mulai fokus untuk mengerjakan soal-soal fisika. Biarlah tak usah pedulikan. Kalau memang dia memaafkan dan kembali, aku akan menyambutnya dengan penuh suka cita. Kalau memang dia terus membangun dinding, aku akan menerimanya.

Aku tenggelam, dalam, dan semakin dalam. Lupa akan segalanya karena terlanjur aku kubur, dalam, dan semakin dalam.


 

Kubuka lebar, setiap harinya

Angin mencoba masuk dan aku terima

Sinar matahari tak mau kalah dan aku terima

Burung-burung kecil ingin ganggu dan aku terima

            Begitu indah, setiap harinya

Awan mendung tergantung dan aku senang melihatnya

Tanah becek berlumpur dan aku senang melihatnya

Daun-daun kering meranggas mati dan aku tetap senang melihatnya

            Tak ada yang kurang, setiap harinya

Langit sedang bertengkar hebat dan aku menikmatinya

Serangga saling berebut makanan dan aku menikmatinya

Panas menyengat tanpa teduh dan aku menikmatinya

            Hingga akhirnya kututup rapat

Kuhilangkan kunci

Kulupakan semua yang aku terima, yang aku senang, dan yang aku nikmati

Namun, tetaplah teringat setiap harinya       

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi : Novel Nebula Karya Tere Liye

Novel “NEBULA” Karya Tere Liye :  Rahasia Pengintai Terbaik dan Kembalinya Musuh Lama Oleh : Lubna Anfaresi Judul                : NEBULA Penulis             : Tere Liye Penerbit             : Gramedia Pustaka Utama Kota Terbit       : Jakarta Cetakan II        : April 2020 Ketebalan         : 376 halaman Pendahuluan             Serial Bumi merupakan salah satu serial yang dikeluarkan oleh penulis Tere Liye dan berhasil menarik minat pembaca di tanah air. Serial fantasi ini sudah memiliki sembilan seri dengan seri terbaru berjudul “NEBULA”. Sama seperti seri sebelumnya yang berjudul “SELENA”, seri ke-9 ini menceritakan kisah dari sudut pandang Selena sebaga...

Masak, Makan, Lempah Kuning

  Masak, Makan, Lempah Kuning “Wew, banyak kenek ge. Basing ka lah pon!” [1]             Ucapan dari Ami, gadis Bangka yang sudah kutemui sejak lima hari bertugas di daerah ini, terus terngiang di antara malam-malam sepi di kamar berukuran lima kali tujuh meter. Suaranya begitu tinggi, mencekam, dan rasanya penuh kebencian. Raut wajahnya yang mengerut itu terus terbayang, juga ucapan dengan bahasa yang aku tidak mengerti sama sekali. Jauh dari mal perbelanjaan, kafe yang selalu ramai, atau sekadar lalu lintas kota Yogya, aku terjebak sampai sembilan hari kedepan untuk mengerjakan tugas kuliahku di sini. Aku tidur menumpang kepada salah satu warga kenalan kawan kuliahku, yang juga berasal dari Bangka. Katanya itu adalah rumah seperadik [2] -nya. Pintu kamar yang menjadi tempat tidurku sementara tiba-tiba diketuk dari luar. Aku menghela napas, mencoba meraih gagang pintu dan membiarkan sinar lampu di ruang tengah masuk ke d...

Nugget

Pernah berpikir untuk masak nugget goreng yang dicocol dengan cuko ? Itu yang Bene lakukan. Aneh, iya. Tapi Bene tidak akan peduli dengan komentar orang, karena toh dia sekarang ada di kontrakannya. Sendirian. Setelah berkutat dengan kertas-kertas laporan praktikumnya selama satu semester, Bene bisa beristirahat sejenak. Gadis itu tidak pergi ke luar kontrakannya, kecuali untuk membeli makan atau bahan masakan. Keinginannya untuk naik gunung setiap liburan juga harus kandas. Alasanya sederhana, karena ia tidak punya teman untuk naik ke atas sana. Jika kalian semua mendorong gadis itu untuk pergi sendiri,             “Terima kasih.” Dua kata itu akan keluar dari bibirnya yang sedikit kering. Saran dari kawan-kawan dekatnya, biarkan saja Bene asyik dengan dunianya. Ia bisa saja pergi ke Bandung sekarang juga, atau ke Jakarta. Tapi buat apa? Ia tidak mau menghabiskan lebih banyak uang beasiswa yang baru cair satu pekan lalu...