Aku
mengulang-ngulang sajak yang tertulis di kertas kusam. Kutemukan tergeletak
begitu saja di atas mejaku. Goresan tinta yang berbeda. Seperti pernah membaca
bahasa sajak ini, tapi tak lagi ingat. Bukan dari Kirana. Ia tak pernah
lagi mengirimkan surat-surat seperti ini.
Aku menyimpannya ke dalam tas.
Kurasa sajak ini akan menjadi salah satu favoritku. Sederhana namun bermakna.
Orang-orang bilang sajak dan puisi itu tergantung pembacanya. Bagiku juga
demikian, tapi kurasa apa yang kupikirkan sama seperti apa yang penulis sajak
ini pikirkan. Ada yang disembunyikan tapi tak mau terungkap. Bolehkah ini
kujadikan rahasia saja? Tak usah kukatakan pada Kirana. Biarlah surat ini
kusimpan, hingga aku tahu siapa penulisnya.
“Ah, kenapa tak kutanyakan
saja pada Renai? Dia pasti tahu siapa yang melakukannya,” aku bergumam,
mengingat-ingat wajah Renai.
***
Cahaya matahari menyilaukan
pandanganku tatkala asik membuat tulisan-tulisan abstrak. Pada secarik kertas
bekas coretan fisika itu kugubah segala benda yang ada di hadapanku. Papan
tulis, tembok, jendela, dan lainnya. Aku sedang bosan mengerjakan soal yang tak
punya jawaban. Kawan kelas juga sibuk dengan urusan masing-masing. Demikian
pula dengan Dodot dan Rahman, teman seperjuanganku yang mungkin sedang menyalin
jawaban PR milik orang lain di kelas seberang.
Dalam asiknya menulis, terdengar
sayup-sayup namaku dipanggil. Kuanggap angin lalu saja. Bisa jadi aku pun salah
dengar. Bukan Amsyar, tapi Syara. Gadis berkulit putih jambu bandar yang hobi
sekali menggunakan kacamata tanpa lensa. Tempat duduknya diujung belakang,
menempel dengan tembok. Kalau namaku dipanggil Ia reflek menoleh, begitu
sebaliknya. Bahkan saking seringnya kejadian itu terjadi aku pernah meminta
teman-teman untuk berhenti memanggilku ‘Amsyar’. Tapi itu tak berlangsung lama,
seminggu pun sudah kembali lagi mereka panggil aku dengan Amsyar.
“Syar, Amsyar!”
Suara itu kian jelas. Aku sontak
menoleh dengan gagap, mencari sumber suara yang sepertinya sudah berang sekali
memanggilku. Di depan pintu kelas sudah berdiri gadis sepantaranku dengan kedua
tangan di pinggang. Cengiran kuda kuberikan untuk mencairkan suasana. Sedangkan
wajahnya sudah menatap malas ke arahku. Aku mengangkat kepalaku, isyarat
bertanya.
“Ada yang mencarimu,” ucap gadis
bermata besar itu.
“Siapa? Perempuan? Kalau perempuan
bilang saja aku tidak ada,” aku membalas perkataannya dengan suara yang pelan.
Terlihat sekali gadis itu lelah
berurusan denganku. Matanya Ia sipitkan, kedua alis bertemu. Lantas sepersekian
detik kemudian Ia menghembuskan napas dengan berat dan membalikkan tubuhnya ke luar
kelas. Bermacam kalimat Ia ucapkan. Terserah apapun, alasan apapun itu aku
setuju saja. Asalkan gadis-gadis itu berhenti mengejarku, mengajak ini itu,
bilang kata-kata romantis berlebihan, dan sebagainya yang tak aku suka.
Bukannya aku jual mahal, tapi
diantara semua yang coba mendekatiku tak ada yang sesuai dengan inginku. Mereka
selalu terang-terangan dan lebay. Ada yang berusaha mendekatiku sejak hari
pertama masuk sekolah. Sudah kutolak juga berkali-kali, masih saja bebal. Ada
satu yang diam-diam, bermain dengan rapi. Setelah kucari tahu lebih dalam
ternyata Ia hobi mencuri dan menganggu barang orang. Ada pula yang cantik
sekali, bahkan katanya kami cocok disandingkan. Setelah kucari tahu lebih dalam
juga ternyata Ia punya satu cowok di setiap sekolah di kota ini.
Alhasil Dodot dan Rahman menjulukiku
playboy. Entah dari mana mereka bisa memutuskan hal seperti itu, padahal
tak satupun gadis kudekati dengan serius. Saat ditanya alasannya, selalu mereka
jawab,
“cewek-cewek
itu sudah berharap sama kau, Syar. Kau selalu saja balas dengan senyumanmu itu.
Kalau tidak, kata-kata yang terlontar dari mulut kau selalu lembut dan penuh
perasaan. Kalau tidak, tingkah lakumu itu kadang buat mereka mabuk kepayang.
Padahal sudah ditolak tapi tetap saja segala yang kau pikir, kau ucap, dan kau
kerjakan bikin mereka salah tingkah. Makanya kau itu playboy!”
Setelah
mereka berkata demikian aku pun pasti menepuk punggung keduanya sambil berkata,
“tak jelas! Mending kalian belajar lebih banyak lagi!”
Setelah berurusan dengan orang-orang
di depan pintu, gadis itu berjalan ke arahku. Di tangannya telah tergenggam
coklat dan bunga imitasi berwarna merah dengan daun-daun kecilnya. Aku
memerhatikannya lekat-lekat sambil terus memberikan senyuman terima kasih atas
jasanya. Ia kemudian meletakkan dengan ketus di atas kertas yang berserakan,
tepat dihadapanku.
“Mau sampai kapan kau menghindar
dari mereka?” tanyanya sambil berlalu ke bangku di belakangku.
“Entahlah, Ren. Perasaan itu tak
bisa dipaksakan. Kalau memang aku tak suka, mau bagaimana lagi?” aku balik
bertanya. Perlahan membuka bungkusan coklat yang berukuran cukup besar itu.
“Kalau begitu, carilah cewek yang
kau suka. Biar berhenti orang-orang itu,” ujarnya kemudian. Masih dengan nada
ketus yang sama.
“Kalau aku sukanya sama kau?”
“Hah? Eh?”
“Bercanda, hahahaha,”
Sejurus kemudian sebuah kotak pensil
kain dengan isi yang penuh, mendarat mantap di kepalaku. Aku mengaduh tapi tak
bisa protes. Sambil melirik ke arah Renai yang kesal atas candaanku, aku lempar
senyuman nakal.
“Kau sebut lagi seperti itu, aku tak
mau lagi baca sajak-sajakmu!” ancam Renai. Wajahnya sedikit merah. Matanya
menatap ke banyak arah, napasnya tak teratur.
“Ya ampun, Ibu Renai aku bercanda
saja. Tak perlu kau salah tingkah seperti itu,” aku lanjut menggodanya. Belum
pernah kulihat Renai seperti ini.
Wajahnya bertambah merah, bibirnya
yang tadi merenggut marah seketika membentuk sabit yang kurindukan. Tangannya
kemudian menutup wajahnya. Ia bangkit dari berdirinya, membalikkan badan ke
arah tembok. Lantas berjongkok seperti orang sedang menerima kegagalan.
Suaranya tak lagi terdengar. Napasnya bertambah tak teratur, terlihat dari
tubuh mungilnya yang bergerak-gerak.
“Hei, Ren. Kau jangan marah hanya
karena kugoda seperti itu. Itu sebagai latihan saja, supaya kalau-kalau kau
bertemu orang yang suka menggoda kau tak gampang luruh seperti ini,” kataku
mengarang alasan.
Tak terdengar sepatah kata pun dari
Renai. Aku mulai merasa tak tenang. Otakku memutar cara agar Ia kembali bicara
denganku dan duduk di bangkunya. Haruskah aku minta maaf atau haruskah aku
lempar candaan lagi? Seribu pertanyaan menggantikan soal-soal fisika yang tadi
kukerjakan. Memaksaku untuk menjawabnya, sedangkan sang pemilik jawaban sedang
berjongkok sambil membisu. Degup jantung yang tak menentu membuat efek dramatis
di sekeliling kami.
Teman-teman
kelas juga mulai memperhatikan. Bahkan Syara dipojok kelas mulai
mengidentifikasi apa yang terjadi. Dengan suaranya yang cempreng dan lantang Ia
memprovokasi teman-teman untuk menyudutkanku, seakan semua salahku. Walau
memang ini salahku.
“Amsyar,
kau apakan Renai? Seumur-umur aku belum pernah melihatnya duduk jongkok seperti
orang bodoh. Kau rebut alat-alat tulisnya, kah? Oh, atau jangan-jangan kau mencontek
ulangan dengannya tapi nilai kau lebih besar dari Renai. Sungguh Amsyar,
ternyata kau punya sisi gelap seperti ini.”
Panjang
lebar Syara berbual tentang kejadian aku dan Renai. Hebatnya teman-teman kelas
juga ikut mendukung pernyataan tidak masuk akal Syara. Tak lama terdengar suara
Gilang dari meja guru tempatnya duduk santai.
“Bukan,
Syar. Dia dan Renai tadi sedang saling menggombal, jadilah Renai salah tingkah.”
Aku
tambah bingung harus merespon bagaimana. Semua suara merundung dan
memojokkanku. Beberapa juga bersiul-siul, mulai menjodoh-jodohkan kami berdua. Tak lagi bisa aku berpikir jernih. Bahkan
untuk sekadar membalas kalimat teman-teman kelas yang makin nyeleweng ke
mana-mana pun tak bisa kulakukan.
Namaku
kembali dipanggil saat aku baru saja membuka mulut, ingin meminta maaf. Dodot
dan Rahman merangsek, membuyarkan kalimat-kalimat yang membuatku tak berdaya
saat itu. Mereka bagaikan pahlawan di siang hari. Membantu walau telat dan
sudah hampir selesai permasalahannya.
“Amsyar!
Pak Toni mencarimu. Dia tanya program OSIS untuk bulan depan. Kau
selesaikanlah, si Agus itu entah hilang kemana. Sudah capek kami cari keliling
sekolah ini,” ucap Dodot dengan wajah meringisnya.
“Ada
apa lagi ini? Jelek sekali wajahmu, Syar!” tanya Rahman kemudian.
“Macam
kau tampan saja, Man,” celetuk salah satu kawan kelasku.
“Di
mana Pak Toni, Dot?” tanyaku mengembalikan arah pembicaraan.
“Biasa,
di kantin pojok. Sedang makan bakso tusuk plus teh botol dan sebatang DjiSamSoe."
Aku
beranjak dari tempat dudukku. Memilih untuk menemui Pak Toni terlebih dahulu.
Berharap pula aku bisa menemukan metode yang tepat untuk meminta maaf kepada
Renai. Kaki yang terasa berat, aku angkat menuju luar kelas. Sorak-sorai menyertaiku
untuk membujuk Renai. Sedangkan gadis itu masih tidak bergeming di dekat tempat
duduknya.
***
Buk!
Tendangan mantap terarahkan menuju gawang
lawan. Bola berwarna jingga yang sudah pudar dan jelek itu melesat bagaikan komet
tanpa ekor. Jejak-jejak tanah yang basah oleh hujan kemarin malam ikut
terangkat, memberi sedikit dorongan. Ia membawa misi yang sungguh mulia. Masuk
ke gawang lawan, lantas poin akan menjadi seri. Jika bola tersebut berhasil
melakukan misinya maka selamatlah tujuh orang pemain yang sudah basah oleh
keringat masing-masing. Yah, setidaknya mereka hanya perlu melakukan gol sekali
lagi dan berdoa tim lawan tidak berhasil.
Buk!
Sayangnya
sang kiper berhasil menahan bola yang bergerak cepat dan tiba-tiba itu.
Suaranya sungguh nyaring dan agaknya menyakiti dada penjaga gawang yang
wajahnya tak lagi enak dipandang akibat tanah kuning yang terciprat kemana-mana.
Tim lawan yang dipimpin oleh Pandi berteriak histeris, mereka heboh sendiri.
Saling berpelukan satu sama lain dan sibuk mengepalkan tangan ke atas. Beberapa
bahkan melakukan selebrasi yang berlebihan.
Sedangkan
timku atau yang kalah, merutuk kesal. Beberapa kata kasar meluncur tanpa dosa.
Ada pula yang melihat sinis ke arah lawan, dan sisanya menenangkan sambil meraih
botol minum. Meneguknya sampai habis tanpa ingat bahwa ada teman tim yang juga
kehausan. Permainan hari ini cukup dramatis dan menguras emosi. Padahal ini
hanya pertandingan bola biasa, tanpa hadiah, dan tanpa kejuaraan pula. Namun
siapa pun yang menontonnya pasti paham mengapa bisa sampai seemosional ini.
Nanti akan aku ceritakan di lain hari.
Agenda
yang rutin dilakukan di sini, bermain bola pagi-pagi sekali sebelum pelajaran
dimulai. Walaupun kami tahu keringatnya akan memicu bau badan yang tak terelakkan,
serta memecah konsentrasi belajar diri sendiri dan orang lain. Biasanya
permainan akan dimulai pukul enam pagi selama empat puluh lima menit pada hari Selasa,
Jumat, dan Sabtu. Bukan program sekolah sebenarnya, bukan pula program OSIS. Olahraga
seperti ini spontan saja dilakukan oleh siswa-siswa untuk meningkatkan
persaudaraan dan kemampuannya. Yah, walau pada akhirnya ada pula yang bermain
menggunakan emosi seperti kami saat ini.
Setelah
memberi pengarahan kepada teman-teman timku, aku berjalan menuju kelas. Diikuti
pula oleh Dodot dan Rahman yang masih geram membahas kekalahan tim kami pagi
ini. Seragam putih disampirkan pada pundak masing-masing. Keringat masih menetes
dan lengket di badan. Aroma semerbak mulai muncul. Untungnya kami punya parfum
bersama di kelas. Jadi tak perlu khawatir dengan bau badan.
Tak
perlu waktu lama untuk tiba di kelas tercinta. Saat masuk ke dalam, seperti
biasa kawan kelasku asik dengan kegiatannya. Ada rombongan Hasan yang
berkelakar dengan tawanya yang memenuhi ruangan sempit, ada Syara dan dua
karibnya di pojokan sedang mencoba kosmetik baru, ada Ibnu yang duduk sendiri
di kursi sambil membaca ‘Rindu’ karya Tere Liye, ada juga Cece yang nama
aslinya Meisya sedang bercengkrama dengan kekasihnya yang beda agama Ade, dan
yang terakhir tertangkap mataku tentu Renai. Ia duduk tepat di belakang
bangkuku, sedang mengerjakan tugas atau latihan soal atau sedang membaca buku
atau entahlah.
Semenjak
kejadian aku menggodanya, Renai jadi lebih diam. Aku bicara panjang lebar hanya
dijawab satu kata, bahkan tak jarang Ia diam saja. Aku sudah berusaha meminta
maaf, dan Renai juga sudah memaafkan katanya. Tapi suasana yang canggung itu
masih melingkupi tempat duduk kami. Padahal dirinya lah yang paling sering
kuajak bicara atau diskusi mata pelajaran. Kini sudah satu minggu berlalu,
masalah di OSIS pun sudah selesai namun masalah gadis di belakangku ini tak
kunjung usai.
Brak!
“Kacau!
Tadi harusnya kau bisa mencetak satu gol lagi. Kita jadi kalah dari anak kelas
sepuluh,” Gilang masuk dengan emosi yang belum stabil.
Memang
dari pertandingan tadi dia masih belum terima kalah. Terlebih Gilang sudah
mencetak gol tiga kali yang disusul pula oleh tim lawan, hingga jadilah
pertandingan penalti. Keringatnya bercampur dengan air yang Ia basuhkan, hingga
basahlah baju dalamnya. Rahangnya keras begitu pun dengan kepalanya. Sulit
untuk mengendalikan Gilang yang sedang emosi. Jangan pernah kalian membalas api
Gilang, Ia akan semakin berkobar dan menjadi lebih liar.
Aku
yang kena semprot Gilang membalasnya santai. Tabiat kawanku satu ini memang tak
perlu dianggap serius terus-menerus.
“Sudahlah,
tadi hanya latihan saja. Kita bantai mereka waktu classmeeting. Aku
yakin skor akan jauh sekali dan kita akan jadi pemenangnya!”
“Semoga
saja, Syar. Kalau kau mengacaukan lagi dan tidak mencetak satu gol, jangan
harap baik-baik saja setelahnya. Aku betulan kesal dengan kelas mereka itu!”
Gilang membalas jawabanku.
“Yah,
tidak hanya kau, Lang, kita semua kesal dengan adik kelas tak punya sopan
santun itu,” kini Dodot ikut dalam dialog.
“Classmeeting
tidak akan lama lagi. Setelah kita fokus belajar dan mendapat nilai terbaik,
barulah kita hajar mereka agar bisa rebut piala tahun lalu!”
Rahman
berseru mantap. Mereka bertiga kemudian terlarut dalam percakapan classmeeting.
Aku memilih untuk kembali ke tempat duduk demi melihat sepucuk surat tergeletak
di atas meja.
“Pagi,
Ren!” sapaku kepada Renai yang tenggelam dalam dunianya.
Aku
menggantung seragam putihku ke bangku, lantas membuka surat yang kurasa sudah
lama menunggu dibaca. Kuperhatikan dengan saksama, lagi-lagi surat dengan
kertas kusam berinisial ‘K’. Sudah empat kali surat ini nongkrong di mejaku. Jadwalnya
sama persis. Setiap aku melakukan pertandingan antar kelas.
Pengirim
surat ini sungguh membuatku bertanya-tanya. Tak pernah sekalipun kubalas
suratnya, karena aku pun tak kenal dengan pengirimnya. Isinya terkadang
kalimat-kalimat jelas bahwa Ia menyukaiku, kadang juga kata-kata yang
dirangkaikan indah. Aku tak masalah dengan surat-surat ini. Aku menikmatinya.
Tapi siapalah sang pengirim surat ini? Siapa yang membuat kata dan kalimat sederhana
namun begitu manis jika terus-terusan dibaca?
“Kau
tahu siapa pengirim surat ini, Ren? Ini sudah surat keempat yang kubaca, tapi
masih tidak tahu siapa yang mengirimnya,” tanyaku kepada Renai. Akhirnya kami
punya topik bicara lagi.
“Manalah
aku tahu, Syar. Kau cari tahu saja sendiri. Bukankah kau sudah membaca keempat
surat itu?” jawabnya dengan ketus. Aku jadi ciut untuk mengajaknya bicara lagi.
“Barangkali
kau pernah melihat seseorang meletakkannya. Bangku kita, kan berdekatan,”
“Aku
tak pernah tertarik melihat meja orang lain,” lagi dijawabnya dengan ketus.
Aku
yang baru saja gagal mencetak gol, kekalahan tim kami pagi ini, kegiatan OSIS
yang tak dihiraukan ketuanya, persiapan ulangan akhir, dan sekarang Renai yang masih
berulah. Semua emosi itu menyeruak dalam dada. Air mukaku sudah berubah. Tak
bisakah Renai berdamai denganku dan jelaskan apa masalah yang menjadi dinding
antara kami berdua?
Tenang Amsyar, gadis ini sebelas dua belas
dengan Gilang. Semakin kau lawan semakin keras Ia membalas. Kusugestikan
segala kata-kata baik di dalam pikiranku. Membentuk senyuman yang terpaksa dan
membalas perkataan Renai. Setelahnya aku duduk di bangku dengan perasaan campur
aduk. Kertas kusam bertuliskan kalimat cinta itu kumasukkan sembarang ke dalam
tas.
Aku
mengeluarkan beberapa buku fisika dan kertas coretan. Tak lupa botol air minum
yang airnya masih setengah kuteguk dan letakkan di atas meja. Sebuah buku kecil
berwarna coklat kuambil dari dalam laci. Kuraih sebuah pena hitam yang entah
milik siapa. Jujur saja pena-pena yang ada di dalam laciku adalah hasil mencari
pena terbengkalai di kelas ini dan kelas-kelas orang lain. Bukan salahku
mengambilnya tanpa izin, salahkan mereka yang meletakkannya tanpa tanggung
jawab.
Selepas
menghembuskan napas panjang, tanganku mulai menari-nari indah di buku kecilku.
Ia dikendalikan oleh pikiranku yang penuh dengan perasaan. Tak tahu topik apa
yang kutulis pagi ini. Aku terlampau kacau. Rasa bersalah terus merangsek maju,
namun Ia dihalau pikiran logis.
Kupu-kupu
berlarian tanpa rasa takut tertangkap pemburu. Sedangkan pemburu harus menahan
letihnya karena tak kunjung mendapatkan mangsa. Sekelebat terbang sebuah
pesawat kertas dengan warna kusam. Pesawat itu mendarat indah di sungai dengan
air jernih, lalu dengan kekuatan arus Ia hilang menuju lautan.
Tapak
kaki kecil menjejaki sungai tadi. Mengacak-ngacak tatanan yang damai dengan
senyuman lugunya, senyuman riangnya, senyuman yang aku rindukan. Kupu-kupu tadi
terbang dengan senang, mengganggu pemilik kaki kecil itu. Pemburu akhirnya menemukan
kupu-kupu incarannya. Dia siap untuk melemparkan jaring.
Telah
terlempar jaring dan telah tertangkap kupu-kupu. Namun, sang pemilik senyuman
bersembunyi. Hilang senyumannya, hilang dirinya. Pemburu merasa bersalah, Ia
tak seharusnya menangkap kupu-kupu. Bagaimana jika Ia berkenalan saja dengan gadis
yang membuat ikan-ikan sungai berlarian?
Perasaan
bersalah semakin menumpuk. Pemburu menunggu saja. Gadis itu terus bersembunyi, tak
mengucapkan sepatah kata pun. Tak memberi petunjuk apa pun. Pemburu jadi
bingung. Sebingung diriku akan perasaan yang telah lama terpendam.
Abstrak.
Tulisanku
selesai. Aku tak tahu menulis apa. Perasaan dan pikiranku saat ini terlampau
sulit untuk dituangkan dalam kata-kata manusia. Aku membacanya kembali, lantas
tersenyum getir. Menarik napas yang cukup dalam kemudian memberanikan untuk
berbalik. Aku menyerahkan sajak yang kubuat atau bukan sajak. Apapun itu
namanya kuserahkan kepada dia.
“Ren,
ambilah. Tak perlu kau kembalikan, tak perlu pula kau komentari. Jika kau tak
suka buang saja. Aku benar-benar minta maaf atas kejadian itu. Kuharap kita
bisa seperti dulu lagi. Dinding ini sudah terlampau tebal dan tak enak pula
jika Ia dibangun antara kita.”
Tak
mau kudengar apa pun dari bibirnya yang merah pucat itu. Segera aku kembali ke
posisiku. Mulai fokus untuk mengerjakan soal-soal fisika. Biarlah tak usah
pedulikan. Kalau memang dia memaafkan dan kembali, aku akan menyambutnya dengan
penuh suka cita. Kalau memang dia terus membangun dinding, aku akan menerimanya.
Aku
tenggelam, dalam, dan semakin dalam. Lupa akan segalanya karena terlanjur aku
kubur, dalam, dan semakin dalam.
Kubuka
lebar, setiap harinya
Angin mencoba
masuk dan aku terima
Sinar matahari tak
mau kalah dan aku terima
Burung-burung
kecil ingin ganggu dan aku terima
Begitu indah, setiap harinya
Awan mendung
tergantung dan aku senang melihatnya
Tanah becek berlumpur
dan aku senang melihatnya
Daun-daun kering
meranggas mati dan aku tetap senang melihatnya
Tak ada yang kurang, setiap harinya
Langit sedang
bertengkar hebat dan aku menikmatinya
Serangga saling
berebut makanan dan aku menikmatinya
Panas menyengat
tanpa teduh dan aku menikmatinya
Hingga akhirnya kututup rapat
Kuhilangkan kunci
Kulupakan semua
yang aku terima, yang aku senang, dan yang aku nikmati
Namun, tetaplah
teringat setiap harinya
Komentar
Posting Komentar