Langsung ke konten utama

Tak Henti Berbunga

 

Tetes air hujan tak berhenti sejak pagi tadi. Enggan membiarkan matahari menyembul barang sedikit saja. Gelap dan dingin terasa menusuk jaket-jaket tebal. Suara-suara siswa teredam oleh ganasnya badai. Sesekali kilat datang dan membuat kejutan untuk mereka yang belajar. Namun, segala hal yang terjadi di langit itu berkebalikan dengan hati dua insan yang menjadi pusat perhatian. Hujan di luar, tapi rona pelangi di dalam. Gemuruh petir yang bersahut-sahutan, malah membawanya terbang menuju awan-awan.

            Siapa yang peduli dengan badai, jika hari ini kau mendapat ungkapan cinta dari pujaan? Biarlah badai terjadi di luar, biarlah badai menusuk orang-orang. Bagiku hari ini adalah hari yang begitu baik, begitu cerah, dan akan kuingat untuk waktu yang lama.

            “Tentu, Syar,” ucapku pelan sambil menahan rasa yang meledak-ledak.

            Aku mengangguk pelan, lantas melirik ke arah pemilik mata hitam di depanku. Parasnya sungguh tak bisa dilawan. Orang-orang bilang, jika kita jatuh cinta maka siapa pun yang menjadi incaran akan seribu kali lebih baik dari pada aslinya. Tapi menurutku, entah aku jatuh cinta atau tidak pada Amsyar, dirinya akan selalu seribu kali lebih baik dari siapa pun.

            Suara hujan yang berisik ditambah pula dengan siswa-siswi yang histeris tak membuat hatiku kacau. Sebenarnya akan lebih baik jika Amsyar menyatakannya ketika hari cerah, namun tak mengapa. Toh, dia sudah menjadi milikku sekarang. Bila gerimis, hujan, badai, bahkan banjir sekalipun hariku akan cerah jika bersamanya.

            Amsyar mengulurkan tangannya, aku reflek juga mengulurkan tanganku. Lantas Ia menggenggam erat seraya berkata, “dia Kirana, pemilik hati seorang pujangga. Jangan usik dirinya sebab kuakan terus menjaganya.”

            Dengan lantang diucapkannya kata-kata itu. Membuatku semakin tak bisa menahan senyuman. Wajahku pasti sudah seperti kepiting rebus. Rasanya aku ingin teriak saja dan bilang kepada dunia aku sedang dimabuk cinta. Sedangkan kawan-kawanku yang mengelilingi kami juga berteriak. Melempar candaan dan godaan. Semuanya turut berbahagia, atau mungkin ada juga yang tidak? Entahlah, aku tak peduli.

Tak lama dari euforia muncul Pak Somad, membubarkan keramaian di depan kelas Amsyar. Ia berteriak mengusir semuanya. Menyuruh para siswa yang menonton untuk kembali ke kelas masing-masing karena pelajaran akan segera dimulai. Aku mana peduli, mungkin Amsyar juga demikian. Kami saling bertatap dan merasakan waktu yang terasa berjalan lambat. Senyuman terukir di wajahnya, membuatku semakin salah tingkah.

            “Wajahmu sungguh merah, Ran,” ucapnya tanpa rasa bersalah.

            “Kau pikir saja sendiri kenapa wajahku merah seperti ini,” kataku manja.

            “Aku tahu alasannya. Kau mau tahu juga?”

            “Tentu saja. Kalau kau salah aku tak lagi mau menuliskan sajak-sajak seperti surat yang selalu kukirimkan itu,” jawabku sambil menatap wajahnya yang juga sedikit memerah.

            “Kalau begitu biarlah tak kujawab. Karena mulai sekarang aku yang akan mengirimkan sajak-sajak kepadamu,” ujar Amsyar.

            “Dasar!” aku pura-pura marah kepadanya. Memonyongkan bibir dan menurunkan alis.

            “Sudahlah, nanti kita diceramahi Pak Somad. Aku akan kembali ke kelas, sebentar lagi kami ujian biologi. Sampai jumpa, cantik!”

            “Nanti kita ke kantin bareng, ya! Semangat ujiannya!”

            Aku berjalan menuju kelas dengan hati yang berbunga. Akhirnya pujaan hati, primadona sekolah berhasil kutaklukan. Aku harus melaporkan hal ini kepada Renai. Kurir cintaku selama ini, yang sudah membantu banyak hal agar aku dan Amsyar berhasil pacaran. Ah, berbicara tentangnya aku tadi tidak melihat batang hidung Renai.

            “Padahal sudah di depan kelasnya. Apakah mungkin aku terlalu sibuk melihat Amsyar hingga tak melihat Renai? Mungkin saja. Semoga Renai juga senang mendengar kabar bahagia ini. Aku jadi tak sabar melihat reaksinya,” ucapku pada diri sendiri.

***

            Bunga-bunga seakan menjadi latarku berjalan. Aroma parfum yang sengaja kusemprotkan banyak ke tubuh membuatku bertambah senang lagi. Vanilla, aroma lembut yang akan aku cintai sepanjang masa. Sebenarnya pagi ini aku sudah seperti orang terlilit hutang. Lonceng sekolah sudah dibunyikan tiga kali, tanda upacara bendera akan dimulai. Aku berlari sekuat tenaga tapi tetap saja kecepatan Pak Gozi menutup pagar tak bisa kukalahkan.

            Dengan alis tebalnya yang terangkat tinggi, Ia memandangi setiap siswa yang terjebak di luar lingkungan sekolah. “Telat lagi? Sudah tahu ini hari senin masih saja berangkat sekolahnya dilambatkan!”

            “Macet, pak,” keluh seorang siswa.

            “Heh, ini bukan kota Jakarta! Mana pernah jam sekolah di sini ada yang terjebak macet,” Pak Gozi membalas dengan ketus. Lagi pula alasan yang diberikan memang tidak masuk akal. Aku juga jika menjadi Pak Gozi akan berkata hal yang serupa.

            “Pak, kalau tidak dibukakan gerbangnya kami bolos sekolah saja, ya?” tawar Siska yang berada di sampingku.

Aku tersenyum kecil lantas mulai mengompori Pak Gozi, “benar, Pak, kami bolos saja. Kami sudah berusaha untuk tidak telat, tapi apalah daya Bapak terlalu cepat menutup gerbang.”

“Terserah, bukan urusan saya! Kalau mau tunggu sampai jam setengah delapan silahkan. Kalau mau bolos juga silahkan. Toh, kalian juga yang sekolah bukan saya,” Pak Gozi lantas membalikkan badannya.

Beliau berjalan menuju markas alias pos satpam tempat segala mimpi terukir. Bukan mimpi seperti remaja-remaja usia kami sekarang, tapi sungguhan mimpi. Secangkir kopi hitam pekat dan kental menjadi asesoris di meja kayu bututnya. Pak Gozi lantas melepaskan topi yang sudah kusam tak terawat. Tangannya memegang mesra cangkir yang selalu menemani tugasnya dari awal jam bekerja hingga semuanya pulang dengan segudang cerita.

Tiga puluh menit berselang hingga akhirnya kami bisa melangkah menuju halaman sekolah. Tentunya halaman itu sudah ditunggui oleh pihak keamanan OSIS. Dengan langkah gontai kami digiring agar tidak kabur kemana-mana. Rutinitas pagi seninku, dihukum berdiri sambil hormat tiang bendera. Aih, sebelumnya kami harus mendengarkan dulu ceramah basa-basi. Lalu dimintakan pula untuk lari keliling lapangan. Sungguh melelahkan, tapi aku sudah terbiasa. Melihat orang-orang yang ikut telat bersamaku juga sudah biasa.

Selalu delapan orang dan selalu aku absen satu-satu. Omar, kelas dua belas fisika. Rambutnya tak pernah tumbuh lebih dari satu sentimeter, aku berpikir dia pasti setres karena menghitung rumus-rumus di luar nalar itu. Hingga rambutnya pun enggan tumbuh. Lalu ada Jelita dan Nunung dari kelas sepuluh bahasa. Mereka itu suka sekali bersolek, gincunya tebal, bedaknya tak kalah tebal. Bajunya selalu diketat-ketatkan, macam ada saja yang tertarik dengan dua gadis itu. Selanjutnya ada Siska, kelas dua belas ekonomi. Dia teman kelasku, berbeda jauh dengan Jelita dan Nunung, dia selalu saja memanjangkan kain untuk menutupi rambut dan seluruh badannya. Kadang aku heran saja, tidakkan dia kepanasan dengan pakaian serba tertutup itu.

Tiga lainnya, Pandi, Lani, dan Zunaidi mereka dari kelas sebelas sosiologi. Hobinya telat setiap hari dan bolos setiap ada kesempatan. Tapi jangan memandang sebelah mata, tiga serangkai ini kerap menang pertandingan olahraga ataupun olimpiade sains. Maka dari itu sekolah masih mau mempertahankannya. Sedangkan yang terakhir adalah aku.

“Nung, lihat itu. Abang Amsyar ternyata telat juga!”

“Apakah ini takdir? Jarang-jarang kita bertemu dengan Bang Amsyar, haruskah aku nyatakan sekarang, Lit?”

“Jangan! Aku dulu yang bilang. Kalau tertolak baru kau coba.”

Aku mendengar bisik-bisik berisik dua adik kelas di belakangku. Sebenarnya tak ingin menghiraukan tapi saat disebut nama Amsyar aku reflek saja menoleh. Mana mungkin aku salah hitung, mana mungkin juga Amsyar telat dan dihukum.

Sepersekian detik setelah aku berpikir demikian, badan Amsyar terlihat di barisan paling ujung dekat dengan Pandi. Dua tubuh lainnya yang menghalangi pandanganku seakan hilang saking kuatnya aura Amsyar. Kacamata berlensa kotak khas miliknya mengilat-ngilat diulah matahari. Peluhnya perlahan jatuh ke sepatu pantofel dengan tali yang terikat rapi. Rambutnya yang sedikit berantakan disampirkan ke kiri. Tangannya yang berurat dan kokoh terangkat rapi membentuk hormat empat puluh lima derajat.

Sungguh, konsentrasiku telah hancur. Mataku tak kubiarkan lama menatap ke arah lain. Panas matahari seakan terpantul oleh tameng-tameng transparan, teduh. Itu yang kurasakan. Bunga-bunga mulai tumbuh, kupu-kupu mulai hidup kembali. Tak lagi suram, tak lagi merasa amarah yang menggebu, tak lagi kesal dengan keamanan OSIS. Semuanya terobati oleh paras Amsyar yang ikut telat bersamaku.

Benar kata Nunung dan Jelita, apakah ini takdir untukku? Apakah hari ini aku harus menyatakan perasaan yang telah tumbuh sejak hari pertama sekolah? Aku harus lebih dulu dari dua amatir ini. Aku harus bertanya kepada Renai langkah apa selanjutnya?

***

            “Kau kirimkan saja lagi surat-surat itu. Dia selalu penasaran dan memberikan respon positif,” jawab Renai ketika kami asik menyantap batagor.

            “Sungguh sulit merangkaikan kata-kata tanpa makna yang jelas. Tak bisakah aku langsung saja pergi menemuinya dan nyatakan cinta?” aku kembali bertanya dengan angan yang entah melayang ke mana.

            “Amsyar itu tak bisa kau dekati secara tiba-tiba. Surat-surat yang kau kirimkan menurutku pendekatan yang terbaik. Kalau kau mendekatinya seperti gadis-gadis yang lain Ia pasti akan menjauh secepat mungkin. Amsyar tak suka yang terang-terangan, Ia pribadi yang suka memendam,” jelas Renai rinci. Kawanku satu ini memang bisa diandalkan masalah cinta dan informasi terkait Amsyar.

            “Baiklah, aku akan turuti lagi langkahmu itu, Ren. Mumpung hati ini sedang ditumbuhi bunga cinta yang tak terkendali, aku akan tuliskan sajak-sajak indah,” ucapku yang semakin berbunga dibuat oleh Renai.

            “Jangan terlalu lebay!”

            “Siap, bu guru. Nanti kau juga bantukan aku koreksi, ya?”

            Wajah memelas kupasang untuk menggoyahkan hati Renai. Sudah berkali-kali Renai mengoreksi sajak cinta untuk Amsyar. Aku sebenarnya tak enak juga, tapi tidak masalah demi pujaan hati itu. Renai menatap malas ke arahku. Ia menyendok batagor yang tinggal satu suap lagi.

            “Baiklah, ini yang terakhir. Besok-besok kau coba langsung kirim saja. Atau mungkin kau sudah bisa mulai berkenalan dengan normal dengan pujangga kelas kami itu,” jawabnya kemudian.

            Aku memberikan senyuman termanisku, lalu berterima kasih banyak-banyak kepada karibku satu ini. Jika dipikir-pikir aku tak akan bisa sedekat dan seberani ini berinteraksi dengan Amsyar tanpa bantuan Renai.

            Setelah istirahat pertama, langsunglah aku tuangkan kata-kata ke secarik kertas khusus. Harus berwarna sama, harus dengan ukuran sama, tekstur yang sama, dan harus ada inisial namaku. Kertas itu pemberian Renai juga. Renai bilang dia punya banyak kertas-kertas kusam yang indah bila dijadikan surat cinta. Aku tentu dengan senang hati mengambilnya dan menuliskan banyak sajak tentang Amsyar. Kata-kata yang kugoreskan ini sebelumnya sudah kupikirkan berkali-kali. Sudah pula aku coret mana yang lebay, mana yang sesuai. Sudah pula aku minta koreksi dari karibku yang duduk di kelas sebelah, tepat di belakang Amsyar.

            Saat aku menyodorkan kertas corat-coret yang terbaik, Renai berkata “ini sudah bagus, Ran. Mungkin hanya dikoreksi bagian terakhirnya. Kau terlalu hiperbola, disederhanakan saja. Lalu sisipkanlah sedikit larik yang bilang bahwa kau ingin sekali bertemu dan berkenalan langsung dengannya.”

            Aku mengangguk-angguk, lantas merevisi sajakku sesuai perkataan Renai. Setelah dirasa cukup barulah aku menuliskannya di kertas khusus ini. Saat menuliskan kalimat-kalimat indah rasanya waktu berhenti bergerak, angin yang lembut membawa nikmat. Cahaya matahari lembut mengilhami diriku dengan ratusan bunga mawar merah yang mekar. Suara teman kelas yang saling berteriak dan melempar canda, digantikan dengan merdunya kicauan murai. Aih, mana ada mawar merah disandingkan dengan kicau murai. Tapi tak mengapa, begitulah jika jatuh cinta. Hal yang tak masuk akal pun menjadi indah saja.

            Beberapa pandang kurasa mengarah ke mejaku. Aku cuek saja, pasti mereka iri melihat bunga-bunga yang mekar sedari tadi. Sesekali aku juga bersenandung karena terlampau senang. Perasaan ini benar-benar tak bisa lagi kusembunyikan. Semua orang di kelas ini juga tahu aku sedang dimabuk cinta siapa. Dari setiap gerak-gerikku, setiap lirikan mataku, setiap kali aku bersemangat mendengar kabar Amsyar dan bercerita tentang Amsyar. Semuanya terlampau terang-terangan. Tapi mengapa Amsyar itu, tak tahu bahwa ada gadis yang setia kepadanya sejak kelas satu SMA?

            Lonceng berbunyi, tanda istirahat selesai. Aku pun bergegas menyelesaikan angan-anganku dan tulisan di surat kusam ini. Sepersekian detik kemudian aku menyelonong masuk ke kelas Renai. Mencari-cari tempat duduk Renai dan menghampiri gadis bermata besar itu. Kusodorkan langsung kertas putih kusam dengan tanda ‘K’ dibelakangnya. Tanpa perlu bertanya lagi, Renai mengangguk dan memberikan jempol. Aku membalasnya dengan senyum tipis yang penuh dengan perasaan kepada Amsyar.

            Misi selesai. Hanya perlu menunggu waktu untuk bekerja. Aih, bukan hanya waktu, tapi hati Amsyar juga harus bisa menerjemahkan kalimat penuh makna itu.

***

Terlampau lama aku menguburnya, Syar!

Ia tersimpan jauh di dasar sana, tapi sungguh sebenarnya Ia berada dekat dengan raga.

Peluh yang setiap hari jatuh, setiap hari pula kembangkan senyum yang utuh.

Hari ini kutuliskan lagi,

singkat tapi kuharap kau mengerti

Hari ini kutuangkan lagi, warna-warni yang kurasakan

Bola matamu itu, rambut hitammu itu, lengan kokohmu itu,

            Terlampau dalam aku menguburnya, Syar!

Bisakah kita bertemu?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi : Novel Nebula Karya Tere Liye

Novel “NEBULA” Karya Tere Liye :  Rahasia Pengintai Terbaik dan Kembalinya Musuh Lama Oleh : Lubna Anfaresi Judul                : NEBULA Penulis             : Tere Liye Penerbit             : Gramedia Pustaka Utama Kota Terbit       : Jakarta Cetakan II        : April 2020 Ketebalan         : 376 halaman Pendahuluan             Serial Bumi merupakan salah satu serial yang dikeluarkan oleh penulis Tere Liye dan berhasil menarik minat pembaca di tanah air. Serial fantasi ini sudah memiliki sembilan seri dengan seri terbaru berjudul “NEBULA”. Sama seperti seri sebelumnya yang berjudul “SELENA”, seri ke-9 ini menceritakan kisah dari sudut pandang Selena sebaga...

Masak, Makan, Lempah Kuning

  Masak, Makan, Lempah Kuning “Wew, banyak kenek ge. Basing ka lah pon!” [1]             Ucapan dari Ami, gadis Bangka yang sudah kutemui sejak lima hari bertugas di daerah ini, terus terngiang di antara malam-malam sepi di kamar berukuran lima kali tujuh meter. Suaranya begitu tinggi, mencekam, dan rasanya penuh kebencian. Raut wajahnya yang mengerut itu terus terbayang, juga ucapan dengan bahasa yang aku tidak mengerti sama sekali. Jauh dari mal perbelanjaan, kafe yang selalu ramai, atau sekadar lalu lintas kota Yogya, aku terjebak sampai sembilan hari kedepan untuk mengerjakan tugas kuliahku di sini. Aku tidur menumpang kepada salah satu warga kenalan kawan kuliahku, yang juga berasal dari Bangka. Katanya itu adalah rumah seperadik [2] -nya. Pintu kamar yang menjadi tempat tidurku sementara tiba-tiba diketuk dari luar. Aku menghela napas, mencoba meraih gagang pintu dan membiarkan sinar lampu di ruang tengah masuk ke d...

Nugget

Pernah berpikir untuk masak nugget goreng yang dicocol dengan cuko ? Itu yang Bene lakukan. Aneh, iya. Tapi Bene tidak akan peduli dengan komentar orang, karena toh dia sekarang ada di kontrakannya. Sendirian. Setelah berkutat dengan kertas-kertas laporan praktikumnya selama satu semester, Bene bisa beristirahat sejenak. Gadis itu tidak pergi ke luar kontrakannya, kecuali untuk membeli makan atau bahan masakan. Keinginannya untuk naik gunung setiap liburan juga harus kandas. Alasanya sederhana, karena ia tidak punya teman untuk naik ke atas sana. Jika kalian semua mendorong gadis itu untuk pergi sendiri,             “Terima kasih.” Dua kata itu akan keluar dari bibirnya yang sedikit kering. Saran dari kawan-kawan dekatnya, biarkan saja Bene asyik dengan dunianya. Ia bisa saja pergi ke Bandung sekarang juga, atau ke Jakarta. Tapi buat apa? Ia tidak mau menghabiskan lebih banyak uang beasiswa yang baru cair satu pekan lalu...