Langkah
semakin berat dikelilingi air hujan yang tak diharapkan. Becek yang mengisi
lubang-lubang jalan tak pernah menjadi tempat menapak. Bukannya takut sepatu
putih menjadi coklat, sebab bahaya di kota ini melebihi remeh-temeh seperti
itu. Bau karat yang bertumpuk dengan amis mayat menusuk hidung. Walau telah
dibekali dengan masker berkemampuan super, tetap saja aroma tak sedap itu
menembus hingga alveoulus. Akibatnya napas menjadi terengah-engah, mata
memerah, dan badan lemas untuk melanjutkan hidup.
Ciexera, bocah itu melayangkan pinta
yang tak mungkin terjadi di waktu ini. Wajahnya merengut tatkala kukatakan
permintaannya mustahil kutemukan. Rambutnya yang panjang dibiarkan terurai
kusut dengan debu dan kotoran melekat pada kulit kepala, membuatku semakin
kesal melihatnya. Gadis dengan tinggi yang tak sampai rata-rata remaja Simextri
usianya, menyuruhku dengan santai dan agak congak untuk memberinya seporsi
batagor.
“Dalam kondisi yang kacau ini dia
ingin batagor! Batagor, Dri! Di mana aku harus cari makanan seperti itu?
Sedangkan untuk makan nasi saja kita kesulitan!” ucapku penuh kesal yang hanya
bisa dikenali dari intonasi bicara.
“Sebenarnya dia bukan ingin makan
batagor, dia hanya ingin melihat kau pergi lalu mati dengan cepat,” Gyndri
menjawab malas.
“Benar juga ucapan kau. Kalau begitu
aku bunuh diri saja?”
“Ya, kau mati saja sekarang,”
jawaban yang tak kuharapkan keluar dari mulut sahabatku.
Entahlah dia bisa disebut sahabat
atau tidak. Karena kami baru saja berkenalan dan memulai hidup bersama karena
kondisi ini. Kami bertemu satu minggu setelah ia mengendap dalam posko darurat
bencana. Hujan yang tak hentinya membasahi kota terpencil dan tak pernah diperhatikan
pemerintah ini, membawa kami pada nasib jahat hingga sekarang.
Kala
itu Gyndri yang berpakaian serba hitam sudah terkapar tidak berdaya. Dadanya
naik turun dengan cepat, mulutnya mangap-mangap mencari udara. Sudah seperti
ikan hidup yang pindah ke daratan. Matanya merah melebihi mataku yang juga kena
iritasi udara. Ia datang hanya berbekal satu kain panjang yang menyelimuti
tubuh. Orang tuanya tak ada, kakaknya sudah mati juga selama perjalanan ke
posko, sedangkan kawan-kawannya yang lain berlarian entah ke mana saat
kerusuhan pertama kali. Beruntung Gyndri selamat walau dengan kondisi
mengenaskan.
Aku
yang hidup di dekat posko sudah lebih dulu berkegiatan. Walau enggan dan tak
menyenangkan, tempat itulah satu-satunya rumah yang menghidupkan.
Berjejal-jejal orang di dalamnya. Dari segala kalangan usia, jenis kelamin,
agama, suku, bahkan ada juga yang membawa hewan peliharaannya. Rumah luas hasil
menjarah salah satu pejabat dan pebisnis kota ini menjadi rebutan masyarakat.
Tapi mau bagaimana lagi? Kuota sudah penuh. Maka sisa yang tak bisa masuk
karena terhalau teknologi tinggi ciptaan orang-orang pintar, terpaksa hidup di
luar. Mereka terkatung-katung di jalan atau menumpang rumah kosong hingga
akhirnya menjadi mayat.
“Kau
pasti tak berani mati, kan?” tanya Gyndri setelah perjalanan yang sepi.
Aku
tak menjawab. Bukan hanya karena malu menjawab, aku juga sedang menyimpan
energiku untuk mencari pesanan Ciexera.
“Kalau
kau berani mati pasti sudah kau lakukan sejak pertama kali kita dengar
pengumuman presiden,”
Lagi,
aku tak menjawab. Mataku menjajaki beberapa bangunan yang runtuh serta
pohon-pohon yang mati akibat hujan yang tak henti. Masih berharap segera
menemukan batagor yang bisa kubawa pulang untuk adikku.
“Sebentar
lagi kita akan sampai,”
“Benarkah?”
“Sampai
ke pintu kematian. Aku ingin segera berkumpul di surga, Pzi.”
Aku
membuang muka penasaran atas ucapannya. Sedangkan Gyndri menertawakan
ekspresiku yang penuh harap, walaupun seluruh wajahku tetutup alat pelindung
diri. Tawanya begitu mengesalkan dan berlanjut panjang. Kupikir orang di
sampingku ini lama-lama semakin gila. Ini pasti efek menghirup udara penuh
karbon dan sulfur. Kalaupun bukan karena menghirup gas rumah kaca yang
terlampau banyak konsentrasinya di udara, Gyndri kemungkinan meminum air ber-pH
rendah. Aku sudah coba untuk melarangnya mengonsumsi air tak sehat itu, tapi ia
tetap menuruti radang tenggorokannya.
Dalam
dunia yang semakin tak sehat ini aku mewajarkan orang-orang bertingkah tidak
sehat. Terkadang saking tak ada lagi pasokan makanan dari hewan atau tumbuhan,
mereka memakan kerikil warna-warni. Ada juga yang memaksa mengonsumsi
ranting-ranting pohon yang mati akibat tak kuat menahan asam. Pada akhirnya
yang melakukan itu juga menjadi ranting yang mati karena tingginya kandungan
asam dalam tubuh.
Aku
juga beberapa kali pernah melakukan hal bodoh. Tapi tak mungkin kuteruskan karena
aku belum mau mati. Setidaknya selama aku masih memiliki Ciexera aku akan
berusaha melindunginya. Aku akan terus berada di jangkauannya dan memenuhi
pintanya yang kadang membuat kesal. Dia adalah keluargaku satu-satunya yang tak
bisa kulepaskan. Walaupun wajahnya semakin hari semakin buruk, serta rambutnya
yang kasar dan kusut, aku tetap menyayanginya.
Maka
dari itu aku menyanggupi pintanya yang tak masuk akal untuk mencari batagor,
makanan favorit Ciexera. Aku sudah bertanya pada banyak orang, baik yang
kukenal di posko atau yang tak kukenal selama perjalanan. Semuanya menggeleng
dengan wajah berkerut, seakan telah ada template jawaban untuk
pertanyaannku. Namun suatu hari, ketika aku bertanya pada Gyndri yang sedang
melamun menatap langit yang tertutup kabut asap, ia menjawab dengan semangat.
Pada
hari yang suram itu ia sambil berdiri menunjuk ke atas langit seraya berkata,
“aku tahu tempatnya! Mari ikuti aku!”
“Dri,
aku sudah lelah. Kapan kita sampai di toko yang kau ucap itu?”
“Sebentar
lagi. Kita harus melewati jalan yang paling menyengsarakan terlebih dahulu.
Barulah nanti kita akan melihat dunia yang penuh dengan makanan enak itu,” kali
ini Gyndri tersenyum.
“Kau
jangan berbual lagi, Dri. Lagipula apa yang lebih menyengsarakan daripada hidup
di antara gas beracun. Melayang-layang bercapur udara, mengapung dan
terkonsentrasi dalam air sungai, membunuh ternak, apalagi yang lebih sengsara
dari itu, Dri?”
Gyndri
terdiam menatap jalan. Lurus ke depan tidak ada lagi hal-hal yang menyenangkan.
Memang benar yang kukatakan, tak ada yang lebih menyengsarakan daripada hidup
kami yang sekarang.
Pejabat
yang berlindung dari masalah ini sudah mewartakan bahwa bahaya yang terjadi di
Simextri tak bisa tertolong. Awan dan langit terlanjur marah. Bukan tanpa sebab,
mereka berdua sudah berusaha menegur rakyat dengan cara halus. Kedua ciptaan
Tuhan itu lelah mengonsumsi asap pabrik yang berdiri gagah. Pemerintah sengaja
meletakkan segala jenis pabrik di Simextri, bilang bahwa kota ini adalah kota
industri. Setelahnya udara menjadi lebih panas dan cuaca berubah seenak hati.
Hingga tibalah hari kebakaran itu dan berakhir tidak menyenangkan. Ciptakan
kondisi yang membuat warga Simextri harus mampu berkawan dengan sulfur
dioksida, nitrogen dioksida, karbon dioksida dan segala sida yang aku tak lagi
tahu namanya. Kami terpaksa mandi dengan air yang tercampur asam sulfat, asam
nitrat, dan asam nitrit. Membuat kulit kami melepuh dan terkelupas.
Selama
hampir satu semester kami berjuang. Sedikit demi sedikit masyarakat kehilangan
gairah hidup dan memilih untuk pasrah kepada Tuhan. Tidak ada yang peduli juga
tidak ada yang melarang jika mereka hendak mengakhiri hidupnya. Toh,
lebih baik demikian. Karena mereka bisa mengurangi jatah orang diberi makan,
dan memindahkannya ke dalam perut-perut yang lebih membutuhkan.
Buk!
Aku
terjatuh, dadaku menghentam batu. Aku mengerang kesakitan dan memperlihatkan
mata merahku kepada Gyndri. Ia melirikku dengan tak acuh. Sama sekali tak
bergeming.
Aku
tak lagi bersuara. Tak bisa keluar suara itu dari tenggorokkan yang kering. Air
minum dengan pH normal tidak tersedia dan aku tidak ingin bermain-main dengan
nyawa. Tapi kondisi yang kini terjadi tak begitu lama. Satu menit dengan mata
saling pandang, akhirnya Gyndri memilih untuk berjongkok. Ia berkata lembut,
baru kali ini ku mendengarnya.
“Pzi,
lima langkah lagi kita akan sampai. Biar aku gendong,”
Senyum
tulusnya keluar. Walaupun tubuhnya sudah kurus kering karena kekurangan gizi,
ia tak lagi jadi menyeramkan seperti biasanya. Gyndri mengangkatku dan
membopong dengan punggungnya yang ringkih. Napasku sudah tak bisa lagi menerima
gas beracun. Filter yang berada pada masker tak berfungsi. Jantungku memompa
dengan lambat. Aku mengerang untuk kesekian kalinya. Sungguh ini benar-benar
sakit.
Tapi
tak mengapa. Sebentar lagi aku akan mendapatkan batagor pesanan Ciexera. Aku
bisa membawakan batagor itu dengan bangga dan sedikit sombong. Lalu dia pasti
akan bangun dari kemurungannya sambil mengucapkan terima kasih dengan suara
yang kurindukan.
Komentar
Posting Komentar