Langsung ke konten utama

Cerpen: Batagor

 


Langkah semakin berat dikelilingi air hujan yang tak diharapkan. Becek yang mengisi lubang-lubang jalan tak pernah menjadi tempat menapak. Bukannya takut sepatu putih menjadi coklat, sebab bahaya di kota ini melebihi remeh-temeh seperti itu. Bau karat yang bertumpuk dengan amis mayat menusuk hidung. Walau telah dibekali dengan masker berkemampuan super, tetap saja aroma tak sedap itu menembus hingga alveoulus. Akibatnya napas menjadi terengah-engah, mata memerah, dan badan lemas untuk melanjutkan hidup.

            Ciexera, bocah itu melayangkan pinta yang tak mungkin terjadi di waktu ini. Wajahnya merengut tatkala kukatakan permintaannya mustahil kutemukan. Rambutnya yang panjang dibiarkan terurai kusut dengan debu dan kotoran melekat pada kulit kepala, membuatku semakin kesal melihatnya. Gadis dengan tinggi yang tak sampai rata-rata remaja Simextri usianya, menyuruhku dengan santai dan agak congak untuk memberinya seporsi batagor.

            “Dalam kondisi yang kacau ini dia ingin batagor! Batagor, Dri! Di mana aku harus cari makanan seperti itu? Sedangkan untuk makan nasi saja kita kesulitan!” ucapku penuh kesal yang hanya bisa dikenali dari intonasi bicara.

            “Sebenarnya dia bukan ingin makan batagor, dia hanya ingin melihat kau pergi lalu mati dengan cepat,” Gyndri menjawab malas.

            “Benar juga ucapan kau. Kalau begitu aku bunuh diri saja?”

            “Ya, kau mati saja sekarang,” jawaban yang tak kuharapkan keluar dari mulut sahabatku.

            Entahlah dia bisa disebut sahabat atau tidak. Karena kami baru saja berkenalan dan memulai hidup bersama karena kondisi ini. Kami bertemu satu minggu setelah ia mengendap dalam posko darurat bencana. Hujan yang tak hentinya membasahi kota terpencil dan tak pernah diperhatikan pemerintah ini, membawa kami pada nasib jahat hingga sekarang.

Kala itu Gyndri yang berpakaian serba hitam sudah terkapar tidak berdaya. Dadanya naik turun dengan cepat, mulutnya mangap-mangap mencari udara. Sudah seperti ikan hidup yang pindah ke daratan. Matanya merah melebihi mataku yang juga kena iritasi udara. Ia datang hanya berbekal satu kain panjang yang menyelimuti tubuh. Orang tuanya tak ada, kakaknya sudah mati juga selama perjalanan ke posko, sedangkan kawan-kawannya yang lain berlarian entah ke mana saat kerusuhan pertama kali. Beruntung Gyndri selamat walau dengan kondisi mengenaskan.

Aku yang hidup di dekat posko sudah lebih dulu berkegiatan. Walau enggan dan tak menyenangkan, tempat itulah satu-satunya rumah yang menghidupkan. Berjejal-jejal orang di dalamnya. Dari segala kalangan usia, jenis kelamin, agama, suku, bahkan ada juga yang membawa hewan peliharaannya. Rumah luas hasil menjarah salah satu pejabat dan pebisnis kota ini menjadi rebutan masyarakat. Tapi mau bagaimana lagi? Kuota sudah penuh. Maka sisa yang tak bisa masuk karena terhalau teknologi tinggi ciptaan orang-orang pintar, terpaksa hidup di luar. Mereka terkatung-katung di jalan atau menumpang rumah kosong hingga akhirnya menjadi mayat.

“Kau pasti tak berani mati, kan?” tanya Gyndri setelah perjalanan yang sepi.

Aku tak menjawab. Bukan hanya karena malu menjawab, aku juga sedang menyimpan energiku untuk mencari pesanan Ciexera.

“Kalau kau berani mati pasti sudah kau lakukan sejak pertama kali kita dengar pengumuman presiden,”

Lagi, aku tak menjawab. Mataku menjajaki beberapa bangunan yang runtuh serta pohon-pohon yang mati akibat hujan yang tak henti. Masih berharap segera menemukan batagor yang bisa kubawa pulang untuk adikku.

“Sebentar lagi kita akan sampai,”

“Benarkah?”

“Sampai ke pintu kematian. Aku ingin segera berkumpul di surga, Pzi.”

Aku membuang muka penasaran atas ucapannya. Sedangkan Gyndri menertawakan ekspresiku yang penuh harap, walaupun seluruh wajahku tetutup alat pelindung diri. Tawanya begitu mengesalkan dan berlanjut panjang. Kupikir orang di sampingku ini lama-lama semakin gila. Ini pasti efek menghirup udara penuh karbon dan sulfur. Kalaupun bukan karena menghirup gas rumah kaca yang terlampau banyak konsentrasinya di udara, Gyndri kemungkinan meminum air ber-pH rendah. Aku sudah coba untuk melarangnya mengonsumsi air tak sehat itu, tapi ia tetap menuruti radang tenggorokannya.

Dalam dunia yang semakin tak sehat ini aku mewajarkan orang-orang bertingkah tidak sehat. Terkadang saking tak ada lagi pasokan makanan dari hewan atau tumbuhan, mereka memakan kerikil warna-warni. Ada juga yang memaksa mengonsumsi ranting-ranting pohon yang mati akibat tak kuat menahan asam. Pada akhirnya yang melakukan itu juga menjadi ranting yang mati karena tingginya kandungan asam dalam tubuh.

Aku juga beberapa kali pernah melakukan hal bodoh. Tapi tak mungkin kuteruskan karena aku belum mau mati. Setidaknya selama aku masih memiliki Ciexera aku akan berusaha melindunginya. Aku akan terus berada di jangkauannya dan memenuhi pintanya yang kadang membuat kesal. Dia adalah keluargaku satu-satunya yang tak bisa kulepaskan. Walaupun wajahnya semakin hari semakin buruk, serta rambutnya yang kasar dan kusut, aku tetap menyayanginya.

Maka dari itu aku menyanggupi pintanya yang tak masuk akal untuk mencari batagor, makanan favorit Ciexera. Aku sudah bertanya pada banyak orang, baik yang kukenal di posko atau yang tak kukenal selama perjalanan. Semuanya menggeleng dengan wajah berkerut, seakan telah ada template jawaban untuk pertanyaannku. Namun suatu hari, ketika aku bertanya pada Gyndri yang sedang melamun menatap langit yang tertutup kabut asap, ia menjawab dengan semangat.

Pada hari yang suram itu ia sambil berdiri menunjuk ke atas langit seraya berkata, “aku tahu tempatnya! Mari ikuti aku!”

“Dri, aku sudah lelah. Kapan kita sampai di toko yang kau ucap itu?”

“Sebentar lagi. Kita harus melewati jalan yang paling menyengsarakan terlebih dahulu. Barulah nanti kita akan melihat dunia yang penuh dengan makanan enak itu,” kali ini Gyndri tersenyum.

“Kau jangan berbual lagi, Dri. Lagipula apa yang lebih menyengsarakan daripada hidup di antara gas beracun. Melayang-layang bercapur udara, mengapung dan terkonsentrasi dalam air sungai, membunuh ternak, apalagi yang lebih sengsara dari itu, Dri?”

Gyndri terdiam menatap jalan. Lurus ke depan tidak ada lagi hal-hal yang menyenangkan. Memang benar yang kukatakan, tak ada yang lebih menyengsarakan daripada hidup kami yang sekarang.

Pejabat yang berlindung dari masalah ini sudah mewartakan bahwa bahaya yang terjadi di Simextri tak bisa tertolong. Awan dan langit terlanjur marah. Bukan tanpa sebab, mereka berdua sudah berusaha menegur rakyat dengan cara halus. Kedua ciptaan Tuhan itu lelah mengonsumsi asap pabrik yang berdiri gagah. Pemerintah sengaja meletakkan segala jenis pabrik di Simextri, bilang bahwa kota ini adalah kota industri. Setelahnya udara menjadi lebih panas dan cuaca berubah seenak hati. Hingga tibalah hari kebakaran itu dan berakhir tidak menyenangkan. Ciptakan kondisi yang membuat warga Simextri harus mampu berkawan dengan sulfur dioksida, nitrogen dioksida, karbon dioksida dan segala sida yang aku tak lagi tahu namanya. Kami terpaksa mandi dengan air yang tercampur asam sulfat, asam nitrat, dan asam nitrit. Membuat kulit kami melepuh dan terkelupas.

Selama hampir satu semester kami berjuang. Sedikit demi sedikit masyarakat kehilangan gairah hidup dan memilih untuk pasrah kepada Tuhan. Tidak ada yang peduli juga tidak ada yang melarang jika mereka hendak mengakhiri hidupnya. Toh, lebih baik demikian. Karena mereka bisa mengurangi jatah orang diberi makan, dan memindahkannya ke dalam perut-perut yang lebih membutuhkan.

Buk!

Aku terjatuh, dadaku menghentam batu. Aku mengerang kesakitan dan memperlihatkan mata merahku kepada Gyndri. Ia melirikku dengan tak acuh. Sama sekali tak bergeming.

Aku tak lagi bersuara. Tak bisa keluar suara itu dari tenggorokkan yang kering. Air minum dengan pH normal tidak tersedia dan aku tidak ingin bermain-main dengan nyawa. Tapi kondisi yang kini terjadi tak begitu lama. Satu menit dengan mata saling pandang, akhirnya Gyndri memilih untuk berjongkok. Ia berkata lembut, baru kali ini ku mendengarnya.

“Pzi, lima langkah lagi kita akan sampai. Biar aku gendong,”

Senyum tulusnya keluar. Walaupun tubuhnya sudah kurus kering karena kekurangan gizi, ia tak lagi jadi menyeramkan seperti biasanya. Gyndri mengangkatku dan membopong dengan punggungnya yang ringkih. Napasku sudah tak bisa lagi menerima gas beracun. Filter yang berada pada masker tak berfungsi. Jantungku memompa dengan lambat. Aku mengerang untuk kesekian kalinya. Sungguh ini benar-benar sakit.

Tapi tak mengapa. Sebentar lagi aku akan mendapatkan batagor pesanan Ciexera. Aku bisa membawakan batagor itu dengan bangga dan sedikit sombong. Lalu dia pasti akan bangun dari kemurungannya sambil mengucapkan terima kasih dengan suara yang kurindukan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi : Novel Nebula Karya Tere Liye

Novel “NEBULA” Karya Tere Liye :  Rahasia Pengintai Terbaik dan Kembalinya Musuh Lama Oleh : Lubna Anfaresi Judul                : NEBULA Penulis             : Tere Liye Penerbit             : Gramedia Pustaka Utama Kota Terbit       : Jakarta Cetakan II        : April 2020 Ketebalan         : 376 halaman Pendahuluan             Serial Bumi merupakan salah satu serial yang dikeluarkan oleh penulis Tere Liye dan berhasil menarik minat pembaca di tanah air. Serial fantasi ini sudah memiliki sembilan seri dengan seri terbaru berjudul “NEBULA”. Sama seperti seri sebelumnya yang berjudul “SELENA”, seri ke-9 ini menceritakan kisah dari sudut pandang Selena sebaga...

Masak, Makan, Lempah Kuning

  Masak, Makan, Lempah Kuning “Wew, banyak kenek ge. Basing ka lah pon!” [1]             Ucapan dari Ami, gadis Bangka yang sudah kutemui sejak lima hari bertugas di daerah ini, terus terngiang di antara malam-malam sepi di kamar berukuran lima kali tujuh meter. Suaranya begitu tinggi, mencekam, dan rasanya penuh kebencian. Raut wajahnya yang mengerut itu terus terbayang, juga ucapan dengan bahasa yang aku tidak mengerti sama sekali. Jauh dari mal perbelanjaan, kafe yang selalu ramai, atau sekadar lalu lintas kota Yogya, aku terjebak sampai sembilan hari kedepan untuk mengerjakan tugas kuliahku di sini. Aku tidur menumpang kepada salah satu warga kenalan kawan kuliahku, yang juga berasal dari Bangka. Katanya itu adalah rumah seperadik [2] -nya. Pintu kamar yang menjadi tempat tidurku sementara tiba-tiba diketuk dari luar. Aku menghela napas, mencoba meraih gagang pintu dan membiarkan sinar lampu di ruang tengah masuk ke d...

Nugget

Pernah berpikir untuk masak nugget goreng yang dicocol dengan cuko ? Itu yang Bene lakukan. Aneh, iya. Tapi Bene tidak akan peduli dengan komentar orang, karena toh dia sekarang ada di kontrakannya. Sendirian. Setelah berkutat dengan kertas-kertas laporan praktikumnya selama satu semester, Bene bisa beristirahat sejenak. Gadis itu tidak pergi ke luar kontrakannya, kecuali untuk membeli makan atau bahan masakan. Keinginannya untuk naik gunung setiap liburan juga harus kandas. Alasanya sederhana, karena ia tidak punya teman untuk naik ke atas sana. Jika kalian semua mendorong gadis itu untuk pergi sendiri,             “Terima kasih.” Dua kata itu akan keluar dari bibirnya yang sedikit kering. Saran dari kawan-kawan dekatnya, biarkan saja Bene asyik dengan dunianya. Ia bisa saja pergi ke Bandung sekarang juga, atau ke Jakarta. Tapi buat apa? Ia tidak mau menghabiskan lebih banyak uang beasiswa yang baru cair satu pekan lalu...