“Baiklah
kepada paslon satu dipersilahkan untuk menjawab. Waktu dimulai saat kalian
berbicara,”
Suara
yang lantang itu tak lagi mendebarkan hatiku. Kini aku sudah mulai terbiasa
dengan cara main perdebatan. Memang sulit dalam menyusun kata-kata yang presisi
dalam waktu cepat, tapi lekas dari dua pertanyaan sebelumnya aku terlatih.
Intinya saat ini adalah berpegang teguh pada visi dan misi menjadi ketua OSIS.
Tidak perlu memikirkan hal yang lainnya. Segala jawaban sebisa mungkin
dikaitkan dengan eksitensi aku dan Juta yang akan naik sebagai ketua dan wakil
nantinya.
Sekitar
dua puluh menit yang lalu aku dan Juta puas menertawakan diri sendiri karena
tindakan panitia acara. Tak mau mengambil pusing untuk jengkel kepada MPK, kami
malah bertukar cerita dengan paslon lain di balik panggung. Tama dan Rian
menanggapi dengan tawa yang lebih kencang lagi. Bahkan mereka sempat ditegur
oleh Salsa yang juga menertawakan kecerobohan timnya sendiri. Sedangkan Adel
dan Anggun hanya bisa tertawa kecil dan saling lirik.
Kami
mendengar pidato sambutan dari kepala sekolah di balik panggung. Tak perlu
beliau bicara lama, karena memang kepala sekolah kami yang akrab di sapa Ustad
Jauhar atau lebih akrab lagi disapa Ustad Jo, bukan orang yang suka
menghabiskan waktu. Dalam sambutannya malam ini saja beliau hanya berbicara
sepuluh menit, mengingatkan pentingnya memilih dan memberikan kepercayaan pada
orang-orang yang berkualitas. Tak ketinggalan pula Ustad Jauhar menggaungkan
jargon kebanggaan sekolah.
“Terima
kasih kepada panelis yang sudah memberikan pertanyaannya,” ucapku setelah
berdiri dan menggenggam pelantang suara.
“Ini merupakan kasus yang menarik. Kenapa
demikian? Karena dengan posisi generasi cerdas maju, mengharuskan kita untuk
berdiri di antara keilmuan dan kemajuan teknologi. Saya tidak sepakat apabila
perpustakaan daerah dihentikan pembangunannya oleh pemerintah. Bayangkan
teman-teman, dengan adanya perpustakaan daerah saja tingkat literasi di
Indonesia masih rendah. Lantas mau dibawa kemana wajah Indonesia apabila tidak
ada perpustakaan di daerah-daerah?
Membangun
perpustakaan daerah tidak selalu tentang bangunan baru. Tapi pemerintah bisa membangun
lewat optimalisasi peran teknologi saat ini. Mengintegrasikan gawai, perangkat
internet, dan buku-buku elektronik di setiap perpustakaan daerah. Dengan
demikian kemajuan teknologi berjalan seiringan dengan cita-cita negara sebagai
bangsa yang literat,” aku berhenti sejenak sambil membaca lagi kertas coretan
di atas meja.
“Waktu
tersisa dua menit, apakah hendak dilanjutkan dari paslon satu?” suara Bandi
memecah konsentrasiku.
Dengan
segera kuangkat wajah dan kembali membahas mosi yang dilontarkan panelis
mengenai penghentian pembangunan perpustakaan daerah.
“Sama
halnya dengan yang terjadi di sekolah kita. Jika teman-teman semua menyadari,
sekolah kita sudah menerapkan konsep digitalisasi literasi. Walaupun belum
sepenuhnya tapi kita sebagai siswa seharusnya mendukung fasilitas ini. Dalam
mendukung digitalisasi literasi, saya dan Juta bersedia menjadi garda terdepan.
Kami akan maju untuk mengolah atau membuat program kerja OSIS yang
berkesesuaian dengan visi dan misi sekolah.”
“Sedikit
menambahkan informasi,”
Pelantang
suara kuberikan kepada Juta yang ikut berdiri.
“Pembangunan
perpustakaan bisa juga dengan menambah ruangan yang nyaman untuk pengunjung.
Ini akan menjadi daya tarik bagi perpustakaan daerah dan mungkin meningkatkan
jumlah kunjungan perpustakaan daerah. Awalnya hanya ingin foto-foto saja, tapi
lama kelamaan juga akan memilih buku bacaan.”
Aku
mengangguk atas pendapat yang dilontarkan Juta. Walaupun kata-katanya masih
belum terstruktur, tapi untuk seseorang yang baru belajar ini merupakan
pencapaian besar. Padahal baru saja pertanyaan pertama tadi Juta kebingungan
dan malu untuk bicara. Sekarang ia bisa menumbuhkan kepercayaan dirinya.
“Baiklah,
waktu tersisa lima detik. Apakah ada yang ingin ditambahkan?”
Pertanyaan
Bandi itu tidak mendapatkan jawaban karena pas sekali dirinya menghabiskan
waktu lima detik untuk bertanya.
Tepat
ketika waktu habis, penonton memberikan tepuk tangan yang meriah. Aku
sebenarnya tak juga paham dengan apa yang kubicarakan tadi. Melihat respon dari
penonton sepertinya tak ada yang perlu kusesali.
Aku
memilih untuk duduk kembali, diikuti oleh Juta. Kuberikan perhatianku padanya
yang berhasil keluar dari zona nyaman beberapa detik yang lalu. Tangannya yang
masih bergetar ia coba tutupi dengan menggenggam pena dan menuliskan sesuatu di
kertas miliknya. Keringat dingin memang tak nampak di kulit Juta, tapi gerakan
matanya tak henti berkedip cepat.
Riuh
rendah pendukung paslon satu dan penonton menjadi latar. Aku memberikan
stimulsi kepada pikir dan hatiku untuk terus tenang. Tak kuhiraukan ucapan dari
pembawa acara yang kini menyasar paslon lain untuk membalas pendapatku terkait
mosi sebelumnya.
“Kau
tadi keren, Juta. Baru sekali belajar sekarang sudah mulai percaya diri,”
“Eh,
ah, biasa saja, Kak. Aku bicara mengeracau saja sepertinya,”
Aku
menggeleng pelan, “tidak. Pendapat kau membantu opiniku sebelumnya. Ingat
lakukan yang terbaik, terabas!”
Juta
tak membalas dengan kata-katanya. Ia memberikan tawa kecil, membuatku juga ikut
tertawa.
Kembali
aku ikuti perdebatan malam ini dengan penuh semangat. Malam yang semakin larut
tidak membuat mataku lelah untuk terbuka, malahan aku semakin ingin berteriak
keras-keras. Anggun yang ternyata menanggapi pidato kami terkait mosi
perpustakaan, menambah keseruan. Pasalnya paslon mereka ternyata tidak
sependapat dengan argumen yang aku dan Juta tawarkan.
Anggun
menilai pembangunan perpustakaan daerah hanya menghabiskan anggaran negara.
Lebih baik anggaran tersebut digunakan untuk optimalisasi perpustakaan
nasional. Tambahan dari Rian, pembangunan yang dimaksud mosi dengan yang paslon
satu tangkap berbeda. Pembangunan haruslah mendirikan bangunan atau membangun
perpustakaan baru di daerah-daerah yang belum memiliki akses. Bukannya
membangun teknologi atau pembaharuan ruangan seperti yang Juta ucap.
Beruntung
aku bisa mengeles dengan seribu alasan yang berputar-putar di kepalaku.
Kutangkap salah satu dan kubalas pula argumen paslon tiga dengan percaya diri.
“Saya
akan membalasnya singkat saja. Karena saya rasa apa yang kami jelaskan sudah dipahami
masyarakat. Bukankah demikian, teman-teman?”
“Betul!”
terdengar jawaban dari kursi penonton, diikuti pula seruan lainnya.
“Pembangunan
nasional. Pembangunan yang menyeluruh, baik dari segi fasilitasnya maupun sumber
daya manusianya. Jika pembangunan dimaknai satu arti seperti yang paslon tiga
katakan, maka Indonesia akan berjaya dengan gedung-gedung tinggi dan teknologi
mutakhir. Tapi manusianya masih terjebak pada derita penjajahan atau masa lalu
lainnya.”
Debat
kemudian berlanjut dengan mosi-mosi yang tak kalah menantang. Bandi dan
temannya membawa acara dengan baik. Serius dikala waktu perdebatan, lalu diajak
bercanda ketika sedang istirahat sebentar.
Tak
ada yang tahu pasti dengan kondisi malam ini. Semuanya terjebak dalam keseruan
di aula. Beberapa dari penonton sebenarnya sudah menguap berkali-kali, tapi
mereka tidak mengajak orang lain untuk abai. Suara bungkus makanan ringan yang
dibawa teredam oleh pengeras suara yang bekerja setiap waktu. Lalu lalang
panitia membawa kamera dan menangkap momen tak terlupakan ini. Ustad-ustazah
juga masih setia melihat pertandingan sehat anak-anak didiknya. Bahkan Pak
Desta juga duduk mantap sambil menyesap kopi hitam favoritnya. Duduk bersama
beliau beberapa staf yang juga bekerja di lembaga ini.
Jeda
yang diberikan panitia untuk beralih ke sesi berikutnya hanyalah tujuh menit.
Dalam hal itu aku menggunakannya untuk menyantap konsumsi dengan lahap.
Sepotong bolu pisang, sosis solo, dan kue lapis dengan tambahan teh kotak rasa
bunga melati. Ada pula kami diberikan sebotol air mineral untuk melepas dahaga
dan menetralisir rasa yang bercampur aduk di lidah.
Sesekali
aku melihat ke arah paslon dua dan tiga. Memberikan sedikit sapa dan senyuman
lantas kembali fokus menyantap sosis solo. Aku lupa mengatakan kepada kalian
tentang hubunganku dengan Tama selepas sidang kemarin.
Sama
seperti yang Habib lakukan, Tama juga meminta maaf duluan kepadaku. Sore hari
sebelum mendapatkan pengarahan singkat dari panitia terkait jalannya
perdebatan, Tama menemuiku. Rivalku itu bilang dirinya tak menyangka akan
terseret ke masalah ini. Maka dari itu dia setuju saja ketika Dadan
membicarakan penggagalan paslon satu memimpin siswa sekolah ini.
“Kuharap
kau bisa mengerti, War. Aku pun tak ingin hubungan kita hancur karena pemilos
ini. Karena besok-besok jika aku terpilih, aku pasti akan menjadikan kau
anggotaku.”
Begitu
ucapan Tama diakhir dialog. Masih dengan sedikit taipaw-nya ia menjelaskan.
Aku tertawa mendengar ucapan itu, tapi aku tak membantah ucapannya. Bagaimana pun
juga hubungan kami tak boleh rusak di sini. Karena aku membutuhkan Tama
sebagaimana Tama membutuhkan aku.
Dialog
itu singkat dan jelas karena terpotong pertemuan yang sesungguhnya harus
dilakukan.
“Yah,
intinya kau lakukan saja sanksimu. Aku memaafkanmu, Tam. Lagi pula apa yang kau
katakan tidak salah. Jika aku terpilih menjadi ketua OSIS aku harus memiliki
anggota yang taat aturan dan mau minta maaf duluan seperti kau ini. Bukan hanya
bagus di kinerja saja, tapi perilaku juga harus mantap.”
***
Tangan yang terangkat memusingkan
pembawa acara. Mereka harus memilih dari puluhan tangan kelas dua belas yang
menyerang masing-masing paslon ketua dan wakil ketua OSIS. Aku sebenarnya sudah
terbiasa dengan banyaknya tangan yang penuh tanda tanya, tapi rasa-rasanya kali
ini berbeda. Tangan-tangan itu seakan mencegah langkahku untuk melangkah.
“Sudah kami tentukan yang akan
bertanya dari perwakilan kelas dua belas adalah Kak Sekar dan Kak Zein.
Dipersilahkan untuk keduanya maju dan bicara di tempat yang telah kami
sediakan.”
Deg!
Dua orang yang dipilih oleh pembawa acara itu bukan
remahan roti. Bahkan dari cara mereka berjalan menuju mimbar tempat bertanya
saja sudah menunjukkan kewibawaannya. Wajahnya tegas dan langkahnya mantap.
Tidak memerlukan buku catatan atau pena setiap kali mereka bertanya. Jika
bicara semua orang akan terdiam, menunjukkan rasa segan atas keduanya.
Kak Zein, dia adalah ketua OSIS
periode sebelumnya. Walaupun dipulangkan kala itu, Kak Zein beserta seluruh
pengurus OSIS bahu-membahu menjalankan program kerja. Buktinya program daring
seperti perlombaan, penggalangan dana, kajian, dan seminar dilakukan rutin
setiap bulan. Selain terkenal dari jabatannya, Kak Zein cerdas dan senang
sekali berbicara di apel untuk memberikan ilmu. Ia adalah satu-satunya
perwakilan sekolah dalam ajang olimpiade geografi tingkat internasional. Lebih
tepatnya lagi Kak Zein adalah peraih medali perak dalam ajang itu.
Sedangkan Kak Sekar adalah
koordinator OSIS keamanan tahun lalu yang juga menjadi duta bahasa di
angkatannya. Sekali ia bicara, orang-orang akan berhenti bersuara. Bahkan
ketika ia tidak lagi menjabat, auranya masih terasa dalam setiap
gerak-geriknya. Badannya tinggi dan tegap. Cocok sekali jika ia memilih untuk
melanjutkan cita-citanya sebagai abdi negara.
Komentar
Posting Komentar