Langsung ke konten utama

12.5

 

“Baiklah kepada paslon satu dipersilahkan untuk menjawab. Waktu dimulai saat kalian berbicara,”

Suara yang lantang itu tak lagi mendebarkan hatiku. Kini aku sudah mulai terbiasa dengan cara main perdebatan. Memang sulit dalam menyusun kata-kata yang presisi dalam waktu cepat, tapi lekas dari dua pertanyaan sebelumnya aku terlatih. Intinya saat ini adalah berpegang teguh pada visi dan misi menjadi ketua OSIS. Tidak perlu memikirkan hal yang lainnya. Segala jawaban sebisa mungkin dikaitkan dengan eksitensi aku dan Juta yang akan naik sebagai ketua dan wakil nantinya.

Sekitar dua puluh menit yang lalu aku dan Juta puas menertawakan diri sendiri karena tindakan panitia acara. Tak mau mengambil pusing untuk jengkel kepada MPK, kami malah bertukar cerita dengan paslon lain di balik panggung. Tama dan Rian menanggapi dengan tawa yang lebih kencang lagi. Bahkan mereka sempat ditegur oleh Salsa yang juga menertawakan kecerobohan timnya sendiri. Sedangkan Adel dan Anggun hanya bisa tertawa kecil dan saling lirik.

Kami mendengar pidato sambutan dari kepala sekolah di balik panggung. Tak perlu beliau bicara lama, karena memang kepala sekolah kami yang akrab di sapa Ustad Jauhar atau lebih akrab lagi disapa Ustad Jo, bukan orang yang suka menghabiskan waktu. Dalam sambutannya malam ini saja beliau hanya berbicara sepuluh menit, mengingatkan pentingnya memilih dan memberikan kepercayaan pada orang-orang yang berkualitas. Tak ketinggalan pula Ustad Jauhar menggaungkan jargon kebanggaan sekolah.

“Terima kasih kepada panelis yang sudah memberikan pertanyaannya,” ucapku setelah berdiri dan menggenggam pelantang suara.

 “Ini merupakan kasus yang menarik. Kenapa demikian? Karena dengan posisi generasi cerdas maju, mengharuskan kita untuk berdiri di antara keilmuan dan kemajuan teknologi. Saya tidak sepakat apabila perpustakaan daerah dihentikan pembangunannya oleh pemerintah. Bayangkan teman-teman, dengan adanya perpustakaan daerah saja tingkat literasi di Indonesia masih rendah. Lantas mau dibawa kemana wajah Indonesia apabila tidak ada perpustakaan di daerah-daerah?

Membangun perpustakaan daerah tidak selalu tentang bangunan baru. Tapi pemerintah bisa membangun lewat optimalisasi peran teknologi saat ini. Mengintegrasikan gawai, perangkat internet, dan buku-buku elektronik di setiap perpustakaan daerah. Dengan demikian kemajuan teknologi berjalan seiringan dengan cita-cita negara sebagai bangsa yang literat,” aku berhenti sejenak sambil membaca lagi kertas coretan di atas meja.

“Waktu tersisa dua menit, apakah hendak dilanjutkan dari paslon satu?” suara Bandi memecah konsentrasiku.

Dengan segera kuangkat wajah dan kembali membahas mosi yang dilontarkan panelis mengenai penghentian pembangunan perpustakaan daerah.

“Sama halnya dengan yang terjadi di sekolah kita. Jika teman-teman semua menyadari, sekolah kita sudah menerapkan konsep digitalisasi literasi. Walaupun belum sepenuhnya tapi kita sebagai siswa seharusnya mendukung fasilitas ini. Dalam mendukung digitalisasi literasi, saya dan Juta bersedia menjadi garda terdepan. Kami akan maju untuk mengolah atau membuat program kerja OSIS yang berkesesuaian dengan visi dan misi sekolah.”

“Sedikit menambahkan informasi,”

Pelantang suara kuberikan kepada Juta yang ikut berdiri.

“Pembangunan perpustakaan bisa juga dengan menambah ruangan yang nyaman untuk pengunjung. Ini akan menjadi daya tarik bagi perpustakaan daerah dan mungkin meningkatkan jumlah kunjungan perpustakaan daerah. Awalnya hanya ingin foto-foto saja, tapi lama kelamaan juga akan memilih buku bacaan.”

Aku mengangguk atas pendapat yang dilontarkan Juta. Walaupun kata-katanya masih belum terstruktur, tapi untuk seseorang yang baru belajar ini merupakan pencapaian besar. Padahal baru saja pertanyaan pertama tadi Juta kebingungan dan malu untuk bicara. Sekarang ia bisa menumbuhkan kepercayaan dirinya.

“Baiklah, waktu tersisa lima detik. Apakah ada yang ingin ditambahkan?”

Pertanyaan Bandi itu tidak mendapatkan jawaban karena pas sekali dirinya menghabiskan waktu lima detik untuk bertanya.

Tepat ketika waktu habis, penonton memberikan tepuk tangan yang meriah. Aku sebenarnya tak juga paham dengan apa yang kubicarakan tadi. Melihat respon dari penonton sepertinya tak ada yang perlu kusesali.

Aku memilih untuk duduk kembali, diikuti oleh Juta. Kuberikan perhatianku padanya yang berhasil keluar dari zona nyaman beberapa detik yang lalu. Tangannya yang masih bergetar ia coba tutupi dengan menggenggam pena dan menuliskan sesuatu di kertas miliknya. Keringat dingin memang tak nampak di kulit Juta, tapi gerakan matanya tak henti berkedip cepat.

Riuh rendah pendukung paslon satu dan penonton menjadi latar. Aku memberikan stimulsi kepada pikir dan hatiku untuk terus tenang. Tak kuhiraukan ucapan dari pembawa acara yang kini menyasar paslon lain untuk membalas pendapatku terkait mosi sebelumnya.

“Kau tadi keren, Juta. Baru sekali belajar sekarang sudah mulai percaya diri,”

“Eh, ah, biasa saja, Kak. Aku bicara mengeracau saja sepertinya,”

Aku menggeleng pelan, “tidak. Pendapat kau membantu opiniku sebelumnya. Ingat lakukan yang terbaik, terabas!”

Juta tak membalas dengan kata-katanya. Ia memberikan tawa kecil, membuatku juga ikut tertawa.

Kembali aku ikuti perdebatan malam ini dengan penuh semangat. Malam yang semakin larut tidak membuat mataku lelah untuk terbuka, malahan aku semakin ingin berteriak keras-keras. Anggun yang ternyata menanggapi pidato kami terkait mosi perpustakaan, menambah keseruan. Pasalnya paslon mereka ternyata tidak sependapat dengan argumen yang aku dan Juta tawarkan.

Anggun menilai pembangunan perpustakaan daerah hanya menghabiskan anggaran negara. Lebih baik anggaran tersebut digunakan untuk optimalisasi perpustakaan nasional. Tambahan dari Rian, pembangunan yang dimaksud mosi dengan yang paslon satu tangkap berbeda. Pembangunan haruslah mendirikan bangunan atau membangun perpustakaan baru di daerah-daerah yang belum memiliki akses. Bukannya membangun teknologi atau pembaharuan ruangan seperti yang Juta ucap.

Beruntung aku bisa mengeles dengan seribu alasan yang berputar-putar di kepalaku. Kutangkap salah satu dan kubalas pula argumen paslon tiga dengan percaya diri.

“Saya akan membalasnya singkat saja. Karena saya rasa apa yang kami jelaskan sudah dipahami masyarakat. Bukankah demikian, teman-teman?”

“Betul!” terdengar jawaban dari kursi penonton, diikuti pula seruan lainnya.

“Pembangunan nasional. Pembangunan yang menyeluruh, baik dari segi fasilitasnya maupun sumber daya manusianya. Jika pembangunan dimaknai satu arti seperti yang paslon tiga katakan, maka Indonesia akan berjaya dengan gedung-gedung tinggi dan teknologi mutakhir. Tapi manusianya masih terjebak pada derita penjajahan atau masa lalu lainnya.”

Debat kemudian berlanjut dengan mosi-mosi yang tak kalah menantang. Bandi dan temannya membawa acara dengan baik. Serius dikala waktu perdebatan, lalu diajak bercanda ketika sedang istirahat sebentar.

Tak ada yang tahu pasti dengan kondisi malam ini. Semuanya terjebak dalam keseruan di aula. Beberapa dari penonton sebenarnya sudah menguap berkali-kali, tapi mereka tidak mengajak orang lain untuk abai. Suara bungkus makanan ringan yang dibawa teredam oleh pengeras suara yang bekerja setiap waktu. Lalu lalang panitia membawa kamera dan menangkap momen tak terlupakan ini. Ustad-ustazah juga masih setia melihat pertandingan sehat anak-anak didiknya. Bahkan Pak Desta juga duduk mantap sambil menyesap kopi hitam favoritnya. Duduk bersama beliau beberapa staf yang juga bekerja di lembaga ini.

Jeda yang diberikan panitia untuk beralih ke sesi berikutnya hanyalah tujuh menit. Dalam hal itu aku menggunakannya untuk menyantap konsumsi dengan lahap. Sepotong bolu pisang, sosis solo, dan kue lapis dengan tambahan teh kotak rasa bunga melati. Ada pula kami diberikan sebotol air mineral untuk melepas dahaga dan menetralisir rasa yang bercampur aduk di lidah.

Sesekali aku melihat ke arah paslon dua dan tiga. Memberikan sedikit sapa dan senyuman lantas kembali fokus menyantap sosis solo. Aku lupa mengatakan kepada kalian tentang hubunganku dengan Tama selepas sidang kemarin.

Sama seperti yang Habib lakukan, Tama juga meminta maaf duluan kepadaku. Sore hari sebelum mendapatkan pengarahan singkat dari panitia terkait jalannya perdebatan, Tama menemuiku. Rivalku itu bilang dirinya tak menyangka akan terseret ke masalah ini. Maka dari itu dia setuju saja ketika Dadan membicarakan penggagalan paslon satu memimpin siswa sekolah ini.

“Kuharap kau bisa mengerti, War. Aku pun tak ingin hubungan kita hancur karena pemilos ini. Karena besok-besok jika aku terpilih, aku pasti akan menjadikan kau anggotaku.”

Begitu ucapan Tama diakhir dialog. Masih dengan sedikit taipaw-nya ia menjelaskan. Aku tertawa mendengar ucapan itu, tapi aku tak membantah ucapannya. Bagaimana pun juga hubungan kami tak boleh rusak di sini. Karena aku membutuhkan Tama sebagaimana Tama membutuhkan aku.

Dialog itu singkat dan jelas karena terpotong pertemuan yang sesungguhnya harus dilakukan.

“Yah, intinya kau lakukan saja sanksimu. Aku memaafkanmu, Tam. Lagi pula apa yang kau katakan tidak salah. Jika aku terpilih menjadi ketua OSIS aku harus memiliki anggota yang taat aturan dan mau minta maaf duluan seperti kau ini. Bukan hanya bagus di kinerja saja, tapi perilaku juga harus mantap.”

***

            Tangan yang terangkat memusingkan pembawa acara. Mereka harus memilih dari puluhan tangan kelas dua belas yang menyerang masing-masing paslon ketua dan wakil ketua OSIS. Aku sebenarnya sudah terbiasa dengan banyaknya tangan yang penuh tanda tanya, tapi rasa-rasanya kali ini berbeda. Tangan-tangan itu seakan mencegah langkahku untuk melangkah.

            “Sudah kami tentukan yang akan bertanya dari perwakilan kelas dua belas adalah Kak Sekar dan Kak Zein. Dipersilahkan untuk keduanya maju dan bicara di tempat yang telah kami sediakan.”

            Deg!

            Dua orang yang dipilih oleh pembawa acara itu bukan remahan roti. Bahkan dari cara mereka berjalan menuju mimbar tempat bertanya saja sudah menunjukkan kewibawaannya. Wajahnya tegas dan langkahnya mantap. Tidak memerlukan buku catatan atau pena setiap kali mereka bertanya. Jika bicara semua orang akan terdiam, menunjukkan rasa segan atas keduanya.

            Kak Zein, dia adalah ketua OSIS periode sebelumnya. Walaupun dipulangkan kala itu, Kak Zein beserta seluruh pengurus OSIS bahu-membahu menjalankan program kerja. Buktinya program daring seperti perlombaan, penggalangan dana, kajian, dan seminar dilakukan rutin setiap bulan. Selain terkenal dari jabatannya, Kak Zein cerdas dan senang sekali berbicara di apel untuk memberikan ilmu. Ia adalah satu-satunya perwakilan sekolah dalam ajang olimpiade geografi tingkat internasional. Lebih tepatnya lagi Kak Zein adalah peraih medali perak dalam ajang itu.  

            Sedangkan Kak Sekar adalah koordinator OSIS keamanan tahun lalu yang juga menjadi duta bahasa di angkatannya. Sekali ia bicara, orang-orang akan berhenti bersuara. Bahkan ketika ia tidak lagi menjabat, auranya masih terasa dalam setiap gerak-geriknya. Badannya tinggi dan tegap. Cocok sekali jika ia memilih untuk melanjutkan cita-citanya sebagai abdi negara.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi : Novel Nebula Karya Tere Liye

Novel “NEBULA” Karya Tere Liye :  Rahasia Pengintai Terbaik dan Kembalinya Musuh Lama Oleh : Lubna Anfaresi Judul                : NEBULA Penulis             : Tere Liye Penerbit             : Gramedia Pustaka Utama Kota Terbit       : Jakarta Cetakan II        : April 2020 Ketebalan         : 376 halaman Pendahuluan             Serial Bumi merupakan salah satu serial yang dikeluarkan oleh penulis Tere Liye dan berhasil menarik minat pembaca di tanah air. Serial fantasi ini sudah memiliki sembilan seri dengan seri terbaru berjudul “NEBULA”. Sama seperti seri sebelumnya yang berjudul “SELENA”, seri ke-9 ini menceritakan kisah dari sudut pandang Selena sebaga...

Masak, Makan, Lempah Kuning

  Masak, Makan, Lempah Kuning “Wew, banyak kenek ge. Basing ka lah pon!” [1]             Ucapan dari Ami, gadis Bangka yang sudah kutemui sejak lima hari bertugas di daerah ini, terus terngiang di antara malam-malam sepi di kamar berukuran lima kali tujuh meter. Suaranya begitu tinggi, mencekam, dan rasanya penuh kebencian. Raut wajahnya yang mengerut itu terus terbayang, juga ucapan dengan bahasa yang aku tidak mengerti sama sekali. Jauh dari mal perbelanjaan, kafe yang selalu ramai, atau sekadar lalu lintas kota Yogya, aku terjebak sampai sembilan hari kedepan untuk mengerjakan tugas kuliahku di sini. Aku tidur menumpang kepada salah satu warga kenalan kawan kuliahku, yang juga berasal dari Bangka. Katanya itu adalah rumah seperadik [2] -nya. Pintu kamar yang menjadi tempat tidurku sementara tiba-tiba diketuk dari luar. Aku menghela napas, mencoba meraih gagang pintu dan membiarkan sinar lampu di ruang tengah masuk ke d...

Nugget

Pernah berpikir untuk masak nugget goreng yang dicocol dengan cuko ? Itu yang Bene lakukan. Aneh, iya. Tapi Bene tidak akan peduli dengan komentar orang, karena toh dia sekarang ada di kontrakannya. Sendirian. Setelah berkutat dengan kertas-kertas laporan praktikumnya selama satu semester, Bene bisa beristirahat sejenak. Gadis itu tidak pergi ke luar kontrakannya, kecuali untuk membeli makan atau bahan masakan. Keinginannya untuk naik gunung setiap liburan juga harus kandas. Alasanya sederhana, karena ia tidak punya teman untuk naik ke atas sana. Jika kalian semua mendorong gadis itu untuk pergi sendiri,             “Terima kasih.” Dua kata itu akan keluar dari bibirnya yang sedikit kering. Saran dari kawan-kawan dekatnya, biarkan saja Bene asyik dengan dunianya. Ia bisa saja pergi ke Bandung sekarang juga, atau ke Jakarta. Tapi buat apa? Ia tidak mau menghabiskan lebih banyak uang beasiswa yang baru cair satu pekan lalu...