Langsung ke konten utama

BOSCHA 20-23

 

FILOSOFIS

Hujan yang turun ternyata penanda adanya kita. Sejak awal kita dipertemukan, dengan ganas ia turun tanpa belas. Ah, bukan. Bahkan sejak awal kita menguji diri untuk masuk ke dalam cerita ini, awan-awan gelap itu sudah berkomplot. Menertawakan payung warna-warni yang lalu lalang mengantar.

            Kita terus tumbuh subur dari air itu. Mendapatkan tetes demi tetes pelajaran hidup. Mau tidak mau harus kita habiskan. Kita dipaksa meneguknya, walau rasa air pahit, manis, tawar, dan asin. Ada yang memilih untuk mencari tempat berlindung karena tak mau basah kuyup. Ada yang memilih untuk berlari menikmati sambil menari-nari. Ada yang memilih untuk menetap sambil melihat tiap tetes air Tuhan.

            Biar kubantu membuka lini hidup kita bersama hujan. Saat asik keluar dari ‘rumah’ pertama kalinya sebab bersiap untuk melihat hewan ternak dan sedikit hasil kebun, sumringah wajah harus bertabrakan dengan hujan. Saat hendak berbagi ilmu dengan adik-adik lucu atau berbagi rezeki dengan warga yang mulia hati. Saat berkunjung dengan dua pujaan hati di Ahad, pagi hingga petang. Saat membuat santapan lezat hari raya yang berujung sakit semua. Saat selesai menguji hafalan ayat-ayat Tuhan. Saat kita mengambil kenangan terakhir menggunakan pakaian biru.

            Memang sebuah kebetulan. Tapi kebetulan yang filosofis bagiku. Bahkan di akhir cerita langit menangisi kepergian kita. Dengan sangat kencang ia turun, tak rela insan-insan harus pergi tinggalkan. Jalan-jalan banjir olehnya, dahan-dahan rontoh sebabnya, payung-payung untuk kesekian kalinya terbuka lebar. Déjà vu, begitu pikir kita.

            Dari jendela mobil kupandangi langit bersih dengan macam-macam awan. Tertangkap garis pendek. Hampir tak terlihat warna-warninya, tapi kupastikan itu pelangi. Ternyata hujan memilih untuk ikhlas dan beri akhir yang manis.

            Kupikir lagi mengapa warna itu harus malu? Mengapa lembayung itu tak panjang melengkung seperti biasanya?

            Ah, belum. Pelangi datang hanya ucap selamat. Aku harusnya sadar yang paling menonjol saat itu adalah matahari. Cahaya putih terhalang awan-awan tipis. Ia bersemangat memberikan hidup pada pulau yang diguyur hujan.

Benda langit itu bersinar terang, layaknya kita. Masih ada gerimis, masih ada hujan, masih ada badai, masih banyak tantangan, masih banyak ujian. Tapi ketahuilah dan yakin bahwa kita akan seperti matahari di akhir cerita ini. Berjuang hingga hasilkan pelangi kecil. Namun milik kita semoga akan menjadi pelangi yang terang warnanya, panjang lengkungnya, indah pesonanya hingga mulut-mulut mengucap: MasyaAllah, luar biasa!

***

Rinai-rinai
Rintik-rintik
Riuh-gemuruh
Jatuh, beri hidup
 
Sungai panjang bawa airnya
Sampai ke muara ia tak terhenti
Sampai ke laut ia berlari
Samudra kembali berevaporasi
 
Pandang yang gelap
Ternyata masih berharap
Timbul pelangi
Kembali lazuardi
 
Matahari dalam rinai
Matahari bersama rintik
Matahari di tengah riuh
Terang, beri hidup
 
Begitu indah siklus hidup,
Begitu merdu nyanyian alam
Begitu renyah tawa,
Begitulah kita


 


 



Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi : Novel Nebula Karya Tere Liye

Novel “NEBULA” Karya Tere Liye :  Rahasia Pengintai Terbaik dan Kembalinya Musuh Lama Oleh : Lubna Anfaresi Judul                : NEBULA Penulis             : Tere Liye Penerbit             : Gramedia Pustaka Utama Kota Terbit       : Jakarta Cetakan II        : April 2020 Ketebalan         : 376 halaman Pendahuluan             Serial Bumi merupakan salah satu serial yang dikeluarkan oleh penulis Tere Liye dan berhasil menarik minat pembaca di tanah air. Serial fantasi ini sudah memiliki sembilan seri dengan seri terbaru berjudul “NEBULA”. Sama seperti seri sebelumnya yang berjudul “SELENA”, seri ke-9 ini menceritakan kisah dari sudut pandang Selena sebaga...

Masak, Makan, Lempah Kuning

  Masak, Makan, Lempah Kuning “Wew, banyak kenek ge. Basing ka lah pon!” [1]             Ucapan dari Ami, gadis Bangka yang sudah kutemui sejak lima hari bertugas di daerah ini, terus terngiang di antara malam-malam sepi di kamar berukuran lima kali tujuh meter. Suaranya begitu tinggi, mencekam, dan rasanya penuh kebencian. Raut wajahnya yang mengerut itu terus terbayang, juga ucapan dengan bahasa yang aku tidak mengerti sama sekali. Jauh dari mal perbelanjaan, kafe yang selalu ramai, atau sekadar lalu lintas kota Yogya, aku terjebak sampai sembilan hari kedepan untuk mengerjakan tugas kuliahku di sini. Aku tidur menumpang kepada salah satu warga kenalan kawan kuliahku, yang juga berasal dari Bangka. Katanya itu adalah rumah seperadik [2] -nya. Pintu kamar yang menjadi tempat tidurku sementara tiba-tiba diketuk dari luar. Aku menghela napas, mencoba meraih gagang pintu dan membiarkan sinar lampu di ruang tengah masuk ke d...

Nugget

Pernah berpikir untuk masak nugget goreng yang dicocol dengan cuko ? Itu yang Bene lakukan. Aneh, iya. Tapi Bene tidak akan peduli dengan komentar orang, karena toh dia sekarang ada di kontrakannya. Sendirian. Setelah berkutat dengan kertas-kertas laporan praktikumnya selama satu semester, Bene bisa beristirahat sejenak. Gadis itu tidak pergi ke luar kontrakannya, kecuali untuk membeli makan atau bahan masakan. Keinginannya untuk naik gunung setiap liburan juga harus kandas. Alasanya sederhana, karena ia tidak punya teman untuk naik ke atas sana. Jika kalian semua mendorong gadis itu untuk pergi sendiri,             “Terima kasih.” Dua kata itu akan keluar dari bibirnya yang sedikit kering. Saran dari kawan-kawan dekatnya, biarkan saja Bene asyik dengan dunianya. Ia bisa saja pergi ke Bandung sekarang juga, atau ke Jakarta. Tapi buat apa? Ia tidak mau menghabiskan lebih banyak uang beasiswa yang baru cair satu pekan lalu...