FILOSOFIS
Hujan yang turun ternyata penanda adanya kita. Sejak
awal kita dipertemukan, dengan ganas ia turun tanpa belas. Ah, bukan. Bahkan
sejak awal kita menguji diri untuk masuk ke dalam cerita ini, awan-awan gelap
itu sudah berkomplot. Menertawakan payung warna-warni yang lalu lalang
mengantar.
Kita terus tumbuh subur dari air
itu. Mendapatkan tetes demi tetes pelajaran hidup. Mau tidak mau harus kita habiskan.
Kita dipaksa meneguknya, walau rasa air pahit, manis, tawar, dan asin. Ada yang
memilih untuk mencari tempat berlindung karena tak mau basah kuyup. Ada yang
memilih untuk berlari menikmati sambil menari-nari. Ada yang memilih untuk
menetap sambil melihat tiap tetes air Tuhan.
Biar kubantu membuka lini hidup kita
bersama hujan. Saat asik keluar dari ‘rumah’ pertama kalinya sebab bersiap
untuk melihat hewan ternak dan sedikit hasil kebun, sumringah wajah harus
bertabrakan dengan hujan. Saat hendak berbagi ilmu dengan adik-adik lucu atau
berbagi rezeki dengan warga yang mulia hati. Saat berkunjung dengan dua pujaan
hati di Ahad, pagi hingga petang. Saat membuat santapan lezat hari raya yang
berujung sakit semua. Saat selesai menguji hafalan ayat-ayat Tuhan. Saat kita
mengambil kenangan terakhir menggunakan pakaian biru.
Memang sebuah kebetulan. Tapi
kebetulan yang filosofis bagiku. Bahkan di akhir cerita langit menangisi
kepergian kita. Dengan sangat kencang ia turun, tak rela insan-insan harus
pergi tinggalkan. Jalan-jalan banjir olehnya, dahan-dahan rontoh sebabnya,
payung-payung untuk kesekian kalinya terbuka lebar. Déjà vu, begitu pikir
kita.
Dari jendela mobil kupandangi langit
bersih dengan macam-macam awan. Tertangkap garis pendek. Hampir tak terlihat
warna-warninya, tapi kupastikan itu pelangi. Ternyata hujan memilih untuk
ikhlas dan beri akhir yang manis.
Kupikir lagi mengapa warna itu harus
malu? Mengapa lembayung itu tak panjang melengkung seperti biasanya?
Ah, belum. Pelangi datang hanya ucap
selamat. Aku harusnya sadar yang paling menonjol saat itu adalah matahari.
Cahaya putih terhalang awan-awan tipis. Ia bersemangat memberikan hidup pada pulau
yang diguyur hujan.
Benda langit itu bersinar terang, layaknya kita. Masih ada gerimis, masih ada hujan, masih ada badai, masih banyak tantangan, masih banyak ujian. Tapi ketahuilah dan yakin bahwa kita akan seperti matahari di akhir cerita ini. Berjuang hingga hasilkan pelangi kecil. Namun milik kita semoga akan menjadi pelangi yang terang warnanya, panjang lengkungnya, indah pesonanya hingga mulut-mulut mengucap: MasyaAllah, luar biasa!
***
Rinai-rinaiRintik-rintik
Riuh-gemuruh
Jatuh, beri hidup
Sungai panjang bawa airnya
Sampai ke muara ia tak terhenti
Sampai ke laut ia berlari
Samudra kembali berevaporasi
Pandang yang gelap
Ternyata masih berharap
Timbul pelangi
Kembali lazuardi
Matahari dalam rinai
Matahari bersama rintik
Matahari di tengah riuh
Terang, beri hidup
Begitu indah siklus hidup,
Begitu merdu nyanyian alam
Begitu renyah tawa,
Begitulah kita
Kisah yang baguss! Good Job min... Sukses selalu
BalasHapus