Langsung ke konten utama

Sudut Pandang: Suara Hati

            Pernah enggak, sih setelah ngelakuin sesuatu ngerasa bersalah banget?

Ya, menurutku itu wajar, tapi bukan hal yang terus menerus bisa diwajarkan hingga menjadi suatu kebiasaan. Ada sebuah kalimat di buku yang pernah kubaca mengatakan hal ini,

            ‘ikuti suara hatimu, jika itu benar menurut hatimu maka lakukan jika tidak maka tinggalkan’

Sejujurnya aku pun tak tahu pasti apakah kalimat yang tertulis benar demikian. Terpenting bagiku dan kalian adalah memahami hal tersebut. Serta melaksanakannya selama ktia masih diberi sinyal oleh suara hati kita.

            Beberapa hari terakhir aku membicarakan orang lain, entah itu baik atau buruk. Bahkan kurasa hari ini aku baru saja berada di titik paling menyebalkan dari diriku sendiri, yaitu merendahkan orang lain. Mungkin terdengar (terbaca) berlebihan, karena hal itu wajar di lingkungan sosial kita bukan? Saling merendahkan dan membicarakan tabiat orang lain, lantas merasa bahwa kita segalanya benar dan baik.

            Namun aku hanya ingin memberikan peringatan dini pada diri sendiri bahwa itu salah. Aku bisa mengatakan hal itu salah karena aku tak nyaman membicarakannya. Aku tak berani membuka suara dan tak bisa menjelaskan dengan logis alasan tak menyenangi sesuatu atau merendahkan sesuatu. Lalu kembali lagi ke poin awal tentang suara hati tadi. Ketika suara hatiku bilang itu tidak baik, maka sepatutnya segera kutinggalkan, bukan?

            Bicara soal suara hati, ada buku yang bagus sekali ingin kurekomendasikan kepada kalian untuk membacanya. Buku itu menawarkan metode ESQ atau Emotional Spiritual Quotient yang ditulis dan dipelopori oleh pebisnis asal Pulau Dewata (kalau aku tidak salah), bernama Ary Ginanjar. ESQ bagiku adalah sebuah teknik membangun sumber daya manusia yang optimal, baik dari segi pikiran, spiritual, dan mental dengan berdasar pada nilai-nilai Islam.

            Oke, bukannya aku sedang mempromosikan agama Islam (walau aku juga Islam), tapi buku ini benar-benar bekerja. Bahkan kurasa jika kalian bukan beragama Islam akan tetap mendapatkan inti sari dari kehebatan metode ini.

            Aku akan sedikit menyinggung perihal suara hati seperti yang dijelaskan penulis dalam bukunya. Menurut Ary, suara hati manusia itu sumbernya adalah Tuhan atau dalam konteks buku, Allah. Dalam penciptaan manusia, telah ditiupkan ruh oleh Tuhan ke dalam raga. Ruh itulah yang menjadi kita saat ini, juga menjadi pedoman dan suara hati.

            Suara hati yang bersih dan bebas dari belenggu, tentunya akan membawa kita kepada kebaikan. Karena suara hati itu berasal dari Yang Maha Baik, tak ingin hambanya celaka karena segala keburukan. Maka beruntunglah ketika kalian masih memilikiperingatan dini dalam diri sendiri. Juga lebih beruntung lagi jika di masa sekarang masih ada teman kalian yang mau mengingatkan bahwa sudah kelewat belok jalan kita.

            Karena kini tak semua orang mau mendengar suara hati apalagi suara orang lain. Juga tak semua orang berani menyuarakan suara hati untuk diri, apalagi untuk orang lain.

            Beruntunglah, beruntunglah, dan jangan lupa bersyukur!

            Semoga kita termasuk orang-orang yang selalu diingatkan dan mengingatkan!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi : Novel Nebula Karya Tere Liye

Novel “NEBULA” Karya Tere Liye :  Rahasia Pengintai Terbaik dan Kembalinya Musuh Lama Oleh : Lubna Anfaresi Judul                : NEBULA Penulis             : Tere Liye Penerbit             : Gramedia Pustaka Utama Kota Terbit       : Jakarta Cetakan II        : April 2020 Ketebalan         : 376 halaman Pendahuluan             Serial Bumi merupakan salah satu serial yang dikeluarkan oleh penulis Tere Liye dan berhasil menarik minat pembaca di tanah air. Serial fantasi ini sudah memiliki sembilan seri dengan seri terbaru berjudul “NEBULA”. Sama seperti seri sebelumnya yang berjudul “SELENA”, seri ke-9 ini menceritakan kisah dari sudut pandang Selena sebaga...

Masak, Makan, Lempah Kuning

  Masak, Makan, Lempah Kuning “Wew, banyak kenek ge. Basing ka lah pon!” [1]             Ucapan dari Ami, gadis Bangka yang sudah kutemui sejak lima hari bertugas di daerah ini, terus terngiang di antara malam-malam sepi di kamar berukuran lima kali tujuh meter. Suaranya begitu tinggi, mencekam, dan rasanya penuh kebencian. Raut wajahnya yang mengerut itu terus terbayang, juga ucapan dengan bahasa yang aku tidak mengerti sama sekali. Jauh dari mal perbelanjaan, kafe yang selalu ramai, atau sekadar lalu lintas kota Yogya, aku terjebak sampai sembilan hari kedepan untuk mengerjakan tugas kuliahku di sini. Aku tidur menumpang kepada salah satu warga kenalan kawan kuliahku, yang juga berasal dari Bangka. Katanya itu adalah rumah seperadik [2] -nya. Pintu kamar yang menjadi tempat tidurku sementara tiba-tiba diketuk dari luar. Aku menghela napas, mencoba meraih gagang pintu dan membiarkan sinar lampu di ruang tengah masuk ke d...

Nugget

Pernah berpikir untuk masak nugget goreng yang dicocol dengan cuko ? Itu yang Bene lakukan. Aneh, iya. Tapi Bene tidak akan peduli dengan komentar orang, karena toh dia sekarang ada di kontrakannya. Sendirian. Setelah berkutat dengan kertas-kertas laporan praktikumnya selama satu semester, Bene bisa beristirahat sejenak. Gadis itu tidak pergi ke luar kontrakannya, kecuali untuk membeli makan atau bahan masakan. Keinginannya untuk naik gunung setiap liburan juga harus kandas. Alasanya sederhana, karena ia tidak punya teman untuk naik ke atas sana. Jika kalian semua mendorong gadis itu untuk pergi sendiri,             “Terima kasih.” Dua kata itu akan keluar dari bibirnya yang sedikit kering. Saran dari kawan-kawan dekatnya, biarkan saja Bene asyik dengan dunianya. Ia bisa saja pergi ke Bandung sekarang juga, atau ke Jakarta. Tapi buat apa? Ia tidak mau menghabiskan lebih banyak uang beasiswa yang baru cair satu pekan lalu...