Bu
Sofi menjelaskan dengan malas pelajarannya sendiri. Pelajaran bahasa Indonesia
menjadi pelajaran terakhir di pukul tiga sampai empat sore nanti. Semua siswa
sudah tak bisa lagi mencermati suara lembut Bu Sofi. Lebih tepatnya suara yang diseret-seret
karena beliau pun mengantuk mengajar di jam terakhir.
Ada beberapa yang masih tegak
memerhatikan. Duduk di barisan depan, orang-orang yang punya hobi belajar dan
selalu menjadi juara kelas. Ada juga yang duduk tegak dengan mata melihat ke
arah buku tulis penuh sketsa gambar. Sisanya tidur, berbagi makanan, dan
bermain gawai. Bu Sofi tidak peduli. Selama dua puluh tahun mengajar anak-anak
SMA, beliau sudah tahu bahwa sedikit sekali yang senang dengan pelajaran ini.
Selain itu memarahi siswa-siswa SMA sekarang tidak akan mempan dengan emosi
atau menyita barang bukti. Besoknya pasti akan mengulangi. Jadi daripada
menghabiskan tenaga lebih baik dirinya menyampaikan materi dan memberi tugas
saja.
“Selanjutnya kalian kerjakan latihan
soal di buku. Pelajaran kita di semester ini cukup sampai bab membuat artikel.
Semester depan kita akan menghadapi banyak contoh soal ujian. Jadi soal-soal
kali ini Ibu mohon untuk dikerjakan semaksimal mungkin. Untuk mendongkrak nilai
kalian juga,” perintah Bu Sofi.
Buku-buku dibuka. Bunyi kertas yang
kasar karena dibolak-balik pemiliknya membuat kelas sedikit mengeluarkan suara.
Beberapa siswa yang tertidur dibangunkan untuk kemudian melanjutkan mimpinya. Pena
mulai menggoreskan tinta di kertas. Menciptakan tulisan bermacam-macam bentuk,
dari yang sangat indah sampai yang tak bisa terbaca.
“Ran, bangun wo. Tidur terus.
Ini ada tugas bahasa,” Lingling menimpuk wajah kawan sebangkunya dengan buku
tulis.
“Nggg,” yang dibangunkan hanya
mengerang tidak peduli.
“Bangun, Ran! Udahlah tadi telat
masuk, ulangan lupa belajar, sekarang kau tak mau juga mengerjakan tugas? Nilai
kau nanti kacau. Ingat kawan ini sudah semester akhir yang akan menentukan
apakah kau masuk siswa eligible atau tidak. Orang tua kau sudah,”
“Bu Sofi! Ini tugasnya dikumpul
kapan?” Kirana mengangkat tangannya.
Semua orang menoleh ke arah
perempuan yang baru saja bangun tidur setelah dua jam berlalu. Selain merasa
takjub mereka juga menunggu jawaban dari guru bahasa Indonesia itu. Lingling
geleng-geleng kepala melihat temannya yang memotong pembicaraan.
“Minggu depan. Lebih cepat lebih
baik. Kalau kamu bisa selesaikan sekarang, Ibu kasih nilai seratus,” jawab Bu
Sofi tangkas.
Bermacam-macam reaksi yang diberikan
siswa kelas dua belas IPS empat itu ketika mendengar jawaban Bu Sofi. Kirana
menoleh ke arah teman yang tadi menceramahi panjang hingga merusak tidurnya.
“Gampang, Ling. Satu jam sebelum
pengumpulan pun aku bisa mengerjakannya. Sekarang aku mau tidur lagi. Jangan
hancurkan mimpiku dengan Amsyar,” ucapnya bersiap menempelkan kepala di atas
meja.
“Amsyar mana mau sama perempuan
malas seperti kau,”
“Setidaknya aku pintar,” balas
Kirana.
“Pintar, tapi matematika pun
mencontek jawaban Renai,” Lingling tak mau kalah.
“Heh, beda, ya! Dia itu IPA kita
IPS, wajar aku bodoh di matematika dan nanya sama dia. Kau juga jangan sok
tidak pernah nyontek, deh Ling,” Kirana tersulut emosi.
Matanya yang berusaha terpejam kini
menyala.
“Iya, deh.”
Masalah tidak lagi diperpanjang.
Bukan karena malas saling balas, tapi Bu Sofi sudah menegur dua siswi itu yang
berisik sendiri. Lingling kembali menggeluti tugasnya. Kirana kembali merajut
mimpinya yang sempat putus. Sedangkan Bu Sofi serta tiga puluh dua siswa juga
kembali pada aktivitas masing-masing. Tidak membuat ulah, tidak membuat berisik
karena semuanya sudah cukup malas untuk melakukan hal-hal demikian.
***
“Tumben lama,” Kirana menghentikan
langkah kawan dekatnya.
“Kerja kelompok,” jawabnya singkat,
“angkot udah pergi?”
“Udah. Kita kloter kedua aja. Jajan,
yuk!”
“Enggak punya duit.”
“Kubayarin,” goda Kirana.
“Oke. Aku pengen somay,” sambutnya
kemudian.
Lalu-lalang kendaraan memenuhi
jalanan sempit di depan sekolah. Beberapa jajanan kaki lima, yang sebenarnya
lebih tepat disebut dua kaki dua ban motor, nangkring di sudut-sudut gerbang
sekolah. Para penjaja itu harus bersembunyi karena sudah dilarang pihak sekolah
berkali-kali untuk tidak berjualan di area sekolah. Nyatanya kehadiran mereka
tak pernah bisa disembunyikan. Sebab hampir lima puluh persen siswa yang pulang
akan mengerubungi lima jajanan berbeda.
Asap knalpot motor. mobil, dan
angkot beradu siapa yang paling banyak mengeluarkan gas pencemar. Bagi yang
menyiapkan masker dari rumahnya tak perlu khawatir menghirup udara kotor itu.
Lain lagi dengan yang berusaha menutup-nutup mulut dan hidung, berharap mereka
tidak mati muda karena pekatnya polusi di kota. Ada juga yang memilih tak
peduli. Dengan enteng membeli berbagai macam santapan dan duduk di trotoar,
menghalang orang jalan. Lantas makanan atau minuman yang terbuka itu dikentuti
mobil berwarna merah yang terhambat jalannya.
“Pedes, Dek?” tanya pedagang siomai
langganan.
“Iya. Kolnya banyakin dong, Mas,”
ucap Renai.
“Mas yang aku tahu doang, ya!”
Kirana mengambil perhatian.
Tanpa merasa harus membagi fokusnya,
tukang jual siomay yang tidak diketahui namanya dan hanya dikenal dengan
panggilan ‘Mas’, cekatan menusuk, memasukkan, menambah saus kacang, dan
mengikat pesanan. Jika mau menghitungnya mas siomay perlu menghabiskan waktu
sepuluh detik saja. Pastinya itu adalah kemampuan yang sudah dilatih cukup lama.
“Ren, beli es dawet, yuk! Seret
nih,” ajak Kirana setelah keduanya menerima sebungkus siomay.
“Enggak, ah,”
“Kubayarin lagi,”
“No thanks, aku bawa minum
sendiri. Masih ada sisa tadi,” tolaknya, “duh, kalau jalan hati-hati dong!”
serunya kepada seorang laki-laki yang tak sengaja menabraknya.
“Galak banget,” laki-laki itu
membalas.
“Minimal minta maaf, ya!” Kirana
ikut perseteruan.
Renai menatap wajah pemuda itu
dengan tajam, sampai hilang dari pandangannya. Wajahnya kembali tertekuk.
Padahal tadi sudah sedikit terobati dengan traktiran siomay dari karibnya.
Ia
mengembalikan pandang kepada Kirana, “Ran, ayo katanya mau jajan es,”
“Oke, temani aku, ya, kawan paling
keren sedunia. Lihat antriannya panjang banget,”
“Ya, ya cepatlah. Nanti keburu
angkotnya datang,”
Kirana menyibak antrian menuju
penjual es dawet. Ia tidak peduli siapa yang lebih dulu mengantri. Berteriak
dengan suara cemprengnya memesan es dawet seharga lima ribu. Tapi sayang
disayang, baru saja ia meneriaki abang penjual es dawet Kirana harus juga
diteriaki Renai. Melambai-lambai tangan Renai untuk mencuri perhatian bahwa
angkot kloter kedua sudah tiba. Kirana perlu menahan keinginannya hingga esok
hari. Ia berjalan dengan malas dan sebenarnya agak tergesa-gesa pula ke arah
angkot mangkal.
“Ayo cepat, keburu penuh lagi!” ucap
Renai.
Tas selempang yang dipakai Kirana
melompat-lompat karena ia berlari. Renai yang lebih dulu berada di samping
angkot menyemangatinya. Sedangkan sopir sudah berulang kali berteriak dan
menekan klakson tanda akan berangkat. Remaja seusia mereka yang juga tidak
perlu menunggu jemputan orang tua pun tidak punya kendaraan pribadi, ikut
berlomba masuk ke dalam angkot kuning. Beruntung masih ada tempat kosong unutk
Kirana dan Renai duduk bersempit-sempitan. Udara yang panas walau matahari
sudah tunduk di bawah jam empat sore, tak terobati dengan membuka jendela
angkot lebar-lebar.
Kaki dirapatkan, barang bawaan
dipangku, rambut yang terurai diusahakan untuk diikat tinggi supaya bisa
bernapas leher yang penuh keringat. Nasib bukan menjadi orang kaya yang
rumahnya tak dekat pula dengan sekolah. Angkot yang harusnya hanya menampung
sepuluh sampai dua belas orang itu dipaksa dua puluh remaja untuk mengantarkan
ke rumah masing-masing.
Mayoritas isinya perempuan, jadi
mereka menguasai setengah tempat duduk panjang. Menelantarkan laki-laki untuk
berdiri di dekat pintu angkot atau duduk menyempil di lantainya. Pemuda yang
beruntung, entah bisa dibilang beruntung atau tidak, mengisi setengahnya lagi
tempat duduk yang tersisa.
Angkot berjalan perlahan namun
pasti. Meninggalkan riuhnya siswa-siswi yang baru pulang sekolah. Beruntung
keramaian tak seperti saat bel pulang pertama kali dibunyikan. Beberapa orang
sudah pulang, beberapa kendaraan sudah hilang. Memang kadang-kadang angkot berhenti
untuk menunggu motor atau mobil yang ada di depan berangkat. Tapi ini normal,
selepas keluar dari jalan sekolah sopir angkot biasanya menambah kecepatan.
Baru saja mengganti pemandangan
siswa berseragam dengan beberapa rumah-rumah dan toko kecil, angkot mengerem
dadakan. Beberapa penumpang berteriak kaget. Badan mereka miring ke depan,
seperti Hukum I Newton.
“Astaghfirullah, mau mati tu,
anak!” semprot sopir angkot.
Penumpang di dalam angkot
terheran-heran. Ada pula yang mengaduh kesakitan.
“Maaf, Mas. Anu, ada tempat kosong
enggak, ya? Saya mau ikut sampai ke samping bank aja,”
“Enggak ada, udah penuh!” jawab
tukang angkot ketus, “Dek kalau kau mau berhentiin angkot bukan kayak tadi
caranya! Bikin orang jantungan,” sopir angkot kembali mengomel.
“Iya, Mas tadi reflek,” jawabnya
sambil melirik ke dalam angkot. “tapi saya beneran enggak punya tumpangan lagi,
nih. Deket, kok,”
“Coba kau lihat sendiri. Kalau
sanggup, masuk. Kalau enggak, pergi. Di belakang sudah macet lagi, kan,
gara-gara kau!”
Orang yang mencegat angkot segera
berlari menuju pintu masuk. Ia disambut tiga orang laki-laki sepantaran yang
masam mukanya karena hampir terjengkang keluar.
“Bro, aku nyempil aja di dalam,”
cengengesan ia bicara.
Karena tak mau memperpanjang urusan
dan melambatkan laju kendaraan lain, mereka terpaksa menerimanya. Tambah
berdesakkan pula angkot itu. Pemuda yang ternyata menjadi sedikit angin segar
bagi belasan perempuan yang sudah berdesak-desakan, memilih untuk duduk di
lantai tengah. Dengan jarak yang hanya beberapa sentimeter dengan Kirana,
jantung gadis kelas dua belas itu tak berhenti berdetak cepat. Renai yang
melihat sekilas berusaha membuang muka.
“Ah, Renai! Kau juga naik angkot
ini?”
“Ya,” jawab Renai singkat. Ia
melanjutkan mengunyah siomaynya yang sempat tertunda karena dicegat kawan
kelasnya ternyata.
***
Pandangan
mata itu tak pernah bisa dipindahkan lagi sejak Amsyar masuk ke angkot. Duduk
persis dihadapannya, sang pujaan hati dengan bulir keringat yang perlahan turun
dari rambut hitam ikal. Tangannya yang menggurat nadi berwarna biru terlihat
beberapa kali menyisir rambut atau mengipas-ngipas wajahnya. Kacamata berlensa
kotak besar selalu menjadi identitas. Dipakai atau tidak pemuda itu selalu bisa
menggaet hati wanita mana pun.
Kirana memang layak merasa kepanasan
karena ia diapit Renai dan satu siswi bertubuh gempal di sisi yang lain.
Kebetulan pula jendela angkot tidak terbuka di belakang kepalanya. Ia mendapat
dinding angkot tanpa jendela, apes memang. Sedangkan dua orang yang menjepitnya
harus bersyukur banyak-banyak karena kini angin masuk dengan kencang dan beri
sedikit napas. Namun entah mengapa, Kirana tak seperti biasanya yang akan
mengomel atau berbisik-bisik dengan Renai tentang perjalanan yang melelahkan
ini. Kirana juga enggan menghabiskan siomay yang tinggal setengah saja di
genggamannya. Kirana menikmati perjalanan dengan fokus memerhatikan ke depan.
Yah, di depannya sudah ada pangeran tampan. Tepat sekali!
“Syar, tumben kau naik angkot.
Biasanya pakai motor hitam kebanggaan,” celetuk seorang siswi yang duduk di
samping pintu terbuka.
“Ah, motorku kemarin diservis dulu,”
jawab Amsyar mengarahkan pandang ke lawan bicara.
“Diservis kenapa?” gadis sepantaran
yang lain mulai tertarik mengajak Amsyar bicara.
“Kata abang-abang bengkelnya kurang
oli aja, sih. Itu juga motor tua jadi wajar kalau sering mogok atau masuk
bengkel,” jelasnya, menghadap gadis yang bertanya.
“Beli motor barulah, Syar. Angkot
ini tanpa kau saja sudah penuh. Kalau besok-besok masih jadi penumpang di sini
bisa gawat tak bernapas kita,” kini Kemas teman kelas Kirana yang berbicara.
“Setidaknya Mas Angkot untung karena
nambah penumpang, kan?” ucap Amsyar sambil mengangkat kedua bahunya.
“Iya, untung. Kalau kau berhentiin
angkot masih kayak tadi, kau yang jadi buntung!” protes sopir angkot yang
mendengar percakapan.
Angkot itu dipenuhi dengan tawa
selepasnya. Bahkan yang tidak ikut dalam pembicaraan pun ikut menyumbangkan senyum
tipis. Ah, ada pula yang senyum tipis-tipis bukan menahan tawa dalam
percakapan. Sesungguhnya senyum itu pertanda dirinya sudah berbahagia sejak
awal keberangkatan.
Komentar
Posting Komentar