“Terserah,
bukan urusan saya! Kalau mau tunggu sampai jam setengah delapan silahkan. Kalau
mau bolos juga silahkan. Toh, kalian juga yang sekolah bukan saya,” Pak
Gozi lantas membalikkan badannya.
Beliau
berjalan menuju markas alias pos satpam tempat segala mimpi terukir. Bukan
mimpi seperti remaja-remaja yang diletakkan tinggi pada bintang dan bulan, tapi
sungguhan mimpi. Secangkir kopi hitam pekat dan kental menjadi asesoris di meja
kayu bututnya. Pak Gozi lantas melepaskan topi yang sudah kusam tak terawat.
Tangannya memegang mesra cangkir yang selalu menemani tugasnya dari awal jam
bekerja hingga semuanya pulang dengan segudang cerita.
Salah
satu cerita yang selalu hadir dalam kehidupan Pak Gozi selaku satpam abadi
sekolah ini adalah kelakuan siswa yang suka sekali masuk telat. Dirinya selalu
heran saat awal-awal diberi tugas menjaga gerbang sekolah. Tapi semakin lama,
Pak Gozi paham bahwa para oknum tidak akan mempan diceramahi. Bukan hanya
karena telat sudah menjadi jati diri karena terkadang pun ada yang perlu
banting tulang membantu orang tua dulu atau jarak rumahnya sangat jauh. Meski
demikian Pak Gozi tidak boleh menormalisasi ketelatan remaja-remaja itu. Ini
semua berkaitan dengan pekerjaannya, juga berkaitan dengan masa depan generasi
muda.
“Padahal
Pak Gozi sudah bertahun-tahun jadi satpam, kok bisa beliau enggak kena godaan
kita, ya?” tanya Siska, sobat telat Kirana.
“Yah,
harusnya Pak Gozi jadi gubernur atau menteri. Kalau jadi satpam sekolah aja
mah, pakai rokok harusnya bisa disogok beliau,” canda Kirana.
Di
bawah pohon yang cukup rindang, beberapa siswa yang terlambat menunggu dengan
bosan. Kebanyakan bercerita apa saja dengan kawannya, ada juga yang
mengeluarkan bekal makanan karena tadi lupa sarapan. Tiga laki-laki, sepertinya
berasal dari kelas yang sama, sedang terburu-buru menyalin jawaban tugas.
Tiga
puluh menit mereka bersama menunggu personel lain yang juga datang terlambat.
Panas matahari pagi yang sehat sengaja dihindari dengan mencari bayangan pohon
atau apa saja. Ada juga yang duduk di halte sambil tertawa dengan suara yang
berisik. Membicarakan kejadian semalam yang menyebabkan mereka harus bangun
kesiangan.
***
Kirana mesti bersyukur berkali-kali.
Wajahnya panas tanpa didahului hujan atau badai. Bahkan Siska melihatnya merah
sekali padahal matahari tak begitu jahat pagi ini. Setelah kemarin Kirana
merasa kesejukan di antara sesaknya penumpang angkot, kini ia merasa panas
menyergap. Tapi panas itu bukan membuatnya resah, malah membuatnya ingin lagi
dan lagi.
Perasaan ini sama seperti ketika
tawa renyah keluar dari pemuda incarannya. Orang-orang yang saling melempar
canda di angkot waktu itu membuat perjalanan sangat berarti bagi Kirana. Ia tak
henti senyum karena Amsyar juga selalu tersenyum. Senyum itu tentu bukan
untuknya, melainkan untuk percakapan yang simpang siur dengan kawan-kawan yang
ada di angkot. Ah, apalagi saat itu ia dan Amsyar sempat bertatap dan
berkenalan. Rasanya mirip sekali dengan yang ia alami pagi ini.
“Ren, rumah kau di mana, sih? Ini
sudah setengah angkot turun. Kau belum turun juga?” Amsyar melempar tanya
kepada Renai.
“Biasanya aku memang yang terakhir,
sih. Rumahku jauh dari sekolah. Rumah kau di mana?”
“Aku di Perumahan Angsana nomor
enam. Tapi aku turun di bank dekat perumahan, sekalian mau ke bengkel,” jawab
Amsyar, matanya melihat ke arah Renai.
“Nah, kalau aku masih jauh lagi dari
situ. Tapi masih satu arah,” ucap Renai.
“Kalau gitu ke rumah kau saja dulu,”
“Dih, ngapain?” tanya Renai sangsi.
“Iya biar ada yang nemenin. Nanti
mas angkotnya bawa kau kemana-mana,” bisik Amsyar.
“Heh, aku dengar, ya!” seru sopir
angkot dari kemudinya.
Lagi-lagi angkot dipenuhi dengan
tawa. Walaupun tinggal lima penumpang, angkot itu tetap ramai dengan
percakapan. Maklum saja mereka yang tersisa semuanya pelanggan tetap yang sudah
berbaur sejak tahun pertama sekolah. Terkecuali Amsyar yang baru bergabung hari
ini.
“Aku sama Kirana, kok,” kata Renai
sambil menunjuk kawannya yang sedari tadi diam-diam saja.
Gadis yang ditunjuk merasa
jantungnya akan lari kalau tidak segera ditahan. Kecepatan angkot bahkan lebih
lambat daripada rangsangan otaknya untuk bertindak biasa saja. Tatapan yang
sedari tadi tidak dipindahkan menjadikannya ketahuan oleh sang tuan. Kini ia
sedang berusaha menahan ledakan dan senyum berlebih yang tidak diperlukan.
Sebab tangan Amsyar mengulur kepadanya.
“Oh, kau teman Renai ternyata! Aku
Amsyar, maaf aku tidak tahu. Kukira kau adik kelas. Wajahmu beda sekali dengan
Renai yang sering marah-marah. Renai jadi kelihatan lebih tua, ya kan?”
“Enak aja ya! Lagian yang sering
bikin aku marah itu kau juga. Coba tanya sama Syara atau teman-teman sekelasku
dulu, pasti mereka bilang aku jarang marah. Semenjak ada kau baru aku kayak
gini!” yang disinggung mengoceh panjang.
Kirana tak sempat mendukung temannya
itu. Pujian yang dilemparkan pangeran membuatnya sibuk menata bunga-bunga yang
tetiba jatuh dari langit begitu banyak. Tangan Kirana menyambut uluran Amsyar.
Kedua insan itu malah asik bercakap sejenak, melupakan kehadiran Renai.
Yah, begitulah Kirana sekarang.
Sedang terperangkap pesona Amsyar yang ternyata ikut telat juga hari ini.
Perkenalan singkatnya dengan Amsyar ternyata masih diingat. Baru saja hendak
masuk ke dalam sekolah saat pintu gerbang dibuka Pak Gozi, Amsyar menyentuh
pundak Kirana. Lantas dengan senyuman alaminya ia menyapa Kirana.
“Kau telat juga, Ran?”
Kirana menyembunyikan suara hatinya,
“ya, aku memang langganan telat. Kau sendiri? Baru pertama kali kulihat kau
telat.”
“Motorku masih rusak. Aku jadi harus
cari angkot. Tadi muter-muter pasar dulu, nganter ibu-ibu,” balasnya.
“Selain masuk klub angkot, kau jadi
masuk klub orang telat juga, ya!”
“Eh, cuma sebentar doang.
Besok-besok aku bawa motor lagi,” elak Amsyar, “aku duluan, ya!” kemudian
laki-laki itu menghilang dari pandangan.
Lama-lama juga enggak masalah,
Syar. Biar aku bisa lihat kau terus, batin Kirana. Senyumnya terkembang,
tangannya melambai ke pemuda itu.
“Pantesan,” Siska merusak momen yang
terbentuk.
“Hebat, kan aku,” sombong Kirana.
“Yaelah, Amsyar mah gitu ke semua
orang. Jangan kepedean, Ran,” ujar Siska.
“Tapi kau tidak disapa, tuh. Berarti
aku istimewa,” dalihnya.
“Iya, deh si paling istimewa.”
***
Aroma gorengan yang baru saja
diangkat dari wajan berminyak coklat kehitaman membuat siapa pun tergoyahkan.
Bagi yang ingin melakukan diet jangan harap akan berhasil. Lebih baik duduk
diam di kelas daripada pergi ke kantin dan mencomot berbagai macam gorengan
berwarna keemasan.
Di
kios lain, Bu Eliana mengaduk kuah ikan yang nantinya akan disiram ke atas mie
kuning. Kuahnya kental berwarna abu-abu dengan bawang goreng sebagai hiasan.
Setengah butir telur rebus diletakkan sebagai tambahan. Serta pula kecambah
yang diberi melimpah. Asap mengepul-ngepul, menyebarkan kenikmatan di antara
padatnya siswa yang berebut di kala jam istirahat.
Kalau perutmu masih saja belum puas
dengan dua kios itu, bisa berlabuh ke kios Mama Lita. Jualannya nasi uduk, nasi
goreng, nasi hijau, nasi kuning, semua jenis nasi ada di kiosnya. Kalau ingin
lauk ayam ada, lauk telur juga ada. Untuk membilas segala makanan itu Mang
Kodri mendirikan kios khusus minuman dan makanan manis. Es sirupnya hanya
seharga tiga ribu. Itu sudah cukup untuk melepas dahaga. Ada juga pilihan es
teh manis atau es jeruk. Semuanya lengkap di kantin ini.
Walau harus mengantri dan duduk
menyempil sana-sini, karena kapasitas kantin yang tidak mencukupi, wilayah yang
luasnya sama dengan lapangan bola sekolah ini merupakan tempat paling digemari
siswa. Bahkan dengan adanya papan bertuliskan ‘hanya melayani siswa di jam
istirahat’, tidak membuat para penjaga kantin berhenti menjajakan jualannya
kepada siswa yang bolos pelajaran. Tentu sebelumnya perlu ada komunikasi dua
pihak agar tidak terjadi salah paham dan tidak ditangkap dua-duanya.
Semangkuk mi koba kandas, sedangkan
nasi goreng masih tersisa setengahnya. Saling berhadapan dua kawan itu,
membahas tentang kejadian yang baru saja terjadi dekat-dekat ini. Biasanya
mereka berempat. Kirana, Renai, Nyimas, dan Acha. Tapi dua orang itu memilih
untuk diam di kelas saja. Satunya ingin belajar untuk ulangan kimia, satunya
lagi malas saja berjalan ke kantin. Malah ia minta dibawakan pisang goreng dan
es teh. Dalam kesempatan itu langsung saja Kirana terang-terangan tentang
niatnya yang sudah terkumpul sejak kelas sebelas. Sejak ia memberikan perhatian
lebih kepada wakil ketua OSIS, alias Amsyar.
“Ren, ayolah tolong aku. Kau kan
teman sekelasnya. Setidaknya buat kami dekat saja. Kalau bisa sampai pacaran
lebih baik lagi atau kau juga bisa menjadi perantara pernikahan aku dan
Amsyar,” mohon Kirana untuk kesekian kalinya.
“Jangan Amsyar, Ran. Dia itu playboy,
suka tebar pesona sana-sini, suka kasih harapan ke cewek-cewek,” tolak Renai
kesekian kalinya juga.[lmsa1]
“Berarti dia memang enggak suka sama
cewek-cewek itu. Kau kan sudah duduk di belakangnya setahun ini,”
“Baru dua bulan,”
“Aduh, iya. Pokoknya kau sudah kenal
dengan Amsyar lebih lama daripada aku. Kalian kerja sama juga kan di
organisasi? Nah, itu kau bisa kasih tips atau apalah biar aku bisa dekat sama
Amsyar,” bujuk Kirana.
Renai mengaduk-aduk sirup merah muda
yang sudah kehilangan es batunya. Menimbang lagi permintaan temannya itu. Belum
dijawabnya sampai ia berhasil menghabiskan nasi goreng.
“Oke,”
“Hah? Oke?”
“Iya, aku bakal kenalkan kau lebih
dekat dengan Amsyar. Juga aku kasih tips biar sukses,” senyum simpul
tergambarkan di wajah Renai.
“Akhirnya! Aku dan Amsyar…”
“Berisik, Ran! Jangan
kencang-kencang!”
Mata-mata
mengarahkan ke meja tempat makan Kirana dan Renai. Mereka menunggu kelanjutan
ucapan gadis berkuncir kuda itu. Sayang sekali, kawannya menghentikan seruan
yang mengagetkan setengah isi kantin. Kembali mereka ke dalam nikmatnya
jajanan. Melupakan kejadian yang memang sering terjadi pada remaja seusia
mereka.
“Eh, maaf.”
“Peraturan pertama dan harus sekali
kau ingat, Ran,” Renai mengambil alih perhatian kawannya.
“Iya, apa itu?” tanya Kirana penuh
minat.
“Jangan bertingkah berlebihan.
Sewajarnya saja. Amsyar suka yang wajar, normal, dan tidak membuatnya harus
merasa malu atau bersalah kepada seorang perempuan,” jelas Renai dengan suara
yang rendah, “kalau kau tidak bisa menaati peraturan yang pertama ini, hancur
sudah semuanya!”
[lmsa1]Scene POV kejadian ini dari Renai
Komentar
Posting Komentar