Langsung ke konten utama

Secret 2: Peraturan Pertama


“Terserah, bukan urusan saya! Kalau mau tunggu sampai jam setengah delapan silahkan. Kalau mau bolos juga silahkan. Toh, kalian juga yang sekolah bukan saya,” Pak Gozi lantas membalikkan badannya.

Beliau berjalan menuju markas alias pos satpam tempat segala mimpi terukir. Bukan mimpi seperti remaja-remaja yang diletakkan tinggi pada bintang dan bulan, tapi sungguhan mimpi. Secangkir kopi hitam pekat dan kental menjadi asesoris di meja kayu bututnya. Pak Gozi lantas melepaskan topi yang sudah kusam tak terawat. Tangannya memegang mesra cangkir yang selalu menemani tugasnya dari awal jam bekerja hingga semuanya pulang dengan segudang cerita.

Salah satu cerita yang selalu hadir dalam kehidupan Pak Gozi selaku satpam abadi sekolah ini adalah kelakuan siswa yang suka sekali masuk telat. Dirinya selalu heran saat awal-awal diberi tugas menjaga gerbang sekolah. Tapi semakin lama, Pak Gozi paham bahwa para oknum tidak akan mempan diceramahi. Bukan hanya karena telat sudah menjadi jati diri karena terkadang pun ada yang perlu banting tulang membantu orang tua dulu atau jarak rumahnya sangat jauh. Meski demikian Pak Gozi tidak boleh menormalisasi ketelatan remaja-remaja itu. Ini semua berkaitan dengan pekerjaannya, juga berkaitan dengan masa depan generasi muda.

“Padahal Pak Gozi sudah bertahun-tahun jadi satpam, kok bisa beliau enggak kena godaan kita, ya?” tanya Siska, sobat telat Kirana.

“Yah, harusnya Pak Gozi jadi gubernur atau menteri. Kalau jadi satpam sekolah aja mah, pakai rokok harusnya bisa disogok beliau,” canda Kirana.

Di bawah pohon yang cukup rindang, beberapa siswa yang terlambat menunggu dengan bosan. Kebanyakan bercerita apa saja dengan kawannya, ada juga yang mengeluarkan bekal makanan karena tadi lupa sarapan. Tiga laki-laki, sepertinya berasal dari kelas yang sama, sedang terburu-buru menyalin jawaban tugas.

Tiga puluh menit mereka bersama menunggu personel lain yang juga datang terlambat. Panas matahari pagi yang sehat sengaja dihindari dengan mencari bayangan pohon atau apa saja. Ada juga yang duduk di halte sambil tertawa dengan suara yang berisik. Membicarakan kejadian semalam yang menyebabkan mereka harus bangun kesiangan.

***

            Kirana mesti bersyukur berkali-kali. Wajahnya panas tanpa didahului hujan atau badai. Bahkan Siska melihatnya merah sekali padahal matahari tak begitu jahat pagi ini. Setelah kemarin Kirana merasa kesejukan di antara sesaknya penumpang angkot, kini ia merasa panas menyergap. Tapi panas itu bukan membuatnya resah, malah membuatnya ingin lagi dan lagi.

            Perasaan ini sama seperti ketika tawa renyah keluar dari pemuda incarannya. Orang-orang yang saling melempar canda di angkot waktu itu membuat perjalanan sangat berarti bagi Kirana. Ia tak henti senyum karena Amsyar juga selalu tersenyum. Senyum itu tentu bukan untuknya, melainkan untuk percakapan yang simpang siur dengan kawan-kawan yang ada di angkot. Ah, apalagi saat itu ia dan Amsyar sempat bertatap dan berkenalan. Rasanya mirip sekali dengan yang ia alami pagi ini.

            “Ren, rumah kau di mana, sih? Ini sudah setengah angkot turun. Kau belum turun juga?” Amsyar melempar tanya kepada Renai.

            “Biasanya aku memang yang terakhir, sih. Rumahku jauh dari sekolah. Rumah kau di mana?”

            “Aku di Perumahan Angsana nomor enam. Tapi aku turun di bank dekat perumahan, sekalian mau ke bengkel,” jawab Amsyar, matanya melihat ke arah Renai.

            “Nah, kalau aku masih jauh lagi dari situ. Tapi masih satu arah,” ucap Renai.

            “Kalau gitu ke rumah kau saja dulu,”

            “Dih, ngapain?” tanya Renai sangsi.

            “Iya biar ada yang nemenin. Nanti mas angkotnya bawa kau kemana-mana,” bisik Amsyar.

            “Heh, aku dengar, ya!” seru sopir angkot dari kemudinya.

            Lagi-lagi angkot dipenuhi dengan tawa. Walaupun tinggal lima penumpang, angkot itu tetap ramai dengan percakapan. Maklum saja mereka yang tersisa semuanya pelanggan tetap yang sudah berbaur sejak tahun pertama sekolah. Terkecuali Amsyar yang baru bergabung hari ini.

            “Aku sama Kirana, kok,” kata Renai sambil menunjuk kawannya yang sedari tadi diam-diam saja.

            Gadis yang ditunjuk merasa jantungnya akan lari kalau tidak segera ditahan. Kecepatan angkot bahkan lebih lambat daripada rangsangan otaknya untuk bertindak biasa saja. Tatapan yang sedari tadi tidak dipindahkan menjadikannya ketahuan oleh sang tuan. Kini ia sedang berusaha menahan ledakan dan senyum berlebih yang tidak diperlukan. Sebab tangan Amsyar mengulur kepadanya.

            “Oh, kau teman Renai ternyata! Aku Amsyar, maaf aku tidak tahu. Kukira kau adik kelas. Wajahmu beda sekali dengan Renai yang sering marah-marah. Renai jadi kelihatan lebih tua, ya kan?”

            “Enak aja ya! Lagian yang sering bikin aku marah itu kau juga. Coba tanya sama Syara atau teman-teman sekelasku dulu, pasti mereka bilang aku jarang marah. Semenjak ada kau baru aku kayak gini!” yang disinggung mengoceh panjang.

            Kirana tak sempat mendukung temannya itu. Pujian yang dilemparkan pangeran membuatnya sibuk menata bunga-bunga yang tetiba jatuh dari langit begitu banyak. Tangan Kirana menyambut uluran Amsyar. Kedua insan itu malah asik bercakap sejenak, melupakan kehadiran Renai.

            Yah, begitulah Kirana sekarang. Sedang terperangkap pesona Amsyar yang ternyata ikut telat juga hari ini. Perkenalan singkatnya dengan Amsyar ternyata masih diingat. Baru saja hendak masuk ke dalam sekolah saat pintu gerbang dibuka Pak Gozi, Amsyar menyentuh pundak Kirana. Lantas dengan senyuman alaminya ia menyapa Kirana.

            “Kau telat juga, Ran?”

            Kirana menyembunyikan suara hatinya, “ya, aku memang langganan telat. Kau sendiri? Baru pertama kali kulihat kau telat.”

            “Motorku masih rusak. Aku jadi harus cari angkot. Tadi muter-muter pasar dulu, nganter ibu-ibu,” balasnya.

            “Selain masuk klub angkot, kau jadi masuk klub orang telat juga, ya!”

            “Eh, cuma sebentar doang. Besok-besok aku bawa motor lagi,” elak Amsyar, “aku duluan, ya!” kemudian laki-laki itu menghilang dari pandangan.

            Lama-lama juga enggak masalah, Syar. Biar aku bisa lihat kau terus, batin Kirana. Senyumnya terkembang, tangannya melambai ke pemuda itu.

            “Pantesan,” Siska merusak momen yang terbentuk.

            “Hebat, kan aku,” sombong Kirana.

            “Yaelah, Amsyar mah gitu ke semua orang. Jangan kepedean, Ran,” ujar Siska.

            “Tapi kau tidak disapa, tuh. Berarti aku istimewa,” dalihnya.

            “Iya, deh si paling istimewa.”

***

            Aroma gorengan yang baru saja diangkat dari wajan berminyak coklat kehitaman membuat siapa pun tergoyahkan. Bagi yang ingin melakukan diet jangan harap akan berhasil. Lebih baik duduk diam di kelas daripada pergi ke kantin dan mencomot berbagai macam gorengan berwarna keemasan.

Di kios lain, Bu Eliana mengaduk kuah ikan yang nantinya akan disiram ke atas mie kuning. Kuahnya kental berwarna abu-abu dengan bawang goreng sebagai hiasan. Setengah butir telur rebus diletakkan sebagai tambahan. Serta pula kecambah yang diberi melimpah. Asap mengepul-ngepul, menyebarkan kenikmatan di antara padatnya siswa yang berebut di kala jam istirahat.

            Kalau perutmu masih saja belum puas dengan dua kios itu, bisa berlabuh ke kios Mama Lita. Jualannya nasi uduk, nasi goreng, nasi hijau, nasi kuning, semua jenis nasi ada di kiosnya. Kalau ingin lauk ayam ada, lauk telur juga ada. Untuk membilas segala makanan itu Mang Kodri mendirikan kios khusus minuman dan makanan manis. Es sirupnya hanya seharga tiga ribu. Itu sudah cukup untuk melepas dahaga. Ada juga pilihan es teh manis atau es jeruk. Semuanya lengkap di kantin ini.

            Walau harus mengantri dan duduk menyempil sana-sini, karena kapasitas kantin yang tidak mencukupi, wilayah yang luasnya sama dengan lapangan bola sekolah ini merupakan tempat paling digemari siswa. Bahkan dengan adanya papan bertuliskan ‘hanya melayani siswa di jam istirahat’, tidak membuat para penjaga kantin berhenti menjajakan jualannya kepada siswa yang bolos pelajaran. Tentu sebelumnya perlu ada komunikasi dua pihak agar tidak terjadi salah paham dan tidak ditangkap dua-duanya.

            Semangkuk mi koba kandas, sedangkan nasi goreng masih tersisa setengahnya. Saling berhadapan dua kawan itu, membahas tentang kejadian yang baru saja terjadi dekat-dekat ini. Biasanya mereka berempat. Kirana, Renai, Nyimas, dan Acha. Tapi dua orang itu memilih untuk diam di kelas saja. Satunya ingin belajar untuk ulangan kimia, satunya lagi malas saja berjalan ke kantin. Malah ia minta dibawakan pisang goreng dan es teh. Dalam kesempatan itu langsung saja Kirana terang-terangan tentang niatnya yang sudah terkumpul sejak kelas sebelas. Sejak ia memberikan perhatian lebih kepada wakil ketua OSIS, alias Amsyar.

            “Ren, ayolah tolong aku. Kau kan teman sekelasnya. Setidaknya buat kami dekat saja. Kalau bisa sampai pacaran lebih baik lagi atau kau juga bisa menjadi perantara pernikahan aku dan Amsyar,” mohon Kirana untuk kesekian kalinya.

          “Jangan Amsyar, Ran. Dia itu playboy, suka tebar pesona sana-sini, suka kasih harapan ke cewek-cewek,” tolak Renai kesekian kalinya juga.[lmsa1] 

            “Berarti dia memang enggak suka sama cewek-cewek itu. Kau kan sudah duduk di belakangnya setahun ini,”

            “Baru dua bulan,”

            “Aduh, iya. Pokoknya kau sudah kenal dengan Amsyar lebih lama daripada aku. Kalian kerja sama juga kan di organisasi? Nah, itu kau bisa kasih tips atau apalah biar aku bisa dekat sama Amsyar,” bujuk Kirana.

            Renai mengaduk-aduk sirup merah muda yang sudah kehilangan es batunya. Menimbang lagi permintaan temannya itu. Belum dijawabnya sampai ia berhasil menghabiskan nasi goreng.

            “Oke,”

            “Hah? Oke?”

            “Iya, aku bakal kenalkan kau lebih dekat dengan Amsyar. Juga aku kasih tips biar sukses,” senyum simpul tergambarkan di wajah Renai.

            “Akhirnya! Aku dan Amsyar…”

            “Berisik, Ran! Jangan kencang-kencang!”

Mata-mata mengarahkan ke meja tempat makan Kirana dan Renai. Mereka menunggu kelanjutan ucapan gadis berkuncir kuda itu. Sayang sekali, kawannya menghentikan seruan yang mengagetkan setengah isi kantin. Kembali mereka ke dalam nikmatnya jajanan. Melupakan kejadian yang memang sering terjadi pada remaja seusia mereka.

            “Eh, maaf.”

            “Peraturan pertama dan harus sekali kau ingat, Ran,” Renai mengambil alih perhatian kawannya.

            “Iya, apa itu?” tanya Kirana penuh minat.

            “Jangan bertingkah berlebihan. Sewajarnya saja. Amsyar suka yang wajar, normal, dan tidak membuatnya harus merasa malu atau bersalah kepada seorang perempuan,” jelas Renai dengan suara yang rendah, “kalau kau tidak bisa menaati peraturan yang pertama ini, hancur sudah semuanya!”


 [lmsa1]Scene POV kejadian ini dari Renai

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi : Novel Nebula Karya Tere Liye

Novel “NEBULA” Karya Tere Liye :  Rahasia Pengintai Terbaik dan Kembalinya Musuh Lama Oleh : Lubna Anfaresi Judul                : NEBULA Penulis             : Tere Liye Penerbit             : Gramedia Pustaka Utama Kota Terbit       : Jakarta Cetakan II        : April 2020 Ketebalan         : 376 halaman Pendahuluan             Serial Bumi merupakan salah satu serial yang dikeluarkan oleh penulis Tere Liye dan berhasil menarik minat pembaca di tanah air. Serial fantasi ini sudah memiliki sembilan seri dengan seri terbaru berjudul “NEBULA”. Sama seperti seri sebelumnya yang berjudul “SELENA”, seri ke-9 ini menceritakan kisah dari sudut pandang Selena sebaga...

Masak, Makan, Lempah Kuning

  Masak, Makan, Lempah Kuning “Wew, banyak kenek ge. Basing ka lah pon!” [1]             Ucapan dari Ami, gadis Bangka yang sudah kutemui sejak lima hari bertugas di daerah ini, terus terngiang di antara malam-malam sepi di kamar berukuran lima kali tujuh meter. Suaranya begitu tinggi, mencekam, dan rasanya penuh kebencian. Raut wajahnya yang mengerut itu terus terbayang, juga ucapan dengan bahasa yang aku tidak mengerti sama sekali. Jauh dari mal perbelanjaan, kafe yang selalu ramai, atau sekadar lalu lintas kota Yogya, aku terjebak sampai sembilan hari kedepan untuk mengerjakan tugas kuliahku di sini. Aku tidur menumpang kepada salah satu warga kenalan kawan kuliahku, yang juga berasal dari Bangka. Katanya itu adalah rumah seperadik [2] -nya. Pintu kamar yang menjadi tempat tidurku sementara tiba-tiba diketuk dari luar. Aku menghela napas, mencoba meraih gagang pintu dan membiarkan sinar lampu di ruang tengah masuk ke d...

Nugget

Pernah berpikir untuk masak nugget goreng yang dicocol dengan cuko ? Itu yang Bene lakukan. Aneh, iya. Tapi Bene tidak akan peduli dengan komentar orang, karena toh dia sekarang ada di kontrakannya. Sendirian. Setelah berkutat dengan kertas-kertas laporan praktikumnya selama satu semester, Bene bisa beristirahat sejenak. Gadis itu tidak pergi ke luar kontrakannya, kecuali untuk membeli makan atau bahan masakan. Keinginannya untuk naik gunung setiap liburan juga harus kandas. Alasanya sederhana, karena ia tidak punya teman untuk naik ke atas sana. Jika kalian semua mendorong gadis itu untuk pergi sendiri,             “Terima kasih.” Dua kata itu akan keluar dari bibirnya yang sedikit kering. Saran dari kawan-kawan dekatnya, biarkan saja Bene asyik dengan dunianya. Ia bisa saja pergi ke Bandung sekarang juga, atau ke Jakarta. Tapi buat apa? Ia tidak mau menghabiskan lebih banyak uang beasiswa yang baru cair satu pekan lalu...