Langsung ke konten utama

Secret 3: Motor Klasik


Keringat membasahi jersey bernomor punggung tujuh belas. Rambut yang tumbuh lebat juga tak kalah basah, membuatnya lepek dan harus segera dibasahi dengan sampo. Pertandingan futsal telah selesai, menciptakan otot kaki yang semakin hari semakin kelihatan. Tak terasa lelah karena semua orang yang ikut tanding sudah terbiasa berlari mengejar bola. Sejak kecil anak laki-laki memang harusnya akrab dengan lapangan dan bola kaki. Kalau tidak jago berlari, setidaknya mereka harus mengasah otak dan pintar di pelajaran. Sedangkan melatih otak menurut sebagian laki-laki di sekolah ini lebih sulit ketimbang mengoper dan membuat gol di gawang.

“Kanopi dulu, gak?” tanya Dodot seraya mengelap keringatnya dengan kaos yang basah.

“Enggak, ah. Udah sore ini,”

“Halah, biasanya juga pulang jam dua belas malam,” ucap Aiman.

“Hari ini Umi pulang,”

“Iya, deh,” kata Dodot mengerti, “kita ke Kanopi, kalau mau nyusul langsung aja, Syar!”

Amsyar tak lagi menjawab ajakan karibnya. Ia menyalakan mesin motor yang sudah butut, pemberian almarhum Abinya. Perlu lima kali mengengkol barulah motor dengan desain klasik itu mau diajak jalan. Motor berwarna hitam dan sedikit mengilap itu memang sudah dimakan usia. Padahal ada jenis dan desain yang sama, baru dikeluarkan oleh perusahaan Yamaha. Salah satu perusahaan motor asal Jepang yang betah sekali tinggal di Indonesia. Bentukannya sama persis dengan milik Amsyar saat ini yang dibeli Abinya tahun dua ribu sembilan. Hanya saja ada beberapa teknologi dan tentu mesin yang lebih kencang di motor keluaran terbaru ini.

Tubuh dengan tinggi seratus tujuh puluh delapan sentimeter menyeimbangkan diri pada jalan lurus yang sering ia lewati. Setiap pagi tanpa perlu mengebut, karena kalau mengebut ia akan menabrak banyak orang di jalan yang padat akan kendaraan ini, Amsyar membawa kuda besi dan memikat banyak gadis. Motor lamanya tak pernah gagal membuat orang menghentikan bicara dan menatap kilauan sinar matahari memantul pada tangki bahan bakar.

Semenjak tahu caranya bermotor, ia merawat dengan baik peninggalan Abinya. Setiap Minggu akan dicuci dan dibuatnya mengilap. Mesin motor dicek berkala enam bulan sekali, walau sekarang lebih sering mati sendiri karena sudah tua. Saat ia bawa ke bengkel langganan, Bang Dul akan menggoda Amsyar untuk membeli motor baru yang berdesain sama.

“Motor yang ini dijual ke aku saja, Syar.”

Begitu ucap Bang Dul setiap Amsyar selesai memasukkan motor ke dalam bengkel. Bang Dul sebenarnya sudah tahu Amsyar tidak mungkin menjual motor itu kepada siapa pun. Tapi siapa tahu suatu hari candaan atau tawarannya itu bisa diterima Amsyar.

Spidometer analog menunjukkan angka enam puluh, Amsyar mempercepat kendaraannya karena sebentar lagi azan Magrib akan dikumandangkan. Ia ingin sampai rumah sebelum panggilan salat itu datang. Sudah menjadi kebiasaan yang diajarkan orang tuanya untuk pulang atau berhenti bermain saat azan Magrib. Kalau tidak pulang ke rumah, ia berhenti di rumah temannya, atau salat di masjid. Beberapa bulan terakhir opsi kedua dan ketiga lebih sering dilakukannya. Tapi hari ini berbeda. Umi pulang ke rumah! Ia harus segera pulang dan menyambut Umi pukul tujuh nanti.

Bergantian Amsyar melihat jalan dan jam tangannya. Langit sudah redup, menyisakan sedikit saja jingga pada ujung langit yang tertutup pohon dan bangunan. Bapak-bapak bersarung terlihat berduyun menuju masjid. Ada yang jalan kaki, juga ada yang bermotor. Zikir petang sudah mencapai akhirnya, begitu pula dengan ceramah sebelum Magrib atau tartil ayat-ayat Al-Qur’an. Amsyar kembali menaikkan kecepatan. Ia ingin segera pulang dan membasahi tubuhnya yang lengket oleh keringat. Tak mungkin juga ia salat dalam keadaan kotor dan hanya berbaju jersey.

Selain ingin pulang sebelum Magrib, pikirannya pun terbagi oleh bayangan Umi. Ia sudah terlalu rindu dan hanya bisa meratapi wajah kesayangan itu lewat foto saja. Bahkan untuk videocall, Umi terlalu sibuk. Sesekali berbalas pesan singkat. Benar-benar singkat. Kini ia bertanya pada diri sendiri, harus bicara apa nanti ketika bertemu? Akankah canggung hadir di pertemuan mereka?

Kiiit…brak!

***

Lutut yang tak terlindungi dengan celana panjang menjadi sasaran aspal kasar. Begitu pula dengan lengan yang hanya tertutup sampai siku. Darah bercucuran, membuat titik-titik pada jalan yang menjadi tempat kejadian perkara. Kepala yang juga tak terlindungi helm, ikut merasakan sakitnya mencium aspal. Beruntung hanya satu orang yang menjadi korban. Beruntung tak ada adu kendaraan, hingga yang rusak pun hanya motor kesayangan Amsyar.

Sambil sedikit pincang, Amsyar menyelamatkan dirinya ke pinggir jalan. Dibantu pula oleh beberapa orang yang hendak pergi ke masjid. Azan sudah berkumandang, misinya gagal untuk sampai rumah sebelum Magrib. Tangan kiri yang paling parah menopang tubuh dan sedikit tergeser dengan aspal berbatu terus mengeluarkan darah. Ia meraih hape, segera menghubungi Dodot dan Aiman.

“Bang, kecelakaan nih. Bantu aku dong,” ucapnya tanpa rasa sakit.

“Posisi?”

“Belokan ke rumahku, dekat masjid,” jawabnya singkat.

Otewe.”

Nasib memang, saat sedang menaikkan kecepatan motor hitamnya ia tidak melihat dari arah belokan rumahnya seorang ibu-ibu melesat tanpa lampu sen dinyalakkan. Hampir saja terjadi tabrakan yang pasti akan lebih rumit lagi nantinya. Amsyar dengan cepat membanting stir, dan dirinya sendiri hingga terjatuh dan penuh luka-luka. Sedangkan ibu-ibu tadi melirik sebentar lantas berlalu seperti itu bukan salahnya. Ya, salah Amsyar sendiri kenapa membanting motornya!

Yamaha klasik hitam peninggalan Abinya terlihat cukup mengenaskan. Ia lebih khawatir dengan motornya daripada tubuh yang berlumur darah. Lampu bulat yang berada di depan pecah. Stang motor miring dan sedikit peot, membuatnya tak lagi gagah. Permukaan aspal yang tak mulus seperti wajah para gadis dengan rentetan krim perawatan membuat baretan panjang sebesar telapak tangan pada tangki bahan bakar. Merk motor yang terpampang menjadi sulit terbaca. Kilauan cat metalik hitam yang selalu indah, kini pudar dan butuh biaya besar untuk mengembalikan keelokannya.

Amsyar mengutuk dirinya, juga ibu-ibu tadi yang membuat ia harus membanting stir. Atau lebih tepatnya membanting stang motor. Kali ini luka yang cukup parah membuat Amsyar juga meringis kesakitan. Obat tetes betadine diberikan pada luka di lengan dan lututnya. Demikian pula pada dahi, walau tak parah. Beruntung sekali ada bapak-bapak yang dengan sabar dan tanpa mengejar salatnya, mau membantu Amsyar. Hingga lima menit kemudian, Dodot dan Aiman datang. Wajah keduanya pias melihat motor yang rusak di sisi kiri. Namun saat diarahkan pandang ke Amsyar mereka kembali pada tabiat masa kecil. Apalagi kalau bukan menertawakan orang yang jatuh.

“Hahaha, gimana ceritanya, Syar?” tanya Aiman setelah puas menertawai Amsyar.

Bapak bersarung putih sebelumnya sudah pamit untuk salat. Ia merasa sudah ada penolong lain yang punya lebih banyak waktu pun lebih bisa membantu. Amsyar tak lupa berterima kasih banyak dan minta maaf karena telah merepotkan. Setelahnya barulah ia menjawab pertanyaan kawannya yang kurang ajar itu.

“Bawa aku pulang dulu, sama motor itu juga. Cerita di rumah aja, lah. Ini belum salat Magrib pula,”

“Man, kau yang bawa motornya,” Dodot melemparkan kunci motor yang terletak di dekat Amsyar.

“Masih jalan nih, motor?” Aiman bertanya sanksi.

“Insya Allah. Kalau enggak jalan di-step aja, ah sakit bener Bang,”

“Siap!” ucap Aiman, “kau bisa jalan?”

“Bisa, ah aduh,”

Tanpa diminta, Aiman segera merangkul Amsyar, sedangkan Dodot sudah siap di motor yang akan membawa mereka ke rumah korban.

“Makasih,” Amsyar berkata lirih setelah dirinya berhasil duduk di jok motor.

“Udah siap, Syar?” tanya Dodot.

“Heh, harusnya tanya ke aku, dong. Ini motor Amsyar enggak nyala-nyala dari tadi,”

“Engkolnya lima kali,”

Tak lama setelah mengikuti saran Amsyar, motor Yamaha SR400 keluaran tahun dua ribu sembilan melaju perlahan dan sedikit tersendat. Hingga akhirnya Aiman menyerah dan meminta Dodot untuk membantu mendorong motor. Dengan cara di-step tentunya.

***

“Syar, ini buatmu,” ucap seorang gadis kelas dua belas sambil menyodorkan kotak kue berukuran kecil.

“Semoga suka, ya. Itu buatanku sendiri, rencananya mau bikin bisnis habis SMA. Tapi kalau kau suka, nanti tak perlu bayar. Aku bikinin tiap hari, deh,” lanjutnya dengan sedikit malu-malu.

Gadis itu memainkan rambutnya yang panjang. Dengan bibir yang merah seperti stroberi ia masih menyempatkan bicara bersama Amsyar. Beruntung kali ini laki-laki itu mau meladeni usahanya yang kesekian kali untuk menjadi pacar atau minimal perempuan yang dirumorkan dekat dengan Amsyar.

“Cepat sembuh, ya Syar. Aku kangen sama motor hitammu itu,” katanya setelah melihat beberapa perban yang tak bisa ditutupi dengan seragam sekolah.

“Makasih, La. Tapi nanti kalau ketemu enggak perlu bawa makanan atau hadiah lagi. Aku enggak enak nerima terus dari kamu,” tukas Amsyar.

“Kalau kamu enggak enak nerima terus, balas perasaanku deh,” Laila berkata centil.

“Kalau itu sulit, hahaha,” canda Amsyar, walau sebenarnya ia serius.

“Gampang, kok tinggal…”

“Syar, bagi jawaban nomor lima, dong!”

Suara yang tegas itu berasal dari kursi belakang. Bagi Amsyar itu bukanlah suatu hal yang mengesalkan, melainkan sebuah tangan yang siap menolongnya dari percakapan dengan Laila. Tanpa mau mendengarkan lebih lanjut ucapan Laila, Amsyar membalikkan tubuhnya dan memberikan buku fisika. Bukan hanya itu, dirinya bahkan mengajarkan beberapa cara yang tertulis, memberi contoh, dan apa pun yang bisa menjadi alasan Laila merasa malas bicara lagi. Sekitar satu menit mengalihkan perhatian ke temannya, ia kemudian berpura-pura sadar dengan kehadiran gadis yang senang sekali mengejarnya dengan terang-terangan.

“Eh, kenapa tadi? Maaf Renai minta jelasin caranya juga,”

“Engga jadi, deh. Kalian mau belajar, ya, hahaha anak IPA memang beda,” kata Laila. Matanya menatap sinis ke arah Renai yang terus mengerjakan soal.

“Iya, kami ada tugas, nih. Harus dikumpul habis jam istirahat. Maaf, ya Laila.”

“Oke, dah Amsyar! Kabari, ya kalau kuenya enak. Nanti kubuat banyak-banyak untukmu!”

Laila membalikkan tubuhnya dan berjalan menuju luar kelas. Seragam yang tak pernah diganti sejak kelas satu SMA, menciptakan lekuk-lekuk tubuh yang dicintai kaum pria. Kecuali Amsyar mungkin. Laki-laki satu ini memang agak beda. Kecantikan dan kepopuleran Laila sudah terdengar sampai ke sekolah menengah atas yang lain. Tapi tetap saja Amsyar tak mudah digoyahkan. Tangan Laila yang lentik sebagai penari juga lihai membuat aneka masakan. Wajahnya yang punya keturunan India, dengan hidung mancung dan kulit coklat yang indah tak mampu menaklukkan hati Amsyar. Andai Laila berhenti mengejar-ngejar Amsyar, pastilah antrian cowok populer bersedia menjadi pacarnya.

Amsyar melanjutkan tulisan di buku catatan. Ia bahkan tidak sampai habis melihat kepergian sang Dewi Penari di sekolahnya itu. Malah kawannya yang laki-laki menyempatkan sapaan basa-basi.

Mata Amsyar melihat ke arah kotak kue berwarna merah muda dengan surat di atasnya. Hanya bertuliskan gombalan dan ajakan makan kapan-kapan. Bukannya mengingatkan dengan Laila, ia malah membalikkan badannya.

“Ren!” serunya dengan bersemangat.

“Apa sih, ah! Ngejutin aja,” ucap Renai ketus.

“Yaelah, gitu doang kaget,” canda Amsyar, “nih, kue sebagai ucapan terima kasih.”

Renai menghentikkan tulisannya. Ia lantas menatap Amsyar dengan tak percaya. Alisnya terangkat satu.

“Gila kau. Itukan kue dari Laila ngapain kasih ke aku? Kau kira aku cewek apaan?”

“Hah, kok malah marah, sih?”

“Iya, lah! Kalau dikasih orang itu diterima, jangan dikasih sama orang lain. Enggak enak tahu digituin,” omel Renai. Ia kembali menuliskan rumus-rumus fisika.

“Siap, Ren. Tapi ini beneran aku kasih ke kamu bukan karena enggak menghargai Laila. Aku emang enggak suka kue,”

“Jangan ke aku juga, Syar. Minimal kau makanlah sama kawan-kawan kau,” kata Renai lebih lembut dari sebelumnya.

“Kau juga kawanku, kan?” tanya Amsyar merasa tak salah.

Renai mengalihkan pandang sejenak ke Amsyar. Tak ada ekspresi yang diberikan kepada lawan bicaranya itu. Datar saja. Amsyar menatap balik lewat kacamata kotaknya. Mereka beradu, tapi dengan cepat Amsyar menyerah.

Ck, kalau gitu…makasih tadi udah nolongin,” ujar Amsyar.

Sepersekian detik kemudian Renai tertawa. Kencang sekali sampai orang-orang di kelas melihat ke arah mereka berdua. Wajah Renai sampai merah dibuatnya sendiri. Sedikit bulir air menetes lewat mata kanan. Disekanya air itu sambil kembali melihat Amsyar yang bingung.

“Orang aku memang mau minta jawaban, bukan mau nolongin kau,” sangkal Renai. Sedikit tawa lagi-lagi tercipta.

“Enggak lucu, Ren,” ungkap Amsyar.

Setelah menerima tawa dan fakta dari Renai, ia kembali ke posisi duduknya yang benar. Padahal yakin sekali Amsyar bahwa permintaan tolong tadi sengaja dilontarkan Renai untuk menyelamatkannya.

Ada beberapa fakta yang menguatkan argumen Amsyar. Pertama tentunya karena soal fisika yang ditanyakan tadi terbilang mudah untuk Renai. Bahkan sebelumnya ia menjelaskan rumus itu di depan kelas. Kedua karena Amsyar pernah bercerita dengan gadis berjilbab itu bahwa ia tidak suka dikejar-kejar cewek, apalagi Laila. Ketiga karena Renai juga pernah bercerita dengan Amsyar bahwa ia tidak suka Laila. Katanya karena Laila saat aktif menjabat menjadi OSIS jarang berkontribusi. Saat ditegur MPK malah memutarbalikkan fakta dan tidak terima.

Tapi sudahlah, Amsyar malas berdebat dengan Renai. Dari pada memperpanjang urusan lebih baik ia mengerjakan soal-soal fisika. Ia suka sekali pelajaran ini. Cita-citanya jadi fisikawan, atau anak teknik elektro. Nilainya tak pernah mencapai angka tujuh. Selalu berada di atas KKM. Tentunya dengan cepat ia menyelesaikan empat soal yang tadi sempat tertunda oleh kehadiran Laila.

Saat sudah selesai, apa yang Amsyar lakukan? Biasanya dia akan ikut main futsal sebentar di lapangan. Kalau tidak ada orang dia akan jajan di kantin bersama Dodot dan Aiman. Dulu sekali ia hobi berkeliling sekolah untuk tebar pesona, menurut Renai. Wajar karena Amsyar adalah seorang wakil ketua OSIS yang pamornya lebih dari ketua OSIS. Sayangnya dengan kaki yang agak pincang akibat tabrakan tiga hari yang lalu, ia malas pergi dari tempat duduk. Amsyar biasa menitip jajanan atau menggunakan otak dan tangannya untuk menghasilkan puisi-puisi. Kalau tidak dari dua opsi itu, masih ada kegiatan lain. Antara tidur atau bicara dengan Renai.

Opsi terakhir menjadi pilihannya.

“Ren,”

“Apa?” tanya Renai yang masih pusing mengotak-atik angka.

“Biasanya kau pulang naik angkot, kan?”

“Iya,” jawab Renai singkat.

“Ikut, dong.”

“Ikutlah,”

“Angkot yang mana? Mahal enggak?”

“Entah, terserah kau saja,”

“Hari ini kau naik angkot?”

“Enggak,”

“Kenapa?”

Tak terdengar lagi jawaban dari Renai. Amsyar tersenyum jahil. Biasanya saat sudah tidak menjawab pertanyaan atau pernyataan darinya, Renai sudah mulai kesal. Bukan pula merasa cukup, Amsyar kembali mengajaknya bicara.

“Ren,” panggil Amsyar tanpa membalikkan badannya.

Lagi-lagi tak ada respon.

“Ren,” ucap Amsyar, “Renai.”

“Ooh, Renai,”

“Berisik, tahu enggak sih! Aku enggak naik angkot atau naik angkot, ya bukan urusan kau. Ini lagi pusing ngerjain fisika. Diam coba, atau kasih aku jawabannya!”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi : Novel Nebula Karya Tere Liye

Novel “NEBULA” Karya Tere Liye :  Rahasia Pengintai Terbaik dan Kembalinya Musuh Lama Oleh : Lubna Anfaresi Judul                : NEBULA Penulis             : Tere Liye Penerbit             : Gramedia Pustaka Utama Kota Terbit       : Jakarta Cetakan II        : April 2020 Ketebalan         : 376 halaman Pendahuluan             Serial Bumi merupakan salah satu serial yang dikeluarkan oleh penulis Tere Liye dan berhasil menarik minat pembaca di tanah air. Serial fantasi ini sudah memiliki sembilan seri dengan seri terbaru berjudul “NEBULA”. Sama seperti seri sebelumnya yang berjudul “SELENA”, seri ke-9 ini menceritakan kisah dari sudut pandang Selena sebaga...

Masak, Makan, Lempah Kuning

  Masak, Makan, Lempah Kuning “Wew, banyak kenek ge. Basing ka lah pon!” [1]             Ucapan dari Ami, gadis Bangka yang sudah kutemui sejak lima hari bertugas di daerah ini, terus terngiang di antara malam-malam sepi di kamar berukuran lima kali tujuh meter. Suaranya begitu tinggi, mencekam, dan rasanya penuh kebencian. Raut wajahnya yang mengerut itu terus terbayang, juga ucapan dengan bahasa yang aku tidak mengerti sama sekali. Jauh dari mal perbelanjaan, kafe yang selalu ramai, atau sekadar lalu lintas kota Yogya, aku terjebak sampai sembilan hari kedepan untuk mengerjakan tugas kuliahku di sini. Aku tidur menumpang kepada salah satu warga kenalan kawan kuliahku, yang juga berasal dari Bangka. Katanya itu adalah rumah seperadik [2] -nya. Pintu kamar yang menjadi tempat tidurku sementara tiba-tiba diketuk dari luar. Aku menghela napas, mencoba meraih gagang pintu dan membiarkan sinar lampu di ruang tengah masuk ke d...

Nugget

Pernah berpikir untuk masak nugget goreng yang dicocol dengan cuko ? Itu yang Bene lakukan. Aneh, iya. Tapi Bene tidak akan peduli dengan komentar orang, karena toh dia sekarang ada di kontrakannya. Sendirian. Setelah berkutat dengan kertas-kertas laporan praktikumnya selama satu semester, Bene bisa beristirahat sejenak. Gadis itu tidak pergi ke luar kontrakannya, kecuali untuk membeli makan atau bahan masakan. Keinginannya untuk naik gunung setiap liburan juga harus kandas. Alasanya sederhana, karena ia tidak punya teman untuk naik ke atas sana. Jika kalian semua mendorong gadis itu untuk pergi sendiri,             “Terima kasih.” Dua kata itu akan keluar dari bibirnya yang sedikit kering. Saran dari kawan-kawan dekatnya, biarkan saja Bene asyik dengan dunianya. Ia bisa saja pergi ke Bandung sekarang juga, atau ke Jakarta. Tapi buat apa? Ia tidak mau menghabiskan lebih banyak uang beasiswa yang baru cair satu pekan lalu...