Keringat
membasahi jersey bernomor punggung tujuh belas. Rambut yang tumbuh lebat
juga tak kalah basah, membuatnya lepek dan harus segera dibasahi dengan sampo.
Pertandingan futsal telah selesai, menciptakan otot kaki yang semakin hari
semakin kelihatan. Tak terasa lelah karena semua orang yang ikut tanding sudah
terbiasa berlari mengejar bola. Sejak kecil anak laki-laki memang harusnya
akrab dengan lapangan dan bola kaki. Kalau tidak jago berlari, setidaknya
mereka harus mengasah otak dan pintar di pelajaran. Sedangkan melatih otak
menurut sebagian laki-laki di sekolah ini lebih sulit ketimbang mengoper dan
membuat gol di gawang.
“Kanopi
dulu, gak?” tanya Dodot seraya mengelap keringatnya dengan kaos yang basah.
“Enggak,
ah. Udah sore ini,”
“Halah,
biasanya juga pulang jam dua belas malam,” ucap Aiman.
“Hari
ini Umi pulang,”
“Iya,
deh,” kata Dodot mengerti, “kita ke Kanopi, kalau mau nyusul langsung aja,
Syar!”
Amsyar
tak lagi menjawab ajakan karibnya. Ia menyalakan mesin motor yang sudah butut,
pemberian almarhum Abinya. Perlu lima kali mengengkol barulah motor dengan desain
klasik itu mau diajak jalan. Motor berwarna hitam dan sedikit mengilap itu
memang sudah dimakan usia. Padahal ada jenis dan desain yang sama, baru
dikeluarkan oleh perusahaan Yamaha. Salah satu perusahaan motor asal Jepang
yang betah sekali tinggal di Indonesia. Bentukannya sama persis dengan milik
Amsyar saat ini yang dibeli Abinya tahun dua ribu sembilan. Hanya saja ada
beberapa teknologi dan tentu mesin yang lebih kencang di motor keluaran terbaru
ini.
Tubuh
dengan tinggi seratus tujuh puluh delapan sentimeter menyeimbangkan diri pada
jalan lurus yang sering ia lewati. Setiap pagi tanpa perlu mengebut, karena
kalau mengebut ia akan menabrak banyak orang di jalan yang padat akan kendaraan
ini, Amsyar membawa kuda besi dan memikat banyak gadis. Motor lamanya tak
pernah gagal membuat orang menghentikan bicara dan menatap kilauan sinar
matahari memantul pada tangki bahan bakar.
Semenjak
tahu caranya bermotor, ia merawat dengan baik peninggalan Abinya. Setiap Minggu
akan dicuci dan dibuatnya mengilap. Mesin motor dicek berkala enam bulan
sekali, walau sekarang lebih sering mati sendiri karena sudah tua. Saat ia bawa
ke bengkel langganan, Bang Dul akan menggoda Amsyar untuk membeli motor baru
yang berdesain sama.
“Motor
yang ini dijual ke aku saja, Syar.”
Begitu
ucap Bang Dul setiap Amsyar selesai memasukkan motor ke dalam bengkel. Bang Dul
sebenarnya sudah tahu Amsyar tidak mungkin menjual motor itu kepada siapa pun.
Tapi siapa tahu suatu hari candaan atau tawarannya itu bisa diterima Amsyar.
Spidometer
analog menunjukkan angka enam puluh, Amsyar mempercepat kendaraannya karena
sebentar lagi azan Magrib akan dikumandangkan. Ia ingin sampai rumah sebelum
panggilan salat itu datang. Sudah menjadi kebiasaan yang diajarkan orang tuanya
untuk pulang atau berhenti bermain saat azan Magrib. Kalau tidak pulang ke
rumah, ia berhenti di rumah temannya, atau salat di masjid. Beberapa bulan
terakhir opsi kedua dan ketiga lebih sering dilakukannya. Tapi hari ini
berbeda. Umi pulang ke rumah! Ia harus segera pulang dan menyambut Umi pukul
tujuh nanti.
Bergantian
Amsyar melihat jalan dan jam tangannya. Langit sudah redup, menyisakan sedikit
saja jingga pada ujung langit yang tertutup pohon dan bangunan. Bapak-bapak
bersarung terlihat berduyun menuju masjid. Ada yang jalan kaki, juga ada yang
bermotor. Zikir petang sudah mencapai akhirnya, begitu pula dengan ceramah
sebelum Magrib atau tartil ayat-ayat Al-Qur’an. Amsyar kembali menaikkan
kecepatan. Ia ingin segera pulang dan membasahi tubuhnya yang lengket oleh
keringat. Tak mungkin juga ia salat dalam keadaan kotor dan hanya berbaju
jersey.
Selain
ingin pulang sebelum Magrib, pikirannya pun terbagi oleh bayangan Umi. Ia sudah
terlalu rindu dan hanya bisa meratapi wajah kesayangan itu lewat foto saja.
Bahkan untuk videocall, Umi terlalu sibuk. Sesekali berbalas pesan
singkat. Benar-benar singkat. Kini ia bertanya pada diri sendiri, harus bicara
apa nanti ketika bertemu? Akankah canggung hadir di pertemuan mereka?
Kiiit…brak!
***
Lutut
yang tak terlindungi dengan celana panjang menjadi sasaran aspal kasar. Begitu
pula dengan lengan yang hanya tertutup sampai siku. Darah bercucuran, membuat
titik-titik pada jalan yang menjadi tempat kejadian perkara. Kepala yang juga
tak terlindungi helm, ikut merasakan sakitnya mencium aspal. Beruntung hanya
satu orang yang menjadi korban. Beruntung tak ada adu kendaraan, hingga yang
rusak pun hanya motor kesayangan Amsyar.
Sambil
sedikit pincang, Amsyar menyelamatkan dirinya ke pinggir jalan. Dibantu pula
oleh beberapa orang yang hendak pergi ke masjid. Azan sudah berkumandang,
misinya gagal untuk sampai rumah sebelum Magrib. Tangan kiri yang paling parah
menopang tubuh dan sedikit tergeser dengan aspal berbatu terus mengeluarkan
darah. Ia meraih hape, segera menghubungi Dodot dan Aiman.
“Bang,
kecelakaan nih. Bantu aku dong,” ucapnya tanpa rasa sakit.
“Posisi?”
“Belokan
ke rumahku, dekat masjid,” jawabnya singkat.
“Otewe.”
Nasib
memang, saat sedang menaikkan kecepatan motor hitamnya ia tidak melihat dari
arah belokan rumahnya seorang ibu-ibu melesat tanpa lampu sen dinyalakkan.
Hampir saja terjadi tabrakan yang pasti akan lebih rumit lagi nantinya. Amsyar
dengan cepat membanting stir, dan dirinya sendiri hingga terjatuh dan penuh
luka-luka. Sedangkan ibu-ibu tadi melirik sebentar lantas berlalu seperti itu
bukan salahnya. Ya, salah Amsyar sendiri kenapa membanting motornya!
Yamaha
klasik hitam peninggalan Abinya terlihat cukup mengenaskan. Ia lebih khawatir
dengan motornya daripada tubuh yang berlumur darah. Lampu bulat yang berada di
depan pecah. Stang motor miring dan sedikit peot, membuatnya tak lagi gagah.
Permukaan aspal yang tak mulus seperti wajah para gadis dengan rentetan krim
perawatan membuat baretan panjang sebesar telapak tangan pada tangki bahan
bakar. Merk motor yang terpampang menjadi sulit terbaca. Kilauan cat metalik
hitam yang selalu indah, kini pudar dan butuh biaya besar untuk mengembalikan
keelokannya.
Amsyar
mengutuk dirinya, juga ibu-ibu tadi yang membuat ia harus membanting stir. Atau
lebih tepatnya membanting stang motor. Kali ini luka yang cukup parah membuat
Amsyar juga meringis kesakitan. Obat tetes betadine diberikan pada luka
di lengan dan lututnya. Demikian pula pada dahi, walau tak parah. Beruntung
sekali ada bapak-bapak yang dengan sabar dan tanpa mengejar salatnya, mau
membantu Amsyar. Hingga lima menit kemudian, Dodot dan Aiman datang. Wajah
keduanya pias melihat motor yang rusak di sisi kiri. Namun saat diarahkan
pandang ke Amsyar mereka kembali pada tabiat masa kecil. Apalagi kalau bukan
menertawakan orang yang jatuh.
“Hahaha,
gimana ceritanya, Syar?” tanya Aiman setelah puas menertawai Amsyar.
Bapak
bersarung putih sebelumnya sudah pamit untuk salat. Ia merasa sudah ada
penolong lain yang punya lebih banyak waktu pun lebih bisa membantu. Amsyar tak
lupa berterima kasih banyak dan minta maaf karena telah merepotkan. Setelahnya
barulah ia menjawab pertanyaan kawannya yang kurang ajar itu.
“Bawa
aku pulang dulu, sama motor itu juga. Cerita di rumah aja, lah. Ini belum salat
Magrib pula,”
“Man,
kau yang bawa motornya,” Dodot melemparkan kunci motor yang terletak di dekat
Amsyar.
“Masih
jalan nih, motor?” Aiman bertanya sanksi.
“Insya
Allah. Kalau enggak jalan di-step aja, ah sakit bener Bang,”
“Siap!”
ucap Aiman, “kau bisa jalan?”
“Bisa,
ah aduh,”
Tanpa
diminta, Aiman segera merangkul Amsyar, sedangkan Dodot sudah siap di motor
yang akan membawa mereka ke rumah korban.
“Makasih,”
Amsyar berkata lirih setelah dirinya berhasil duduk di jok motor.
“Udah
siap, Syar?” tanya Dodot.
“Heh,
harusnya tanya ke aku, dong. Ini motor Amsyar enggak nyala-nyala dari tadi,”
“Engkolnya
lima kali,”
Tak
lama setelah mengikuti saran Amsyar, motor Yamaha SR400 keluaran tahun dua ribu
sembilan melaju perlahan dan sedikit tersendat. Hingga akhirnya Aiman menyerah
dan meminta Dodot untuk membantu mendorong motor. Dengan cara di-step tentunya.
***
“Syar,
ini buatmu,” ucap seorang gadis kelas dua belas sambil menyodorkan kotak kue
berukuran kecil.
“Semoga
suka, ya. Itu buatanku sendiri, rencananya mau bikin bisnis habis SMA. Tapi
kalau kau suka, nanti tak perlu bayar. Aku bikinin tiap hari, deh,” lanjutnya
dengan sedikit malu-malu.
Gadis
itu memainkan rambutnya yang panjang. Dengan bibir yang merah seperti stroberi
ia masih menyempatkan bicara bersama Amsyar. Beruntung kali ini laki-laki itu
mau meladeni usahanya yang kesekian kali untuk menjadi pacar atau minimal
perempuan yang dirumorkan dekat dengan Amsyar.
“Cepat
sembuh, ya Syar. Aku kangen sama motor hitammu itu,” katanya setelah melihat
beberapa perban yang tak bisa ditutupi dengan seragam sekolah.
“Makasih,
La. Tapi nanti kalau ketemu enggak perlu bawa makanan atau hadiah lagi. Aku
enggak enak nerima terus dari kamu,” tukas Amsyar.
“Kalau
kamu enggak enak nerima terus, balas perasaanku deh,” Laila berkata centil.
“Kalau
itu sulit, hahaha,” canda Amsyar, walau sebenarnya ia serius.
“Gampang,
kok tinggal…”
“Syar,
bagi jawaban nomor lima, dong!”
Suara
yang tegas itu berasal dari kursi belakang. Bagi Amsyar itu bukanlah suatu hal
yang mengesalkan, melainkan sebuah tangan yang siap menolongnya dari percakapan
dengan Laila. Tanpa mau mendengarkan lebih lanjut ucapan Laila, Amsyar
membalikkan tubuhnya dan memberikan buku fisika. Bukan hanya itu, dirinya
bahkan mengajarkan beberapa cara yang tertulis, memberi contoh, dan apa pun
yang bisa menjadi alasan Laila merasa malas bicara lagi. Sekitar satu menit
mengalihkan perhatian ke temannya, ia kemudian berpura-pura sadar dengan
kehadiran gadis yang senang sekali mengejarnya dengan terang-terangan.
“Eh,
kenapa tadi? Maaf Renai minta jelasin caranya juga,”
“Engga
jadi, deh. Kalian mau belajar, ya, hahaha anak IPA memang beda,” kata Laila.
Matanya menatap sinis ke arah Renai yang terus mengerjakan soal.
“Iya,
kami ada tugas, nih. Harus dikumpul habis jam istirahat. Maaf, ya Laila.”
“Oke,
dah Amsyar! Kabari, ya kalau kuenya enak. Nanti kubuat banyak-banyak untukmu!”
Laila
membalikkan tubuhnya dan berjalan menuju luar kelas. Seragam yang tak pernah
diganti sejak kelas satu SMA, menciptakan lekuk-lekuk tubuh yang dicintai kaum
pria. Kecuali Amsyar mungkin. Laki-laki satu ini memang agak beda. Kecantikan
dan kepopuleran Laila sudah terdengar sampai ke sekolah menengah atas yang
lain. Tapi tetap saja Amsyar tak mudah digoyahkan. Tangan Laila yang lentik
sebagai penari juga lihai membuat aneka masakan. Wajahnya yang punya keturunan
India, dengan hidung mancung dan kulit coklat yang indah tak mampu menaklukkan
hati Amsyar. Andai Laila berhenti mengejar-ngejar Amsyar, pastilah antrian
cowok populer bersedia menjadi pacarnya.
Amsyar
melanjutkan tulisan di buku catatan. Ia bahkan tidak sampai habis melihat
kepergian sang Dewi Penari di sekolahnya itu. Malah kawannya yang laki-laki
menyempatkan sapaan basa-basi.
Mata
Amsyar melihat ke arah kotak kue berwarna merah muda dengan surat di atasnya.
Hanya bertuliskan gombalan dan ajakan makan kapan-kapan. Bukannya mengingatkan
dengan Laila, ia malah membalikkan badannya.
“Ren!”
serunya dengan bersemangat.
“Apa
sih, ah! Ngejutin aja,” ucap Renai ketus.
“Yaelah,
gitu doang kaget,” canda Amsyar, “nih, kue sebagai ucapan terima kasih.”
Renai
menghentikkan tulisannya. Ia lantas menatap Amsyar dengan tak percaya. Alisnya
terangkat satu.
“Gila
kau. Itukan kue dari Laila ngapain kasih ke aku? Kau kira aku cewek apaan?”
“Hah,
kok malah marah, sih?”
“Iya,
lah! Kalau dikasih orang itu diterima, jangan dikasih sama orang lain. Enggak
enak tahu digituin,” omel Renai. Ia kembali menuliskan rumus-rumus fisika.
“Siap,
Ren. Tapi ini beneran aku kasih ke kamu bukan karena enggak menghargai Laila.
Aku emang enggak suka kue,”
“Jangan
ke aku juga, Syar. Minimal kau makanlah sama kawan-kawan kau,” kata Renai lebih
lembut dari sebelumnya.
“Kau
juga kawanku, kan?” tanya Amsyar merasa tak salah.
Renai
mengalihkan pandang sejenak ke Amsyar. Tak ada ekspresi yang diberikan kepada
lawan bicaranya itu. Datar saja. Amsyar menatap balik lewat kacamata kotaknya.
Mereka beradu, tapi dengan cepat Amsyar menyerah.
“Ck,
kalau gitu…makasih tadi udah nolongin,” ujar Amsyar.
Sepersekian
detik kemudian Renai tertawa. Kencang sekali sampai orang-orang di kelas
melihat ke arah mereka berdua. Wajah Renai sampai merah dibuatnya sendiri.
Sedikit bulir air menetes lewat mata kanan. Disekanya air itu sambil kembali
melihat Amsyar yang bingung.
“Orang
aku memang mau minta jawaban, bukan mau nolongin kau,” sangkal Renai. Sedikit
tawa lagi-lagi tercipta.
“Enggak
lucu, Ren,” ungkap Amsyar.
Setelah
menerima tawa dan fakta dari Renai, ia kembali ke posisi duduknya yang benar.
Padahal yakin sekali Amsyar bahwa permintaan tolong tadi sengaja dilontarkan
Renai untuk menyelamatkannya.
Ada
beberapa fakta yang menguatkan argumen Amsyar. Pertama tentunya karena soal
fisika yang ditanyakan tadi terbilang mudah untuk Renai. Bahkan sebelumnya ia
menjelaskan rumus itu di depan kelas. Kedua karena Amsyar pernah bercerita
dengan gadis berjilbab itu bahwa ia tidak suka dikejar-kejar cewek, apalagi
Laila. Ketiga karena Renai juga pernah bercerita dengan Amsyar bahwa ia tidak
suka Laila. Katanya karena Laila saat aktif menjabat menjadi OSIS jarang
berkontribusi. Saat ditegur MPK malah memutarbalikkan fakta dan tidak terima.
Tapi
sudahlah, Amsyar malas berdebat dengan Renai. Dari pada memperpanjang urusan
lebih baik ia mengerjakan soal-soal fisika. Ia suka sekali pelajaran ini.
Cita-citanya jadi fisikawan, atau anak teknik elektro. Nilainya tak pernah
mencapai angka tujuh. Selalu berada di atas KKM. Tentunya dengan cepat ia
menyelesaikan empat soal yang tadi sempat tertunda oleh kehadiran Laila.
Saat
sudah selesai, apa yang Amsyar lakukan? Biasanya dia akan ikut main futsal
sebentar di lapangan. Kalau tidak ada orang dia akan jajan di kantin bersama
Dodot dan Aiman. Dulu sekali ia hobi berkeliling sekolah untuk tebar pesona,
menurut Renai. Wajar karena Amsyar adalah seorang wakil ketua OSIS yang
pamornya lebih dari ketua OSIS. Sayangnya dengan kaki yang agak pincang akibat
tabrakan tiga hari yang lalu, ia malas pergi dari tempat duduk. Amsyar biasa
menitip jajanan atau menggunakan otak dan tangannya untuk menghasilkan
puisi-puisi. Kalau tidak dari dua opsi itu, masih ada kegiatan lain. Antara
tidur atau bicara dengan Renai.
Opsi
terakhir menjadi pilihannya.
“Ren,”
“Apa?”
tanya Renai yang masih pusing mengotak-atik angka.
“Biasanya
kau pulang naik angkot, kan?”
“Iya,”
jawab Renai singkat.
“Ikut,
dong.”
“Ikutlah,”
“Angkot
yang mana? Mahal enggak?”
“Entah,
terserah kau saja,”
“Hari
ini kau naik angkot?”
“Enggak,”
“Kenapa?”
Tak
terdengar lagi jawaban dari Renai. Amsyar tersenyum jahil. Biasanya saat sudah
tidak menjawab pertanyaan atau pernyataan darinya, Renai sudah mulai kesal.
Bukan pula merasa cukup, Amsyar kembali mengajaknya bicara.
“Ren,”
panggil Amsyar tanpa membalikkan badannya.
Lagi-lagi
tak ada respon.
“Ren,”
ucap Amsyar, “Renai.”
“Ooh,
Renai,”
“Berisik,
tahu enggak sih! Aku enggak naik angkot atau naik angkot, ya bukan urusan kau.
Ini lagi pusing ngerjain fisika. Diam coba, atau kasih aku jawabannya!”
Komentar
Posting Komentar