“Peraturan
kedua. Kau boleh-boleh saja menyapa Amsyar, tapi jangan keseringan!”
Suara Renai terngiang-ngiang di
telinga Kirana. Padahal ini mata pelajaran geografi yang dia cinta sampai mati.
Tentu saja rasa cinta ini berbeda dengan yang dimilikinya kepada Amsyar. Renai
yang bicara dengan cueknya menghilangkan fokus kepada penuturan Pak Sutrisno
tentang pola keruangan kota.
“Maksudnya gimana, Ren?” tanya
Kirana setelah berpikir dalam tentang pernyataan Renai.
“Kau ingat saat di kantin? Kubilang
bahwa Amsyar suka sesuatu yang wajar, normal, dan tidak berlebihan,”
Kirana mengangguk, ingatan itu baru terjadi tiga hari yang lalu.
“Begitu juga ketika berinteraksi
dengan Amsyar. Kalau kau tak pernah menunjukkan kehadiranmu dia akan lupa.
Karena banyak sekali orang yang berusaha dekat dengannya dan ia pun tidak
peduli. Amsyar punya dunianya sendiri yang diisi orang-orang tertentu,” lanjut
Renai. Ia berhenti sejenak untuk mengunyah ayam geprek.
“Jadi aku harus bagaimana?” kejar Kirana
penasaran.
“Sapalah Amsyar, minimal dua kali
seminggu dan maksimal empat kali dalam seminggu,” ucapnya datar.
“Gila! Kayak mau minum obat aja ada
jadwalnya.”
Sebuah tangan menyentuh pundak.
Membuyarkan percakapan antara Kirana dengan Renai kala itu. Gadis dengan kuncir
hitam melihat ke arah datangnya sentuhan itu. Wajah kusam dengan garis tipis
yang terbentuk karena matanya yang semakin sipit, bahkan tak terlihat lagi bola
mata itu, memberikan cengiran. Giginya tak rapi, panjang dan pendek
bertabrakan. Satu gingsul di sisi kanan gusi.
“Ran, nanti kalau ada Pak Sutrisno
bangunin, ya. Aku mau tidur,” ucap Lingling tak merasa bersalah.
Padahal di depan jelas-jelas ada Pak
Sutrisno sedang menjelaskan gambar dan agaknya berdebat dengan Haris sang juara
kelas. Kirana mengangkat sikutnya. Dalam hati ia menggerutu. Dulu saat
pelajaran Bahasa Indonesia, panjang lebar Lilingling mengomel. Sekarang sama
saja!
***
Kirana membuang tas slempang ke atas
kasur. Lekas setelahnya melepaskan kaus kaki setinggi mata kaki, meletakkannya
di keranjang baju kotor. Maklum, sepasang kaus kaki itu sudah dipakai tiga
hari. Semestinyalah gadis itu menggantinya besok dengan yang baru.
Biasanya setiba di rumah Kirana akan
mengganti seragam dengan pakaian yang lebih nyaman. Tapi hari ini dirinya terlanjur
malas. Masih menggunakan seragam pramuka, mata bulat itu melihat ke
langit-langit kamar. Berbaring di atas kasur empuk dengan warna salem kesukaannnya.
Kuncir dilepaskan demi mendapat posisi yang lebih enak.
Di atas sana tertempel beberapa
bintang warna-warni yang dulu saat kecil Kirana tempel bersama ayahnya. Bintang
itu dituliskannya mimpi dengan huruf kecil-kecil. Ayahnya pernah berkata
manusia harus meletakkan impian di bintang, di langit. Maka yang bisa dilakukan
Kirana saat masih berusia enam tahun adalah membuat bintang dari kertas origami
lantas menempelkannya pada langit-langit kamar.
Hanya
sedikit yang diingatnya tentang mimpi-mimpi itu. Karena seiring berjalannya
waktu semuanya terseret dan hilang. Tak lagi berselera untuk bisa menggapainya.
Apalagi setelah dihadapkan dengan kenyataan dan restu yang tertolak.
Kirana tersenyum getir sambil
melihat bintang berwarna merah muda. Sedikit dari bintang-bintang yang ia ingat
pesannya.
‘Bertemu dengan pangeran tampan
dan menikah! Harus pintar juga, karena Ayah suka orang pintar’
Ia sudah bertemu dengan pangeran
tampan dan pintar itu. Hal yang saat ini sedang diupayakan adalah mendekatinya.
Lalu berpacaran dan menikah. Semua skenario itu persis seperti cerita romantis
putri kerajaan. Dengan bantuan Renai dia yakin sekali bisa menggapai mimpi itu
tanpa bertele-tele. Sebab Renai adalah orang yang tepat untuk dimintai
pertolongan terkait cinta. Lebih penting lagi ia adalah orang yang berada di
lingkaran pertemanan Amsyar. Yah, walaupun sebenarnya Renai sering menolak
kenyataan itu.
Sesuai dengan peraturan kedua,
Kirana tidak menyapa Amsyar hari ini. Karena jatah sapaan itu tinggal satu kali
lagi dalam minggu ini, sedangkan jumlah hari di sekolah masih ada esok hari saja.
Gadis ini berencana untuk menyapa besok sepulang sekolah. Sekaligus menanyakan
waktu kosong di akhir pekan. Agak melenceng memang dari penuturan Renai, tapi
biarlah.
Ia
juga ingin merasakan cinta SMA! Cinta yang tak perlu perhitungan, sekali
tembak, dan berbunga sebelum akhirnya di wisuda. Benar juga, wisuda adalah
momen yang penting. Ia harus berfoto dengan Amsyar. Pakaian terbaik segera
dibayangkannya. Foto itu pasti akan disimpan.
“Kirana! Kau sudah pulang?”
terdengar seruan dari ruang tengah, itu suara Ibunya.
“Iya, Bu!” balas Kirana dengan
berseru pula.
Klek,
Pintu kamar terbuka, “kebiasaan.
Kalau pulang enggak pakai salam dulu.”
“Assalammu’alaikum,” jawabnya
masih dengan posisi berbaring.
“Wa’alaikumussalam.
Malam ini kamu les,”
“Iya, Bu. Aku ingat, kok,”
“Ingat tapi jarang datang,” sindir
ibunya, “kau itu sudah kelas dua belas Kirana. Jangan main-main lagi, lah.
Nilai rapormu harus ditingkatkan lagi kalau mau masuk UI!”
“Aku enggak pernah bilang mau masuk
UI,” Kirana bangkit dari posisinya.
Mata Kirana bertemu dengan mata
ibunya. Keriput terlihat memenuhi wajah perempuan janda itu. Rambutnya jatuh
sebahu, beberapa berwarna putih. Tak ada senyum yang dilemparkan satu sama
lain. Perdebatan dimulai lagi.
“Ibu capek bicara dengan kau,
Kirana. Sampai kapan kita harus membahas ini?”
“Ibu tinggal berikan aku kesempatan
untuk mengambil jurusan dan kampus favoritku saja. Tidak usah memaksaku masuk
ke UI,” nada bicaranya berubah. Tak lagi cinta-cinta itu datang, ia sedang
serius saat ini.
“Kamu mau jadi apa di kehutanan?”
“Peneliti, atau membuat hutan-hutan
di masa depan,”
“Itu tidak menjamin…”
“Kalau begitu aku ambil meteorologi
saja. Aku tidak mau belajar hukum. Kalau Ibu memaksa, Ibu saja yang kuliah dan
jadi hakim atau jaksa!”
Usia yang tak lagi muda, tidak pula
melunturkan emosinya. Tajam diarahkan ke anak semata wayangnya. Harta berharga
terkahir yang ia miliki setelah sang suami meninggal enam tahun yang lalu dalam
kecelakaan proyek tambang. Suaminya seorang peneliti lingkungan, terkhususnya
bidang bumi, tanah, dan tambang. Kecelakaan itu menjadi trauma yang juga
memaksa Kirana untuk berhenti bercita-cita menjadi ahli geografi seperti sang
ayah. Tapi ia tak mau dipaksa berada pada jalur yang terlalu jauh. Ia tetap
cinta pada ilmu bumi itu sebagaimana ayahnya telah mengajari begitu dalam
tentang air, tanah, kota, bukit, hutan, iklim, bebatuan, dan banyak lagi.
“Kurasa kita sudah khatam membahas
hal ini, Kirana. Kau tetap mengambil jurusan hukum. Kau bisa jadi jaksa, hakim,
atau notaris. Kau juga bisa bekerja di instansi pemerintahan. Lebih luas
cakupannya. Masa depanmu terjamin. Itu yang paling dibutuhkan dunia, kau bisa
belanja banyak hal nantinya, kau bisa…”
“Aku tidak mau jadi kaya raya saja,
Bu!”
“Jangan memotong saat orang tua
bicara!”
Ibu dan anak itu meninggikan
suaranya. Semua berada di puncak. Tersulut sedikit langsung api membakar
segalanya. Terlebih Kirana baru saja pulang sekolah dan lelah untuk bicarakan
hal-hal berat. Ia berdiri, tubuhnya setinggi sang ibu. Masih dengan seragam
pramuka ia keluar dari kamar. Keluar dari rumah terserah ingin kemana saja.
“Kirana! Selesaikan dulu bicara
kita!”
“Kalau Ibu terus kukuh, buat apa
kita bicara?” ucap Kirana ketus.
Ibu Kirana berhasil menahan lengan
anaknya. Langkah Kirana terhenti sejenak. Dengan gusar ia melepaskan
cengkraman yang tak begitu kuat itu.
“Dengar,” matanya melihat ke gadis
usia enam belas tahun. Mirip sekali dengan sosok remajanya yang dulu.
Kirana membuang muka.
“Ibu sudah lama hidup di dunia ini
dan tahu mana yang lebih baik untukmu. Jangan mengulangi kesalahan yang
dilakukan ayahmu!”
Cukup. Kirana tak suka kalau ayahnya
dibawa-bawa. Ia segera berbalik dan tak lagi mendengar teriakan ibunya. Pergi
sesuka hati. Pergi kemana ia bisa menyembunyikan sakit dan tangisnya. Pergi ke
tempat biasa Kirana dan sang ayah bercerita. Dulu sekali.
Komentar
Posting Komentar