Langsung ke konten utama

Secret 4: Bintang

 

“Peraturan kedua. Kau boleh-boleh saja menyapa Amsyar, tapi jangan keseringan!”

            Suara Renai terngiang-ngiang di telinga Kirana. Padahal ini mata pelajaran geografi yang dia cinta sampai mati. Tentu saja rasa cinta ini berbeda dengan yang dimilikinya kepada Amsyar. Renai yang bicara dengan cueknya menghilangkan fokus kepada penuturan Pak Sutrisno tentang pola keruangan kota.

            “Maksudnya gimana, Ren?” tanya Kirana setelah berpikir dalam tentang pernyataan Renai.

          “Kau ingat saat di kantin? Kubilang bahwa Amsyar suka sesuatu yang wajar, normal, dan tidak berlebihan,”

            Kirana mengangguk, ingatan itu baru terjadi tiga hari yang lalu.

            “Begitu juga ketika berinteraksi dengan Amsyar. Kalau kau tak pernah menunjukkan kehadiranmu dia akan lupa. Karena banyak sekali orang yang berusaha dekat dengannya dan ia pun tidak peduli. Amsyar punya dunianya sendiri yang diisi orang-orang tertentu,” lanjut Renai. Ia berhenti sejenak untuk mengunyah ayam geprek.

            “Jadi aku harus bagaimana?” kejar Kirana penasaran.

           “Sapalah Amsyar, minimal dua kali seminggu dan maksimal empat kali dalam seminggu,” ucapnya datar.

            “Gila! Kayak mau minum obat aja ada jadwalnya.”

            Sebuah tangan menyentuh pundak. Membuyarkan percakapan antara Kirana dengan Renai kala itu. Gadis dengan kuncir hitam melihat ke arah datangnya sentuhan itu. Wajah kusam dengan garis tipis yang terbentuk karena matanya yang semakin sipit, bahkan tak terlihat lagi bola mata itu, memberikan cengiran. Giginya tak rapi, panjang dan pendek bertabrakan. Satu gingsul di sisi kanan gusi.

            “Ran, nanti kalau ada Pak Sutrisno bangunin, ya. Aku mau tidur,” ucap Lingling tak merasa bersalah.

            Padahal di depan jelas-jelas ada Pak Sutrisno sedang menjelaskan gambar dan agaknya berdebat dengan Haris sang juara kelas. Kirana mengangkat sikutnya. Dalam hati ia menggerutu. Dulu saat pelajaran Bahasa Indonesia, panjang lebar Lilingling mengomel. Sekarang sama saja!

***

            Kirana membuang tas slempang ke atas kasur. Lekas setelahnya melepaskan kaus kaki setinggi mata kaki, meletakkannya di keranjang baju kotor. Maklum, sepasang kaus kaki itu sudah dipakai tiga hari. Semestinyalah gadis itu menggantinya besok dengan yang baru.

            Biasanya setiba di rumah Kirana akan mengganti seragam dengan pakaian yang lebih nyaman. Tapi hari ini dirinya terlanjur malas. Masih menggunakan seragam pramuka, mata bulat itu melihat ke langit-langit kamar. Berbaring di atas kasur empuk dengan warna salem kesukaannnya. Kuncir dilepaskan demi mendapat posisi yang lebih enak.

            Di atas sana tertempel beberapa bintang warna-warni yang dulu saat kecil Kirana tempel bersama ayahnya. Bintang itu dituliskannya mimpi dengan huruf kecil-kecil. Ayahnya pernah berkata manusia harus meletakkan impian di bintang, di langit. Maka yang bisa dilakukan Kirana saat masih berusia enam tahun adalah membuat bintang dari kertas origami lantas menempelkannya pada langit-langit kamar.

Hanya sedikit yang diingatnya tentang mimpi-mimpi itu. Karena seiring berjalannya waktu semuanya terseret dan hilang. Tak lagi berselera untuk bisa menggapainya. Apalagi setelah dihadapkan dengan kenyataan dan restu yang tertolak.

            Kirana tersenyum getir sambil melihat bintang berwarna merah muda. Sedikit dari bintang-bintang yang ia ingat pesannya.

            ‘Bertemu dengan pangeran tampan dan menikah! Harus pintar juga, karena Ayah suka orang pintar’

            Ia sudah bertemu dengan pangeran tampan dan pintar itu. Hal yang saat ini sedang diupayakan adalah mendekatinya. Lalu berpacaran dan menikah. Semua skenario itu persis seperti cerita romantis putri kerajaan. Dengan bantuan Renai dia yakin sekali bisa menggapai mimpi itu tanpa bertele-tele. Sebab Renai adalah orang yang tepat untuk dimintai pertolongan terkait cinta. Lebih penting lagi ia adalah orang yang berada di lingkaran pertemanan Amsyar. Yah, walaupun sebenarnya Renai sering menolak kenyataan itu.

            Sesuai dengan peraturan kedua, Kirana tidak menyapa Amsyar hari ini. Karena jatah sapaan itu tinggal satu kali lagi dalam minggu ini, sedangkan jumlah hari di sekolah masih ada esok hari saja. Gadis ini berencana untuk menyapa besok sepulang sekolah. Sekaligus menanyakan waktu kosong di akhir pekan. Agak melenceng memang dari penuturan Renai, tapi biarlah.

Ia juga ingin merasakan cinta SMA! Cinta yang tak perlu perhitungan, sekali tembak, dan berbunga sebelum akhirnya di wisuda. Benar juga, wisuda adalah momen yang penting. Ia harus berfoto dengan Amsyar. Pakaian terbaik segera dibayangkannya. Foto itu pasti akan disimpan.

            “Kirana! Kau sudah pulang?” terdengar seruan dari ruang tengah, itu suara Ibunya.

            “Iya, Bu!” balas Kirana dengan berseru pula.

            Klek,

            Pintu kamar terbuka, “kebiasaan. Kalau pulang enggak pakai salam dulu.”

            Assalammu’alaikum,” jawabnya masih dengan posisi berbaring.

            Wa’alaikumussalam. Malam ini kamu les,”

            “Iya, Bu. Aku ingat, kok,”

            “Ingat tapi jarang datang,” sindir ibunya, “kau itu sudah kelas dua belas Kirana. Jangan main-main lagi, lah. Nilai rapormu harus ditingkatkan lagi kalau mau masuk UI!”

            “Aku enggak pernah bilang mau masuk UI,” Kirana bangkit dari posisinya.

            Mata Kirana bertemu dengan mata ibunya. Keriput terlihat memenuhi wajah perempuan janda itu. Rambutnya jatuh sebahu, beberapa berwarna putih. Tak ada senyum yang dilemparkan satu sama lain. Perdebatan dimulai lagi.

            “Ibu capek bicara dengan kau, Kirana. Sampai kapan kita harus membahas ini?”

            “Ibu tinggal berikan aku kesempatan untuk mengambil jurusan dan kampus favoritku saja. Tidak usah memaksaku masuk ke UI,” nada bicaranya berubah. Tak lagi cinta-cinta itu datang, ia sedang serius saat ini.

            “Kamu mau jadi apa di kehutanan?”

            “Peneliti, atau membuat hutan-hutan di masa depan,”

            “Itu tidak menjamin…”

            “Kalau begitu aku ambil meteorologi saja. Aku tidak mau belajar hukum. Kalau Ibu memaksa, Ibu saja yang kuliah dan jadi hakim atau jaksa!”

           Usia yang tak lagi muda, tidak pula melunturkan emosinya. Tajam diarahkan ke anak semata wayangnya. Harta berharga terkahir yang ia miliki setelah sang suami meninggal enam tahun yang lalu dalam kecelakaan proyek tambang. Suaminya seorang peneliti lingkungan, terkhususnya bidang bumi, tanah, dan tambang. Kecelakaan itu menjadi trauma yang juga memaksa Kirana untuk berhenti bercita-cita menjadi ahli geografi seperti sang ayah. Tapi ia tak mau dipaksa berada pada jalur yang terlalu jauh. Ia tetap cinta pada ilmu bumi itu sebagaimana ayahnya telah mengajari begitu dalam tentang air, tanah, kota, bukit, hutan, iklim, bebatuan, dan banyak lagi.

            “Kurasa kita sudah khatam membahas hal ini, Kirana. Kau tetap mengambil jurusan hukum. Kau bisa jadi jaksa, hakim, atau notaris. Kau juga bisa bekerja di instansi pemerintahan. Lebih luas cakupannya. Masa depanmu terjamin. Itu yang paling dibutuhkan dunia, kau bisa belanja banyak hal nantinya, kau bisa…”

            “Aku tidak mau jadi kaya raya saja, Bu!”

            “Jangan memotong saat orang tua bicara!”

            Ibu dan anak itu meninggikan suaranya. Semua berada di puncak. Tersulut sedikit langsung api membakar segalanya. Terlebih Kirana baru saja pulang sekolah dan lelah untuk bicarakan hal-hal berat. Ia berdiri, tubuhnya setinggi sang ibu. Masih dengan seragam pramuka ia keluar dari kamar. Keluar dari rumah terserah ingin kemana saja.

            “Kirana! Selesaikan dulu bicara kita!”

            “Kalau Ibu terus kukuh, buat apa kita bicara?” ucap Kirana ketus.

            Ibu Kirana berhasil menahan lengan anaknya. Langkah Kirana terhenti sejenak. Dengan gusar ia melepaskan cengkraman yang tak begitu kuat itu.

            “Dengar,” matanya melihat ke gadis usia enam belas tahun. Mirip sekali dengan sosok remajanya yang dulu.

            Kirana membuang muka.

            “Ibu sudah lama hidup di dunia ini dan tahu mana yang lebih baik untukmu. Jangan mengulangi kesalahan yang dilakukan ayahmu!”

            Cukup. Kirana tak suka kalau ayahnya dibawa-bawa. Ia segera berbalik dan tak lagi mendengar teriakan ibunya. Pergi sesuka hati. Pergi kemana ia bisa menyembunyikan sakit dan tangisnya. Pergi ke tempat biasa Kirana dan sang ayah bercerita. Dulu sekali.


 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi : Novel Nebula Karya Tere Liye

Novel “NEBULA” Karya Tere Liye :  Rahasia Pengintai Terbaik dan Kembalinya Musuh Lama Oleh : Lubna Anfaresi Judul                : NEBULA Penulis             : Tere Liye Penerbit             : Gramedia Pustaka Utama Kota Terbit       : Jakarta Cetakan II        : April 2020 Ketebalan         : 376 halaman Pendahuluan             Serial Bumi merupakan salah satu serial yang dikeluarkan oleh penulis Tere Liye dan berhasil menarik minat pembaca di tanah air. Serial fantasi ini sudah memiliki sembilan seri dengan seri terbaru berjudul “NEBULA”. Sama seperti seri sebelumnya yang berjudul “SELENA”, seri ke-9 ini menceritakan kisah dari sudut pandang Selena sebaga...

Masak, Makan, Lempah Kuning

  Masak, Makan, Lempah Kuning “Wew, banyak kenek ge. Basing ka lah pon!” [1]             Ucapan dari Ami, gadis Bangka yang sudah kutemui sejak lima hari bertugas di daerah ini, terus terngiang di antara malam-malam sepi di kamar berukuran lima kali tujuh meter. Suaranya begitu tinggi, mencekam, dan rasanya penuh kebencian. Raut wajahnya yang mengerut itu terus terbayang, juga ucapan dengan bahasa yang aku tidak mengerti sama sekali. Jauh dari mal perbelanjaan, kafe yang selalu ramai, atau sekadar lalu lintas kota Yogya, aku terjebak sampai sembilan hari kedepan untuk mengerjakan tugas kuliahku di sini. Aku tidur menumpang kepada salah satu warga kenalan kawan kuliahku, yang juga berasal dari Bangka. Katanya itu adalah rumah seperadik [2] -nya. Pintu kamar yang menjadi tempat tidurku sementara tiba-tiba diketuk dari luar. Aku menghela napas, mencoba meraih gagang pintu dan membiarkan sinar lampu di ruang tengah masuk ke d...

Nugget

Pernah berpikir untuk masak nugget goreng yang dicocol dengan cuko ? Itu yang Bene lakukan. Aneh, iya. Tapi Bene tidak akan peduli dengan komentar orang, karena toh dia sekarang ada di kontrakannya. Sendirian. Setelah berkutat dengan kertas-kertas laporan praktikumnya selama satu semester, Bene bisa beristirahat sejenak. Gadis itu tidak pergi ke luar kontrakannya, kecuali untuk membeli makan atau bahan masakan. Keinginannya untuk naik gunung setiap liburan juga harus kandas. Alasanya sederhana, karena ia tidak punya teman untuk naik ke atas sana. Jika kalian semua mendorong gadis itu untuk pergi sendiri,             “Terima kasih.” Dua kata itu akan keluar dari bibirnya yang sedikit kering. Saran dari kawan-kawan dekatnya, biarkan saja Bene asyik dengan dunianya. Ia bisa saja pergi ke Bandung sekarang juga, atau ke Jakarta. Tapi buat apa? Ia tidak mau menghabiskan lebih banyak uang beasiswa yang baru cair satu pekan lalu...