Langsung ke konten utama

Secret 5: Cerita Sore

 

Motor kesayangan terpakir di depan kios yang tutup. Penunggangnya menghadap ke jalanan yang ramai dengan lalu-lalang orang pulang. Seragam pramuka masih dikenakan, buku dan pena dikeluarkan. Mata diistirahatkan dengan pemandangan langit yang tertutup bangunan. Burung walet beterbangan ikut meramaikan lalu lintas. Hinggap mereka pada bangunan tinggi yang sudah disiapkan khusus.

Amsyar mengedarkan pandang ke arah lainnya. Ia mencari kalimat dalam gedung kebudayaan yang selalu menjadi tempatnya mengarang. Mulailah ia dengan sebuah pot berbunga bugenvil warna merah muda. Lihai tangannya menulis di buku kumpulan puisi dan sajak yang selalu ia bawa ke sekolah. Kemudian tinta hitam itu menggambarkan sosok yang entah mengapa cocok disandingkan dengan kelopak tipis milik bugenvil. Ia tak menyuratkan namanya dalam puisi karangan. Namun sosok itu berkelebat dalam pikiran dengan senyum yang jarang diberikan.

‘Dilarang merusak’

Sungguhlah tepat tanda peringatan itu

Pada bunga yang rapuh

Terpikat tuk milikimu, sungguh

            Pot berwibawa menyatakan bahwa

Aku harus lewati kantor polisi jika ingin mencuri

Atau berunding dengan pemerintah

Sebab ingin kupecahkan, ingin kupindahkan

Ke rumahku yang lebih nyaman

            Amsyar terbiasa menuliskan kalimat cinta, bahkan ketika ia tidak jatuh cinta. Tapi saat ini ia pun bingung mengapa puisi yang dibuatnya seakan milik seseorang yang akhir-akhir ini semakin sering berinteraksi dengannya. Ah, bukan karena berinteraksi, mereka sudah melakukannya sedari dulu. Melainkan semakin sering membuat Amsyar salah tingkah dalam tiap pertemuan.

            Matahari menembak dengan sinar emasnya ke kolam berbentuk lingkaran. Di tengahnya berdiri tiga pejuang yang entah siapa namanya, tak ada yang memberi tahu Amsyar. Kini Amsyar sudah berjalan untuk mencari sudut pandang yang berbeda. Ia telah merampungkan satu puisinya yang kelak akan diberikan pada kawan kepercayaan. Kawan yang selalu rela meluangkan waktunya untuk membaca karya Amsyar dan berdiskusi topik-topik menarik. Padahal orang lain jarang untuk membahas hal itu, tapi kawan yang satu ini selalu bersemangat dan menularkan semangatnya kepada Amsyar.

            Dalam ketenangan sore di sepinya tengaran, seorang gadis turun dari angkot dengan tergesa-gesa. Ia melenggang dengan langkah kasar ke sebuah bangku yang terkelupas catnya. Bulir-bulir turun dari matanya dengan deras dan membuat hidung gadis itu merah. Ia melepas kuncirnya dan menyembunyikan muka dari pengemudi di jalan. Padahal tak perlu gadis itu lakukan, karena di antara orang yang sibuk dengan kendaraannya tidak ada yang mau menoleh dan berbelas kasih kepada dirinya.

            Sayangnya, Amsyar tidak sedang mengemudi motor klasik yang selesai diperbaiki kemarin sore. Dia menyaksikan dari awal gadis itu turun dari angkot kuning dengan wajah yang basah oleh air mata. Pun Amsyar merasakan jalannya yang tak sabar dan penuh kesal. Ia kenal gadis itu. Gadis yang selalu menguncir rambutnya hingga menampilkan leher jenjang berkalung emas putih. Terlihat pula anting mungil berbentuk bintang di telinga yang sedikit runcing pada ujung atas, mirip karakter peri di dunia fantasi.

             Kirana, demikian gadis itu berkenalan dengannya beberapa waktu lalu. Dimandikan sinar sore yang menyengat, ia tetap teguh duduk di kursi taman. Kini wajahnya terangkat dan fokus pada tiga patung pejuang. Kirana yang Amsyar kenal selalu tersenyum ketika bertemu, namun kali ini gadis iu memberikan kesan yang baru. Rambut ikal menyentuh punggung yang terlapis seragam pramuka. Leher dan telinganya tak lagi bisa menampilkan asesoris khasnya. Mata yang tebal masih terus mengucurkan emosi yang ditahan. Bahkan Amsyar merasa ada kerinduan yang menjerit dari kusutnya tapilan Kirana.

            Laki-laki pecinta angka dan kata itu menunggu di gedung budaya yang beratap limas. Ia berjalan tanpa tujuan, sesekali melirik kondisi Kirana. Dalam pikirannya ia memantapkan untuk menemui gadis itu jika sudah tepat waktu dan kondisi. Amsyar membiarkan Kirana larut dalam emosi dan menetralkan diri. Sebagaimana ia juga melakukannya di kios tadi.

            Jam tangan Amsyar sudah menunjukkan pukul lima lewat lima sore. Tapi jam itu sengaja ia pasang lebih cepat sepuluh menit. Setelah cukup memberikan ruang dan waktu kepada Kirana, Amsyar merasa inilah saatnya untuk menyapa. Ia juga ingin bertanya sedikit tentang kondisi gadis itu, dan jika Kirana berkenan untuk bercerita maka ia bersedia untuk mendengar.

            Awan telah berbaik hati menghalang matahari dan panasnya. Kini langit biru menjadi teduh. Amsyar membawa kedua kaki dengan santai ke arah Kirana. Awalnya ia ingin mengendap-endap untuk mengejutkan, tapi dirasanya hal itu tak perlu. Pandangan mata Amsyar lurus ke arah Kirana. Berkebalikan dengan kawan satu sekolahnya yang masih asik melihat patung, kendaraan, dan jalan yang lenggang karena orang-orang sudah sampai di tempat tujuan.

            Sebenarnya ini pertama kali Amsyar mendekati perempuan dan bicara hanya berdua. Ah, padahal belum pula bicara, tapi Amsyar sudah merasa gundah. Ia tak bisa bicara dengan gadis-gadis di tempat sepi yang hanya memungkinkan dialog antara mereka. Amsyar memang laki-laki top di sekolahnya dan ia biasa bicara dengan banyak orang. Kalaupun mereka perempuan, Amsyar meyakinkan ia bersama orang lain atau topik yang dibicarakan memang penting. Dia memang pemuda yang ramah dengan siapa pun. Tapi seingatnya tak ada perempuan yang mampu membuatnya betah bicara berdua tanpa tujuan yang jelas.

            Amsyar memainkan rambutnya. Kacamata dengan lensa kotak yang besar juga ia rapikan. Kini tubuh tingginya sudah berada di samping bangku tempat Kirana duduk. Ia mendorong dirinya untuk mulai menyapa, seperti biasa yang ia lakukan pada kawan-kawan di sekolah.

            “Sore,” sapanya dengan suara tercekat.

            Kirana yang tidak menyadari kehadiran Amsyar sedari tadi menjadi terkejut. Ia membeku dan tak tahu harus menjawab apa. Sepersekian detik, dunia berhenti di antara mereka berdua. Saling tatap keduanya.

            “Ah, aku dari tadi melihat kau sendiri di sini. Kau Kirana teman Renai, kan?” tanya Amsyar berbasa-basi.

         Tak ada jawaban yang diberi Kirana melainkan tengadah wajah. Ia seakan melupakan masalahnya dan kini terpikat pesona sang primadona. Matanya melotot tak percaya dan mulutnya terbuka. Gadis itu bingung hendak merespon apa. Amsyar juga dibuatnya bingung harus bertindak apa. Tapi untunglah Amsyar yang sering berhadapan dengan orang-orang mulai paham alur cerita. Ia menyalakan mode ramah tamah dan mencoba membuat Kirana nyaman dengan kehadiran dirinya. Walaupun jauh di lubuk hati, Amsyar juga merasa kacau.

            “Sebentar lagi sudah jam lima, kau tidak dicari ibumu sore-sore belum pulang?” tanya Amsyar sambil berjalan ke sisi kanan Kirana.

            “Ti…tidak juga. Aku tadi sudah pulang, kok. Tapi pergi lagi,”

            “Syukurlah kau sudah bisa menjawab. Kukira aku akan terus mengobrol dengan patung nantinya,”

            Kirana tertawa kecil, “aku bukan patung, hanya kaget saja. Tapi kalau kau mau bicara dengan patung, bicara saja dengan mereka,” ucapnya menunjuk ke ikon tengaran.

            “Ngomong-ngomong aku boleh duduk di sini?”

            “Ah…eh tentu saja!” Kirana menggeser tubuhnya. Membiarkan tempat lebar untuk Amsyar duduk.

            “Aku suka datang ke sini. Biasanya kalau tidak main futsal sama Dodot dan Aiman, aku ke sini untuk menulis atau menikmati pemandangan,” cerita Amsyar setelah meletakkan pantatnya di bangku, “walaupun ribut, tapi pemandangan sore seperti ini memberikanku banyak inspirasi juga rasa tenang. Kadang juga aku ke sini pagi hari untuk mendapatkan suasana yang berbeda. Tempatnya sepi di tengah ramai. Sama seperti rasa yang hadir pada diriku.”

            Sebuah motor dengan suara knalpot yang kencang membawa konsentrasi kedua insan itu. Amsyar dan Kirana tidak bicara sampai motor dan pengendaranya hilang diujung jalan. Keduanya sepakat untuk mengomentari asap yang keluar begitu hitam dan seharusnya motor itu tak lagi dipakai di jalanan.

            “Kau ngapain ke sini, Ran? Baru pertama kali kulihat ada orang lain yang ke sini, sendirian pula.”

            Amsyar kembali mengarahkan percakapan setelah berkomentar motor dan knalpot. Ia benar-benar penasaran, situasi macam apa yang membawa Kirana ke sini dengan wajah gusar.

Sebelum menjawab, Kirana membetulkan duduknya. Ia juga melihat sekeliling dan pada akhirnya kembali menatap patung pejuang dengan kosong. Kirana menghirup napas dalam, mengembuskannya dengan suara kecil. Pikir Amsyar, alasan ini pasti sulit sekali untuk diceritakan. Amsyar merasa bersalah sudah bertanya. Tapi penyesalan itu sudah terlambat, karena tak lama Kirana membuka bibirnya.

            “Aku…hanya rindu ayah,”

            Hening kembali menyergap. Suara-suara kendaraan mendadak hilang. Tenggorokan Amsyar menjadi gatal dan butuh minum, padahal tak ada penjual yang mau menjajakan air mineral. Ia berhenti menatap patung yang gagah berdiri, memalingkan wajah pada gadis di sebelahnya. Rambut hitam yang panjang itu disisipkan Kirana pada telinga runcingnya. Amsyar jadi bisa memandang lekat seluruh fitur wajah yang kemerahan.

            “Ayah selalu mengajakku ke sini. Bukan, ke sini juga, sih,” Kirana mulai bercerita.

            “Dulu rumahku ada di dekat alun-alun ibu kota. Setiap kali bosan ayah akan mengajakku bermain di sana. Kadang hanya duduk dan beli es krim saja. Tapi itu cukup untuk mengusir rasa suntuk dan sedihku. Aku menikmati hari-hari itu, hingga akhirnya ayah meninggal karena sakit,”

            “Maaf, aku…”

            “Tidak apa-apa. Ayah memang sudah sakit sebelumnya. Beliau banyak istirahat di rumah dan kalau bergerak sedikit langsung capek. Bulan-bulan itu Ayah dapat proyek di pertambangan,”

            Genangan air terlihat di pelupuk mata Kirana. Terlihat betul ia sedang menahan agar air-air itu tidak jatuh. Amsyar mengalihkan pandangan ke arah yang berlawanan. Ia membiarkan gadis itu menangis dengan nyaman.

            Rombongan mobil berjalan dengan perlahan. Suaranya cukup untuk menutupi jeda cerita Kirana. Sedangkan matahari sore juga kian cepat terbenam. Jam kerjanya sudah habis dan perlu bertukar dengan bulan yang sudah menggantung tiga perempat di langit biru. Amsyar menunggu pilihan Kirana, apakah akan terus bercerita atau menyudahinya. Ia tak mau memaksa dengan pilihan itu. Ia pun tahu bagaimana rasanya ditinggal ayah.

            “Saat proyek tambang, Ayah…” Kirana berhenti lagi, mengatur napas.

            “Ayah…ja...tuh, terpleset dan…dan tubuhnya menabrak batu-batu di bawah. Ayah kelelahan dan jadi sulit bernapas di dalam lorong-lorong, dia ingin cepat-cepat naik ke permukaan. Ternyata…”

            Amsyar menghela napas, ia jadi bingung harus melakukan apa.

            “Ayah…meninggal di tempat, dan tubuhnya pe...nuh lu…ka.”

            “Kejadian itu sudah lama, Syar. Tapi karena aku lebih dekat dengan Ayah daripada Ibu, aku jadi terus mengingatnya dan…dan selalu ingin menangis. Aku ke sini untuk ingat Ayah. Se…setidaknya pusat kota ini sedikit mirip dengan alun-alun,” Kirana menyudahi ceritanya.

            Telapak tangan segera menyeka air mata yang masih tersisa. Ia kembali melihat kendaraan yang lalu-lalang di jalan. Lenggang lagi. Amsyar mencoba memilih respon yang paling tepat, sedangkan Kirana menenangkan dirinya dari trauma enam tahun yang lalu.

            “Aku turut berduka cita, Ran. Aku mungkin enggak bisa merasakan seperti apa yang kamu lalui, tapi kamu enggak sendirian, Ran. Aku pun ditinggal Abi saat masih kecil. Abi meninggal dan Umi menikah lagi dengan pria lain. Namun bukan itu poinnya, Ran,” Amsyar memandang Kirana.

            “Kita enggak sendirian. Aku bangkit karena berteman dengan Dodot dan Aiman, juga bangkit karena Umi terus perhatian padaku. Ya walaupun lebih sering keluar kota, kerja, atau bersama suami barunya. Kau pun begitu bukan? Dari pandanganku, kau sangat beruntung bisa berteman dengan Renai. Sebaliknya juga begitu, Renai beruntung bertemu teman setangguh kau. Ayahmu pasti bangga melihat putrinya sudah cantik, tangguh, dan pintar seperti sekarang” lanjut Amsyar.

            Sedikit senyum terlihat di wajah Kirana. Entah itu senyum terpaksa atau bukan. Yang jelas sinar matahari sore yang berkilau seperti emas menabrakkan diri pada Kirana, bertambahlah kecantikannya.

            “Terima kasih sudah bercerita, Ran. Mengulang kembali pengalaman menyakitkan pasti sulit. Terima kasih sudah bertahan sekuat ini, kamu keren.”

            “Terima kasih juga, Syar. Kamu lebih keren daripada aku,”

            Amsyar tertawa kecil, lantas berangkat dari duduknya.

            “Pulang, yuk! Bentar lagi Magrib, aku enggak suka pulang waktu Magrib,”

            Kirana ikut berdiri, “memangnya kenapa kalau Magrib?”

            “Enggak enak aja suasananya,” jawab Amsyar singkat.

            “Hmm, oke. Mau anterin aku pulang enggak?”

            Laki-laki itu menimang sebentar, membuat gadis di depannya menunggu.

“Boleh saja. Lagi pula aku harus memastikan kamu selamat sampai di rumah, bukan nongkrong di tempat lain sambil nangis-nangis lagi. Beruntung aku yang ketemu sama kamu di sini, Ran,” ia melangkah lebih dulu ke motornya yang diparkir cukup jauh.

“Memangnya kenapa kalau bukan kamu?” tanya Kirana, membuat Amsyar berhenti sejenak.

“Kalau bapak-bapak yang datang, nanti kamu kira itu Ayahmu. Terus diajakin, deh, pergi ke mana gitu, hahaha.”

“Enak aja!”

Kirana ikut tertawa setelahnya. Amsyar kembali berjalan diiringi tawa kecil teman dari temannya itu. Ia tersenyum sedikit, entahlah karena apa. Setidaknya yang paling penting adalah hari ini ia sudah membuat orang lain bahagia di waktu-waktu sedih. Karena kini pun ia ikut bahagia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi : Novel Nebula Karya Tere Liye

Novel “NEBULA” Karya Tere Liye :  Rahasia Pengintai Terbaik dan Kembalinya Musuh Lama Oleh : Lubna Anfaresi Judul                : NEBULA Penulis             : Tere Liye Penerbit             : Gramedia Pustaka Utama Kota Terbit       : Jakarta Cetakan II        : April 2020 Ketebalan         : 376 halaman Pendahuluan             Serial Bumi merupakan salah satu serial yang dikeluarkan oleh penulis Tere Liye dan berhasil menarik minat pembaca di tanah air. Serial fantasi ini sudah memiliki sembilan seri dengan seri terbaru berjudul “NEBULA”. Sama seperti seri sebelumnya yang berjudul “SELENA”, seri ke-9 ini menceritakan kisah dari sudut pandang Selena sebaga...

Masak, Makan, Lempah Kuning

  Masak, Makan, Lempah Kuning “Wew, banyak kenek ge. Basing ka lah pon!” [1]             Ucapan dari Ami, gadis Bangka yang sudah kutemui sejak lima hari bertugas di daerah ini, terus terngiang di antara malam-malam sepi di kamar berukuran lima kali tujuh meter. Suaranya begitu tinggi, mencekam, dan rasanya penuh kebencian. Raut wajahnya yang mengerut itu terus terbayang, juga ucapan dengan bahasa yang aku tidak mengerti sama sekali. Jauh dari mal perbelanjaan, kafe yang selalu ramai, atau sekadar lalu lintas kota Yogya, aku terjebak sampai sembilan hari kedepan untuk mengerjakan tugas kuliahku di sini. Aku tidur menumpang kepada salah satu warga kenalan kawan kuliahku, yang juga berasal dari Bangka. Katanya itu adalah rumah seperadik [2] -nya. Pintu kamar yang menjadi tempat tidurku sementara tiba-tiba diketuk dari luar. Aku menghela napas, mencoba meraih gagang pintu dan membiarkan sinar lampu di ruang tengah masuk ke d...

Nugget

Pernah berpikir untuk masak nugget goreng yang dicocol dengan cuko ? Itu yang Bene lakukan. Aneh, iya. Tapi Bene tidak akan peduli dengan komentar orang, karena toh dia sekarang ada di kontrakannya. Sendirian. Setelah berkutat dengan kertas-kertas laporan praktikumnya selama satu semester, Bene bisa beristirahat sejenak. Gadis itu tidak pergi ke luar kontrakannya, kecuali untuk membeli makan atau bahan masakan. Keinginannya untuk naik gunung setiap liburan juga harus kandas. Alasanya sederhana, karena ia tidak punya teman untuk naik ke atas sana. Jika kalian semua mendorong gadis itu untuk pergi sendiri,             “Terima kasih.” Dua kata itu akan keluar dari bibirnya yang sedikit kering. Saran dari kawan-kawan dekatnya, biarkan saja Bene asyik dengan dunianya. Ia bisa saja pergi ke Bandung sekarang juga, atau ke Jakarta. Tapi buat apa? Ia tidak mau menghabiskan lebih banyak uang beasiswa yang baru cair satu pekan lalu...