Motor
kesayangan terpakir di depan kios yang tutup. Penunggangnya menghadap ke jalanan
yang ramai dengan lalu-lalang orang pulang. Seragam pramuka masih dikenakan,
buku dan pena dikeluarkan. Mata diistirahatkan dengan pemandangan langit yang
tertutup bangunan. Burung walet beterbangan ikut meramaikan lalu lintas.
Hinggap mereka pada bangunan tinggi yang sudah disiapkan khusus.
Amsyar
mengedarkan pandang ke arah lainnya. Ia mencari kalimat dalam gedung kebudayaan
yang selalu menjadi tempatnya mengarang. Mulailah ia dengan sebuah pot berbunga bugenvil warna merah muda. Lihai tangannya menulis di buku kumpulan puisi
dan sajak yang selalu ia bawa ke sekolah. Kemudian tinta hitam itu
menggambarkan sosok yang entah mengapa cocok disandingkan dengan kelopak tipis
milik bugenvil. Ia tak menyuratkan namanya dalam puisi karangan. Namun sosok
itu berkelebat dalam pikiran dengan senyum yang jarang diberikan.
‘Dilarang
merusak’
Sungguhlah tepat
tanda peringatan itu
Pada bunga yang
rapuh
Terpikat tuk
milikimu, sungguh
Pot berwibawa menyatakan bahwa
Aku harus lewati
kantor polisi jika ingin mencuri
Atau berunding
dengan pemerintah
Sebab ingin
kupecahkan, ingin kupindahkan
Ke rumahku yang
lebih nyaman
Amsyar terbiasa menuliskan kalimat
cinta, bahkan ketika ia tidak jatuh cinta. Tapi saat ini ia pun bingung mengapa
puisi yang dibuatnya seakan milik seseorang yang akhir-akhir ini semakin sering
berinteraksi dengannya. Ah, bukan karena berinteraksi, mereka sudah
melakukannya sedari dulu. Melainkan semakin sering
membuat Amsyar salah tingkah dalam tiap pertemuan.
Matahari menembak dengan sinar
emasnya ke kolam berbentuk lingkaran. Di tengahnya berdiri tiga pejuang yang
entah siapa namanya, tak ada yang memberi tahu Amsyar. Kini Amsyar sudah
berjalan untuk mencari sudut pandang yang berbeda. Ia telah merampungkan satu puisinya
yang kelak akan diberikan pada kawan kepercayaan. Kawan yang selalu rela
meluangkan waktunya untuk membaca karya Amsyar dan berdiskusi topik-topik
menarik. Padahal orang lain jarang untuk membahas hal itu, tapi kawan yang satu
ini selalu bersemangat dan menularkan semangatnya kepada Amsyar.
Dalam ketenangan sore di sepinya
tengaran, seorang gadis turun dari angkot dengan tergesa-gesa. Ia melenggang dengan langkah
kasar ke sebuah bangku yang terkelupas catnya. Bulir-bulir turun dari matanya
dengan deras dan membuat hidung gadis itu merah. Ia melepas kuncirnya dan
menyembunyikan muka dari pengemudi di jalan. Padahal tak perlu gadis itu
lakukan, karena di antara orang yang sibuk dengan kendaraannya tidak ada yang mau
menoleh dan berbelas kasih kepada dirinya.
Sayangnya, Amsyar tidak sedang
mengemudi motor klasik yang selesai diperbaiki kemarin sore. Dia menyaksikan
dari awal gadis itu turun dari angkot kuning dengan wajah yang basah oleh air mata.
Pun Amsyar merasakan jalannya yang tak sabar dan penuh kesal. Ia kenal gadis
itu. Gadis yang selalu menguncir rambutnya hingga menampilkan leher jenjang
berkalung emas putih. Terlihat pula anting mungil berbentuk bintang di telinga
yang sedikit runcing pada ujung atas, mirip karakter peri di dunia fantasi.
Kirana, demikian gadis itu berkenalan
dengannya beberapa waktu lalu. Dimandikan sinar sore yang menyengat, ia tetap teguh
duduk di kursi taman. Kini wajahnya terangkat dan fokus pada tiga patung
pejuang. Kirana yang Amsyar kenal selalu tersenyum ketika bertemu, namun kali ini gadis iu memberikan
kesan yang baru. Rambut ikal menyentuh punggung yang terlapis seragam pramuka. Leher
dan telinganya tak lagi bisa menampilkan asesoris khasnya. Mata yang tebal
masih terus mengucurkan emosi yang ditahan. Bahkan Amsyar merasa ada kerinduan
yang menjerit dari kusutnya tapilan Kirana.
Laki-laki pecinta angka dan kata itu
menunggu di gedung budaya yang beratap limas. Ia berjalan tanpa tujuan,
sesekali melirik kondisi Kirana. Dalam pikirannya ia memantapkan untuk menemui
gadis itu jika sudah tepat waktu dan kondisi. Amsyar membiarkan Kirana larut
dalam emosi dan menetralkan diri. Sebagaimana ia juga melakukannya di kios
tadi.
Jam tangan Amsyar sudah menunjukkan
pukul lima lewat lima sore. Tapi jam itu sengaja ia pasang lebih cepat sepuluh
menit. Setelah cukup memberikan ruang dan waktu kepada Kirana, Amsyar merasa
inilah saatnya untuk menyapa. Ia juga ingin bertanya sedikit tentang kondisi
gadis itu, dan jika Kirana berkenan untuk bercerita maka ia bersedia untuk
mendengar.
Awan telah berbaik hati menghalang
matahari dan panasnya. Kini langit biru menjadi teduh. Amsyar membawa kedua
kaki dengan santai ke arah Kirana. Awalnya ia ingin mengendap-endap untuk
mengejutkan, tapi dirasanya hal itu tak perlu. Pandangan mata Amsyar lurus ke
arah Kirana. Berkebalikan dengan kawan satu sekolahnya yang masih asik melihat
patung, kendaraan, dan jalan yang lenggang karena orang-orang sudah sampai di
tempat tujuan.
Sebenarnya ini pertama kali Amsyar
mendekati perempuan dan bicara hanya berdua. Ah, padahal belum pula bicara,
tapi Amsyar sudah merasa gundah. Ia tak bisa bicara dengan gadis-gadis di
tempat sepi yang hanya memungkinkan dialog antara mereka. Amsyar memang
laki-laki top di sekolahnya dan ia biasa bicara dengan banyak orang. Kalaupun
mereka perempuan, Amsyar meyakinkan ia bersama orang lain atau topik yang
dibicarakan memang penting. Dia memang pemuda yang ramah dengan siapa pun. Tapi
seingatnya tak ada perempuan yang mampu membuatnya betah bicara berdua tanpa
tujuan yang jelas.
Amsyar memainkan rambutnya. Kacamata
dengan lensa kotak yang besar juga ia rapikan. Kini tubuh tingginya sudah
berada di samping bangku tempat Kirana duduk. Ia mendorong dirinya untuk mulai
menyapa, seperti biasa yang ia lakukan pada kawan-kawan di sekolah.
“Sore,” sapanya dengan suara tercekat.
Kirana yang tidak menyadari
kehadiran Amsyar sedari tadi menjadi terkejut. Ia membeku dan tak tahu harus
menjawab apa. Sepersekian detik, dunia berhenti di antara mereka berdua. Saling
tatap keduanya.
“Ah, aku dari tadi melihat kau
sendiri di sini. Kau Kirana teman Renai, kan?” tanya Amsyar berbasa-basi.
Tak ada jawaban yang diberi Kirana
melainkan tengadah wajah. Ia seakan melupakan masalahnya dan kini terpikat
pesona sang primadona. Matanya melotot tak percaya dan mulutnya terbuka. Gadis
itu bingung hendak merespon apa. Amsyar juga dibuatnya bingung harus bertindak
apa. Tapi untunglah Amsyar yang sering berhadapan dengan orang-orang mulai
paham alur cerita. Ia menyalakan mode ramah tamah dan mencoba membuat Kirana
nyaman dengan kehadiran dirinya. Walaupun jauh di lubuk hati, Amsyar juga
merasa kacau.
“Sebentar lagi sudah jam lima, kau
tidak dicari ibumu sore-sore belum pulang?” tanya Amsyar sambil berjalan ke
sisi kanan Kirana.
“Ti…tidak juga. Aku tadi sudah
pulang, kok. Tapi pergi lagi,”
“Syukurlah kau sudah bisa menjawab.
Kukira aku akan terus mengobrol dengan patung nantinya,”
Kirana tertawa kecil, “aku bukan
patung, hanya kaget saja. Tapi kalau kau mau bicara dengan patung, bicara saja
dengan mereka,” ucapnya menunjuk ke ikon tengaran.
“Ngomong-ngomong aku boleh duduk di
sini?”
“Ah…eh tentu saja!” Kirana menggeser
tubuhnya. Membiarkan tempat lebar untuk Amsyar duduk.
“Aku suka datang ke sini. Biasanya
kalau tidak main futsal sama Dodot dan Aiman, aku ke sini untuk menulis atau menikmati
pemandangan,” cerita Amsyar setelah meletakkan pantatnya di bangku, “walaupun
ribut, tapi pemandangan sore seperti ini memberikanku banyak inspirasi juga
rasa tenang. Kadang juga aku ke sini pagi hari untuk mendapatkan suasana yang
berbeda. Tempatnya sepi di tengah ramai. Sama seperti rasa yang hadir pada
diriku.”
Sebuah motor dengan suara knalpot
yang kencang membawa konsentrasi kedua insan itu. Amsyar dan Kirana tidak
bicara sampai motor dan pengendaranya hilang diujung jalan. Keduanya sepakat
untuk mengomentari asap yang keluar begitu hitam dan seharusnya motor itu tak
lagi dipakai di jalanan.
“Kau ngapain ke sini, Ran? Baru
pertama kali kulihat ada orang lain yang ke sini, sendirian pula.”
Amsyar kembali mengarahkan
percakapan setelah berkomentar motor dan knalpot. Ia benar-benar penasaran,
situasi macam apa yang membawa Kirana ke sini dengan wajah gusar.
Sebelum
menjawab, Kirana membetulkan duduknya. Ia juga melihat sekeliling dan pada
akhirnya kembali menatap patung pejuang dengan kosong. Kirana menghirup napas
dalam, mengembuskannya dengan suara kecil. Pikir Amsyar, alasan ini pasti sulit
sekali untuk diceritakan. Amsyar merasa bersalah sudah bertanya. Tapi
penyesalan itu sudah terlambat, karena tak lama Kirana membuka bibirnya.
“Aku…hanya rindu ayah,”
Hening kembali menyergap.
Suara-suara kendaraan mendadak hilang. Tenggorokan Amsyar menjadi gatal dan
butuh minum, padahal tak ada penjual yang mau menjajakan air mineral. Ia
berhenti menatap patung yang gagah berdiri, memalingkan wajah pada gadis di
sebelahnya. Rambut hitam yang panjang itu disisipkan Kirana pada telinga
runcingnya. Amsyar jadi bisa memandang lekat seluruh fitur wajah yang
kemerahan.
“Ayah selalu mengajakku ke sini.
Bukan, ke sini juga, sih,” Kirana mulai bercerita.
“Dulu rumahku ada di dekat alun-alun
ibu kota. Setiap kali bosan ayah akan mengajakku bermain di sana. Kadang hanya
duduk dan beli es krim saja. Tapi itu cukup untuk mengusir rasa suntuk dan
sedihku. Aku menikmati hari-hari itu, hingga akhirnya ayah meninggal karena
sakit,”
“Maaf, aku…”
“Tidak apa-apa. Ayah memang sudah
sakit sebelumnya. Beliau banyak istirahat di rumah dan kalau bergerak sedikit
langsung capek. Bulan-bulan itu Ayah dapat proyek di pertambangan,”
Genangan air terlihat di pelupuk
mata Kirana. Terlihat betul ia sedang menahan agar air-air itu tidak jatuh.
Amsyar mengalihkan pandangan ke arah yang berlawanan. Ia membiarkan gadis itu
menangis dengan nyaman.
Rombongan mobil berjalan dengan
perlahan. Suaranya cukup untuk menutupi jeda cerita Kirana. Sedangkan matahari
sore juga kian cepat terbenam. Jam kerjanya sudah habis dan perlu bertukar
dengan bulan yang sudah menggantung tiga perempat di langit biru. Amsyar
menunggu pilihan Kirana, apakah akan terus bercerita atau menyudahinya. Ia tak
mau memaksa dengan pilihan itu. Ia pun tahu bagaimana rasanya ditinggal ayah.
“Saat proyek tambang, Ayah…” Kirana
berhenti lagi, mengatur napas.
“Ayah…ja...tuh, terpleset dan…dan
tubuhnya menabrak batu-batu di bawah. Ayah kelelahan dan jadi sulit bernapas di
dalam lorong-lorong, dia ingin cepat-cepat naik ke permukaan. Ternyata…”
Amsyar menghela napas, ia jadi
bingung harus melakukan apa.
“Ayah…meninggal di tempat, dan
tubuhnya pe...nuh lu…ka.”
“Kejadian itu sudah lama, Syar. Tapi
karena aku lebih dekat dengan Ayah daripada Ibu, aku jadi terus mengingatnya
dan…dan selalu ingin menangis. Aku ke sini untuk ingat Ayah. Se…setidaknya
pusat kota ini sedikit mirip dengan alun-alun,” Kirana menyudahi ceritanya.
Telapak tangan segera menyeka air
mata yang masih tersisa. Ia kembali melihat kendaraan yang lalu-lalang di
jalan. Lenggang lagi. Amsyar mencoba memilih respon yang paling tepat,
sedangkan Kirana menenangkan dirinya dari trauma enam tahun yang lalu.
“Aku turut berduka cita, Ran. Aku
mungkin enggak bisa merasakan seperti apa yang kamu lalui, tapi kamu enggak
sendirian, Ran. Aku pun ditinggal Abi saat masih kecil. Abi meninggal dan Umi
menikah lagi dengan pria lain. Namun bukan itu poinnya, Ran,” Amsyar memandang
Kirana.
“Kita enggak sendirian. Aku bangkit
karena berteman dengan Dodot dan Aiman, juga bangkit karena Umi terus perhatian
padaku. Ya walaupun lebih sering keluar kota, kerja, atau bersama suami
barunya. Kau pun begitu bukan? Dari pandanganku, kau sangat beruntung bisa
berteman dengan Renai. Sebaliknya juga begitu, Renai beruntung bertemu teman
setangguh kau. Ayahmu pasti bangga melihat putrinya sudah cantik, tangguh, dan
pintar seperti sekarang” lanjut Amsyar.
Sedikit senyum terlihat di wajah
Kirana. Entah itu senyum terpaksa atau bukan. Yang jelas sinar matahari sore
yang berkilau seperti emas menabrakkan diri pada Kirana, bertambahlah
kecantikannya.
“Terima kasih sudah bercerita, Ran.
Mengulang kembali pengalaman menyakitkan pasti sulit. Terima kasih sudah
bertahan sekuat ini, kamu keren.”
“Terima kasih juga, Syar. Kamu lebih
keren daripada aku,”
Amsyar tertawa kecil, lantas
berangkat dari duduknya.
“Pulang, yuk! Bentar lagi Magrib,
aku enggak suka pulang waktu Magrib,”
Kirana ikut berdiri, “memangnya
kenapa kalau Magrib?”
“Enggak enak aja suasananya,” jawab
Amsyar singkat.
“Hmm, oke. Mau anterin aku pulang
enggak?”
Laki-laki itu menimang sebentar,
membuat gadis di depannya menunggu.
“Boleh
saja. Lagi pula aku harus memastikan kamu selamat sampai di rumah, bukan
nongkrong di tempat lain sambil nangis-nangis lagi. Beruntung aku yang ketemu
sama kamu di sini, Ran,” ia melangkah lebih dulu ke motornya yang diparkir
cukup jauh.
“Memangnya
kenapa kalau bukan kamu?” tanya Kirana, membuat Amsyar berhenti sejenak.
“Kalau
bapak-bapak yang datang, nanti kamu kira itu Ayahmu. Terus diajakin, deh, pergi
ke mana gitu, hahaha.”
“Enak
aja!”
Kirana
ikut tertawa setelahnya. Amsyar kembali berjalan diiringi tawa kecil teman dari
temannya itu. Ia tersenyum sedikit, entahlah karena apa. Setidaknya yang paling
penting adalah hari ini ia sudah membuat orang lain bahagia di waktu-waktu
sedih. Karena kini pun ia ikut bahagia.
Komentar
Posting Komentar