Langsung ke konten utama

Secret 6: Selamat

 

Prang!

Hampir saja sebuah pisau melukai kaki Amsyar yang sedang asyik memasak. Dengan cekatan ia menggeser kakinya. Telat satu detik saja kembali harus Amsyar pakaikan plaster untuk menutup luka.

Remaja tangguh itu mengambil pisau yang jatuh agar tidak pula melukai nanti-nanti. Setelahnya Amsyar kembali membalut potongan paha ayam fillet dengan adonan basah dan tepung kering. Aroma rempah yang bercampur mesra di adonan dan tepung sudah menggugah selera. Warnannya sedikit kemerahan karena tadi Amsyar terlalu banyak menuangkan bubuk cabai. Tak masalah, toh Amsyar juga suka makanan pedas.

Panasnya minyak sudah tak sabaran memeluk daging-daging montok itu. Tanpa merasa harus takut kena cipratan, Amsyar memasukkan satu persatu daging ayam yang siap berendam minyak. Tidak banyak yang ia goreng malam ini. Sebab besok pagi Amsyar juga akan menyantap makanan serupa. Mungkin perbedaannya di esok hari ia akan menambahkan telur kocok dan kentang rebus.

Sambil menunggu kilau emas dari ayam goreng tepungnya, Amsyar menuangkan beberapa jenis cairan dan bumbu dapur. Pertama ia menuangkan dua sendok makan kecap asin, setelahnya tiga sendok madu, gula aren sedikit, dan minyak wijen yang agak banyak. Amsyar suka aroma minyak wijen.

Tak ketinggalan untuk membuat ayamnya bertambah gurih, ia tambahkan dua sendok teh bawang putih halus. Menggunakan sendok, langsung saja Amsyar aduk semuanya hingga tercium aroma kenikmatan. Bersamaan itu ia melongok ke arah wajan yang sudah menampilkan daging-daging ayam berkulit krispi. Diambilnya satu daging menggunakan spatula.

“Aw, panas panas!”

Sebentar saja rasa kaget karena memegang daging panas itu. Amsyar kemudian memotong daging untuk mengecek kematangan. Uap putih keluar setelah daging ayam sempurna terpotong.

“Mantap!” seru Amsyar.

Daging sudah matang, saus sudah jadi. Terakhir tinggal mengangkat daging ayam, menuangkan saus, mengambil nasi yang banyak karena Amsyar lapar sekali, dan duduk manis di kursi. Melihat makanannya yang tersaji, membuat Amsyar makan dengan penuh selera. Ia lupa tadi rasanya malas sekali untuk melakukan semua tugas-tugasnya. Ia lupa tadi tak selera makan karena lagi-lagi Umi berbohong.

Umi tak pulang hari ini, sama seperti waktu itu. Entah kapan janjinya akan ditepati, Amsyar pun tak tahu. Ia sengaja memasak dengan waktu yang lama agar pun bisa sibuk pikirannya. Tak lagi ingat beberapa waktu lalu ia merasa sepi. Lagi-lagi sepi.

***

            Mata Amsyar melihat penuh ketelitian pada kertas pengumuman siswa yang terpilih ikut SNBP. Sebuah jalur khusus masuk perguruan tinggi negeri untuk orang-orang yang berprestasi dan tentunya selalu juara kelas. Ia cukup berharap besar untuk bisa masuk kategori itu. Setidaknya dua semester terakhir dirinya sudah mendongkrak nilai sebaik yang ia bisa.

            Sebelumnya, Amsyar terlalu fokus melakukan program kerja OSIS. Amsyar menghabiskan waktunya, berusaha agar ada prestasi yang bisa mengangkat nilai-nilai yang tertinggal. Kadang ia juga mencari lomba atau kegiatan yang sesuai minatnya, yah, walaupun tidak ada yang berhasil membawanya sebagai juara nasional. Tapi tak mengapa, bagi remaja yang terpenting adalah pengalaman. Berkat aktifnya Amsyar di dalam dan luar sekolah itulah ia jadi primadona. Pengaruhnya mengalahkan Agus sang Ketua OSIS.

            Berbeda dengan prinsip yang dipegang Amsyar, pihak sekolah tentu memberikan kesempatan kepada orang-orang yang punya prestasi yang cemerlang bukan pengalaman yang banyak. Amsyar khawatir nilainya yang dulu akan menjadi penghambat ia menjadi salah satu siswa penerima jalur SNBP. Ia dan pengalamannya hanya dianggap sebelah mata jika dibandingkan siswa yang senang duduk di dalam kelas dan mencetak nilai akademik luar biasa.

            Telunjuk Amsyar ikut mencari namanya. Di antara orang-orang yang berdesakkan, karena mereka juga berharap bisa punya kesempatan yang sama, Amsyar membaca untuk yang kedua kali daftar siswa terpilih itu.

            Pada lembar kedua, baris ke sebelas, terlihat nama Renaisance. Itu nama teman kelasnya, teman yang selalu ia ganggu saat belajar. Amsyar tidak perlu terkejut, karena Renai memang layak mendapatkannya. Ia ikut bersyukur atas pencapaian Renai, tapi ia pun masih berharap namanya ikut menyempil di antara seratus empat puluh orang.

            Lagi-lagi ia fokus dan mengulang pembacaan daftar nama itu.

            “Syar!”

            Seseorang menepuk pundaknya. Amsyar reflek menoleh.

            “Kenapa, Dot?” tanyanya dengan menaikkan volume suara.

            “Selamat dulu, dong!”

            “Maksudnya?”

            “Kau cari namamu? Bukan di situ, Bang. Itu kertas pengumuman SNBP khusus putri,” jawab Dodot dengan cengengesan, “nyari nama siapa, sih sebenernya?”

            “Eh?” Amsyar membalikkan badan.

            Ia baru menyadari mayoritas yang mengerumuni papan pengumuman ini memang perempuan. Hanya sedikit laki-laki yang penasaran saja atau yang ingin mengucapkan selamat kepada pacarnya, ikut melihat kedua kertas pengumuman ini.

            Amsyar keluar dengan mudah. Ia ikut cengengesan bersama Dodot yang sudah lebih dulu menertawainya.

            “Pantesan aku cari enggak ada,” ucap Amsyar.

            “Selamat keterima SNBP-nya. Enggak sia-sia kau jalan-jalan ngabisin duit sekolah, ya!” sekali lagi Dodot mengucapkan selamat kepada kawan seperjuangannya itu.

            “Ngabisin duit sekolah, tapi bikin bangga juga, kan?” ujar Amsyar sambil mendekati papan pengumuman yang satu lagi. Ia hendak memvalidasi ucapan Dodot.

            “Emang iya bikin sekolah bangga? Kok, enggak pernah maju ke depan ngasih piala ke kepala sekolah?”

            “Iya, deh, medalis O2SN,” balas Amsyar, “nama kau ada juga, kan?”

            “Ada, urutan terakhir tapi. Hahaha,”

            “Namaku di mana, Dot?”

            Sekali lagi Amsyar memfokuskan penglihatannya. Ia mencoba membaca dengan seksama nama-nama yang tercantum.

Rifais Ahmadi

IPA 2

88,8

Rahmat Amsyar Ihsan

IPA 1

87,78

           

“Widih, keren juga rata-rataku di atas delapan puluh lima!” seru Amsyar setelah namanya ditemukan.

            Ia sempat pesimis dan meyakini Dodot berbohong untuk menyenangkan hatinya. Ternyata Dodot tak bohong, ia memang berada di antara seratus empat puluh siswa kelas dua belas yang masuk jalur SNBP. Matanya kembali liar melihat daftar nama-nama itu. Jantungnya tak lagi berdegup lebih kencang, kini Amsyar mulai santai. Ia mulai mencari nama kawannya yang lain.

            “Aiman enggak dapet?”

            “Enggak,” jawab Dodot singkat.

            “Gawat, kemana dia sekarang?” tanya Amsyar penuh khawatir.

            “Kantin. Habis baca pengumuman bareng-bareng, dia langsung pergi ke sana. Makanya dari tadi aku nungguin kau selesai baca pengumuman. Ternyata salah papan,”

            “Yaudah, yuk!” ajak Amsyar, berlalu dari desakan siswa laki-laki.

            “Traktir, ya? Duit udah abis,” pinta Dodot.

            “Gampang.”

***

            Amsyar menyendok makanannya. Ia menatap kosong ke arah piring yang sebentar lagi akan habis lauk di atasnya. Percakapan di kantin bersama Dodot dan Aiman seakan menjadikannya orang paling bijak sedunia. Padahal sekarang ia merasakan hal yang sama seperti Aiman. Merasa terasing dan gagal.

            “Umi, Amsyar lolos jadi siswa eligible di sekolah. Nanti Amsyar pakai buat kedokteran atau teknik, ya?”

            “Kedokteran aja,” jawab Umi di seberang telepon.

            “Siap, Mi. Amsyar rencananya emang kayak gitu. Amsyar ambil kedokteran UI, kan?” tanya Amsyar menggebu-gebu.

            “Iya, harus.”

            Senyap tiba-tiba datang. Amsyar menelan ludahnya. Bukan ini yang ia inginkan sebenarnya. Tapi ia hanya ingin Umi bahagia, entah bagaimana pun caranya. Bahkan jika harus mengorbankan apa yang ia senangi.

            “Sudah, ya Umi ada pekerjaan,” ujar Umi setelah cukup lama terdengar diam di antara ibu dan anak itu.

            Amsyar mengambil waktu untuk memberikan respon. Ia belum juga menutup teleponnya. Remaja itu mengumpulkan nyali untuk menyatakan setidaknya sedikit rasa rindu kepada Umi.

            “Umi jadi kapan pulangnya?” Asmyar menggigit bibirnya, “tahun lalu sudah janji akan pulang,” ucap Amsyar yang tertahan sejak dulu.

            Pertanyaan ini selalu ia lontarkan di depan cermin. Tak pernah ada keberanian untuk mengucapkannya kepada Umi. Karena ia tahu apa jawabannya, dan ia tahu lagi-lagi pasti akan merasa sakit hati.

            Amsyar membereskan piring. Mulai mencuci dan merapikan alat-alat dapur yang ia makan. Dalam kesunyian dan kesendiriannya ia memutar kejadian-kejadian hari ini dengan latar musik sedih. Bunyi air keran ikut menemani. Tidak hanya mencuci piring kotor, air itu juga menenggelamkan tangis yang tak akan didengar siapa pun kecuali satu orang.

            Senyum getir terlihat, ia menguatkan dirinya sendiri.

Andai perempuan di ujung dunia sana tahu, ia sangat merindukan pelukan hangat saat masa kecil. Ia merindukan ucapan selamat atas pertandingan bola dan lomba baca puisi yang dimenangkan. Ia merindukan tempat bercerita yang leluasa, tentang apa pun. Bukan hanya merindukan senyum dan kebahagiaan puan itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi : Novel Nebula Karya Tere Liye

Novel “NEBULA” Karya Tere Liye :  Rahasia Pengintai Terbaik dan Kembalinya Musuh Lama Oleh : Lubna Anfaresi Judul                : NEBULA Penulis             : Tere Liye Penerbit             : Gramedia Pustaka Utama Kota Terbit       : Jakarta Cetakan II        : April 2020 Ketebalan         : 376 halaman Pendahuluan             Serial Bumi merupakan salah satu serial yang dikeluarkan oleh penulis Tere Liye dan berhasil menarik minat pembaca di tanah air. Serial fantasi ini sudah memiliki sembilan seri dengan seri terbaru berjudul “NEBULA”. Sama seperti seri sebelumnya yang berjudul “SELENA”, seri ke-9 ini menceritakan kisah dari sudut pandang Selena sebaga...

Masak, Makan, Lempah Kuning

  Masak, Makan, Lempah Kuning “Wew, banyak kenek ge. Basing ka lah pon!” [1]             Ucapan dari Ami, gadis Bangka yang sudah kutemui sejak lima hari bertugas di daerah ini, terus terngiang di antara malam-malam sepi di kamar berukuran lima kali tujuh meter. Suaranya begitu tinggi, mencekam, dan rasanya penuh kebencian. Raut wajahnya yang mengerut itu terus terbayang, juga ucapan dengan bahasa yang aku tidak mengerti sama sekali. Jauh dari mal perbelanjaan, kafe yang selalu ramai, atau sekadar lalu lintas kota Yogya, aku terjebak sampai sembilan hari kedepan untuk mengerjakan tugas kuliahku di sini. Aku tidur menumpang kepada salah satu warga kenalan kawan kuliahku, yang juga berasal dari Bangka. Katanya itu adalah rumah seperadik [2] -nya. Pintu kamar yang menjadi tempat tidurku sementara tiba-tiba diketuk dari luar. Aku menghela napas, mencoba meraih gagang pintu dan membiarkan sinar lampu di ruang tengah masuk ke d...

Nugget

Pernah berpikir untuk masak nugget goreng yang dicocol dengan cuko ? Itu yang Bene lakukan. Aneh, iya. Tapi Bene tidak akan peduli dengan komentar orang, karena toh dia sekarang ada di kontrakannya. Sendirian. Setelah berkutat dengan kertas-kertas laporan praktikumnya selama satu semester, Bene bisa beristirahat sejenak. Gadis itu tidak pergi ke luar kontrakannya, kecuali untuk membeli makan atau bahan masakan. Keinginannya untuk naik gunung setiap liburan juga harus kandas. Alasanya sederhana, karena ia tidak punya teman untuk naik ke atas sana. Jika kalian semua mendorong gadis itu untuk pergi sendiri,             “Terima kasih.” Dua kata itu akan keluar dari bibirnya yang sedikit kering. Saran dari kawan-kawan dekatnya, biarkan saja Bene asyik dengan dunianya. Ia bisa saja pergi ke Bandung sekarang juga, atau ke Jakarta. Tapi buat apa? Ia tidak mau menghabiskan lebih banyak uang beasiswa yang baru cair satu pekan lalu...