Prang!
Hampir
saja sebuah pisau melukai kaki Amsyar yang sedang asyik memasak. Dengan cekatan
ia menggeser kakinya. Telat satu detik saja kembali harus Amsyar pakaikan
plaster untuk menutup luka.
Remaja
tangguh itu mengambil pisau yang jatuh agar tidak pula melukai nanti-nanti.
Setelahnya Amsyar kembali membalut potongan paha ayam fillet dengan
adonan basah dan tepung kering. Aroma rempah yang bercampur mesra di adonan dan
tepung sudah menggugah selera. Warnannya sedikit kemerahan karena tadi Amsyar
terlalu banyak menuangkan bubuk cabai. Tak masalah, toh Amsyar juga suka
makanan pedas.
Panasnya
minyak sudah tak sabaran memeluk daging-daging montok itu. Tanpa merasa harus takut
kena cipratan, Amsyar memasukkan satu persatu daging ayam yang siap berendam
minyak. Tidak banyak yang ia goreng malam ini. Sebab besok pagi Amsyar juga
akan menyantap makanan serupa. Mungkin perbedaannya di esok hari ia akan
menambahkan telur kocok dan kentang rebus.
Sambil
menunggu kilau emas dari ayam goreng tepungnya, Amsyar menuangkan beberapa
jenis cairan dan bumbu dapur. Pertama ia menuangkan dua sendok makan kecap
asin, setelahnya tiga sendok madu, gula aren sedikit, dan minyak wijen yang
agak banyak. Amsyar suka aroma minyak wijen.
Tak
ketinggalan untuk membuat ayamnya bertambah gurih, ia tambahkan dua sendok teh
bawang putih halus. Menggunakan sendok, langsung saja Amsyar aduk semuanya
hingga tercium aroma kenikmatan. Bersamaan itu ia melongok ke arah wajan yang
sudah menampilkan daging-daging ayam berkulit krispi. Diambilnya satu daging
menggunakan spatula.
“Aw,
panas panas!”
Sebentar
saja rasa kaget karena memegang daging panas itu. Amsyar kemudian memotong
daging untuk mengecek kematangan. Uap putih keluar setelah daging ayam sempurna
terpotong.
“Mantap!”
seru Amsyar.
Daging
sudah matang, saus sudah jadi. Terakhir tinggal mengangkat daging ayam,
menuangkan saus, mengambil nasi yang banyak karena Amsyar lapar sekali, dan
duduk manis di kursi. Melihat makanannya yang tersaji, membuat Amsyar makan
dengan penuh selera. Ia lupa tadi rasanya malas sekali untuk melakukan semua
tugas-tugasnya. Ia lupa tadi tak selera makan karena lagi-lagi Umi berbohong.
Umi
tak pulang hari ini, sama seperti waktu itu. Entah kapan janjinya akan
ditepati, Amsyar pun tak tahu. Ia sengaja memasak dengan waktu yang lama agar
pun bisa sibuk pikirannya. Tak lagi ingat beberapa waktu lalu ia merasa sepi.
Lagi-lagi sepi.
***
Mata Amsyar melihat penuh ketelitian
pada kertas pengumuman siswa yang terpilih ikut SNBP. Sebuah jalur khusus masuk
perguruan tinggi negeri untuk orang-orang yang berprestasi dan tentunya selalu
juara kelas. Ia cukup berharap besar untuk bisa masuk kategori itu. Setidaknya
dua semester terakhir dirinya sudah mendongkrak nilai sebaik yang ia bisa.
Sebelumnya, Amsyar terlalu fokus
melakukan program kerja OSIS. Amsyar menghabiskan waktunya, berusaha agar ada
prestasi yang bisa mengangkat nilai-nilai yang tertinggal. Kadang ia juga
mencari lomba atau kegiatan yang sesuai minatnya, yah, walaupun tidak ada yang
berhasil membawanya sebagai juara nasional. Tapi tak mengapa, bagi remaja yang
terpenting adalah pengalaman. Berkat aktifnya Amsyar di dalam dan luar sekolah
itulah ia jadi primadona. Pengaruhnya mengalahkan Agus sang Ketua OSIS.
Berbeda dengan prinsip yang dipegang
Amsyar, pihak sekolah tentu memberikan kesempatan kepada orang-orang yang punya
prestasi yang cemerlang bukan pengalaman yang banyak. Amsyar khawatir nilainya
yang dulu akan menjadi penghambat ia menjadi salah satu siswa penerima jalur
SNBP. Ia dan pengalamannya hanya dianggap sebelah mata jika dibandingkan siswa
yang senang duduk di dalam kelas dan mencetak nilai akademik luar biasa.
Telunjuk Amsyar ikut mencari
namanya. Di antara orang-orang yang berdesakkan, karena mereka juga berharap
bisa punya kesempatan yang sama, Amsyar membaca untuk yang kedua kali daftar
siswa terpilih itu.
Pada lembar kedua, baris ke sebelas,
terlihat nama Renaisance. Itu nama teman kelasnya, teman yang selalu ia ganggu
saat belajar. Amsyar tidak perlu terkejut, karena Renai memang layak
mendapatkannya. Ia ikut bersyukur atas pencapaian Renai, tapi ia pun masih
berharap namanya ikut menyempil di antara seratus empat puluh orang.
Lagi-lagi ia fokus dan mengulang
pembacaan daftar nama itu.
“Syar!”
Seseorang menepuk pundaknya. Amsyar
reflek menoleh.
“Kenapa, Dot?” tanyanya dengan
menaikkan volume suara.
“Selamat dulu, dong!”
“Maksudnya?”
“Kau cari namamu? Bukan di situ,
Bang. Itu kertas pengumuman SNBP khusus putri,” jawab Dodot dengan cengengesan,
“nyari nama siapa, sih sebenernya?”
“Eh?” Amsyar membalikkan badan.
Ia baru menyadari mayoritas yang
mengerumuni papan pengumuman ini memang perempuan. Hanya sedikit laki-laki yang
penasaran saja atau yang ingin mengucapkan selamat kepada pacarnya, ikut
melihat kedua kertas pengumuman ini.
Amsyar keluar dengan mudah. Ia ikut
cengengesan bersama Dodot yang sudah lebih dulu menertawainya.
“Pantesan aku cari enggak ada,” ucap
Amsyar.
“Selamat keterima SNBP-nya. Enggak
sia-sia kau jalan-jalan ngabisin duit sekolah, ya!” sekali lagi Dodot
mengucapkan selamat kepada kawan seperjuangannya itu.
“Ngabisin duit sekolah, tapi bikin
bangga juga, kan?” ujar Amsyar sambil mendekati papan pengumuman yang satu
lagi. Ia hendak memvalidasi ucapan Dodot.
“Emang iya bikin sekolah bangga? Kok, enggak pernah maju ke depan ngasih piala ke kepala sekolah?”
“Iya, deh, medalis O2SN,” balas
Amsyar, “nama kau ada juga, kan?”
“Ada, urutan terakhir tapi. Hahaha,”
“Namaku di mana, Dot?”
Sekali lagi Amsyar memfokuskan
penglihatannya. Ia mencoba membaca dengan seksama nama-nama yang tercantum.
|
Rifais
Ahmadi |
IPA 2 |
88,8 |
|
Rahmat
Amsyar Ihsan |
IPA 1 |
87,78 |
“Widih,
keren juga rata-rataku di atas delapan puluh lima!” seru Amsyar setelah namanya
ditemukan.
Ia sempat pesimis dan meyakini Dodot
berbohong untuk menyenangkan hatinya. Ternyata Dodot tak bohong, ia memang
berada di antara seratus empat puluh siswa kelas dua belas yang masuk jalur
SNBP. Matanya kembali liar melihat daftar nama-nama itu. Jantungnya tak lagi
berdegup lebih kencang, kini Amsyar mulai santai. Ia mulai mencari nama
kawannya yang lain.
“Aiman enggak dapet?”
“Enggak,” jawab Dodot singkat.
“Gawat, kemana dia sekarang?” tanya
Amsyar penuh khawatir.
“Kantin. Habis baca pengumuman
bareng-bareng, dia langsung pergi ke sana. Makanya dari tadi aku nungguin kau
selesai baca pengumuman. Ternyata salah papan,”
“Yaudah, yuk!” ajak Amsyar, berlalu
dari desakan siswa laki-laki.
“Traktir, ya? Duit udah abis,” pinta
Dodot.
“Gampang.”
***
Amsyar menyendok makanannya. Ia
menatap kosong ke arah piring yang sebentar lagi akan habis lauk di atasnya.
Percakapan di kantin bersama Dodot dan Aiman seakan menjadikannya orang paling
bijak sedunia. Padahal sekarang ia merasakan hal yang sama seperti Aiman.
Merasa terasing dan gagal.
“Umi, Amsyar lolos jadi siswa eligible
di sekolah. Nanti Amsyar pakai buat kedokteran atau teknik, ya?”
“Kedokteran aja,” jawab Umi di
seberang telepon.
“Siap, Mi. Amsyar rencananya emang
kayak gitu. Amsyar ambil kedokteran UI, kan?” tanya Amsyar menggebu-gebu.
“Iya, harus.”
Senyap tiba-tiba datang. Amsyar
menelan ludahnya. Bukan ini yang ia inginkan sebenarnya. Tapi ia hanya ingin
Umi bahagia, entah bagaimana pun caranya. Bahkan jika harus mengorbankan apa
yang ia senangi.
“Sudah, ya Umi ada pekerjaan,” ujar
Umi setelah cukup lama terdengar diam di antara ibu dan anak itu.
Amsyar mengambil waktu untuk
memberikan respon. Ia belum juga menutup teleponnya. Remaja itu mengumpulkan
nyali untuk menyatakan setidaknya sedikit rasa rindu kepada Umi.
“Umi jadi kapan pulangnya?” Asmyar
menggigit bibirnya, “tahun lalu sudah janji akan pulang,” ucap Amsyar yang
tertahan sejak dulu.
Pertanyaan ini selalu ia lontarkan
di depan cermin. Tak pernah ada keberanian untuk mengucapkannya kepada Umi.
Karena ia tahu apa jawabannya, dan ia tahu lagi-lagi pasti akan merasa sakit
hati.
Amsyar membereskan piring. Mulai
mencuci dan merapikan alat-alat dapur yang ia makan. Dalam kesunyian dan
kesendiriannya ia memutar kejadian-kejadian hari ini dengan latar musik sedih.
Bunyi air keran ikut menemani. Tidak hanya mencuci piring kotor, air itu juga
menenggelamkan tangis yang tak akan didengar siapa pun kecuali satu orang.
Senyum getir terlihat, ia menguatkan
dirinya sendiri.
Komentar
Posting Komentar