Langsung ke konten utama

Secret 8: Bukan Pangeran Berkuda

 

Lima menit sebelum gerbang ditutup sempurna, akhirnya dalam satu bulan ini Kirana berhasil datang tepat waktu. Setidaknya ini adalah pencapaiannya yang ke lima kali. Yah, kalau dihitung ia hanya mampu tidak terlambat ke sekolah satu kali dalam satu minggu. Jika kalian bingung mengapa Renai tetangganya tidak juga telat seperti Kirana, itu karena gadis kelas dua belas ini memang selalu bangun kesiangan. Ditambah rumah yang jaraknya cukup jauh, juga jika harus berkelahi dengan ibunya ia akan mencari angkot atau ojek online. Sangat tidak hemat waktu.

            Datang sebelum gerbang ditutup sebenarnya bukan prestasi yang membanggakan, tapi Kirana suka saja mengelu-elukan dirinya. Apalagi jika sudah ada Lingling di bangku. Dengan penuh senyum dan kebanggaan ia pamer kepada sobat duduk sejak kelas sebelas itu.

            “Lima kali dalam sebulan, hebat kan?” goda Kirana dengan kedua tangan di pinggang.

            Lingling mengerlingkan mata, lantas mengeluarkan uang lima ribuan. Dia kalah taruhan.

            “Terima kasih, kawan,” ucap Kirana menerima lembar berwarna coklat itu.

            Lingling tidak mengangguk, tidak pula memajukan bibirnya, “PR sosiologi sudah?”

            Sebagai jawaban Kirana memberikan buku sosiologinya.

            “Aku sedang baik hari ini. Kau boleh salin semuanya,”

            Cengiran yang menampilkan gigi tak rapi Lingling menandakan bahwa persahabatan kembali terjalin. Tanpa waktu lama lagi, Lingling menyambar buku Kirana dan menyalin jawabannya. Dia sangat bersyukur Kirana bisa datang lebih awal. Kalau tidak, saat mata pelajaran sosiologi nanti dirinya akan dihukum seperti yang terjadi selumbari.

            Kirana meletakkan pantatnya di kursi kayu yang tak lagi kokoh. Tasnya disangkutkan pada kursi. Sebelumnya ia keluarkan buku matematika sebagai pelajaran pertama. Membaca-baca sejenak catatan yang lalu dan mengingat pelajaran itu. Tangannya menggenggam pena, diputar-putarnya dengan kemampuan jari yang mumpuni.

            Tet…tet…tet!

            Bel sekolah berbunyi, menyuruh masuk beberapa siswa yang asik nongkrong di teras kelas. Membuat kesal siswa yang lagi-lagi terjebak di luar gerbang. Membuat panik siswa yang belum menyelesaikan tugas untuk pelajaran pertama.

            Kirana mengeluarkan telepon pintar dari tas. Membuka Instagram untuk kabar-kabar terbaru. Sayang tidak ada yang menarik. Ia kemudian memasukkan gawai ke dalam laci. Perlahan ia letakkan, sebab di dalam laci yang cukup lebar itu terlampau banyak barang ia letakkan. Seperti Al-Qur’an untuk program sekolah, mukenah, buku-buku yang berat, dan kotak makan.

            Alis Kirana bertemu. Kotak makan siapa yang salah masuk ke lacinya? Apakah milik Renai yang belum sempat ia kembalikan?

Sudah sepatutnya dia bingung. Karena dalam tiga tahun sekolah menengah atas tak pernah ia bawa bekal ke sekolah. Apalagi dalam bentuk kotak makan lucu berwarna kuning dengan gambar kucing di tutupnya. Lebih lagi kotak makan itu penuh berisi nasi pulen, telor mata sapi, sosis dua butir, dan sayur dengan potongan kecil-kecil. Di kotak sekat yang berbeda, ada potongan buah apel.

“Ling, punya kau?” tanya Kirana sambil memperlihatkan kotak kuning itu.

“Bukan,” jawab Lingling tanpa menoleh.

“Ih, lihat dulu!”

Lingling menghentikan tulisan panjang pada buku catatannya.

“Makan saja, untuk kau sepertinya,”

“Nanti aku diracun,”

“Hahaha, enggak mungkin orang ngasih ke kamu buat diracun,” ucap Lingling, ia kembali berlalu melihat ke arah catatan.

Kening Kirana semakin berkerut, “emang siapa yang ngasih?”

“Eh,”

“Siapa?” mata Kirana tak bergerak ke mana-mana, lurus menatap lawan bicaranya.

“Anu…itu loh,” Lingling gagap, menyadari kesalahan, “cari tahu aja sendiri.”

Buku sosiologi yang diberikan cuma-cuma oleh Kirana kembali ditarik. Sebagai sebuah ancaman kepada gadis bermata tipis. Lingling yang tak sempat menahan buku itu kemudian megarahkan pandangan ke Kirana. Wajahnya pasrah. Bodoh sekali dia kelepasan bicara.

“Oke, tapi aku tak akan kasih tahu siapa yang meletakkan kotak makan itu di laci kau. Dia bilang rahasia, harus Kirana sendiri yang cari tahu,” tutur Lingling.

Kirana tak bergeming. Informasi yang diterima belum cukup untuk ditukarkan dengan tugas yang ia kerjakan semalam suntuk, sendirian.

“Selain kotak makan itu ada surat juga di laci kau. Kau tebak sajalah siapa orangnya. Namanya juga orang jatuh cinta. Mana seru kalau kau sudah tahu. Cinta itu misteri!”

Lingling merasa cukup. Ia kemudian mengambil kembali buku kawannya itu. Tak menghiraukan ekspresi yang semakin bingung tergambar, juga rona penasaran dan bahagia di antaranya. 

            Seperti diburu oleh waktu, Kirana yang sempat berhenti langsung mengecek lacinya. Di antara tumpukan barang yang sesak, ia menemukan sepucuk surat. Seperti yang dikatakan oleh Lingling. Jantungnya mulai memompa darah lebih cepat. Ia layaknya seorang atlet yang sudah begitu jauh dari garis start, dan tak lama lagi mencapai kebahagiaan. Segera ia ambil, surat dengan amplop yang mengagumkan. Warnanya coklat dengan lilin segel berwarna merah dan cap bunga melati. Teksturnya kasar dan tak ada hiasan apa pun di permukaannya.

            Perlahan agar tidak merusak amplop dan isinya, Kirana membuka. Lingling yang agak penasaran juga mencuri lirik ke arah kawan sebangkunya itu. Begitu juga beberapa kawan kelas yang sudah tahu siapa pengirim surat yang pagi sekali sudah datang meletakkannya ke dalam laci Kirana. Mereka pun tak menyangka dalangnya. Beberapa gadis mencibir di ujung kelas, beruntung tak terdengar Kirana. Mereka iri, mereka cemburu!

           Sepucuk kertas berwarna putih kusam menyembul saat amplop terbuka. Aroma coklat yang manis keluar. Siapa yang bisa menolak kesungguhan cinta itu? Kirana bahkan geleng-geleng dan tak menyangka ada senyum yang tercipta di wajahnya.

            Begini rasanya menerima surat. Begini rasanya mendapat surat cinta. Semua yang pernah ia lakukan dan sedikit menjengkelkan buatnya, ternyata semenarik ini sensasinya. Lagi-lagi Kirana tersenyum. Napasnya tertahan sebab oksigen dirasa belum banyak memenuhi paru-paru. Kini seluruh tubuh berisi manisnya coklat dan miliaran bunga melati. Mengundang semut dan kupu-kupu untuk ikut meramaikan betapa manisnya hati Kirana. Wajahnya ikut merah, tak bisa ditahan lagi senyuman lebar. Padahal belum ia buka isi surat itu. Ia terlalu malu. Padahal belum tahu dari siapa surat itu, juga belum tahu apa isi suratnya. Kalau isi surat itu tentang rencana pembunuhan? Alamak, akan rumit sekali cerita ini nantinya.

            Kirana membuka lipatan surat. Lingling melongok ingin lihat. Ia melupakan tugas sosiologi yang baru setengahnya disalin dari buku Kirana. Jantung Kirana membunyikan hal yang tidak biasa. Sebenarnya ia beberapa kali merasakan hal tersebut. Tapi yang kali ini lebih cepat. Membuat Kirana mabuk bahkan ketika membaca satu bait saja.

Begitu lebar kembangan senyum Kirana. Ia rasanya ingin teriak sekencang yang dirinya bisa. Kedua tangan menutup wajah yang terlanjur malu. Binar mata tak membohongi betapa ia senang sekali hari ini. Surat itu belum ia habiskan membacanya. Bagi Kirana ini terlalu mustahil untuk menjadi kenyataan!

Dan marilah mengucapkan terima kasih kepada pembawa berita yang datang tanpa tergesa-gesa. Namun tentu bersemangat sekali memberikan pengumuman di depan kelas.

            “Woi! Kabar menggemparkan dan bahagia untuk kita semua!”

            Suara itu tertahan. Meminta perhatian seluruh kelas. Masih dengan perasaan yang tak keruan, Kirana ikut mendengarkan. Dalam hatinya, apa pun yang nanti diucap Ridho pastilah tak akan bisa menghancurkan kebahagiaan hari ini. 

            “Pak Dede cuti! Pagi ini kita jamkos!”

            Wajah berbinar sang pembawa kabar menular. Riuh terjadi dengan cepat. Semua orang berseru dalam histeria. Karena ini benar-benar berita yang menggemparkan sekaligus membahagiakan. Beberapa teriakan anak kelas dua belas IPS empat terdengar, mungkin mengganggu kelas lain yang baru memulai pelajaran. Tapi tentunya kalian bisa menebak siapa yang paling kencang berteriak.

***

            Nona muda berkuncir kuda,

Bahkan jika tak dikuncir kuda kau tetap menggoda

Adakah kau melihat lukisan terindah di dunia?

Setiap kau berkaca, harusnya kau bersyukur bisa melihatnya

Sedangkan aku perlu waktu tertentu, lima hari setiap minggu

            Nona muda berkuncir kuda,

Senyumnya manis tak seperti kuda

Tangannya lihai bermain kata

Suaranya renyah buatku tertawa

Bisakah kita bertemu? Tentu saja

            Nona muda berkuncir kuda,

Aku bukan pujangga yang senang menggombal

Tapi bagiku, surat-suratmu harus juga kubalas

Dengan kata, dengan indah, dengan sepenuh jiwa raga

Ini baru satu, dari sejuta atau bahkan tak bisa kuhitung

Kan kubalas surat-suratmu, kan bertemu selekasnya

 

bukan pangeran berkuda.

            Kirana sudah menghabiskan bekal yang disiapkan rahasia oleh seseorang. Mengakunya sebagai ‘bukan pangeran berkuda’, tapi dalam benak Kirana ia sudah tahu siapa orangnya. Amsyar! Sudah pasti ini adalah surat balasan Amsyar untuknya. Bukan hanya terkaan, ia juga mendapat validasi dari teman-teman kelasnya yang segera menggoda.

           Selain bekal sederhana, Kirana juga sudah menghabiskan membaca surat dari ‘bukan pangeran berkuda’. Membuatnya hampir tak sadarkan diri karena baginya surat itu keterlaluan. Tentu keterlaluan karena membuatnya tersesat di taman bunga dengan kupu-kupu yang menerbangkannya begitu tinggi hingga bisa tidur-tiduran di awan. Perutnya selain penuh dengan telur dan sosis, juga penuh oleh warna-warni kecuali hitam.

Kirana terus tersenyum sampai bel istirahat pertama dibunyikan. Membuat Lingling menjadi kesal sendiri. Karena Kirana tak kunjung fokus belajar, yang juga menyebabkan ia tak bisa mendapat jawaban atau mengerti pelajaran geografi. Bagi Lingling, perasaan Kirana yang sekarang benar-benar sudah tak tertolong. Bahkan pelajaran kesenangannya saja tak dihiraukan.

Kabar mengenai surat balasan itu menyebar begitu cepat. Apalagi kepada para gadis yang juga mengincar primadona sekolah. Mereka seolah tak percaya pangerannya mengutarakan perasaan secepat ini. Bahkan bukan kepada perempuan yang punya ketenaran setara. Bukan hanya para gadis, kaum adam juga ikut berbisik-bisik. Mereka bersyukur akhirnya Amsyar sudah memilih satu puan. Agar perempuan lain yang sedang patah hati karena tidak dibalas pujaan, bisa direbut dengan mudah.

Nyimas dan Acha tak mungkin pula ketinggalan informasi itu. Keduanya langsung menghampiri Kirana saat bel istirahat berbunyi. Di depan pintu kelas, langsung diseretnya Kirana menuju kantin. Memaksa untuk bercerita tentang perjalanan kasih dan surat cinta dari ‘bukan pangeran berkuda’.

“Ran, kau memang di luar nalar!” Acha geleng-geleng kepala.

“Jadi selama ini Renai membantu kau menuliskan surat cinta kepada Amsyar?” Nyimas bertanya memastikan.

“Iya, dia kasih tips juga,”

“Heh, kalau aku jadi Renai aku yang deketin Amsyar!” Nyimas masih tak percaya.

Kirana terkekeh mendengar komentar sahabatnya itu, “untung, ya Renai enggak ada perasaan sama Amsyar.”

“Iya, beruntung kau, Ran. Harus ditraktir tuh, Renai. Kami juga, pajak jadian,”

“Ran, ini beneran?” Acha belum terima dengan situasinya. Sedari tadi ia membayangkan skenario bohongan yang disusun rapi oleh Kirana.

“Ih, belum jadian kali. Amsyar cuma kirim surat balasan aja. Aku juga enggak tahu suratnya beneran dari Amsyar atau enggak. Soalnya disitu tertulis ‘bukan pangeran berkuda’,”

“Ran, kalau bener jadian aku cuma mau ngasih selamat dan minta izin,”

“Minta izin kenapa, Cha?”

“Aku mau pamer sama cewek-cewek centil di kelasku yang pede banget bakal jadian sama Amsyar. Aku izin pamerin kau dan Amsyar, temenku yang kece banget! Wuhu!” seru Acha. Beberapa wajah di kantin menoleh ke arah meja mereka.

“Iya, bener juga, Cha! Rombongan Hani, kan?”

“Seratus untuk Nyimas!”

“Kalau dia mah, emang perlu dikasih pelajaran,” ujar Nyimas penuh semangat.

Kirana tertawa dan tak mau melanjutkan topik itu. Bukan karena tidak penting, tapi belum pasti juga Amsyar akan menjadi pacarnya. Kirana beranjak dari tempat duduk, ia izin kepada Acha dan Nyimas untuk membeli gorengan. Kedua temannya membolehkan sambil ikut menitip pesanan.

“Bolehlah kita ditraktir,” goda Nyimas.

“Bener banget!”

Kirana tersenyum paksa, “iya iya,” balas Kirana pasrah.

Langkahnya dibawa ke kantin paling ujung yang menghasilkan bau gorengan nikmat. Selalu tersaji hangat, itulah yang membuat kios gorengan tak pernah sepi pengunjung. Penjualnya adalah laki-laki paruh baya yang sudah berjualan sejak sekolah ini didirikan. Menunya pun tak pernah diganti, selalu konsisten berjual gorengan saja. Walau begitu gorengannya punya banyak pilihan. Tahu, tempe, bakwan, empek-empek, cireng, molen, pisang, bijur, lumpia, sosis, bahkan kentang goreng juga ada.

Kirana mengambil lima cireng, tiga tempe, satu molen, dua pisang, dua lumpia, dan satu bijur. Diserahkannya uang pas kepada Pak Tohir, penjual gorengan yang sibuk menggoreng adonan bakwan yang baru.

“Ini pak, kembalian dua ribu,”

“Bentar, Dek,” balas Pak Tohir. Diletakkannya wadah adonan, mengambil uang kembalian di dalam toples khusus.

“Eh, ini Kirana, ya?”

“Iya, Pak,”

“Oh, untuk kau gratis. Mau nambah juga silahkan. Tadi ngambil apa aja?”

“Hah? Kok gratis, Pak?”

“Bapak lagi baik hari ini,”

Kirana menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sejak kapan Pak Tohir menggratiskan jualannya? Tapi ia tak mau ambil pusing. Kesempatan langkah ini harus dimanfaatkan.

“Beneran nih, Pak?”

“Iya, Dek,” jawab Pak Tohir yang kembali sibuk menggoreng adonan bakwan.

Minyak panas yang bertemu adonan basah memeletik sedikit. Tangan Pak Tohir yang sudah terbiasa kena minyak tak lagi merasa sakit. Ia abaikan dan tetap menuangkan adonan dengan sendok saktinya.

“Asik! Kalau gitu saya nambah tahu pedes enam, Pak,”

“Tadi beli apa saja kau?”

“Cireng lima, tempe tiga, molen satu, pisang goreng dua, lumpia dua, bijur satu, sama tahu pedes enam,” ulang Kirana.

“Sip!”

“Makasih, Pak Tohir. Semoga lancar rezekinya,”

“Ya, ya.”

Sudahlah dapat bekal di pagi hari, surat dari ‘bukan pangeran berkuda’, kini Kirana digratiskan pula dua puluh gorengan oleh Pak Tohir. Hari ini benar-benar sempurna. Ia merasa harus merayakan dengan kawan-kawannya. Bukan hanya Nyimas dan Acha, ia juga harus segera menceritakan semua hal baik ini kepada Renai. Pun Renai harus dapat bagian traktiran gorengan ini. Yah, walau sebenarnya Kirana mendapatkannya dengan cuma-cuma.

Renai, kawannya satu itu sedang sibuk belajar untuk ulangan biologi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi : Novel Nebula Karya Tere Liye

Novel “NEBULA” Karya Tere Liye :  Rahasia Pengintai Terbaik dan Kembalinya Musuh Lama Oleh : Lubna Anfaresi Judul                : NEBULA Penulis             : Tere Liye Penerbit             : Gramedia Pustaka Utama Kota Terbit       : Jakarta Cetakan II        : April 2020 Ketebalan         : 376 halaman Pendahuluan             Serial Bumi merupakan salah satu serial yang dikeluarkan oleh penulis Tere Liye dan berhasil menarik minat pembaca di tanah air. Serial fantasi ini sudah memiliki sembilan seri dengan seri terbaru berjudul “NEBULA”. Sama seperti seri sebelumnya yang berjudul “SELENA”, seri ke-9 ini menceritakan kisah dari sudut pandang Selena sebaga...

Masak, Makan, Lempah Kuning

  Masak, Makan, Lempah Kuning “Wew, banyak kenek ge. Basing ka lah pon!” [1]             Ucapan dari Ami, gadis Bangka yang sudah kutemui sejak lima hari bertugas di daerah ini, terus terngiang di antara malam-malam sepi di kamar berukuran lima kali tujuh meter. Suaranya begitu tinggi, mencekam, dan rasanya penuh kebencian. Raut wajahnya yang mengerut itu terus terbayang, juga ucapan dengan bahasa yang aku tidak mengerti sama sekali. Jauh dari mal perbelanjaan, kafe yang selalu ramai, atau sekadar lalu lintas kota Yogya, aku terjebak sampai sembilan hari kedepan untuk mengerjakan tugas kuliahku di sini. Aku tidur menumpang kepada salah satu warga kenalan kawan kuliahku, yang juga berasal dari Bangka. Katanya itu adalah rumah seperadik [2] -nya. Pintu kamar yang menjadi tempat tidurku sementara tiba-tiba diketuk dari luar. Aku menghela napas, mencoba meraih gagang pintu dan membiarkan sinar lampu di ruang tengah masuk ke d...

Nugget

Pernah berpikir untuk masak nugget goreng yang dicocol dengan cuko ? Itu yang Bene lakukan. Aneh, iya. Tapi Bene tidak akan peduli dengan komentar orang, karena toh dia sekarang ada di kontrakannya. Sendirian. Setelah berkutat dengan kertas-kertas laporan praktikumnya selama satu semester, Bene bisa beristirahat sejenak. Gadis itu tidak pergi ke luar kontrakannya, kecuali untuk membeli makan atau bahan masakan. Keinginannya untuk naik gunung setiap liburan juga harus kandas. Alasanya sederhana, karena ia tidak punya teman untuk naik ke atas sana. Jika kalian semua mendorong gadis itu untuk pergi sendiri,             “Terima kasih.” Dua kata itu akan keluar dari bibirnya yang sedikit kering. Saran dari kawan-kawan dekatnya, biarkan saja Bene asyik dengan dunianya. Ia bisa saja pergi ke Bandung sekarang juga, atau ke Jakarta. Tapi buat apa? Ia tidak mau menghabiskan lebih banyak uang beasiswa yang baru cair satu pekan lalu...