Lima
menit sebelum gerbang ditutup sempurna, akhirnya dalam satu bulan ini Kirana
berhasil datang tepat waktu. Setidaknya ini adalah pencapaiannya yang ke lima
kali. Yah, kalau dihitung ia hanya mampu tidak terlambat ke sekolah satu kali
dalam satu minggu. Jika kalian bingung mengapa Renai tetangganya tidak juga
telat seperti Kirana, itu karena gadis kelas dua belas ini memang selalu bangun
kesiangan. Ditambah rumah yang jaraknya cukup jauh, juga jika harus berkelahi
dengan ibunya ia akan mencari angkot atau ojek online. Sangat tidak
hemat waktu.
Datang sebelum gerbang ditutup
sebenarnya bukan prestasi yang membanggakan, tapi Kirana suka saja
mengelu-elukan dirinya. Apalagi jika sudah ada Lingling di bangku. Dengan penuh
senyum dan kebanggaan ia pamer kepada sobat duduk sejak kelas sebelas itu.
“Lima kali dalam sebulan, hebat
kan?” goda Kirana dengan kedua tangan di pinggang.
Lingling mengerlingkan mata, lantas
mengeluarkan uang lima ribuan. Dia kalah taruhan.
“Terima kasih, kawan,” ucap Kirana
menerima lembar berwarna coklat itu.
Lingling tidak mengangguk, tidak
pula memajukan bibirnya, “PR sosiologi sudah?”
Sebagai jawaban Kirana memberikan
buku sosiologinya.
“Aku sedang baik hari ini. Kau boleh
salin semuanya,”
Cengiran yang menampilkan gigi tak
rapi Lingling menandakan bahwa persahabatan kembali terjalin. Tanpa waktu lama
lagi, Lingling menyambar buku Kirana dan menyalin jawabannya. Dia sangat
bersyukur Kirana bisa datang lebih awal. Kalau tidak, saat mata pelajaran
sosiologi nanti dirinya akan dihukum seperti yang terjadi selumbari.
Kirana meletakkan pantatnya di kursi
kayu yang tak lagi kokoh. Tasnya disangkutkan pada kursi. Sebelumnya ia
keluarkan buku matematika sebagai pelajaran pertama. Membaca-baca sejenak
catatan yang lalu dan mengingat pelajaran itu. Tangannya menggenggam pena,
diputar-putarnya dengan kemampuan jari yang mumpuni.
Tet…tet…tet!
Bel sekolah berbunyi, menyuruh masuk
beberapa siswa yang asik nongkrong di teras kelas. Membuat kesal siswa yang
lagi-lagi terjebak di luar gerbang. Membuat panik siswa yang belum
menyelesaikan tugas untuk pelajaran pertama.
Kirana mengeluarkan telepon pintar
dari tas. Membuka Instagram untuk kabar-kabar terbaru. Sayang tidak ada
yang menarik. Ia kemudian memasukkan gawai ke dalam laci. Perlahan ia letakkan,
sebab di dalam laci yang cukup lebar itu terlampau banyak barang ia letakkan.
Seperti Al-Qur’an untuk program sekolah, mukenah, buku-buku yang berat, dan
kotak makan.
Alis Kirana bertemu. Kotak makan
siapa yang salah masuk ke lacinya? Apakah milik Renai yang belum sempat ia
kembalikan?
Sudah
sepatutnya dia bingung. Karena dalam tiga tahun sekolah menengah atas tak
pernah ia bawa bekal ke sekolah. Apalagi dalam bentuk kotak makan lucu berwarna
kuning dengan gambar kucing di tutupnya. Lebih lagi kotak makan itu penuh
berisi nasi pulen, telor mata sapi, sosis dua butir, dan sayur dengan potongan
kecil-kecil. Di kotak sekat yang berbeda, ada potongan buah apel.
“Ling,
punya kau?” tanya Kirana sambil memperlihatkan kotak kuning itu.
“Bukan,”
jawab Lingling tanpa menoleh.
“Ih,
lihat dulu!”
Lingling
menghentikan tulisan panjang pada buku catatannya.
“Makan
saja, untuk kau sepertinya,”
“Nanti
aku diracun,”
“Hahaha,
enggak mungkin orang ngasih ke kamu buat diracun,” ucap Lingling, ia kembali
berlalu melihat ke arah catatan.
Kening
Kirana semakin berkerut, “emang siapa yang ngasih?”
“Eh,”
“Siapa?”
mata Kirana tak bergerak ke mana-mana, lurus menatap lawan bicaranya.
“Anu…itu
loh,” Lingling gagap, menyadari kesalahan, “cari tahu aja sendiri.”
Buku
sosiologi yang diberikan cuma-cuma oleh Kirana kembali ditarik. Sebagai sebuah
ancaman kepada gadis bermata tipis. Lingling yang tak sempat menahan buku itu
kemudian megarahkan pandangan ke Kirana. Wajahnya pasrah. Bodoh sekali dia
kelepasan bicara.
“Oke,
tapi aku tak akan kasih tahu siapa yang meletakkan kotak makan itu di laci kau.
Dia bilang rahasia, harus Kirana sendiri yang cari tahu,” tutur Lingling.
Kirana
tak bergeming. Informasi yang diterima belum cukup untuk ditukarkan dengan
tugas yang ia kerjakan semalam suntuk, sendirian.
“Selain
kotak makan itu ada surat juga di laci kau. Kau tebak sajalah siapa orangnya.
Namanya juga orang jatuh cinta. Mana seru kalau kau sudah tahu. Cinta itu
misteri!”
Lingling
merasa cukup. Ia kemudian mengambil kembali buku kawannya itu. Tak menghiraukan
ekspresi yang semakin bingung tergambar, juga rona penasaran dan bahagia di
antaranya.
Seperti diburu oleh waktu, Kirana
yang sempat berhenti langsung mengecek lacinya. Di antara tumpukan barang yang
sesak, ia menemukan sepucuk surat. Seperti yang dikatakan oleh Lingling. Jantungnya
mulai memompa darah lebih cepat. Ia layaknya seorang atlet yang sudah begitu
jauh dari garis start, dan tak lama lagi mencapai kebahagiaan. Segera ia
ambil, surat dengan amplop yang mengagumkan. Warnanya coklat dengan lilin segel
berwarna merah dan cap bunga melati. Teksturnya kasar dan tak ada hiasan apa
pun di permukaannya.
Perlahan agar tidak merusak amplop
dan isinya, Kirana membuka. Lingling yang agak penasaran juga mencuri lirik ke
arah kawan sebangkunya itu. Begitu juga beberapa kawan kelas yang sudah tahu
siapa pengirim surat yang pagi sekali sudah datang meletakkannya ke dalam laci
Kirana. Mereka pun tak menyangka dalangnya. Beberapa gadis mencibir di ujung
kelas, beruntung tak terdengar Kirana. Mereka iri, mereka cemburu!
Sepucuk kertas berwarna putih kusam
menyembul saat amplop terbuka. Aroma coklat yang manis keluar. Siapa yang bisa
menolak kesungguhan cinta itu? Kirana bahkan geleng-geleng dan tak menyangka
ada senyum yang tercipta di wajahnya.
Begini rasanya menerima surat.
Begini rasanya mendapat surat cinta. Semua yang pernah ia lakukan dan sedikit
menjengkelkan buatnya, ternyata semenarik ini sensasinya. Lagi-lagi Kirana
tersenyum. Napasnya tertahan sebab oksigen dirasa belum banyak memenuhi
paru-paru. Kini seluruh tubuh berisi manisnya coklat dan miliaran bunga melati.
Mengundang semut dan kupu-kupu untuk ikut meramaikan betapa manisnya hati
Kirana. Wajahnya ikut merah, tak bisa ditahan lagi senyuman lebar. Padahal
belum ia buka isi surat itu. Ia terlalu malu. Padahal belum tahu dari siapa
surat itu, juga belum tahu apa isi suratnya. Kalau isi surat itu tentang
rencana pembunuhan? Alamak, akan rumit sekali cerita ini nantinya.
Kirana membuka lipatan surat.
Lingling melongok ingin lihat. Ia melupakan tugas sosiologi yang baru setengahnya
disalin dari buku Kirana. Jantung Kirana membunyikan hal yang tidak biasa.
Sebenarnya ia beberapa kali merasakan hal tersebut. Tapi yang kali ini lebih
cepat. Membuat Kirana mabuk bahkan ketika membaca satu bait saja.
Begitu
lebar kembangan senyum Kirana. Ia rasanya ingin teriak sekencang yang dirinya
bisa. Kedua tangan menutup wajah yang terlanjur malu. Binar mata tak membohongi
betapa ia senang sekali hari ini. Surat itu belum ia habiskan membacanya. Bagi
Kirana ini terlalu mustahil untuk menjadi kenyataan!
Dan
marilah mengucapkan terima kasih kepada pembawa berita yang datang tanpa
tergesa-gesa. Namun tentu bersemangat sekali memberikan pengumuman di depan
kelas.
“Woi! Kabar menggemparkan dan
bahagia untuk kita semua!”
Suara itu tertahan. Meminta
perhatian seluruh kelas. Masih dengan perasaan yang tak keruan, Kirana ikut
mendengarkan. Dalam hatinya, apa pun yang nanti diucap Ridho pastilah tak akan
bisa menghancurkan kebahagiaan hari ini.
“Pak Dede cuti! Pagi ini kita
jamkos!”
Wajah berbinar sang pembawa kabar
menular. Riuh terjadi dengan cepat. Semua orang berseru dalam histeria. Karena
ini benar-benar berita yang menggemparkan sekaligus membahagiakan. Beberapa
teriakan anak kelas dua belas IPS empat terdengar, mungkin mengganggu kelas
lain yang baru memulai pelajaran. Tapi tentunya kalian bisa menebak siapa yang
paling kencang berteriak.
***
Nona muda berkuncir kuda,
Bahkan jika tak
dikuncir kuda kau tetap menggoda
Adakah kau melihat
lukisan terindah di dunia?
Setiap kau
berkaca, harusnya kau bersyukur bisa melihatnya
Sedangkan aku
perlu waktu tertentu, lima hari setiap minggu
Nona muda berkuncir kuda,
Senyumnya manis
tak seperti kuda
Tangannya lihai
bermain kata
Suaranya renyah
buatku tertawa
Bisakah kita
bertemu? Tentu saja
Nona muda berkuncir kuda,
Aku bukan pujangga
yang senang menggombal
Tapi bagiku,
surat-suratmu harus juga kubalas
Dengan kata,
dengan indah, dengan sepenuh jiwa raga
Ini baru satu,
dari sejuta atau bahkan tak bisa kuhitung
Kan kubalas
surat-suratmu, kan bertemu selekasnya
bukan pangeran berkuda.
Kirana sudah menghabiskan bekal yang
disiapkan rahasia oleh seseorang. Mengakunya sebagai ‘bukan pangeran berkuda’,
tapi dalam benak Kirana ia sudah tahu siapa orangnya. Amsyar! Sudah pasti ini
adalah surat balasan Amsyar untuknya. Bukan hanya terkaan, ia juga mendapat
validasi dari teman-teman kelasnya yang segera menggoda.
Selain bekal sederhana, Kirana juga
sudah menghabiskan membaca surat dari ‘bukan pangeran berkuda’. Membuatnya
hampir tak sadarkan diri karena baginya surat itu keterlaluan. Tentu
keterlaluan karena membuatnya tersesat di taman bunga dengan kupu-kupu yang
menerbangkannya begitu tinggi hingga bisa tidur-tiduran di awan. Perutnya
selain penuh dengan telur dan sosis, juga penuh oleh warna-warni kecuali hitam.
Kirana
terus tersenyum sampai bel istirahat pertama dibunyikan. Membuat Lingling
menjadi kesal sendiri. Karena Kirana tak kunjung fokus belajar, yang juga
menyebabkan ia tak bisa mendapat jawaban atau mengerti pelajaran geografi. Bagi
Lingling, perasaan Kirana yang sekarang benar-benar sudah tak tertolong. Bahkan
pelajaran kesenangannya saja tak dihiraukan.
Kabar
mengenai surat balasan itu menyebar begitu cepat. Apalagi kepada para gadis
yang juga mengincar primadona sekolah. Mereka seolah tak percaya pangerannya
mengutarakan perasaan secepat ini. Bahkan bukan kepada perempuan yang punya
ketenaran setara. Bukan hanya para gadis, kaum adam juga ikut berbisik-bisik.
Mereka bersyukur akhirnya Amsyar sudah memilih satu puan. Agar perempuan lain
yang sedang patah hati karena tidak dibalas pujaan, bisa direbut dengan mudah.
Nyimas
dan Acha tak mungkin pula ketinggalan informasi itu. Keduanya langsung
menghampiri Kirana saat bel istirahat berbunyi. Di depan pintu kelas, langsung
diseretnya Kirana menuju kantin. Memaksa untuk bercerita tentang perjalanan
kasih dan surat cinta dari ‘bukan pangeran berkuda’.
“Ran,
kau memang di luar nalar!” Acha geleng-geleng kepala.
“Jadi
selama ini Renai membantu kau menuliskan surat cinta kepada Amsyar?” Nyimas
bertanya memastikan.
“Iya,
dia kasih tips juga,”
“Heh,
kalau aku jadi Renai aku yang deketin Amsyar!” Nyimas masih tak percaya.
Kirana
terkekeh mendengar komentar sahabatnya itu, “untung, ya Renai enggak ada
perasaan sama Amsyar.”
“Iya,
beruntung kau, Ran. Harus ditraktir tuh, Renai. Kami juga, pajak jadian,”
“Ran,
ini beneran?” Acha belum terima dengan situasinya. Sedari tadi ia membayangkan
skenario bohongan yang disusun rapi oleh Kirana.
“Ih,
belum jadian kali. Amsyar cuma kirim surat balasan aja. Aku juga enggak tahu
suratnya beneran dari Amsyar atau enggak. Soalnya disitu tertulis ‘bukan
pangeran berkuda’,”
“Ran,
kalau bener jadian aku cuma mau ngasih selamat dan minta izin,”
“Minta
izin kenapa, Cha?”
“Aku
mau pamer sama cewek-cewek centil di kelasku yang pede banget bakal jadian sama
Amsyar. Aku izin pamerin kau dan Amsyar, temenku yang kece banget! Wuhu!” seru
Acha. Beberapa wajah di kantin menoleh ke arah meja mereka.
“Iya,
bener juga, Cha! Rombongan Hani, kan?”
“Seratus
untuk Nyimas!”
“Kalau
dia mah, emang perlu dikasih pelajaran,” ujar Nyimas penuh semangat.
Kirana
tertawa dan tak mau melanjutkan topik itu. Bukan karena tidak penting, tapi
belum pasti juga Amsyar akan menjadi pacarnya. Kirana beranjak dari tempat
duduk, ia izin kepada Acha dan Nyimas untuk membeli gorengan. Kedua temannya
membolehkan sambil ikut menitip pesanan.
“Bolehlah
kita ditraktir,” goda Nyimas.
“Bener
banget!”
Kirana
tersenyum paksa, “iya iya,” balas Kirana pasrah.
Langkahnya
dibawa ke kantin paling ujung yang menghasilkan bau gorengan nikmat. Selalu
tersaji hangat, itulah yang membuat kios gorengan tak pernah sepi pengunjung.
Penjualnya adalah laki-laki paruh baya yang sudah berjualan sejak sekolah ini
didirikan. Menunya pun tak pernah diganti, selalu konsisten berjual gorengan
saja. Walau begitu gorengannya punya banyak pilihan. Tahu, tempe, bakwan,
empek-empek, cireng, molen, pisang, bijur, lumpia, sosis, bahkan kentang goreng
juga ada.
Kirana
mengambil lima cireng, tiga tempe, satu molen, dua pisang, dua lumpia, dan satu
bijur. Diserahkannya uang pas kepada Pak Tohir, penjual gorengan yang sibuk
menggoreng adonan bakwan yang baru.
“Ini
pak, kembalian dua ribu,”
“Bentar,
Dek,” balas Pak Tohir. Diletakkannya wadah adonan, mengambil uang kembalian di
dalam toples khusus.
“Eh,
ini Kirana, ya?”
“Iya,
Pak,”
“Oh,
untuk kau gratis. Mau nambah juga silahkan. Tadi ngambil apa aja?”
“Hah?
Kok gratis, Pak?”
“Bapak
lagi baik hari ini,”
Kirana
menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sejak kapan Pak Tohir menggratiskan
jualannya? Tapi ia tak mau ambil pusing. Kesempatan langkah ini harus
dimanfaatkan.
“Beneran
nih, Pak?”
“Iya,
Dek,” jawab Pak Tohir yang kembali sibuk menggoreng adonan bakwan.
Minyak
panas yang bertemu adonan basah memeletik sedikit. Tangan Pak Tohir yang sudah
terbiasa kena minyak tak lagi merasa sakit. Ia abaikan dan tetap menuangkan
adonan dengan sendok saktinya.
“Asik!
Kalau gitu saya nambah tahu pedes enam, Pak,”
“Tadi
beli apa saja kau?”
“Cireng
lima, tempe tiga, molen satu, pisang goreng dua, lumpia dua, bijur satu, sama
tahu pedes enam,” ulang Kirana.
“Sip!”
“Makasih,
Pak Tohir. Semoga lancar rezekinya,”
“Ya,
ya.”
Sudahlah
dapat bekal di pagi hari, surat dari ‘bukan pangeran berkuda’, kini Kirana
digratiskan pula dua puluh gorengan oleh Pak Tohir. Hari ini benar-benar
sempurna. Ia merasa harus merayakan dengan kawan-kawannya. Bukan hanya Nyimas
dan Acha, ia juga harus segera menceritakan semua hal baik ini kepada Renai. Pun
Renai harus dapat bagian traktiran gorengan ini. Yah, walau sebenarnya Kirana
mendapatkannya dengan cuma-cuma.
Renai,
kawannya satu itu sedang sibuk belajar untuk ulangan biologi.
Komentar
Posting Komentar