“Udah
daftar SNBP?”
“Udah,”
“Jadi kau ngambil dimana, Ran?”
“Hukum, UI,” jawabnya malas.
“Hah? Serius?” Nyimas tak menyangka.
“Anak rebel kayak kamu tumben
nurut ibu?” Renai bertanya sembarang. Walau itulah kenyataannya.
“Males, bertengkar terus. Aku kasih
penawaran. Kalau SNBP enggak lolos hukum UI, aku boleh daftar meteorologi atau
kehutanan,” jelasnya sambil mencomot makanan ringan milik Acha.
“Cerdas! Akhirnya temanku bisa
berpikir,” lagi Renai bercanda.
Keempat sahabat itu duduk di kursi
melingkar. Sebagai peneduh, ada payung jamur yang terbuat dari semen. Sudah
rusak di beberapa sisi tentunya. Tapi meja jamur yang lebih dari satu jumlahnya
selalu menjadi tempat asik untuk nongkrong atau kerja kelompok. Mereka tak ikut
duduk di kursi kantin. Hanya membeli minum masing-masing dan menyantap makanan
ringan milik Acha serta kue bolu buatan Renai.
Angin menyalurkan kesegaran di
teriknya sinar matahari. Debu-debu ikut terbang pertanda hujan belum mau datang
sejak satu pekan lalu. Dimaklumi kesalahan tersebut karena ini masih
bulan-bulan kemarau. Namun kadang kemarau pun berkhianat dengan tiba-tiba mengajak
petir bermain di langit. Tetes yang tak ramah dengan cepat membasahi jemuran
yang sudah kering, tinggal diangkat saja.
“Kalau kita semua keterima SNBP aku
bakal traktir makan di restoran seafood,” kata Acha.
“Kalau kita semua keterima SNBP aku
bakal masakin kalian selama tiga hari berturut-turut,” Renai menawarkan
janjinya.
“Jangan kita semua. Kalian bertiga
saja,”
“Loh, kok gitu Ran? Kita kan mesti
sama-sama sukses!” Nyimas bertanya tak sepakat.
“Iya, tapi aku enggak mau keterima
hukum UI. Nanti aku berjuang di UTBK aja, deh. Enggak apa-apa belajar lebih
banyak dan lebih lama,” jawabnya enteng.
“Iya, deh. Cuma kau ngomong itu ke
kita-kita aja. Kalau sampai tersebut di tempat lain, bisa-bisa kena tonjok kau,
Ran,” komentar Nyimas.
Benarlah yang dikatakan gadis
Palembang itu. Kalau Kirana menyebut di sembarang tempat, apalagi kepada
orang-orang yang tidak berkesempatan daftar jalur SNBP atau yang ngebet sekali
mengambil hukum UI, dia pasti menjadi topik pembicaraan. Lebih parahnya ditonjok
di tempat.
Waktu istirahat masih tersisa lima
menit lagi, saat mata tidak sengaja melihat sosok bintang sekolah. Nyimas
menyikut lengan Kirana yang tak menyadari kedatangan Amsyar. Sontak berhenti
dari bicaranya dengan Acha. Menghentikan pula menjilati coklat yang belepotan
pada jari-jarinya.
Langkah Amsyar tegas. Angin yang
beberapa kali sempat hadir memainkan rambutnya yang kena potong walau kemarin
ada razia besar-besaran. Rahangnya membuat wajah menjadi lebih enak dipandang.
Membentuk sudut seratus tiga puluh derajat, tapi tidak berlebihan pula.
Kacamata mengilap karena sinar matahari, membuat lensa itu berubah warna
menjadi gelap hampir mendekati hitam. Seragamnya selalu rapi, sepatunya selalu
kokoh dan mengeluarkan suara seperti derap para tentara. Di tangan kiri
terlihat kertas brosur yang siap dibagikan kepada empat target.
Semua mata memandang laki-laki itu.
Berjalan mendekat.
“Hebat kalau kau benar-benar bisa
jadian dengan Amsyar, Ran,” bisik Acha saat jarak mereka dengan primadona tak
lagi jauh.
“Halo!” sapa Amsyar bersemangat.
“Hai!” balas Nyimas, yang lain ikut
juga. Tapi Renai hanya memberikan senyum.
“Aku ada brosur les UTBK, nih,”
ucapnya sambil memberikan empat brosur, “jadi itu inisiatif angkatan kita saja.
Aku dan Jack nanti bakal ajak orang-orang pinter buat bantu ngajarin dan
bagi-bagi ilmulah.”
Empat gadis itu bergeming. Fokus
membaca brosur ala kadar yang dibuat semalam oleh Amsyar.
“Eh, tapi kalian anak-anak SNBP
semua, ya?” tanya pemuda itu.
“Iya, tapi aku kayaknya bakal ikut
UTBK juga,” Kirana yang menjawab.
“Oh, ya? Bagus, Ran. Kita bisa
ketemu di klub belajar ini kalau kau mau. Nanti tentunya bakal ada pembahasan
soal dan ada trik dari beberapa kakak tingkat kita yang sudah lulus,”
Kirana kaget mendengar ucapan yang
keluar dari pemuda incarannya itu. Tak hanya dia, ketiga temannya bersamaan
mengangkat kepala dari brosur. Sedikit senyum terukir di wajah Kirana.
Sejujurnya ia hendak berteriak histeris, tapi tentu sikapnya harus ditampilkan
biasa saja. Wajar, normal, Kirana mengingat dengan perkataan Renai tentang
peraturan pertama.
“Kalian berdua aja gitu? Kami enggak
diajak berarti, ya?” ledek Nyimas. Matanya menggoda Kirana yang mendadak
berubah sikap.
“Tentu dong! Kita itu maksudnya kita
berlima, hahaha,” Amsyar menjawab tanpa canggung.
Laki-laki itu masih berdiri sampai
bel tanda masuk berbunyi. Ia memberikan senyumnya. Kumpulan itu hendak bubar,
dimulai dari Renai yang merapikan kotak bolunya. Tanpa bersepakat, Amsyar
menjatuhkan pandang ke arah Renai yang juga mendongak.
“Kenapa?” tanya Renai karena tak
enak dipandang seperti itu.
Tiga gadis lain juga berangkat dari
tempat duduk.
“Bukan apa-apa. Aku hanya berpikir
untuk mengajak kau jadi tutor di klub ini. Lumayan tutor literasi bahasa
Indonesia dan penalaran umum,” balas Amsyar agak lama.
“Dia juga pintar bahasa Inggris,
Syar,” tambah Acha.
“Nah, bagus!”
“Mending kita masuk kelas dulu
kawan-kawan. Lihat itu Pak Toni sudah keluar kantor,” kilah Renai
Tangannnya menunjuk ke arah pintu
ruang guru. Guru Kimia yang juga merangkap wakil kesiswaan itu berjalan santai
dengan mata yang tak henti memeriksa lorong dan lapangan sekolah. Semua
bersepakat untuk berhenti sebelum diteriaki Pak Toni.
***
Di atas kasur salem, Renai asik
membaca novel yang ia pinjam dari perpustakaan sekolah. Sedangkan Kirana masih
mengutak-atik puisi atau sajak yang nantinya menjadi surat cinta keempat untuk
Amsyar. Kalian tidak salah baca. Perkembangan Kirana memang sudah secepat itu.
Juga tambahkan kalau kalian heran karena Kirana yang tidak suka dengan
pelajaran bahasa Indonesia, mengapa bisa menuliskan sajak surat cinta? Itu
karena mak comblang yang menyarankan.
Kirana bergumam. Mengganti satu
diksi dengan diksi lain yang lebih romantis. Atau jika terlalu romantis, akan
diubahnya menjadi lebih sederhana. Setiap bulan surat cinta akan diletakkan di
laci meja Amsyar. Tanggalnya selalu sama, tanggal sebelas. Itu adalah tanggal
lahir Kirana. Buat apa? Entah, dia menurut saja perkataan peri cintanya.
“Reeen, aku muak,” rengek Kirana.
Ia sudah merevisi puisi itu tiga
kali. Tapi bagi Renai itu tetap saja terlalu lebay dan sama sekali tidak punya
arti. Dibandingkan dengan tiga surat sebelumnya, yang tujuh puluh persen
ditulis oleh Renai. Perbedaan surat satu surat itu akan membuat Amsyar mengangkat alis. Pasti!
“Kami bahkan tidak lagi mengobrol
dalam tiga hari ini. Ayolah, hentikan surat-surat cinta ini, Ren!” masih
merengek.
“Terserah kau saja, Ran. Aku
membantumu sebisa mungkin. Kalau tak mau, ya sudah,” jawab Renai tak peduli.
Kirana terdiam. Bergantian melihat
tulisannya dan wajah Renai. Lalu beringsut dari kasur untuk meraih gelas berisi
air bening. Kirana sudah berpusing-pusing dengan jadwal les yang ditambah
berkali lipat oleh ibunya. Sekarang Renai malah menyuruhnya membuat kalimat sulit
dimengerti untuk surat cintanya. Ia benar-benar tidak paham mengapa saat zaman
sudah maju dengan berbagai teknologi, masih saja ada orang yang suka dengan
surat cinta? Padahal cukup mengetik banyak percakapan lewat gawai, kirimkan,
dan selesai!
Renai menurunkan buku bacaannya.
Melihat teman yang frustasi, segera ia ambil buku coret-coret itu.
“Palingan kata ‘tempat bernaung’
bisa kau ganti ‘rumah’ atau ‘pohon beringin’. Selebihnya sudah,” ucapnya
setelah meneliti tulisan kawannya.
“Akhirnya,”
Renai menyeringai, “capek, ya
mengejar cinta.”
“Apalagi orangnya kayak Amsyar.
Awas, deh kalau aku ga jadian sama dia!”
“Waw, aku jadi takut disalahkan,”
tukas Renai.
“Enggak, yang salah tetap Amsyar.
Masa iya aku udah effort gini tetep ga ditembak?”
“Namanya juga perasaan,” Renai
mengangkat bahunya.
Kirana melipat tangannya. Bibir
dimajukan tanda tidak sepakat dengan ucapan tetangganya itu. Ia kemudian
menghempaskan diri ke atas kasur. Kembali matanya menatap ke beberapa bintang
di langit-langit kamarnya. Pemandangan yang akan selalu hadir setiap kali ia
membuka dan menutup mata.
“Ngomong-ngomong tadi Amsyar nyariin
kamu di klub UTBK,”
Mata Kirana yang sempat terpejam
sontak membulat. Ia mengubah posisinya. Hampir melompat dan membuat Renai harus
menutup buku. Seruan histeris keluar dari gadis itu. Ini kabar baik baginya.
Benar-benar kabar baik, bahwa apa yang ia lakukan selama berbulan-bulan
akhirnya mendapatkan hasil.
“Dia bilang apa?” tanya Kirana
menggoyang-goyang tubuh Renai.
“Aduh,” Renai melepaskan genggaman Kirana
pada lengannya, “dia tanya, kenapa Kirana enggak datang ke klub lagi? Apa dia
sakit? Tapi dia setiap hari sekolah, kan?” lanjut Renai mengikuti gaya Amsyar.
Secara otomatis, bibir-bibir Kirana
menarik begitu kuat. Membuatnya senyum puas dan ada sensasi sedikit geli
dirasakan. Ia berusaha untuk menghentikan senyum itu, tapi malah makin menjadi.
“Aaaakh!” seru Kirana.
Selama kurang lebih dua menit, Renai
harus bersabar melihat temannya yang kali ini benar-benar melompat. Kirana
mondar-mandir melihat cermin. Menampar wajahnya agar segera sadar. Lalu teriak
lagi, guling-guling di kasurnya. Kembali lompat sebanyak tiga kali. Terakhir ia
membenamkan wajah di bantal sambil berteriak. Kepalanya mendongak sepuluh detik
kemudian, menampilkan wajah merah. Juga masih dengan senyum yang tergantung
begitu lebar.
Renai
geleng-geleng melihat respon seorang gadis yang jatuh cinta dan sebenarnya
sedikit terobsesi dengan Amsyar. Kalau saja Kirana bukan sahabatnya, sudah
pasti ia mencibir kelakukan gadis itu.
“Oke, tenang. Kita harus tenang,
seperti kata ibu peri Renai. Peraturan pertama, sewajarnya, normal, dan tidak
lebay,” nasehat Kirana pada diri sendiri.
Itu sebenarnya sudah terlambat.
Karena reaksi tadi benar-benar berkebalikan dengan peraturan pertama. Tapi
siapa peduli? Toh, Amsyar tak melihat juga respon Kirana.
“Next topic, gimana klub
UTBK-nya? Aku kayaknya enggak bisa ikutan lagi. Jadwal lesku semakin padat.
Setiap hari ada dan sampai jam sepuluh malam. Bikin gila saja,” ujar Kirana,
kini lebih tenang.
“Emang sudah gila dari awal,”
celetuk Renai yang masih kaget atas respon kawannya itu.
Kirana nyengir, “kau gimana?”
“Begitulah. Aku benar-benar berharap
lulus SNBP, Ran. Sebenarnya siap atau tidak siap tetap harus kuhadapi juga
UTBK, tapi kalau bisa lolos sekarang kenapa enggak? Lagipula biaya kuliahnya
lebih murah kalau lulus SNBP,” tutur Renai.
Suasana kamar dengan cepat berubah.
Kawan dekat Kirana sejak zaman putih biru itu, memang terkendala dana
pendidikan. Sebisa mungkin Renai harus mencari universitas dengan biaya murah
atau kalau mau yang bergengsi, tentu dengan beasiswa. Renai sudah
memperhitungkan itu, sebab cita-citanya begitu tinggi. Segala usaha yang bisa
menambah nilai Renai di mata universitas sudah dicoba.
Sinar matahari sore yang masuk lewat
jendela kamar menemani keheningan. Beberapa suara kendaraan lalu lalang. Walau
ada halaman, selalu terdengar berisiknya motor dan mobil dari rumah Kirana.
Renai melihat ke seprai. Entah apa yang ada di dalam benaknya. Sedangkan Kirana
menatap gadis berambut gelombang yang dipotong seleher itu. Ia lalu membelai
tangan karibnya. Membuat Renai terbangun dari lamunan.
“Aku yakin, dari kita berempat
kemungkinan lulus terbesar ada di kamu, Ren,”
ucap Kirana tulus.
Lenggang sejenak. Keduanya
menghayati waktu.
Renai tersenyum, “aamiin,” pintanya
lembut.
“Tapi
aku tetap harus belajar buat jaga-jaga.”
“Oh, tentu! Aku kan les UTBK juga,
ya. Nanti kita berempat bisa saling tukar soal dan bantu jawab dengan trik
masing-masing. Yah, kalau Nyimas dan Acha enggak mau, kita berdua aja!” balas
Kirana semangat.
Dia dan Renai lantas tertawa
mengingat kelakuan dua temannya itu. Nyimas dan Acha sangat percaya diri akan
lulus di pilihan pertama SNBP. Tidak salah juga keduanya, sebab mereka pun
sudah menjaga nilai dengan baik. Berturut-turut menjadi juara kelas.
Yah,
persahabatan mereka berisi orang-orang hebat semua. Membuat keempatnya saling
tumbuh dan dukung menjadi lebih baik.
Komentar
Posting Komentar