Langsung ke konten utama

Secret 7: Persiapan

 

“Udah daftar SNBP?”

            “Udah,”

            “Jadi kau ngambil dimana, Ran?”

            “Hukum, UI,” jawabnya malas.

            “Hah? Serius?” Nyimas tak menyangka.

            “Anak rebel kayak kamu tumben nurut ibu?” Renai bertanya sembarang. Walau itulah kenyataannya.

            “Males, bertengkar terus. Aku kasih penawaran. Kalau SNBP enggak lolos hukum UI, aku boleh daftar meteorologi atau kehutanan,” jelasnya sambil mencomot makanan ringan milik Acha.

            “Cerdas! Akhirnya temanku bisa berpikir,” lagi Renai bercanda.

            Keempat sahabat itu duduk di kursi melingkar. Sebagai peneduh, ada payung jamur yang terbuat dari semen. Sudah rusak di beberapa sisi tentunya. Tapi meja jamur yang lebih dari satu jumlahnya selalu menjadi tempat asik untuk nongkrong atau kerja kelompok. Mereka tak ikut duduk di kursi kantin. Hanya membeli minum masing-masing dan menyantap makanan ringan milik Acha serta kue bolu buatan Renai.

            Angin menyalurkan kesegaran di teriknya sinar matahari. Debu-debu ikut terbang pertanda hujan belum mau datang sejak satu pekan lalu. Dimaklumi kesalahan tersebut karena ini masih bulan-bulan kemarau. Namun kadang kemarau pun berkhianat dengan tiba-tiba mengajak petir bermain di langit. Tetes yang tak ramah dengan cepat membasahi jemuran yang sudah kering, tinggal diangkat saja.

            “Kalau kita semua keterima SNBP aku bakal traktir makan di restoran seafood,” kata Acha.

            “Kalau kita semua keterima SNBP aku bakal masakin kalian selama tiga hari berturut-turut,” Renai menawarkan janjinya.

            “Jangan kita semua. Kalian bertiga saja,”

            “Loh, kok gitu Ran? Kita kan mesti sama-sama sukses!” Nyimas bertanya tak sepakat.

            “Iya, tapi aku enggak mau keterima hukum UI. Nanti aku berjuang di UTBK aja, deh. Enggak apa-apa belajar lebih banyak dan lebih lama,” jawabnya enteng.

            “Iya, deh. Cuma kau ngomong itu ke kita-kita aja. Kalau sampai tersebut di tempat lain, bisa-bisa kena tonjok kau, Ran,” komentar Nyimas.

            Benarlah yang dikatakan gadis Palembang itu. Kalau Kirana menyebut di sembarang tempat, apalagi kepada orang-orang yang tidak berkesempatan daftar jalur SNBP atau yang ngebet sekali mengambil hukum UI, dia pasti menjadi topik pembicaraan. Lebih parahnya ditonjok di tempat.

            Waktu istirahat masih tersisa lima menit lagi, saat mata tidak sengaja melihat sosok bintang sekolah. Nyimas menyikut lengan Kirana yang tak menyadari kedatangan Amsyar. Sontak berhenti dari bicaranya dengan Acha. Menghentikan pula menjilati coklat yang belepotan pada jari-jarinya.

            Langkah Amsyar tegas. Angin yang beberapa kali sempat hadir memainkan rambutnya yang kena potong walau kemarin ada razia besar-besaran. Rahangnya membuat wajah menjadi lebih enak dipandang. Membentuk sudut seratus tiga puluh derajat, tapi tidak berlebihan pula. Kacamata mengilap karena sinar matahari, membuat lensa itu berubah warna menjadi gelap hampir mendekati hitam. Seragamnya selalu rapi, sepatunya selalu kokoh dan mengeluarkan suara seperti derap para tentara. Di tangan kiri terlihat kertas brosur yang siap dibagikan kepada empat target.

            Semua mata memandang laki-laki itu. Berjalan mendekat.

            “Hebat kalau kau benar-benar bisa jadian dengan Amsyar, Ran,” bisik Acha saat jarak mereka dengan primadona tak lagi jauh.

            “Halo!” sapa Amsyar bersemangat.

            “Hai!” balas Nyimas, yang lain ikut juga. Tapi Renai hanya memberikan senyum.

            “Aku ada brosur les UTBK, nih,” ucapnya sambil memberikan empat brosur, “jadi itu inisiatif angkatan kita saja. Aku dan Jack nanti bakal ajak orang-orang pinter buat bantu ngajarin dan bagi-bagi ilmulah.”

            Empat gadis itu bergeming. Fokus membaca brosur ala kadar yang dibuat semalam oleh Amsyar.

            “Eh, tapi kalian anak-anak SNBP semua, ya?” tanya pemuda itu.

            “Iya, tapi aku kayaknya bakal ikut UTBK juga,” Kirana yang menjawab.

            “Oh, ya? Bagus, Ran. Kita bisa ketemu di klub belajar ini kalau kau mau. Nanti tentunya bakal ada pembahasan soal dan ada trik dari beberapa kakak tingkat kita yang sudah lulus,”

            Kirana kaget mendengar ucapan yang keluar dari pemuda incarannya itu. Tak hanya dia, ketiga temannya bersamaan mengangkat kepala dari brosur. Sedikit senyum terukir di wajah Kirana. Sejujurnya ia hendak berteriak histeris, tapi tentu sikapnya harus ditampilkan biasa saja. Wajar, normal, Kirana mengingat dengan perkataan Renai tentang peraturan pertama.

            “Kalian berdua aja gitu? Kami enggak diajak berarti, ya?” ledek Nyimas. Matanya menggoda Kirana yang mendadak berubah sikap.

            “Tentu dong! Kita itu maksudnya kita berlima, hahaha,” Amsyar menjawab tanpa canggung.

            Laki-laki itu masih berdiri sampai bel tanda masuk berbunyi. Ia memberikan senyumnya. Kumpulan itu hendak bubar, dimulai dari Renai yang merapikan kotak bolunya. Tanpa bersepakat, Amsyar menjatuhkan pandang ke arah Renai yang juga mendongak.

            “Kenapa?” tanya Renai karena tak enak dipandang seperti itu.

            Tiga gadis lain juga berangkat dari tempat duduk.

            “Bukan apa-apa. Aku hanya berpikir untuk mengajak kau jadi tutor di klub ini. Lumayan tutor literasi bahasa Indonesia dan penalaran umum,” balas Amsyar agak lama.

            “Dia juga pintar bahasa Inggris, Syar,” tambah Acha.

            “Nah, bagus!”

            “Mending kita masuk kelas dulu kawan-kawan. Lihat itu Pak Toni sudah keluar kantor,” kilah Renai

            Tangannnya menunjuk ke arah pintu ruang guru. Guru Kimia yang juga merangkap wakil kesiswaan itu berjalan santai dengan mata yang tak henti memeriksa lorong dan lapangan sekolah. Semua bersepakat untuk berhenti sebelum diteriaki Pak Toni.

***

            Di atas kasur salem, Renai asik membaca novel yang ia pinjam dari perpustakaan sekolah. Sedangkan Kirana masih mengutak-atik puisi atau sajak yang nantinya menjadi surat cinta keempat untuk Amsyar. Kalian tidak salah baca. Perkembangan Kirana memang sudah secepat itu. Juga tambahkan kalau kalian heran karena Kirana yang tidak suka dengan pelajaran bahasa Indonesia, mengapa bisa menuliskan sajak surat cinta? Itu karena mak comblang yang menyarankan.

            Kirana bergumam. Mengganti satu diksi dengan diksi lain yang lebih romantis. Atau jika terlalu romantis, akan diubahnya menjadi lebih sederhana. Setiap bulan surat cinta akan diletakkan di laci meja Amsyar. Tanggalnya selalu sama, tanggal sebelas. Itu adalah tanggal lahir Kirana. Buat apa? Entah, dia menurut saja perkataan peri cintanya.

            “Reeen, aku muak,” rengek Kirana.

            Ia sudah merevisi puisi itu tiga kali. Tapi bagi Renai itu tetap saja terlalu lebay dan sama sekali tidak punya arti. Dibandingkan dengan tiga surat sebelumnya, yang tujuh puluh persen ditulis oleh Renai. Perbedaan surat satu surat itu akan membuat Amsyar mengangkat alis. Pasti!

            “Kami bahkan tidak lagi mengobrol dalam tiga hari ini. Ayolah, hentikan surat-surat cinta ini, Ren!” masih merengek.

            “Terserah kau saja, Ran. Aku membantumu sebisa mungkin. Kalau tak mau, ya sudah,” jawab Renai tak peduli.

            Kirana terdiam. Bergantian melihat tulisannya dan wajah Renai. Lalu beringsut dari kasur untuk meraih gelas berisi air bening. Kirana sudah berpusing-pusing dengan jadwal les yang ditambah berkali lipat oleh ibunya. Sekarang Renai malah menyuruhnya membuat kalimat sulit dimengerti untuk surat cintanya. Ia benar-benar tidak paham mengapa saat zaman sudah maju dengan berbagai teknologi, masih saja ada orang yang suka dengan surat cinta? Padahal cukup mengetik banyak percakapan lewat gawai, kirimkan, dan selesai!

            Renai menurunkan buku bacaannya. Melihat teman yang frustasi, segera ia ambil buku coret-coret itu.

            “Palingan kata ‘tempat bernaung’ bisa kau ganti ‘rumah’ atau ‘pohon beringin’. Selebihnya sudah,” ucapnya setelah meneliti tulisan kawannya.

            “Akhirnya,”

            Renai menyeringai, “capek, ya mengejar cinta.”

            “Apalagi orangnya kayak Amsyar. Awas, deh kalau aku ga jadian sama dia!”

            “Waw, aku jadi takut disalahkan,” tukas Renai.

            “Enggak, yang salah tetap Amsyar. Masa iya aku udah effort gini tetep ga ditembak?”

            “Namanya juga perasaan,” Renai mengangkat bahunya.

            Kirana melipat tangannya. Bibir dimajukan tanda tidak sepakat dengan ucapan tetangganya itu. Ia kemudian menghempaskan diri ke atas kasur. Kembali matanya menatap ke beberapa bintang di langit-langit kamarnya. Pemandangan yang akan selalu hadir setiap kali ia membuka dan menutup mata.

            “Ngomong-ngomong tadi Amsyar nyariin kamu di klub UTBK,”

            Mata Kirana yang sempat terpejam sontak membulat. Ia mengubah posisinya. Hampir melompat dan membuat Renai harus menutup buku. Seruan histeris keluar dari gadis itu. Ini kabar baik baginya. Benar-benar kabar baik, bahwa apa yang ia lakukan selama berbulan-bulan akhirnya mendapatkan hasil.

            “Dia bilang apa?” tanya Kirana menggoyang-goyang tubuh Renai.

            “Aduh,” Renai melepaskan genggaman Kirana pada lengannya, “dia tanya, kenapa Kirana enggak datang ke klub lagi? Apa dia sakit? Tapi dia setiap hari sekolah, kan?” lanjut Renai mengikuti gaya Amsyar.

            Secara otomatis, bibir-bibir Kirana menarik begitu kuat. Membuatnya senyum puas dan ada sensasi sedikit geli dirasakan. Ia berusaha untuk menghentikan senyum itu, tapi malah makin menjadi.

            “Aaaakh!” seru Kirana.

            Selama kurang lebih dua menit, Renai harus bersabar melihat temannya yang kali ini benar-benar melompat. Kirana mondar-mandir melihat cermin. Menampar wajahnya agar segera sadar. Lalu teriak lagi, guling-guling di kasurnya. Kembali lompat sebanyak tiga kali. Terakhir ia membenamkan wajah di bantal sambil berteriak. Kepalanya mendongak sepuluh detik kemudian, menampilkan wajah merah. Juga masih dengan senyum yang tergantung begitu lebar.

Renai geleng-geleng melihat respon seorang gadis yang jatuh cinta dan sebenarnya sedikit terobsesi dengan Amsyar. Kalau saja Kirana bukan sahabatnya, sudah pasti ia mencibir kelakukan gadis itu.

            “Oke, tenang. Kita harus tenang, seperti kata ibu peri Renai. Peraturan pertama, sewajarnya, normal, dan tidak lebay,” nasehat Kirana pada diri sendiri.

            Itu sebenarnya sudah terlambat. Karena reaksi tadi benar-benar berkebalikan dengan peraturan pertama. Tapi siapa peduli? Toh, Amsyar tak melihat juga respon Kirana.

            Next topic, gimana klub UTBK-nya? Aku kayaknya enggak bisa ikutan lagi. Jadwal lesku semakin padat. Setiap hari ada dan sampai jam sepuluh malam. Bikin gila saja,” ujar Kirana, kini lebih tenang.

            “Emang sudah gila dari awal,” celetuk Renai yang masih kaget atas respon kawannya itu.

            Kirana nyengir, “kau gimana?”

            “Begitulah. Aku benar-benar berharap lulus SNBP, Ran. Sebenarnya siap atau tidak siap tetap harus kuhadapi juga UTBK, tapi kalau bisa lolos sekarang kenapa enggak? Lagipula biaya kuliahnya lebih murah kalau lulus SNBP,” tutur Renai.

            Suasana kamar dengan cepat berubah. Kawan dekat Kirana sejak zaman putih biru itu, memang terkendala dana pendidikan. Sebisa mungkin Renai harus mencari universitas dengan biaya murah atau kalau mau yang bergengsi, tentu dengan beasiswa. Renai sudah memperhitungkan itu, sebab cita-citanya begitu tinggi. Segala usaha yang bisa menambah nilai Renai di mata universitas sudah dicoba.

            Sinar matahari sore yang masuk lewat jendela kamar menemani keheningan. Beberapa suara kendaraan lalu lalang. Walau ada halaman, selalu terdengar berisiknya motor dan mobil dari rumah Kirana. Renai melihat ke seprai. Entah apa yang ada di dalam benaknya. Sedangkan Kirana menatap gadis berambut gelombang yang dipotong seleher itu. Ia lalu membelai tangan karibnya. Membuat Renai terbangun dari lamunan.

            “Aku yakin, dari kita berempat kemungkinan lulus terbesar ada di kamu, Ren,”  ucap Kirana tulus.

            Lenggang sejenak. Keduanya menghayati waktu.

            Renai tersenyum, “aamiin,” pintanya lembut.

“Tapi aku tetap harus belajar buat jaga-jaga.”

            “Oh, tentu! Aku kan les UTBK juga, ya. Nanti kita berempat bisa saling tukar soal dan bantu jawab dengan trik masing-masing. Yah, kalau Nyimas dan Acha enggak mau, kita berdua aja!” balas Kirana semangat.

            Dia dan Renai lantas tertawa mengingat kelakuan dua temannya itu. Nyimas dan Acha sangat percaya diri akan lulus di pilihan pertama SNBP. Tidak salah juga keduanya, sebab mereka pun sudah menjaga nilai dengan baik. Berturut-turut menjadi juara kelas.

Yah, persahabatan mereka berisi orang-orang hebat semua. Membuat keempatnya saling tumbuh dan dukung menjadi lebih baik.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi : Novel Nebula Karya Tere Liye

Novel “NEBULA” Karya Tere Liye :  Rahasia Pengintai Terbaik dan Kembalinya Musuh Lama Oleh : Lubna Anfaresi Judul                : NEBULA Penulis             : Tere Liye Penerbit             : Gramedia Pustaka Utama Kota Terbit       : Jakarta Cetakan II        : April 2020 Ketebalan         : 376 halaman Pendahuluan             Serial Bumi merupakan salah satu serial yang dikeluarkan oleh penulis Tere Liye dan berhasil menarik minat pembaca di tanah air. Serial fantasi ini sudah memiliki sembilan seri dengan seri terbaru berjudul “NEBULA”. Sama seperti seri sebelumnya yang berjudul “SELENA”, seri ke-9 ini menceritakan kisah dari sudut pandang Selena sebaga...

Masak, Makan, Lempah Kuning

  Masak, Makan, Lempah Kuning “Wew, banyak kenek ge. Basing ka lah pon!” [1]             Ucapan dari Ami, gadis Bangka yang sudah kutemui sejak lima hari bertugas di daerah ini, terus terngiang di antara malam-malam sepi di kamar berukuran lima kali tujuh meter. Suaranya begitu tinggi, mencekam, dan rasanya penuh kebencian. Raut wajahnya yang mengerut itu terus terbayang, juga ucapan dengan bahasa yang aku tidak mengerti sama sekali. Jauh dari mal perbelanjaan, kafe yang selalu ramai, atau sekadar lalu lintas kota Yogya, aku terjebak sampai sembilan hari kedepan untuk mengerjakan tugas kuliahku di sini. Aku tidur menumpang kepada salah satu warga kenalan kawan kuliahku, yang juga berasal dari Bangka. Katanya itu adalah rumah seperadik [2] -nya. Pintu kamar yang menjadi tempat tidurku sementara tiba-tiba diketuk dari luar. Aku menghela napas, mencoba meraih gagang pintu dan membiarkan sinar lampu di ruang tengah masuk ke d...

Nugget

Pernah berpikir untuk masak nugget goreng yang dicocol dengan cuko ? Itu yang Bene lakukan. Aneh, iya. Tapi Bene tidak akan peduli dengan komentar orang, karena toh dia sekarang ada di kontrakannya. Sendirian. Setelah berkutat dengan kertas-kertas laporan praktikumnya selama satu semester, Bene bisa beristirahat sejenak. Gadis itu tidak pergi ke luar kontrakannya, kecuali untuk membeli makan atau bahan masakan. Keinginannya untuk naik gunung setiap liburan juga harus kandas. Alasanya sederhana, karena ia tidak punya teman untuk naik ke atas sana. Jika kalian semua mendorong gadis itu untuk pergi sendiri,             “Terima kasih.” Dua kata itu akan keluar dari bibirnya yang sedikit kering. Saran dari kawan-kawan dekatnya, biarkan saja Bene asyik dengan dunianya. Ia bisa saja pergi ke Bandung sekarang juga, atau ke Jakarta. Tapi buat apa? Ia tidak mau menghabiskan lebih banyak uang beasiswa yang baru cair satu pekan lalu...