Langsung ke konten utama

Secret 10: Lampu Hijau

 

Hujan turun sesuai ramalan cuaca hari ini. Walaupun langit gelap sekali, ada bunga-bunga yang tumbuh di hati seseorang. Entah sejak kapan ia merasa sangat gelisah bersamaan dengan kuping yang memerah. Teman-teman seperjuangan pun berkali-kali mengejeknya. Sebab ini perdana! Pertama kalinya selama Amsyar hidup di dunia ia akan menyatakan cinta pada seorang gadis.

            Berdesak-desakkan di lorong kelas dua belas, siswa yang menunggu jemputannya. Mata mereka terlihat kelelahan akibat pelajaran yang menguras pikiran dari pagi hingga sore. Beberapa ada yang mengembangkan payung dan menggunakan jas hujan, sisanya asik bercakap-cakap sambil menunggu reda.

            Di antara puluhan orang yang berdesakkan, mata Amsyar tak salah melihat incarannya. Ia bergerak cepat sambil memegang payung berwarna kuning yang telah mengembang. Hatinya tak keruan, tapi napas ia atur sedemikian rupa. Agar apa? Agar ia bisa lancar mengajak gadis itu ikut ke parkiran motor.

            Ya, rencana hari ini sudah berjalan mulus sejak pagi. Dari awal kedatangan, jam istirahat, sampai sekarang saat kepulangan. Amsyar akan menutupnya dengan jalan-jalan bersama motor klasik kesayangan. Hingga nanti pada penghujung pertemuan, barulah ia akan menyatakannya. Menyatakan rasa kagum kepada gadis yang beberapa hari terakhir kian menggeser figura lama di hatinya.

            “Kirana,”

            Gadis yang dipanggil namanya itu menoleh dengan rasa gugup yang tak terbendung. Wajahnya terlihat merah, lidahnya tak mampu mengucap kata-kata. Ia hanya membalas dengan mata yang membesar dan senyum terlebar.

            “Lagi nunggu angkot?”

            Kirana mengangguk sebagai jawaban. Orang-orang disekeliling mulai menjadikan dialog mereka sebagai pusat perhatian. Beberapa penasaran dengan sikap baru Amsyar sore ini.

            “Mau nebeng motorku saja? Kebetulan aku bawa jas hujan, biar cepet juga sampai rumahmu,” tawar Amsyar.

            “Ah, ta…tapi aku lagi nunggu Renai. Jadi kalau mau duluan, silahkan,” tolak Kirana sambil sesekali menoleh ke belakang.

Ia berharap betul agar Renai segera datang dan menyelamatkan momen kikuk ini.

“Renai hari ini jadi tutor sebaya UTBK, pulangnya lebih sore lagi,”

Kirana mempertemukan kedua alisnya, “Loh, kamu enggak ikut tutor sebaya?”

“Aku libur dulu, hehe,” jawab Amsyar menggaruk-garukkan kepalanya.

“Amsyar bisa modus juga, ya!” celetuk seorang siswa sepantaran mereka.

Sontak merahnya telinga Amsyar menyebar ke seluruh wajah. Ia menundukkan kepalanya agar orang-orang tak sadar bahwa ia memang sedang modus mendekati Kirana. Tapi terlambat, sebab semuanya sudah menjadikan Amsyar tokoh utama dalam cerita ini. Bibir Amsyar mendadak kering di derasnya hujan. Ia berkali-kali membenarkan kacamata kotaknya.

“Ya su…sudah, nan…nanti kukabari Renai,” ucap Kirana cepat.

Ia menuruni tangga dan langsung menyentuh lengan Amsyar.

“Ayo!”

            Setelahnya suara hujan kalah dengan godaan kepada Amsyar, cibiran kepada Kirana oleh para gadis lainnya, dan omongan dari tiap mulut yang menjadi berita besar keesokan hari.

***

            Amsyar mengeluarkan senjata terakhirnya untuk membuat Kirana senang. Sebuah jas hujan berwarna kuning dengan gambar bebek di bagian bawahnya. Ia sudah melakukan observasi dan mewawancarai informan paling tepat, sehingga segala yang Amsyar lakukan hari ini pastinya disukai Kirana. Setidaknya itu yang ia harapkan.

            “Dipakai dulu biar enggak kehujanan,” ucap Amsyar seraya menyerahkan jas hujan kepada Kirana.

            Butuh waktu bagi gadis yang diincarnya itu untuk mengambil jas hujan. Entah apa yang ada dipikiran Kirana. Amsyar hanya ingin gadis itu berpikir positif tentang dia. Amsyar tak begitu memaksa. Ia melemparkan senyuman yang sebenarnya menjadi senyuman terkikuk yang pernah ia buat.

            “Eh, ah, makasih,” balas Kirana setelah sadar dari lamunannya.

            Kirana membongkar lipatan jas hujan, mulai mencari cara bagaimana menggunakannya. Sedangkan Amsyar mengambil jas hujan lain yang juga berwarna kuning. Sengaja betul ia serempakkan. Padahal Amsyar tak pernah percaya diri menggunakan warna ini. Tapi demi semua proses lancar ia akan lakukan semuanya. Semua yang Kirana suka.

            Berdasarkan cerita Renai, teman dekat Kirana, ada beberapa hal penting yang bisa membuat gadis incarannya ini semakin berbunga-bunga. Kirana menurut Renai adalah gadis yang suka diberikan senyuman dan makanan. Apa pun makanannya akan dilahap sampai habis oleh Kirana. Apalagi gorengan, tak akan pernah absen gadis berkuncir kuda ini membeli gorengan setiap pergi ke kantin sekolah. Renai memberikan juga catatan warna kesukaan, tempat jalan-jalan favorit, dan fakta bahwa Kirana suka dengan tindakan kecil yang bisa membantu dia.

            Tentu saja Amsyar mewawancarai Renai dengan strategi. Ia tidak memberikan pertanyaan mentah, hingga membuat teman belakang bangkunya itu mencium aroma jatuh cinta. Amsyar akan mencatat poin-poin tentang Kirana setiap kali Renai bercerita dengannya. Tak hanya dari Renai, remaja yang sedang jatuh cinta itu juga memerhatikan kegiatan Kirana di sekolah. Semua usahanya itu kemudian ia rapikan untuk menjadi skenario hari ini. Kabar baiknya sampai sekarang semua berjalan lancar.

            Setelah memakai jas hujan, Amsyar menyalakan motor klasik hitamnya. Kini usaha untuk mengengkol motor tua itu bertambah. Bukan lagi lima kali, tapi harus sembilan kali. Walau demikian, bagi Amsyar motor ini akan terus menemani perjalanannya sampai usai. Sampai motor ini hancur lebur barulah ia akan membeli yang baru.

            “Syar, ini gimana cara pakainya, sih?”

            “Eh?”

            Amsyar yang sudah siap dan merasa sangat keren duduk di motor klasiknya, menoleh ke arah Kirana. Ternyata gadis berkuncir kuda itu masih belum selesai berurusan dengan jas hujan kuningnya. Resleting yang awalnya tertutup dan siap pakai, malah dibuka. Kancing-kancing di sisi lengan juga belum terpasang. Bahkan Kirana masih membolak-balikkan, mencari tempat kepalanya bisa masuk dan memakai jas hujan dengan benar.

            “Hahaha, kamu enggak pernah pakai jas hujan, Ran?” Amsyar turun dari jok motornya. Membiarkan motor hitam itu memanaskan mesin.

            “Pernah, tapi enggak yang seribet ini,” jawab Kirana, masih mengecek keseluruhan jas hujan.

            Jas hujan kuning yang panjang sampai lutut itu diambil kembali oleh Amsyar. Resletingnya terlanjur terbuka, menampilkan plastik tebal berbentuk persegi panjang yang memang agak sulit dipakai. Kirana menatap lekat-lekat ke arah primadona sekolahnya itu sambil mencoba mempelajari struktur jas hujan.

            “Maaf, aku boleh pasang ini ke kamu?” tanya Amsyar berhati-hati.

***

            Hujan semakin deras membasahi bumi. Lalu lalang kendaraan menjadi semakin sepi. Apalagi kendaraan bermotor, hanya yang berani dan punya jas hujan saja yang melintasi jalan raya. Begitu pula dengan motor klasik milik Amsyar. Kecepatannya tak lebih dari 60km/jam, melaju bersama sang tuan putri. Jas hujan kuning ramai dipakai di jalanan. Tapi jas hujan kuning yang satu ini berbeda. Ada gambar bebeknya. Ada perasaan berdebar juga ketika menggunakannya.

            Rumah Kirana tak lagi jauh. Setelah melewati satu lampu merah dan dua belokkan, mereka akan sampai. Basah yang menyelinap lewat sisi terbuka jas hujan tidak membuat pengemudi dan penumpangnya kedinginan. Mereka malah kegirangan dan saling merasakan kehangatan yang dirindukan. Sedari tadi banyak hal yang dibincangkan keduanya. Walau harus dimulai dengan terbata-bata akibat kejadian sebelumnya, Amsyar dan Kirana bisa membawa suasana menjadi lebih cair.

            Amsyar awalnya membawa topik sederhana, bahkan klise. Bertanya kabar hari ini, makan apa saja di kantin, lalu mulai merembet permasalahan kuliah. Kirana membelokkan topik itu karena ia pun malas membincangkannya. Dengan suara yang dikencangkan daripada biasanya, ia mulai mencomot topik santai. Ia bertanya mengapa hujan turun hari ini, setelahnya mereka bercerita jenis-jenis ikan yang enak dimakan. Amsyar juga cerita bahwa dirinya sering memasak boga bahari.

            “Keren juga kamu, Syar. Jago banyak hal sampai masak. Kalau aku, sih hanya bisa makan,” kata Kirana dengan suara yang besar dan mulut yang didekatkan ke telinga Amsyar.

Amsyar tertawa kecil, “Kau tahu? Di antara semua yang orang katakan keren tentangku, aku hanya menikmati satu hal saja,”

 “Apa memangnya? Belajar?”

 “Hahaha, enggak. Aku belajar karena keharusan. Belajar itu untuk kebaikan kita. Suka atau tidak suka harus belajar,” jawab Amsyar dengan tawa renyahnya.

“Aku setuju,” angguk Kirana, “Terus apa, dong?”

“Aku menikmati menulis puisi dan sajak. Menurutku keduanya adalah keindahan yang mampu aku ciptakan dan nikmati. Aku bisa menulis puisi atau sajak tentang apa pun. Menjadikan satu objek atau kejadian menjadi lebih drama dibandingkan aslinya. Bahkan kejadian saat ini, di bawah hujan, di perberhentian jalan, juga sesuatu yang indah,” jelas Amsyar.

Tetes hujan yang turun ia nikmati. Udaranya dihirup hingga paru-paru kenal betul dengan aroma hujan yang bertabrakan dengan aspal dan angin dingin. Amsyar kembali membuka bibirnya. Ia ingin kenikmatan yang bertahun-tahun ia rasakan sendiri dalam kesendiriannya bisa juga dirasakan orang lain.

“Dengan puisi dan sajak, kau bisa melihat segala kejadian lewat banyak kacamata. Menangisi sebuah kebahagiaan atau menertawai sebuah kesengsaraan. Tapi, Ran, aku rasa keindahan pada puisi dan sajak di hatiku juga semakin pudar. Ada keindahan lain yang ingin aku tangkap dan jaga. Juga lewat tulisan,”

Kirana terdiam, mencoba memahami maksud perkataan orang yang disukainya itu. Ia tak memberikan kesempatan untuk pikirannya bertanya. Ia hanya ikut merasakan hujan yang turun semakin deras.

“Kirana, maukah kau jadi tulisanku yang berikutnya? Akan kujadikan namamu sebagai judul puisi dan sajakku esok hingga seterusnya. Bahkan jika aku mampu membuat cerita, pasti akan kutorehkan semua keindahan yang kau miliki ke dalamnya.”

Tiin

            Klakson berbunyi kencang, menyuruh Amsyar agar cepat tancap gas. Lampu hijau ternyata sudah menyala. Tepat sekali saat Amsyar menyebut kalimat terakhirnya kepada Kirana.

Kirana terkejut atas dua hal. Pertama karena motor yang melaju dengan tiba-tiba dan kedua karena pertanyaan Amsyar. Jantungnya berdetak lebih cepat daripada saat ia harus berlari menuju gerbang sekolah yang sepuluh detik lagi ditutup. Entah ini karena kejutan yang pertama atau yang kedua. Tapi yang pasti, warna merah pada lampu jalan itu berpindah ke wajah Kirana.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi : Novel Nebula Karya Tere Liye

Novel “NEBULA” Karya Tere Liye :  Rahasia Pengintai Terbaik dan Kembalinya Musuh Lama Oleh : Lubna Anfaresi Judul                : NEBULA Penulis             : Tere Liye Penerbit             : Gramedia Pustaka Utama Kota Terbit       : Jakarta Cetakan II        : April 2020 Ketebalan         : 376 halaman Pendahuluan             Serial Bumi merupakan salah satu serial yang dikeluarkan oleh penulis Tere Liye dan berhasil menarik minat pembaca di tanah air. Serial fantasi ini sudah memiliki sembilan seri dengan seri terbaru berjudul “NEBULA”. Sama seperti seri sebelumnya yang berjudul “SELENA”, seri ke-9 ini menceritakan kisah dari sudut pandang Selena sebaga...

Masak, Makan, Lempah Kuning

  Masak, Makan, Lempah Kuning “Wew, banyak kenek ge. Basing ka lah pon!” [1]             Ucapan dari Ami, gadis Bangka yang sudah kutemui sejak lima hari bertugas di daerah ini, terus terngiang di antara malam-malam sepi di kamar berukuran lima kali tujuh meter. Suaranya begitu tinggi, mencekam, dan rasanya penuh kebencian. Raut wajahnya yang mengerut itu terus terbayang, juga ucapan dengan bahasa yang aku tidak mengerti sama sekali. Jauh dari mal perbelanjaan, kafe yang selalu ramai, atau sekadar lalu lintas kota Yogya, aku terjebak sampai sembilan hari kedepan untuk mengerjakan tugas kuliahku di sini. Aku tidur menumpang kepada salah satu warga kenalan kawan kuliahku, yang juga berasal dari Bangka. Katanya itu adalah rumah seperadik [2] -nya. Pintu kamar yang menjadi tempat tidurku sementara tiba-tiba diketuk dari luar. Aku menghela napas, mencoba meraih gagang pintu dan membiarkan sinar lampu di ruang tengah masuk ke d...

Nugget

Pernah berpikir untuk masak nugget goreng yang dicocol dengan cuko ? Itu yang Bene lakukan. Aneh, iya. Tapi Bene tidak akan peduli dengan komentar orang, karena toh dia sekarang ada di kontrakannya. Sendirian. Setelah berkutat dengan kertas-kertas laporan praktikumnya selama satu semester, Bene bisa beristirahat sejenak. Gadis itu tidak pergi ke luar kontrakannya, kecuali untuk membeli makan atau bahan masakan. Keinginannya untuk naik gunung setiap liburan juga harus kandas. Alasanya sederhana, karena ia tidak punya teman untuk naik ke atas sana. Jika kalian semua mendorong gadis itu untuk pergi sendiri,             “Terima kasih.” Dua kata itu akan keluar dari bibirnya yang sedikit kering. Saran dari kawan-kawan dekatnya, biarkan saja Bene asyik dengan dunianya. Ia bisa saja pergi ke Bandung sekarang juga, atau ke Jakarta. Tapi buat apa? Ia tidak mau menghabiskan lebih banyak uang beasiswa yang baru cair satu pekan lalu...