Hujan
turun sesuai ramalan cuaca hari ini. Walaupun langit gelap sekali, ada bunga-bunga
yang tumbuh di hati seseorang. Entah sejak kapan ia merasa sangat gelisah
bersamaan dengan kuping yang memerah. Teman-teman seperjuangan pun berkali-kali
mengejeknya. Sebab ini perdana! Pertama kalinya selama Amsyar hidup di dunia ia
akan menyatakan cinta pada seorang gadis.
Berdesak-desakkan di lorong kelas
dua belas, siswa yang menunggu jemputannya. Mata mereka terlihat kelelahan
akibat pelajaran yang menguras pikiran dari pagi hingga sore. Beberapa ada yang
mengembangkan payung dan menggunakan jas hujan, sisanya asik bercakap-cakap
sambil menunggu reda.
Di antara puluhan orang yang
berdesakkan, mata Amsyar tak salah melihat incarannya. Ia bergerak cepat sambil
memegang payung berwarna kuning yang telah mengembang. Hatinya tak keruan, tapi
napas ia atur sedemikian rupa. Agar apa? Agar ia bisa lancar mengajak gadis itu
ikut ke parkiran motor.
Ya, rencana hari ini sudah berjalan
mulus sejak pagi. Dari awal kedatangan, jam istirahat, sampai sekarang saat
kepulangan. Amsyar akan menutupnya dengan jalan-jalan bersama motor klasik
kesayangan. Hingga nanti pada penghujung pertemuan, barulah ia akan
menyatakannya. Menyatakan rasa kagum kepada gadis yang beberapa hari terakhir
kian menggeser figura lama di hatinya.
“Kirana,”
Gadis yang dipanggil namanya itu menoleh
dengan rasa gugup yang tak terbendung. Wajahnya terlihat merah, lidahnya tak
mampu mengucap kata-kata. Ia hanya membalas dengan mata yang membesar dan senyum
terlebar.
“Lagi nunggu angkot?”
Kirana mengangguk sebagai jawaban.
Orang-orang disekeliling mulai menjadikan dialog mereka sebagai pusat
perhatian. Beberapa penasaran dengan sikap baru Amsyar sore ini.
“Mau nebeng motorku saja? Kebetulan
aku bawa jas hujan, biar cepet juga sampai rumahmu,” tawar Amsyar.
“Ah, ta…tapi aku lagi nunggu Renai.
Jadi kalau mau duluan, silahkan,” tolak Kirana sambil sesekali menoleh ke
belakang.
Ia
berharap betul agar Renai segera datang dan menyelamatkan momen kikuk ini.
“Renai
hari ini jadi tutor sebaya UTBK, pulangnya lebih sore lagi,”
Kirana
mempertemukan kedua alisnya, “Loh, kamu enggak ikut tutor sebaya?”
“Aku
libur dulu, hehe,” jawab Amsyar menggaruk-garukkan kepalanya.
“Amsyar
bisa modus juga, ya!” celetuk seorang siswa sepantaran mereka.
Sontak
merahnya telinga Amsyar menyebar ke seluruh wajah. Ia menundukkan kepalanya
agar orang-orang tak sadar bahwa ia memang sedang modus mendekati Kirana. Tapi
terlambat, sebab semuanya sudah menjadikan Amsyar tokoh utama dalam cerita ini.
Bibir Amsyar mendadak kering di derasnya hujan. Ia berkali-kali membenarkan
kacamata kotaknya.
“Ya
su…sudah, nan…nanti kukabari Renai,” ucap Kirana cepat.
Ia
menuruni tangga dan langsung menyentuh lengan Amsyar.
“Ayo!”
Setelahnya suara hujan kalah dengan
godaan kepada Amsyar, cibiran kepada Kirana oleh para gadis lainnya, dan
omongan dari tiap mulut yang menjadi berita besar keesokan hari.
***
Amsyar mengeluarkan senjata
terakhirnya untuk membuat Kirana senang. Sebuah jas hujan berwarna kuning
dengan gambar bebek di bagian bawahnya. Ia sudah melakukan observasi dan
mewawancarai informan paling tepat, sehingga segala yang Amsyar lakukan hari ini
pastinya disukai Kirana. Setidaknya itu yang ia harapkan.
“Dipakai dulu biar enggak
kehujanan,” ucap Amsyar seraya menyerahkan jas hujan kepada Kirana.
Butuh waktu bagi gadis yang
diincarnya itu untuk mengambil jas hujan. Entah apa yang ada dipikiran Kirana.
Amsyar hanya ingin gadis itu berpikir positif tentang dia. Amsyar tak begitu
memaksa. Ia melemparkan senyuman yang sebenarnya menjadi senyuman terkikuk yang
pernah ia buat.
“Eh, ah, makasih,” balas Kirana
setelah sadar dari lamunannya.
Kirana membongkar lipatan jas hujan,
mulai mencari cara bagaimana menggunakannya. Sedangkan Amsyar mengambil jas
hujan lain yang juga berwarna kuning. Sengaja betul ia serempakkan. Padahal
Amsyar tak pernah percaya diri menggunakan warna ini. Tapi demi semua proses
lancar ia akan lakukan semuanya. Semua yang Kirana suka.
Berdasarkan cerita Renai, teman dekat
Kirana, ada beberapa hal penting yang bisa membuat gadis incarannya ini semakin
berbunga-bunga. Kirana menurut Renai adalah gadis yang suka diberikan senyuman
dan makanan. Apa pun makanannya akan dilahap sampai habis oleh Kirana. Apalagi
gorengan, tak akan pernah absen gadis berkuncir kuda ini membeli gorengan
setiap pergi ke kantin sekolah. Renai memberikan juga catatan warna kesukaan,
tempat jalan-jalan favorit, dan fakta bahwa Kirana suka dengan tindakan kecil
yang bisa membantu dia.
Tentu saja Amsyar mewawancarai Renai
dengan strategi. Ia tidak memberikan pertanyaan mentah, hingga membuat teman
belakang bangkunya itu mencium aroma jatuh cinta. Amsyar akan mencatat
poin-poin tentang Kirana setiap kali Renai bercerita dengannya. Tak hanya dari
Renai, remaja yang sedang jatuh cinta itu juga memerhatikan kegiatan Kirana di
sekolah. Semua usahanya itu kemudian ia rapikan untuk menjadi skenario hari
ini. Kabar baiknya sampai sekarang semua berjalan lancar.
Setelah memakai jas hujan, Amsyar menyalakan
motor klasik hitamnya. Kini usaha untuk mengengkol motor tua itu bertambah.
Bukan lagi lima kali, tapi harus sembilan kali. Walau demikian, bagi Amsyar
motor ini akan terus menemani perjalanannya sampai usai. Sampai motor ini
hancur lebur barulah ia akan membeli yang baru.
“Syar, ini gimana cara pakainya,
sih?”
“Eh?”
Amsyar yang sudah siap dan merasa
sangat keren duduk di motor klasiknya, menoleh ke arah Kirana. Ternyata gadis
berkuncir kuda itu masih belum selesai berurusan dengan jas hujan kuningnya.
Resleting yang awalnya tertutup dan siap pakai, malah dibuka. Kancing-kancing
di sisi lengan juga belum terpasang. Bahkan Kirana masih membolak-balikkan,
mencari tempat kepalanya bisa masuk dan memakai jas hujan dengan benar.
“Hahaha, kamu enggak pernah pakai
jas hujan, Ran?” Amsyar turun dari jok motornya. Membiarkan motor hitam itu
memanaskan mesin.
“Pernah, tapi enggak yang seribet
ini,” jawab Kirana, masih mengecek keseluruhan jas hujan.
Jas hujan kuning yang panjang sampai
lutut itu diambil kembali oleh Amsyar. Resletingnya terlanjur terbuka,
menampilkan plastik tebal berbentuk persegi panjang yang memang agak sulit
dipakai. Kirana menatap lekat-lekat ke arah primadona sekolahnya itu sambil mencoba
mempelajari struktur jas hujan.
“Maaf, aku boleh pasang ini ke
kamu?” tanya Amsyar berhati-hati.
***
Hujan semakin deras membasahi bumi.
Lalu lalang kendaraan menjadi semakin sepi. Apalagi kendaraan bermotor, hanya
yang berani dan punya jas hujan saja yang melintasi jalan raya. Begitu pula
dengan motor klasik milik Amsyar. Kecepatannya tak lebih dari 60km/jam, melaju
bersama sang tuan putri. Jas hujan kuning ramai dipakai di jalanan. Tapi jas
hujan kuning yang satu ini berbeda. Ada gambar bebeknya. Ada perasaan berdebar
juga ketika menggunakannya.
Rumah Kirana tak lagi jauh. Setelah
melewati satu lampu merah dan dua belokkan, mereka akan sampai. Basah yang
menyelinap lewat sisi terbuka jas hujan tidak membuat pengemudi dan
penumpangnya kedinginan. Mereka malah kegirangan dan saling merasakan kehangatan
yang dirindukan. Sedari tadi banyak hal yang dibincangkan keduanya. Walau harus
dimulai dengan terbata-bata akibat kejadian sebelumnya, Amsyar dan Kirana bisa
membawa suasana menjadi lebih cair.
Amsyar awalnya membawa topik
sederhana, bahkan klise. Bertanya kabar hari ini, makan apa saja di kantin,
lalu mulai merembet permasalahan kuliah. Kirana membelokkan topik itu karena ia
pun malas membincangkannya. Dengan suara yang dikencangkan daripada biasanya,
ia mulai mencomot topik santai. Ia bertanya mengapa hujan turun hari ini,
setelahnya mereka bercerita jenis-jenis ikan yang enak dimakan. Amsyar juga
cerita bahwa dirinya sering memasak boga bahari.
“Keren juga kamu, Syar. Jago banyak
hal sampai masak. Kalau aku, sih hanya bisa makan,” kata Kirana dengan suara
yang besar dan mulut yang didekatkan ke telinga Amsyar.
Amsyar
tertawa kecil, “Kau tahu? Di antara semua yang orang katakan keren tentangku,
aku hanya menikmati satu hal saja,”
“Apa memangnya? Belajar?”
“Hahaha, enggak. Aku belajar karena keharusan.
Belajar itu untuk kebaikan kita. Suka atau tidak suka harus belajar,” jawab
Amsyar dengan tawa renyahnya.
“Aku setuju,” angguk Kirana, “Terus apa, dong?”
“Aku menikmati menulis puisi dan sajak. Menurutku
keduanya adalah keindahan yang mampu aku ciptakan dan nikmati. Aku bisa menulis
puisi atau sajak tentang apa pun. Menjadikan satu objek atau kejadian menjadi
lebih drama dibandingkan aslinya. Bahkan kejadian saat ini, di bawah hujan, di
perberhentian jalan, juga sesuatu yang indah,” jelas Amsyar.
Tetes hujan yang turun ia nikmati. Udaranya dihirup
hingga paru-paru kenal betul dengan aroma hujan yang bertabrakan dengan aspal
dan angin dingin. Amsyar kembali membuka bibirnya. Ia ingin kenikmatan yang
bertahun-tahun ia rasakan sendiri dalam kesendiriannya bisa juga dirasakan
orang lain.
“Dengan puisi dan sajak, kau bisa melihat segala
kejadian lewat banyak kacamata. Menangisi sebuah kebahagiaan atau menertawai
sebuah kesengsaraan. Tapi, Ran, aku rasa keindahan pada puisi dan sajak di
hatiku juga semakin pudar. Ada keindahan lain yang ingin aku tangkap dan jaga.
Juga lewat tulisan,”
Kirana terdiam, mencoba memahami maksud perkataan
orang yang disukainya itu. Ia tak memberikan kesempatan untuk pikirannya
bertanya. Ia hanya ikut merasakan hujan yang turun semakin deras.
“Kirana, maukah kau jadi tulisanku yang berikutnya?
Akan kujadikan namamu sebagai judul puisi dan sajakku esok hingga seterusnya.
Bahkan jika aku mampu membuat cerita, pasti akan kutorehkan semua keindahan
yang kau miliki ke dalamnya.”
Tiin
Klakson berbunyi kencang, menyuruh
Amsyar agar cepat tancap gas. Lampu hijau ternyata sudah menyala. Tepat sekali
saat Amsyar menyebut kalimat terakhirnya kepada Kirana.
Kirana terkejut atas dua hal. Pertama karena motor yang melaju dengan tiba-tiba dan kedua karena pertanyaan Amsyar. Jantungnya berdetak lebih cepat daripada saat ia harus berlari menuju gerbang sekolah yang sepuluh detik lagi ditutup. Entah ini karena kejutan yang pertama atau yang kedua. Tapi yang pasti, warna merah pada lampu jalan itu berpindah ke wajah Kirana.
Komentar
Posting Komentar