Langsung ke konten utama

Secret 9: Sakit

 

“Sampai di sini, ya perjumpaan kita. Semoga pertemuan tadi bisa membantu kita semua untuk lolos UTBK.”

            Aamiin!” balas semua orang yang hadir di ruangan itu.

            “Tapi masih lama, Ren,” celetuk salah seorang laki-laki dengan kepala botak.

            “Namanya doa, boleh kapan aja, dong,” ucap Renai.

            Kelas sore UTBK itu tak lama bubar. Mereka menghabiskan waktu dua jam lebih lama dari pada siswa-siswa lainnya. Semua demi lulus UTBK. Bahkan Renai yang sudah mendapat posisi siswa penerima SNBP pun tak yakin dengan kesempatan itu. Ia tak bisa hanya berharap keberuntungan datang. Kalau tidak mempersiapkan apa pun dari sekarang, besok-besok Ia tak bisa menjawab soal ujian masuk kampus impiannya. Renai rela membantu teman-temannya belajar bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Ia berharap selama membantu ia pun bisa terbantu kembali.

            Keluar dari ruang kelas, matahari tak lagi sempat mengucapkan selamat tinggal. Sebab awan-awan gelap lebih dulu menyembunyikan rona jingga di petang ini. Sisa-sisa air terlihat menggenang di beberapa conblock yang bolong. Cap sepatu juga membuat lantai-lantai koridor menjadi tak sedap dipandang mata. Bertepatan dengan jam pulang sekolah, hujan datang begitu hebat. Membuat hampir setengah siswa terperangkap.

            Renai mengecek ponsel pintarnya. Ada pesan singkat dari Kirana. Dia pulang duluan.

***

            Hari-hari selanjutnya hujan terus datang. Mengganggu aktivitas belajar Renai. Ia bahkan sempat sakit dua hari dan tak sempat ikut uji coba UTBK yang diadakan sekolahnya. Kepalanya terlalu pusing untuk menengok soal penalaran matematika. Matanya sudah bengkak dan berat diajak memahami literasi bahasa Indonesia. Ia mengaku menyerah pada cuaca kali ini.

            Renai jarang sakit. Saat hujan turun ia selalu siap sedia membawa payung atau meneduh hingga reda. Tapi hari itu ia terlanjur kuyup oleh miliaran tetes air. Ia bergetar hebat, sesekali kilat menyambar dan membuatnya kaget.

            Renai tidak suka hujan. Karena ia selalu saja sakit saat terkena air hujan. Kalau pun tidak menyerang imunnya, air-air Tuhan itu menyebabkan luka yang mendalam di hati. Seperti halnya saat teman kecilnya kehilangan ayah. Lalu kepergian sahabatnya yang meninggalkan ruang kosong di hati terdalam Renai. Kegagalan Renai di setiap ajang perlombaan nasional. Juga kecelakaan yang menimpa Ibu, membuatnya tak lagi bisa berjalan. Semuanya selalu disertai hujan. Semuanya selalu disertai tangisan Renai.

            Renai mengambil buku hariannya. Ia sudah cukup lama tidak menuliskan cerita hidup di dalam buku bersampul coklat itu. Tak ada yang bisa Renai ajak cerita, bahkan Kirana. Ia pun tak memilih Nyimas atau Acha. Gadis itu terlalu takut akan semua kemungkinan buruk yang terjadi. Ia memilih untuk memendam, membuat banyak rahasia. Hingga jika suatu saat tak lagi tahan, ia tuliskan semuanya di buku harian.

            Air bening itu menetes tak henti

Padahal sudah kupinta untuk pergi

Aku tak bisa pergi!

            Matahari datang pun tak kuhiraukan

Ucap selamat pagi?

Maaf, tak bisa 

Sebab pagiku terlanjur direndam air hujan

            Tak menyangka air bening itu buatku jatuh

Terlalu dalam hingga tenggelam

Melupakan semua yang menyenangkan

Kali ini kurasa butuh lebih dari perban

            Datangnya aku sendiri yang pinta

Perginya pun aku sendiri yang pinta

Tapi, mengapa pergi tak secepat datang?

Aku tak bisa pergi!

***

            Semangkuk mi koba mengepulkan uap berbau kuah ikan. Baru saja pesanan itu diambil oleh pembelinya yang sudah lama tak menginjakkan kaki di kantin. Hujan masih turun, tapi tak selebat hari-hari sebelumnya. Beberapa siswa merapatkan jaket berwarna-warni, tak sedikit pula yang memesan es Mang Kodri.

            Renai duduk bersama Nyimas dan Acha. Mereka bertiga membeli makanan yang sama, mi koba. Tentu saja alasannya selain enak adalah untuk menghangatkan badan. Cuaca yang tak sesuai musim ini membuat dagangan Bu Eliana laku keras.

            “Gimana try out-nya?” tanya Acha membuka obrolan.

            “Lumayan,” jawab Renai yang fokus meramu kuah mi koba.

            “Iya, sih, kau kan belajar terus, ya buat UTBK. Aku gara-gara hanya belajar untuk TO, jadi ga lumayan,” balas Acha.

            “Makanya belajar, Cha,” celetuk Nyimas.

            “Memangnya kau juga belajar?”

            “Iya, dong,” Nyimas mengangkat satu alisnya, “Biar nilai yang ditempel enggak malu-maluin banget. Masa anak SNBP nilai TO-nya kecil?”

            “Lah, iya juga, ya! Nilai kita ditempel!”

            Renai dan Nyimas hanya bisa menertawai kelakuan karibnya itu. Mereka kemudian melanjutkan percakapan sambil diselingi melahap jajanan. Jam istirahat hanya sebentar, waktu ini harus dipakai benar-benar untuk menyegarkan pikiran. Sebab selanjutnya secara kebetulan, mereka bertiga akan belajar materi hitungan.

            Pengumuman SNBP tinggal menghitung hari. Tiga sekawan itu tak henti-hentinya berdoa agar bisa lolos masuk perguruan tinggi negeri yang dimimpi. Bahkan mereka menambah ibadah sunah, contohnya lebih rajin sedekah, puasa, dan salat duha. Beda dengan Kirana yang siap dengan hasil apa pun. Gadis itu malah lebih berharap ditolak SNBP agar bisa melanjutkan belajar ilmu yang ia senangi.

            Kirana lagi-lagi tak hadir di kantin bersama Renai, Acha, dan Nyimas. Tentu sudah ditebak gadis itu ada di mana sekarang. Sudah berlangsung satu bulan, sejak Kirana dan Amsyar pacaran. Kabar itu benar-benar membuat seisi sekolah gempar, apalagi untuk gadis-gadis yang mencintai Amsyar. Kini dibanding menghabiskan waktu bersama Renai, Kirana lebih senang belajar bersama Amsyar. Kalau tidak belajar, makan gorengan di kantin, atau baca buku di perpustakaan, walau sebenarnya Kirana tak sesuka itu membaca buku.

            Renai jadi lebih sering sendiri. Kadang-kadang kalau ingin main atau cerita ia memilih pergi ke Acha atau Nyimas. Renai tak mau mengganggu kebahagiaan yang terlihat betul di wajah Kirana. Sesekali Renai mendengar kisah kasih karibnya itu. Sesekali ia juga menatap meja belajar Amsyar yang kini lebih banyak berisi coretan puisi ketimbang coretan fisika. Hidup Renai jadi berubah.

Walau demikian tetap saja ia harus bersikap biasa-biasa kepada semuanya. Ia ikut bersama Nyimas dan Acha untuk menggoda Kirana jika tak terlihat berdua dengan Amsyar. Renai juga masih minta diajarkan fisika oleh Amsyar, sambil melemparkan candaan sisi Amsyar yang berbeda jika bersama Kirana. Respon keduanya sama, malu-malu dan sedikit salah tingkah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi : Novel Nebula Karya Tere Liye

Novel “NEBULA” Karya Tere Liye :  Rahasia Pengintai Terbaik dan Kembalinya Musuh Lama Oleh : Lubna Anfaresi Judul                : NEBULA Penulis             : Tere Liye Penerbit             : Gramedia Pustaka Utama Kota Terbit       : Jakarta Cetakan II        : April 2020 Ketebalan         : 376 halaman Pendahuluan             Serial Bumi merupakan salah satu serial yang dikeluarkan oleh penulis Tere Liye dan berhasil menarik minat pembaca di tanah air. Serial fantasi ini sudah memiliki sembilan seri dengan seri terbaru berjudul “NEBULA”. Sama seperti seri sebelumnya yang berjudul “SELENA”, seri ke-9 ini menceritakan kisah dari sudut pandang Selena sebaga...

Masak, Makan, Lempah Kuning

  Masak, Makan, Lempah Kuning “Wew, banyak kenek ge. Basing ka lah pon!” [1]             Ucapan dari Ami, gadis Bangka yang sudah kutemui sejak lima hari bertugas di daerah ini, terus terngiang di antara malam-malam sepi di kamar berukuran lima kali tujuh meter. Suaranya begitu tinggi, mencekam, dan rasanya penuh kebencian. Raut wajahnya yang mengerut itu terus terbayang, juga ucapan dengan bahasa yang aku tidak mengerti sama sekali. Jauh dari mal perbelanjaan, kafe yang selalu ramai, atau sekadar lalu lintas kota Yogya, aku terjebak sampai sembilan hari kedepan untuk mengerjakan tugas kuliahku di sini. Aku tidur menumpang kepada salah satu warga kenalan kawan kuliahku, yang juga berasal dari Bangka. Katanya itu adalah rumah seperadik [2] -nya. Pintu kamar yang menjadi tempat tidurku sementara tiba-tiba diketuk dari luar. Aku menghela napas, mencoba meraih gagang pintu dan membiarkan sinar lampu di ruang tengah masuk ke d...

Nugget

Pernah berpikir untuk masak nugget goreng yang dicocol dengan cuko ? Itu yang Bene lakukan. Aneh, iya. Tapi Bene tidak akan peduli dengan komentar orang, karena toh dia sekarang ada di kontrakannya. Sendirian. Setelah berkutat dengan kertas-kertas laporan praktikumnya selama satu semester, Bene bisa beristirahat sejenak. Gadis itu tidak pergi ke luar kontrakannya, kecuali untuk membeli makan atau bahan masakan. Keinginannya untuk naik gunung setiap liburan juga harus kandas. Alasanya sederhana, karena ia tidak punya teman untuk naik ke atas sana. Jika kalian semua mendorong gadis itu untuk pergi sendiri,             “Terima kasih.” Dua kata itu akan keluar dari bibirnya yang sedikit kering. Saran dari kawan-kawan dekatnya, biarkan saja Bene asyik dengan dunianya. Ia bisa saja pergi ke Bandung sekarang juga, atau ke Jakarta. Tapi buat apa? Ia tidak mau menghabiskan lebih banyak uang beasiswa yang baru cair satu pekan lalu...