“Sampai
di sini, ya perjumpaan kita. Semoga pertemuan tadi bisa membantu kita semua
untuk lolos UTBK.”
“Aamiin!” balas semua orang
yang hadir di ruangan itu.
“Tapi masih lama, Ren,” celetuk
salah seorang laki-laki dengan kepala botak.
“Namanya doa, boleh kapan aja, dong,”
ucap Renai.
Kelas sore UTBK itu tak lama bubar.
Mereka menghabiskan waktu dua jam lebih lama dari pada siswa-siswa lainnya.
Semua demi lulus UTBK. Bahkan Renai yang sudah mendapat posisi siswa penerima
SNBP pun tak yakin dengan kesempatan itu. Ia tak bisa hanya berharap
keberuntungan datang. Kalau tidak mempersiapkan apa pun dari sekarang,
besok-besok Ia tak bisa menjawab soal ujian masuk kampus impiannya. Renai rela
membantu teman-temannya belajar bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Ia
berharap selama membantu ia pun bisa terbantu kembali.
Keluar dari ruang kelas, matahari
tak lagi sempat mengucapkan selamat tinggal. Sebab awan-awan gelap lebih dulu
menyembunyikan rona jingga di petang ini. Sisa-sisa air terlihat menggenang di
beberapa conblock yang bolong. Cap sepatu juga membuat lantai-lantai
koridor menjadi tak sedap dipandang mata. Bertepatan dengan jam pulang sekolah,
hujan datang begitu hebat. Membuat hampir setengah siswa terperangkap.
Renai mengecek ponsel pintarnya. Ada
pesan singkat dari Kirana. Dia pulang duluan.
***
Hari-hari selanjutnya hujan terus
datang. Mengganggu aktivitas belajar Renai. Ia bahkan sempat sakit dua hari dan
tak sempat ikut uji coba UTBK yang diadakan sekolahnya. Kepalanya terlalu
pusing untuk menengok soal penalaran matematika. Matanya sudah bengkak dan
berat diajak memahami literasi bahasa Indonesia. Ia mengaku menyerah pada cuaca
kali ini.
Renai jarang sakit. Saat hujan turun
ia selalu siap sedia membawa payung atau meneduh hingga reda. Tapi hari itu ia
terlanjur kuyup oleh miliaran tetes air. Ia bergetar hebat, sesekali kilat
menyambar dan membuatnya kaget.
Renai tidak suka hujan. Karena ia
selalu saja sakit saat terkena air hujan. Kalau pun tidak menyerang imunnya,
air-air Tuhan itu menyebabkan luka yang mendalam di hati. Seperti halnya saat
teman kecilnya kehilangan ayah. Lalu kepergian sahabatnya yang meninggalkan
ruang kosong di hati terdalam Renai. Kegagalan Renai di setiap ajang perlombaan
nasional. Juga kecelakaan yang menimpa Ibu, membuatnya tak lagi bisa berjalan. Semuanya
selalu disertai hujan. Semuanya selalu disertai tangisan Renai.
Renai mengambil buku hariannya. Ia
sudah cukup lama tidak menuliskan cerita hidup di dalam buku bersampul coklat
itu. Tak ada yang bisa Renai ajak cerita, bahkan Kirana. Ia pun tak memilih
Nyimas atau Acha. Gadis itu terlalu takut akan semua kemungkinan buruk yang
terjadi. Ia memilih untuk memendam, membuat banyak rahasia. Hingga jika suatu
saat tak lagi tahan, ia tuliskan semuanya di buku harian.
Air bening itu menetes tak henti
Padahal sudah
kupinta untuk pergi
Aku tak bisa
pergi!
Matahari datang pun tak kuhiraukan
Ucap selamat pagi?
Maaf, tak
bisa
Sebab pagiku
terlanjur direndam air hujan
Tak menyangka air bening itu buatku
jatuh
Terlalu dalam
hingga tenggelam
Melupakan semua
yang menyenangkan
Kali ini kurasa
butuh lebih dari perban
Datangnya aku sendiri yang pinta
Perginya pun aku
sendiri yang pinta
Tapi, mengapa
pergi tak secepat datang?
Aku tak bisa
pergi!
***
Semangkuk mi koba mengepulkan uap
berbau kuah ikan. Baru saja pesanan itu diambil oleh pembelinya yang sudah lama
tak menginjakkan kaki di kantin. Hujan masih turun, tapi tak selebat hari-hari
sebelumnya. Beberapa siswa merapatkan jaket berwarna-warni, tak sedikit pula
yang memesan es Mang Kodri.
Renai duduk bersama Nyimas dan Acha.
Mereka bertiga membeli makanan yang sama, mi koba. Tentu saja alasannya selain
enak adalah untuk menghangatkan badan. Cuaca yang tak sesuai musim ini membuat
dagangan Bu Eliana laku keras.
“Gimana try out-nya?” tanya
Acha membuka obrolan.
“Lumayan,” jawab Renai yang fokus
meramu kuah mi koba.
“Iya, sih, kau kan belajar terus, ya
buat UTBK. Aku gara-gara hanya belajar untuk TO, jadi ga lumayan,” balas Acha.
“Makanya belajar, Cha,” celetuk
Nyimas.
“Memangnya kau juga belajar?”
“Iya, dong,” Nyimas
mengangkat satu alisnya, “Biar nilai yang ditempel enggak malu-maluin banget.
Masa anak SNBP nilai TO-nya kecil?”
“Lah, iya juga, ya! Nilai kita
ditempel!”
Renai dan Nyimas hanya bisa
menertawai kelakuan karibnya itu. Mereka kemudian melanjutkan percakapan sambil
diselingi melahap jajanan. Jam istirahat hanya sebentar, waktu ini harus dipakai
benar-benar untuk menyegarkan pikiran. Sebab selanjutnya secara kebetulan,
mereka bertiga akan belajar materi hitungan.
Pengumuman SNBP tinggal menghitung
hari. Tiga sekawan itu tak henti-hentinya berdoa agar bisa lolos masuk
perguruan tinggi negeri yang dimimpi. Bahkan mereka menambah ibadah sunah, contohnya
lebih rajin sedekah, puasa, dan salat duha. Beda dengan Kirana yang siap dengan
hasil apa pun. Gadis itu malah lebih berharap ditolak SNBP agar bisa
melanjutkan belajar ilmu yang ia senangi.
Kirana lagi-lagi tak hadir di kantin
bersama Renai, Acha, dan Nyimas. Tentu sudah ditebak gadis itu ada di mana
sekarang. Sudah berlangsung satu bulan, sejak Kirana dan Amsyar pacaran. Kabar
itu benar-benar membuat seisi sekolah gempar, apalagi untuk gadis-gadis yang
mencintai Amsyar. Kini dibanding menghabiskan waktu bersama Renai, Kirana lebih
senang belajar bersama Amsyar. Kalau tidak belajar, makan gorengan di kantin,
atau baca buku di perpustakaan, walau sebenarnya Kirana tak sesuka itu membaca
buku.
Renai jadi lebih sering sendiri.
Kadang-kadang kalau ingin main atau cerita ia memilih pergi ke Acha atau
Nyimas. Renai tak mau mengganggu kebahagiaan yang terlihat betul di wajah
Kirana. Sesekali Renai mendengar kisah kasih karibnya itu. Sesekali ia juga
menatap meja belajar Amsyar yang kini lebih banyak berisi coretan puisi
ketimbang coretan fisika. Hidup Renai jadi berubah.
Walau
demikian tetap saja ia harus bersikap biasa-biasa kepada semuanya. Ia ikut
bersama Nyimas dan Acha untuk menggoda Kirana jika tak terlihat berdua dengan
Amsyar. Renai juga masih minta diajarkan fisika oleh Amsyar, sambil melemparkan
candaan sisi Amsyar yang berbeda jika bersama Kirana. Respon keduanya sama,
malu-malu dan sedikit salah tingkah.
Komentar
Posting Komentar