Jam Kosong
“Kau tidak sekolah lagi, Gar?”
“Enggak, ah. Hari ini ada
pelajaran Bu Susi, kan? Aku malas sekali harus berhadapan dengan beliau. Mau
benar atau salah tetap saja disalahkan. Mending sekalian aku tak usah ada di
kelas,” jawab Tegar sambil menghabiskan beberapa ayam.
Ayam itu ia ambil saat sarapan.
Ketika orang-orang masih mendirikan salat Subuh, ia mengendap-endap ke dapur
dan mengambil lima ayam goreng tepung. Nasi pun ia tambahkan ke atas piring
dengan jumlah yang melimpah. Tak hanya itu, sebuah toples berukuran sedang ia
siapkan untuk mengambil kerupuk udang. Orang-orang tak ada yang tahu tingkahnya
ini, atau sebenarnya ada beberapa yang tahu. Karena pun ada beberapa juga yang
melakukan hal sama. Jadi jika salah satu dari oknum melaporkan, Tegar akan
melaporkan balik kejadian yang serupa.
“Terserah kau saja lah,”
“Bilang pada guru, aku sakit. Kalau
ditanya sakit apa bilang saja kepalaku pusing!”
Aku berlalu dengan tak acuh, menutup
kuping dan memejamkan mata, enggan berurusan dengan kawan kamar yang satu ini.
Sudah berkali-kali aku menasehati untuk berhenti pura-pura sakit. Tetap saja
Tegar – yang memang tegar dengan pendiriannya, mementingkan nafsunya untuk
tidur dan bermalas-malasan hingga bolos sekolah. Jika ingin dibantu masalahnya,
Tegar selalu bermuara dengan alasan,
“Aku malas belajar dengan guru itu.
Kalau bukan Bu Susi pastilah aku akan masuk dan belajar di kelas.”
Alhasil aku yang sudah lelah beradu
argumen, hanya terdiam dan berlalu malas. Sulit bicara dengan Tegar. Keras
kepalanya tak lagi bisa diobati. Mau bagaimana pun caranya, setiap kau berdebat
dengan Tegar pasti dia akan punya celah untuk membenarkan tindakannya. Ditambah
lagi ini sudah tahun ketiga sekolah dan semua orang sudah memiliki rencana masa
depannya masing-masing. Aku tak mau ambil pusing terlalu dalam memikirkan
masalah Tegar yang suka bolos ini. Lebih baik aku memperbaiki nilai-nilainya
atau belajar untuk tes masuk perkuliahan.
***
Aku terbangun masih dengan mata dan tubuh
yang lemas, ketika air mengguyur tubuhku. Badanku mendadak menggigil dan
jantungku memompa cepat. Lobus frontal yang bekerja pada otak mengirmkan
sinyal untuk segera berteriak kencang. Jiwaku meradang akibat tindakan yang
tiba-tiba ini. Ingin segera kudamprat siapa pun yang berani menyiramkan air
dingin ke wajah rupawanku. Tak hanya itu rasanya aku juga ingin mengajak
berkelahi sang pelaku, sebab bajuku yang tipis juga ikut basah hingga airnya
menyentuh tulang-tulangku.
Sayangnya jiwa yang begitu
bersemangat harus terhalang dengan badan yang tak siap. Aku gelagapan dan hanya
bisa membuka mata perlahan. Setelah sempurna barulah aku tahu siapa yang berani
menyiram air dingin itu. Tak lain dan tak bukan, pun harusnya aku tak
bertanya-tanya ini pasti ulah Pak Eto. Pembina asrama yang sudah begitu geram
melihat peserta didiknya tidur nyenyak sedangkan dia sudah bangun sejak pukul
setengah tiga pagi.
“Masih saja kau tidur, Tegar! Semua
orang sudah ke masjid dan kau masih tidur enak-enakan di sini? Segera kau
berangkat!” Seru Pak Eto.
Matanya yang besar semakin besar.
Urat-uratnya juga keluar, hingga wajahnya juga menjadi menyeramkan. Pak Eto
memang menyeramkan, tapi versi marahnya lebih lagi menyeramkan. Hari ini
sepertinya dia marah besar karena tangan-tanganya yang biasa berurat kini
semakin berurat. Apakah Pak Eto baru saja melemparkan barang?
“Tegar! Kau tak dengar perintah
bapak?”
Suaranya menggelegar, menembus
gendang telingaku hingga secara tak sadar aku tersentak. Gema terbentuk,
memantulkan suara Pak Eto pada dinding asrama yang kosong ditinggal penghuninya
untuk salat Subuh. Menyeramkan, hari ini dia benar-benar menyeramkan. Aku rasa
tak lagi bisa berkilah. Badanku bergetar tapi tak begitu tampak.
Sambil mengusap wajah yang basah
oleh air dingin siraman Pak Eto aku tergagap-gagap berkata, “saya sakit, Pak.
Makanya saya tidak pergi ke masjid.”
Alasan klise. Walau demikian setiap
kali aku menggunakannya guru-guru akan percaya. Setidaknya sampai hari ini.
“Kau kira bapak tidak tahu
kelakuanmu selama ini? Tak ada alasan lagi. Pokoknya selama kau masih bisa
bicara, berdiri, dan membuka mata bapak tidak lagi percaya kau sakit,” ucapan
itu menusuk-nusuk hingga ulu hati.
Namun apalah arti kata-kata itu jika
pintu hatiku tak lagi bisa terbuka. Aku masih meringis kesakitan, pura-pura
maksudnya. Berharap ada celah yang bisa ditembus, hingga aku tak lagi perlu
mengangkatkan kaki menuju masjid yang cukup jauh dari sini. Tak lama aku teguh
dengan kebohongan itu karena beberapa jenak kemudian aku memilih untuk menuruti
kemauan pembina asrama ini. Pak Eto sama sekali tak bergerak, sengaja betul
menungguku. Matanya masih melotot dan otot-otot masih kencang di sekujur
tubuhnya. Aku yakin sekali, jika tidak ada peraturan guru dilarang memukul
siswa Pak Eto pasti sudah memukulku. Hingga babak belur dan memar biru.
Dengan gontai kulangkahkan kaki
menuju masjid. Langit masih gulita, bintang-bintang enggan bermunculan. Bunyi
sendal jepit yang sudah berganti beberapa kali – karena aku sering mengambil milik orang lain,
memenuhi ruang sepi. Lampu jalan yang berjarak jarang berpendar-pendar. Kantuk
beberapa kali menyerang, membuatku tersandung batu lebih dari lima kali. Sarung
yang kupasang asal-asalan mulai longgar membuatku harus memegangnya hingga
sampai di masjid.
Azan berkumandang dan bersamaan
dengan hal itu aku menghentikan langkah. Jarak raga ini dengan masjid hanyalah
sepuluh langkah. Tapi aku melihat potensi lain yang lebih menguntungkan bagiku.
Apalagi kalau bukan dapur? Aroma ayam goreng menggodaku untuk mencurinya. Diri
yang kekurangan iman ini meronta-ronta agar pinta segera terpenuhi. Secara
sadar kubelokkan niat dan kubelokkan jalan, dengan riang mengendap-endap menuju
dapur.
Tak ada yang melihat. Semua orang
pasti sedang salat di masjid dengan khusyuknya. Ayam goreng tepung itu
kelihatan sangat lezat. Uapnya mengepul dan memancarkan aroma surga dunia.
Dengan rakusnya kuambil satu, dua, tiga, ah langsung saja kuambil lima.
Di atas piring yang sengaja kuselipkan di dapur, aku menambahkan lima centong
nasi hangat yang juga masih beruap.
“Luar biasa, nikmat Tuhan mana lagi
yang engkau dustakan? Memang Pak Eto yang terbaik. Tahu saja hari ini
sarapannya lauk ayam goreng tepung!”
***
Pembagian kelompok dimulai dan
lagi-lagi aku kelompok pertama dengan anggota yang sama. Setiap saat selalu
begitu. Sampai diriku saja ingat siapa-siapa anggota kelompokku. Bukannya aku
tak mau sekelompok dengan mereka, bukan pula aku pilih-pilih teman. Aku
mengeluh seperti ini karena aku bosan.
Biar kujabarkan siapa yang menjadi
anggota kelompokku dan kalian putuskan apakah aku layak untuk mengeluh atau
tidak. Pertama duduk lima kursi setelahku, Gore. Namanya memang unik,
tingkahnya lebih unik lagi. Perempuan dengan kacamata photocromic itu
selalu menggunakan earphone. Bahkan ketika earphone-nya disita
oleh pihak keamanan berkali-kali, ia tetap saja membeli yang baru dan
menggunakannya dengan tak peduli. Jika dipanggil berulang dan sekeras apa pun,
Gore tak akan menyaut. Maka dengan penuh usaha aku akan berjalan dan menepuk
pundaknya demi mendapatkan jawaban,
“Kenapa?”
“Ada tugas kelompok PKN dan kita
sekelompok lagi.”
“Oh,”
Lantas ia dengan tak bersalah akan
melanjutkan tenggelam dalam dunianya.
Kedua, Saipul si omong kosong.
Julukan itu sudah mendarah daging pada dirinya. Bahkan semua orang memvalidasi
hal itu. Dia adalah mantan ketua OSIS tapi dalam masa jabatannya tak satu pun
ucapan yang bisa ia pegang. Kadang aku sempat kasihan kepada Saipul, tapi aku
juga sadar orang macam ini tak perlu dikasihani. Beberapa kali sekelompok
dengannya ia dengan semangat mengambil bagian paling besar. Lalu ketika hari
presentasi ia dengan senyuman lebar atau terkadang dengan emosi akan
melemparkan tanggung jawabnya.
Ketiga, Yayuk. Tak ada yang spesial
dari dirinya. Pun sebab inilah aku cukup mengeluh. Yayuk ini sebenarnya
perempuan cemerlang dengan paras memesona. Sayang disayang itu hanyalah
tampilan luar. Setiap kali bekerja bersamanya aku merasakan pribadi yang biasa
saja hingga membuatku harus berpikir ekstra untuk kemajuan kelompok. Pasalnya
ia tak pernah mau ambil pusing berpendapat. Ia ikut-ikut saja dan matanya
sering melirik ke sana ke mari. Apalagi kalau bukan mencari lelaki?
Keempat adalah Tegar dan aku malas
membahasnya. Buat apa aku panjang lebar mendeskripsikan orang tak tahu diri
yang hobinya menumpang nama saat kerja kelompok?
“Hasan, mana kawan kau satu itu?”
tanyaku pada satu-satunya lelaki tampan di kelasku.
“Sakit,” jawabnya pendek.
“Sakit terus. Lama-lama kudoakan
mati juga orang itu!” runtukku sambil berlalu menuju tempat kerja kelompok.
“Hush, jangan bicara yang tidak
benar!”
“Kalau mau aku bicara yang benar,
benarkan dulu kawan kau itu!”
Aku benar-benar tak senang hari ini.
Rasanya semua meja ingin kubalikkan. Seperti halnya ingin kubalikkan badan
Tegar yang tertidur pulas di kasurnya. Entahlah dia memang sakit atau tidak
yang pasti aku percaya ini semua hanya akal-akalannya. Mana ada sakit setiap
hari Senin? Terjadwal, setiap pekannya ia selalu sakit di hari Senin.
“Biasalah, Nur ini, kan jadwal Tegar
sakit,” Yayuk tiba-tiba ikut nimbrung pembicaraan.
“Kenapa sih, suka sekali pura-pura
sakit. Tak ada manfaatnya. Dapat dosa iya, dapat ilmu enggak. Parahnya lagi
bikin susah orang terus.”
“Kau jangan salahkan aku saja, Nur.
Tegar itu kawan kelas kau juga dan kawan kita semua. Jangan memberikan tanggung
jawab itu hanya padaku!”
Hasan berkata ketus, alisnya mencuat
dan matanya menatap tajam ke arahku. Wajah putih bersih tanpa jerawat itu begitu
menghakimi. Tapi peduli apa aku dengannya? Dengan sikap yang demikian Hasan
sudah pasti memulai perdebatan dan meletuskan perang. Sedangkan aku dengan
senang hati menerimanya.
“Walau bagaimana pun kau adalah
kawan kamarnya. Kawan yang paling dekat dengannya,”
“Aku sudah berkali-kali berucap pada
orang itu. Bahkan sejak pertama kali ia merencanakannya aku sudah bilang bahwa
yang ia lakukan itu salah,”
“Lalu apa yang terjadi? Tidak ada
bukti bahwa kau melakukannya. Bagaimana juga dengan teman kamar yang lain?”
banyak tanya kulontarkan.
“Terserah kau saja!”
“Tak ada kata terserah, kau harus
menjawab dan bertanggung jawab atas Tegar!”
“Hei, Nur, kau tahu sendiri Tegar
itu orang yang keras kepala,” lagi-lagi Yayuk ikut berpendapat.
“Nah, Yayuk saja sudah paham.
Sedangkan kau, Nur masih saja keras kepala. Jangan-jangan kau dan Tegar
berjodoh? Sama-sama batu dan tak bisa dibantah!” seru Hasan.
“Maksudmu?”
Aku dan Yayuk serempak bertanya.
Suara kami berdua yang besar beradu di dalam kelas. Hingga akhirnya keluar dan
terdengar oleh siswa lain. Wajah penasaran yang lalu-lalang beberapa kali
menengok ke dalam kelas. Langsung saja kupelototkan satu persatu. Biar mereka
tak lagi berani melihat kemari.
“Jadi sebenarnya apa alasan dia
tidak masuk sekolah?”
Tanyaku untuk kesekian kalinya pun
masih dengan nada yang ketus. Entahlah, aku tak tahu mengapa seperti ini. Aku
tak peduli dengan ucapan orang-orang tentang diriku. Terlanjur sudah diberi
label cerewet, jutek, pemarah, sekalian saja kuperankan tokoh itu. Kalau pun
aku ingin berubah, orang lain akan bertanya-tanya. Tak sedikit pula meremehkan,
membuatku sakit hati dan kokoh pendirian. Kokoh pendirian untuk menjadi seperti
persepsi mereka.
“Alasan pertama dia malas, alasan
kedua memang seorang pemalas, alasan ketiga kembali pada alasan pertama dan
kedua.”
Jawaban itu terlontar dari mulut
Saipul yang kini berdiri di sampingku. Orang paling sok tahu dan paling
kuhindari itu mengangkat salah satu alisnya. Menatapku remeh sambil melipat
tangannya di dada bidang yang selalu ia bangga-banggakan.
“Kalau malas, aku juga bisa malas,”
balasku cepat,
“Terus?”
“Apanya yang terus?” keningku
berkerut.
“Bolos saja kalau kau memang malas.
Ikuti jejak Tegar, begitu saja dibikin susah!” saran Saipul.
Aku geleng-geleng dengan tingkah
kawanku satu ini. Sebuah pola pikir yang sungguh luar biasa. Saking luar
biasanya ingin kuacak-acak wajah songongnya itu.
Biar
kutarik benang merahnya. Alasan aku mempertanyakan keberadaan Tegar bukan
karena aku benar-benar peduli. Tegar, orang bertubuh kurus dan agak bungkuk itu
tidak pernah memikirkan perasaan orang lain. Dia egois.
Kalau saja ia bukan teman sekelasku
atau sekelompok denganku, tak akan pernah kupermasalahkan. Poin utamanya
adalah, setiap ada tugas kelompok ia selalu tak hadir dan membuat nilai kami
berantakan. Ia boleh saja melakukan apa yang disuka. Tapi jangan sampai
merugikan orang lain seperti ini.
"Nur, daripada kau lelah
menanyakan kabar Tegar. Lebih baik kau selesaikan tugas kelompok PKN,” saran
Saipul tak berapa lama.
Aku mengernyitkan kening. Mataku
kembali melotot seakan-akan keluar dari kelopaknya.
“Ini tugas kelompok, Pul. Kau juga
harusnya bekerja bukan berbicara omong kosong. Berlagak ingin mengambil banyak
tugas tapi nantinya melemparkan tanggung jawab itu!”
“Aku sudah berusaha mengerjakannya
dan mengajakmu yang dari tadi berisik seperti bebek kelaparan. Sudahi
kata-katamu itu, kau yang omong kosong! Kau hanya bisa marah-marah saja.
Jangan-jangan Tegar malas sekolah karena bertemu kau bukan karena Bu Susi?”
Kayu api telah siap mendidihkan air
dalam panci. Wajahku merah padam dibuat Saipul. Segala kosakata kasar dan
perbendaharaan kebun binatang siap kulontarkan untuk mendamprat laki-laki tak
tahu diri ini. Angin semilir yang dari tadi menyejukkan, sia-sia belaka. Ia
malah membuat kobaran api semakin menjadi.
Sebelum aku sempat berteriak
kencang. Sebelum aku sempat melemparkan barang apa pun yang ada di sekitarku.
Datanglah pahlawan kesiangan yang membawa keceriaan di kelas.
“Woi, kita jamkos sampai
pulang! Guru-guru banyak kerjaan katanya!”
Euphoria meledak-ledak. Membuat yang
semula cemberut menjadi senyum dan tampilkan deret gigi tak rapi. Buku-buku
yang terbuka segera ditutup, berganti menjadi vidio youtube di laptop
masing-masing.
Tak
ada yang lebih menyenangkan bagi anak sekolah selain jam kosong. Tak ada yang
bisa membuat berbaikan selain kesibukan guru-guru hingga tak masuk kelas. Juga
tak ada yang bisa mengeluarkan senyum Gore dengan laptop dan headset-nya
selain waktu santai bertambah. Yang terakhir ini adalah hukum kepastian.
***
Sore hari yang suram. Walaupun
langit berwarna jingga bercampur biru, tetap saja tak bisa meningkatkan
gairahku. Aku memasuki kamar yang berantakan. Tumpukan baju kotor dan bersih
berserakan di setiap sisi. Sarung dan kopiah digantung sembarang pada tiang-tiang
ranjang. Pun buku bacaan terselip di lemari usang.
Bahkan jika nanti ada penggelaran
konser musik favoritku, aku enggan melangkahkan kaki ke luar. Inginnya tidur
saja dan menikmati langit-langit kamar. Aku menghempaskan tubuh. Lantas
memejamkan mata sambil mengingat kejadian hari ini.
Sepersekian
detik kemudian aku baru ingat bahwa tak ada kejadian menarik hari ini. Aku
terlalu sibuk untuk tidur dan bermalas-malasan hingga mata pun menjadi lelah.
Kubuka lagi mataku dan memandang langit-langit kamar dengan hiasan sarang
laba-laba berdebu. Cahaya matahari yang lembut masuk, menjadikan satu-satunya
hal paling indah di kamar ini.
“Belajar apa tadi, San?”
Suara itu berasal dari ranjang atas
yang sedang ditiduri Tegar. Sambil membaca buku lima ratus tujuh puluh halaman
ia menggeliat malas. Memperbaiki posisinya yang berbaring dengan sarung tanpa
baju kaos.
“Belajar tidur,” jawabku sekenanya.
“Ah, Nur tadi mencarimu lagi. Kau
tidak ingin berhenti bolos demi dia?”
Tegar tertawa kecil. Ada dua hal
yang menjadi faktor, pertama ia menertawakan diriku karena berangkat ke sekolah
hari ini. Kedua ia tertawa mendengar kabar tentang Nur, pujaan hatinya.
“Aku memang sayang pada Nur. Tapi
jika sekolah masih banyak jam kosongnya lebih baik aku tak bertemu dengan Nur.
Sama halnya, jika Bu Susi tetap mengajar dengan gaya yang sama, lebih baik aku
tak bertemu dengan Nur,”
Kepalaku dipenuhi tanda tanya. Tapi
mulutku bungkam demi mendengarkan penjelasan Tegar lebih lanjut.
“Buat apa aku sekolah jika tak ada
yang bisa kupelajari di sana? Aku bisa membaca banyak buku dengan jam kosong
sebanyak itu. Aku bisa mencuci banyak pakaian dan mungkin merapikan kamar ini.
Aku pun bisa menyelami imajinasiku hingga ke dasarnya,” jelasnya sok bijak.
“Kau bisa melakukan itu juga di
sekolah, Gar. Kau seharusnya menggunakan jam kosong untuk belajar atau membaca
buku seperti yang kau lakukan saat ini. Jangan banyak beralasan dan berhentilah
mencari pembenaran!”
Hening menyergap ruang dialog. Jam
butut yang sengaja dipasang lambat sepuluh menit berdetak dengan lambat pula.
Aroma baju kotor yang sudah berhari-hari tak dicuci memenuhi paru-paruku.
Untunglah sudah agak terbiasa. Ini semua akibat sekamar dengan orang-orang
seperti Tegar. Sudah dibilang berkali-kali tetap saja tak ada yang mau membantu
membereskan kamar berantakan ini.
Terdengar hembusan napas Tegar,
“Hasan, kau harus paham bahwa kita sebenarnya sama.”
“Kita berbeda, Gar,” kataku tegas.
“Baiklah kita memang berbeda. Aku
yang belajar banyak hal, membaca buku, dan berpikir menyelesaikan masalah, tapi
bolos sekolah. Sedangkan kau yang tidur dan bermalas-malasan, tapi sekolah.
Waktu kita sama, kondisi kita sama. Sepuluh jam tanpa guru. Kita punya cara
yang berbeda tapi sama saja bukan? Sama-sama beralasan dan mencari pembenaran.”
Aku terbungkam. Kembali memejamkan
mata dan berlarian ke alam mimpi.
***
Jam kosong atau disingkat jamkos
adalah hal yang paling menyenangkan bagi mayoritas pelajar. Frasa ini digunakan
untuk menamakan kegiatan belajar tanpa guru atau tanpa tugas, sehingga pelajar
bebas untuk melakukan kegiatan. Tapi semenyenangkan apa pun, jika hal tersebut
berlebihan akan berdampak buruk bagi kehidupan.
Kelebihan
jam kosong akan berdampak besar dalam perkembangan pendidikan di Indonesia. Hal
ini disebabkan pemanfaatan waktu yang tidak efektif oleh pelajar. Berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Hasanah, dkk. (2022), aktivitas yang
paling banyak dilakukan oleh siswa pada saat jam kosong adalah tidur dan
bermain handphone. Tak hanya itu kesalahan juga bisa terjadi karena
kurang maksimalnya pemberian fasilitas pendidikan dari pengajar.
Cita-cita
Indonesia Emas akan sirna karena kaum mudanya tak bisa memanfaatkan bonus
demografi dengan baik. Maka dari itu sudah semestinya kita berhenti saling
menyalahkan pihak mana yang paling berperan. Siswa, guru, orang tua, dan
pemerintah sama pentingnya untuk memperbaiki sistem pendidikan. Sudah
seharusnya kita bergerak dan berhenti mencari pembenaran.
Komentar
Posting Komentar