Langsung ke konten utama

Cerpen: Jam Kosong

 

Jam Kosong

            “Kau tidak sekolah lagi, Gar?”

            “Enggak, ah. Hari ini ada pelajaran Bu Susi, kan? Aku malas sekali harus berhadapan dengan beliau. Mau benar atau salah tetap saja disalahkan. Mending sekalian aku tak usah ada di kelas,” jawab Tegar sambil menghabiskan beberapa ayam.

            Ayam itu ia ambil saat sarapan. Ketika orang-orang masih mendirikan salat Subuh, ia mengendap-endap ke dapur dan mengambil lima ayam goreng tepung. Nasi pun ia tambahkan ke atas piring dengan jumlah yang melimpah. Tak hanya itu, sebuah toples berukuran sedang ia siapkan untuk mengambil kerupuk udang. Orang-orang tak ada yang tahu tingkahnya ini, atau sebenarnya ada beberapa yang tahu. Karena pun ada beberapa juga yang melakukan hal sama. Jadi jika salah satu dari oknum melaporkan, Tegar akan melaporkan balik kejadian yang serupa.

            “Terserah kau saja lah,”

            “Bilang pada guru, aku sakit. Kalau ditanya sakit apa bilang saja kepalaku pusing!”

            Aku berlalu dengan tak acuh, menutup kuping dan memejamkan mata, enggan berurusan dengan kawan kamar yang satu ini. Sudah berkali-kali aku menasehati untuk berhenti pura-pura sakit. Tetap saja Tegar – yang memang tegar dengan pendiriannya, mementingkan nafsunya untuk tidur dan bermalas-malasan hingga bolos sekolah. Jika ingin dibantu masalahnya, Tegar selalu bermuara dengan alasan,

            “Aku malas belajar dengan guru itu. Kalau bukan Bu Susi pastilah aku akan masuk dan belajar di kelas.”

            Alhasil aku yang sudah lelah beradu argumen, hanya terdiam dan berlalu malas. Sulit bicara dengan Tegar. Keras kepalanya tak lagi bisa diobati. Mau bagaimana pun caranya, setiap kau berdebat dengan Tegar pasti dia akan punya celah untuk membenarkan tindakannya. Ditambah lagi ini sudah tahun ketiga sekolah dan semua orang sudah memiliki rencana masa depannya masing-masing. Aku tak mau ambil pusing terlalu dalam memikirkan masalah Tegar yang suka bolos ini. Lebih baik aku memperbaiki nilai-nilainya atau belajar untuk tes masuk perkuliahan.

***

            Aku terbangun masih dengan mata dan tubuh yang lemas, ketika air mengguyur tubuhku. Badanku mendadak menggigil dan jantungku memompa cepat. Lobus frontal yang bekerja pada otak mengirmkan sinyal untuk segera berteriak kencang. Jiwaku meradang akibat tindakan yang tiba-tiba ini. Ingin segera kudamprat siapa pun yang berani menyiramkan air dingin ke wajah rupawanku. Tak hanya itu rasanya aku juga ingin mengajak berkelahi sang pelaku, sebab bajuku yang tipis juga ikut basah hingga airnya menyentuh tulang-tulangku.

            Sayangnya jiwa yang begitu bersemangat harus terhalang dengan badan yang tak siap. Aku gelagapan dan hanya bisa membuka mata perlahan. Setelah sempurna barulah aku tahu siapa yang berani menyiram air dingin itu. Tak lain dan tak bukan, pun harusnya aku tak bertanya-tanya ini pasti ulah Pak Eto. Pembina asrama yang sudah begitu geram melihat peserta didiknya tidur nyenyak sedangkan dia sudah bangun sejak pukul setengah tiga pagi.

            “Masih saja kau tidur, Tegar! Semua orang sudah ke masjid dan kau masih tidur enak-enakan di sini? Segera kau berangkat!” Seru Pak Eto.

            Matanya yang besar semakin besar. Urat-uratnya juga keluar, hingga wajahnya juga menjadi menyeramkan. Pak Eto memang menyeramkan, tapi versi marahnya lebih lagi menyeramkan. Hari ini sepertinya dia marah besar karena tangan-tanganya yang biasa berurat kini semakin berurat. Apakah Pak Eto baru saja melemparkan barang?

            “Tegar! Kau tak dengar perintah bapak?”

            Suaranya menggelegar, menembus gendang telingaku hingga secara tak sadar aku tersentak. Gema terbentuk, memantulkan suara Pak Eto pada dinding asrama yang kosong ditinggal penghuninya untuk salat Subuh. Menyeramkan, hari ini dia benar-benar menyeramkan. Aku rasa tak lagi bisa berkilah. Badanku bergetar tapi tak begitu tampak.

            Sambil mengusap wajah yang basah oleh air dingin siraman Pak Eto aku tergagap-gagap berkata, “saya sakit, Pak. Makanya saya tidak pergi ke masjid.”

            Alasan klise. Walau demikian setiap kali aku menggunakannya guru-guru akan percaya. Setidaknya sampai hari ini.

            “Kau kira bapak tidak tahu kelakuanmu selama ini? Tak ada alasan lagi. Pokoknya selama kau masih bisa bicara, berdiri, dan membuka mata bapak tidak lagi percaya kau sakit,” ucapan itu menusuk-nusuk hingga ulu hati.

            Namun apalah arti kata-kata itu jika pintu hatiku tak lagi bisa terbuka. Aku masih meringis kesakitan, pura-pura maksudnya. Berharap ada celah yang bisa ditembus, hingga aku tak lagi perlu mengangkatkan kaki menuju masjid yang cukup jauh dari sini. Tak lama aku teguh dengan kebohongan itu karena beberapa jenak kemudian aku memilih untuk menuruti kemauan pembina asrama ini. Pak Eto sama sekali tak bergerak, sengaja betul menungguku. Matanya masih melotot dan otot-otot masih kencang di sekujur tubuhnya. Aku yakin sekali, jika tidak ada peraturan guru dilarang memukul siswa Pak Eto pasti sudah memukulku. Hingga babak belur dan memar biru.

            Dengan gontai kulangkahkan kaki menuju masjid. Langit masih gulita, bintang-bintang enggan bermunculan. Bunyi sendal jepit yang sudah berganti beberapa kali – karena  aku sering mengambil milik orang lain, memenuhi ruang sepi. Lampu jalan yang berjarak jarang berpendar-pendar. Kantuk beberapa kali menyerang, membuatku tersandung batu lebih dari lima kali. Sarung yang kupasang asal-asalan mulai longgar membuatku harus memegangnya hingga sampai di masjid.

            Azan berkumandang dan bersamaan dengan hal itu aku menghentikan langkah. Jarak raga ini dengan masjid hanyalah sepuluh langkah. Tapi aku melihat potensi lain yang lebih menguntungkan bagiku. Apalagi kalau bukan dapur? Aroma ayam goreng menggodaku untuk mencurinya. Diri yang kekurangan iman ini meronta-ronta agar pinta segera terpenuhi. Secara sadar kubelokkan niat dan kubelokkan jalan, dengan riang mengendap-endap menuju dapur.

            Tak ada yang melihat. Semua orang pasti sedang salat di masjid dengan khusyuknya. Ayam goreng tepung itu kelihatan sangat lezat. Uapnya mengepul dan memancarkan aroma surga dunia. Dengan rakusnya kuambil satu, dua, tiga, ah langsung saja kuambil lima. Di atas piring yang sengaja kuselipkan di dapur, aku menambahkan lima centong nasi hangat yang juga masih beruap.

            “Luar biasa, nikmat Tuhan mana lagi yang engkau dustakan? Memang Pak Eto yang terbaik. Tahu saja hari ini sarapannya lauk ayam goreng tepung!”

***

            Pembagian kelompok dimulai dan lagi-lagi aku kelompok pertama dengan anggota yang sama. Setiap saat selalu begitu. Sampai diriku saja ingat siapa-siapa anggota kelompokku. Bukannya aku tak mau sekelompok dengan mereka, bukan pula aku pilih-pilih teman. Aku mengeluh seperti ini karena aku bosan.

            Biar kujabarkan siapa yang menjadi anggota kelompokku dan kalian putuskan apakah aku layak untuk mengeluh atau tidak. Pertama duduk lima kursi setelahku, Gore. Namanya memang unik, tingkahnya lebih unik lagi. Perempuan dengan kacamata photocromic itu selalu menggunakan earphone. Bahkan ketika earphone-nya disita oleh pihak keamanan berkali-kali, ia tetap saja membeli yang baru dan menggunakannya dengan tak peduli. Jika dipanggil berulang dan sekeras apa pun, Gore tak akan menyaut. Maka dengan penuh usaha aku akan berjalan dan menepuk pundaknya demi mendapatkan jawaban,

            “Kenapa?”

            “Ada tugas kelompok PKN dan kita sekelompok lagi.”

            “Oh,”

            Lantas ia dengan tak bersalah akan melanjutkan tenggelam dalam dunianya.

            Kedua, Saipul si omong kosong. Julukan itu sudah mendarah daging pada dirinya. Bahkan semua orang memvalidasi hal itu. Dia adalah mantan ketua OSIS tapi dalam masa jabatannya tak satu pun ucapan yang bisa ia pegang. Kadang aku sempat kasihan kepada Saipul, tapi aku juga sadar orang macam ini tak perlu dikasihani. Beberapa kali sekelompok dengannya ia dengan semangat mengambil bagian paling besar. Lalu ketika hari presentasi ia dengan senyuman lebar atau terkadang dengan emosi akan melemparkan tanggung jawabnya.

            Ketiga, Yayuk. Tak ada yang spesial dari dirinya. Pun sebab inilah aku cukup mengeluh. Yayuk ini sebenarnya perempuan cemerlang dengan paras memesona. Sayang disayang itu hanyalah tampilan luar. Setiap kali bekerja bersamanya aku merasakan pribadi yang biasa saja hingga membuatku harus berpikir ekstra untuk kemajuan kelompok. Pasalnya ia tak pernah mau ambil pusing berpendapat. Ia ikut-ikut saja dan matanya sering melirik ke sana ke mari. Apalagi kalau bukan mencari lelaki?

            Keempat adalah Tegar dan aku malas membahasnya. Buat apa aku panjang lebar mendeskripsikan orang tak tahu diri yang hobinya menumpang nama saat kerja kelompok?

            “Hasan, mana kawan kau satu itu?” tanyaku pada satu-satunya lelaki tampan di kelasku.

            “Sakit,” jawabnya pendek.

            “Sakit terus. Lama-lama kudoakan mati juga orang itu!” runtukku sambil berlalu menuju tempat kerja kelompok.

            “Hush, jangan bicara yang tidak benar!”

            “Kalau mau aku bicara yang benar, benarkan dulu kawan kau itu!”

            Aku benar-benar tak senang hari ini. Rasanya semua meja ingin kubalikkan. Seperti halnya ingin kubalikkan badan Tegar yang tertidur pulas di kasurnya. Entahlah dia memang sakit atau tidak yang pasti aku percaya ini semua hanya akal-akalannya. Mana ada sakit setiap hari Senin? Terjadwal, setiap pekannya ia selalu sakit di hari Senin.

            “Biasalah, Nur ini, kan jadwal Tegar sakit,” Yayuk tiba-tiba ikut nimbrung pembicaraan.

            “Kenapa sih, suka sekali pura-pura sakit. Tak ada manfaatnya. Dapat dosa iya, dapat ilmu enggak. Parahnya lagi bikin susah orang terus.”

            “Kau jangan salahkan aku saja, Nur. Tegar itu kawan kelas kau juga dan kawan kita semua. Jangan memberikan tanggung jawab itu hanya padaku!”

            Hasan berkata ketus, alisnya mencuat dan matanya menatap tajam ke arahku. Wajah putih bersih tanpa jerawat itu begitu menghakimi. Tapi peduli apa aku dengannya? Dengan sikap yang demikian Hasan sudah pasti memulai perdebatan dan meletuskan perang. Sedangkan aku dengan senang hati menerimanya.

            “Walau bagaimana pun kau adalah kawan kamarnya. Kawan yang paling dekat dengannya,”

            “Aku sudah berkali-kali berucap pada orang itu. Bahkan sejak pertama kali ia merencanakannya aku sudah bilang bahwa yang ia lakukan itu salah,”

            “Lalu apa yang terjadi? Tidak ada bukti bahwa kau melakukannya. Bagaimana juga dengan teman kamar yang lain?” banyak tanya kulontarkan.

            “Terserah kau saja!”

            “Tak ada kata terserah, kau harus menjawab dan bertanggung jawab atas Tegar!”

            “Hei, Nur, kau tahu sendiri Tegar itu orang yang keras kepala,” lagi-lagi Yayuk ikut berpendapat.

            “Nah, Yayuk saja sudah paham. Sedangkan kau, Nur masih saja keras kepala. Jangan-jangan kau dan Tegar berjodoh? Sama-sama batu dan tak bisa dibantah!” seru Hasan.

            “Maksudmu?”

            Aku dan Yayuk serempak bertanya. Suara kami berdua yang besar beradu di dalam kelas. Hingga akhirnya keluar dan terdengar oleh siswa lain. Wajah penasaran yang lalu-lalang beberapa kali menengok ke dalam kelas. Langsung saja kupelototkan satu persatu. Biar mereka tak lagi berani melihat kemari.

            “Jadi sebenarnya apa alasan dia tidak masuk sekolah?”

            Tanyaku untuk kesekian kalinya pun masih dengan nada yang ketus. Entahlah, aku tak tahu mengapa seperti ini. Aku tak peduli dengan ucapan orang-orang tentang diriku. Terlanjur sudah diberi label cerewet, jutek, pemarah, sekalian saja kuperankan tokoh itu. Kalau pun aku ingin berubah, orang lain akan bertanya-tanya. Tak sedikit pula meremehkan, membuatku sakit hati dan kokoh pendirian. Kokoh pendirian untuk menjadi seperti persepsi mereka.

            “Alasan pertama dia malas, alasan kedua memang seorang pemalas, alasan ketiga kembali pada alasan pertama dan kedua.”

            Jawaban itu terlontar dari mulut Saipul yang kini berdiri di sampingku. Orang paling sok tahu dan paling kuhindari itu mengangkat salah satu alisnya. Menatapku remeh sambil melipat tangannya di dada bidang yang selalu ia bangga-banggakan.

            “Kalau malas, aku juga bisa malas,” balasku cepat,

            “Terus?”

            “Apanya yang terus?” keningku berkerut.

            “Bolos saja kalau kau memang malas. Ikuti jejak Tegar, begitu saja dibikin susah!” saran Saipul.

            Aku geleng-geleng dengan tingkah kawanku satu ini. Sebuah pola pikir yang sungguh luar biasa. Saking luar biasanya ingin kuacak-acak wajah songongnya itu.

Biar kutarik benang merahnya. Alasan aku mempertanyakan keberadaan Tegar bukan karena aku benar-benar peduli. Tegar, orang bertubuh kurus dan agak bungkuk itu tidak pernah memikirkan perasaan orang lain. Dia egois.

            Kalau saja ia bukan teman sekelasku atau sekelompok denganku, tak akan pernah kupermasalahkan. Poin utamanya adalah, setiap ada tugas kelompok ia selalu tak hadir dan membuat nilai kami berantakan. Ia boleh saja melakukan apa yang disuka. Tapi jangan sampai merugikan orang lain seperti ini.

            "Nur, daripada kau lelah menanyakan kabar Tegar. Lebih baik kau selesaikan tugas kelompok PKN,” saran Saipul tak berapa lama.

            Aku mengernyitkan kening. Mataku kembali melotot seakan-akan keluar dari kelopaknya.

            “Ini tugas kelompok, Pul. Kau juga harusnya bekerja bukan berbicara omong kosong. Berlagak ingin mengambil banyak tugas tapi nantinya melemparkan tanggung jawab itu!”

            “Aku sudah berusaha mengerjakannya dan mengajakmu yang dari tadi berisik seperti bebek kelaparan. Sudahi kata-katamu itu, kau yang omong kosong! Kau hanya bisa marah-marah saja. Jangan-jangan Tegar malas sekolah karena bertemu kau bukan karena Bu Susi?”

            Kayu api telah siap mendidihkan air dalam panci. Wajahku merah padam dibuat Saipul. Segala kosakata kasar dan perbendaharaan kebun binatang siap kulontarkan untuk mendamprat laki-laki tak tahu diri ini. Angin semilir yang dari tadi menyejukkan, sia-sia belaka. Ia malah membuat kobaran api semakin menjadi.

            Sebelum aku sempat berteriak kencang. Sebelum aku sempat melemparkan barang apa pun yang ada di sekitarku. Datanglah pahlawan kesiangan yang membawa keceriaan di kelas.

            “Woi, kita jamkos sampai pulang! Guru-guru banyak kerjaan katanya!”

            Euphoria meledak-ledak. Membuat yang semula cemberut menjadi senyum dan tampilkan deret gigi tak rapi. Buku-buku yang terbuka segera ditutup, berganti menjadi vidio youtube di laptop masing-masing.

Tak ada yang lebih menyenangkan bagi anak sekolah selain jam kosong. Tak ada yang bisa membuat berbaikan selain kesibukan guru-guru hingga tak masuk kelas. Juga tak ada yang bisa mengeluarkan senyum Gore dengan laptop dan headset-nya selain waktu santai bertambah. Yang terakhir ini adalah hukum kepastian.

***

            Sore hari yang suram. Walaupun langit berwarna jingga bercampur biru, tetap saja tak bisa meningkatkan gairahku. Aku memasuki kamar yang berantakan. Tumpukan baju kotor dan bersih berserakan di setiap sisi. Sarung dan kopiah digantung sembarang pada tiang-tiang ranjang. Pun buku bacaan terselip di lemari usang.

            Bahkan jika nanti ada penggelaran konser musik favoritku, aku enggan melangkahkan kaki ke luar. Inginnya tidur saja dan menikmati langit-langit kamar. Aku menghempaskan tubuh. Lantas memejamkan mata sambil mengingat kejadian hari ini.

Sepersekian detik kemudian aku baru ingat bahwa tak ada kejadian menarik hari ini. Aku terlalu sibuk untuk tidur dan bermalas-malasan hingga mata pun menjadi lelah. Kubuka lagi mataku dan memandang langit-langit kamar dengan hiasan sarang laba-laba berdebu. Cahaya matahari yang lembut masuk, menjadikan satu-satunya hal paling indah di kamar ini.

            “Belajar apa tadi, San?”

            Suara itu berasal dari ranjang atas yang sedang ditiduri Tegar. Sambil membaca buku lima ratus tujuh puluh halaman ia menggeliat malas. Memperbaiki posisinya yang berbaring dengan sarung tanpa baju kaos.

            “Belajar tidur,” jawabku sekenanya.

            “Ah, Nur tadi mencarimu lagi. Kau tidak ingin berhenti bolos demi dia?”

            Tegar tertawa kecil. Ada dua hal yang menjadi faktor, pertama ia menertawakan diriku karena berangkat ke sekolah hari ini. Kedua ia tertawa mendengar kabar tentang Nur, pujaan hatinya.

            “Aku memang sayang pada Nur. Tapi jika sekolah masih banyak jam kosongnya lebih baik aku tak bertemu dengan Nur. Sama halnya, jika Bu Susi tetap mengajar dengan gaya yang sama, lebih baik aku tak bertemu dengan Nur,”

            Kepalaku dipenuhi tanda tanya. Tapi mulutku bungkam demi mendengarkan penjelasan Tegar lebih lanjut.

            “Buat apa aku sekolah jika tak ada yang bisa kupelajari di sana? Aku bisa membaca banyak buku dengan jam kosong sebanyak itu. Aku bisa mencuci banyak pakaian dan mungkin merapikan kamar ini. Aku pun bisa menyelami imajinasiku hingga ke dasarnya,” jelasnya sok bijak.

            “Kau bisa melakukan itu juga di sekolah, Gar. Kau seharusnya menggunakan jam kosong untuk belajar atau membaca buku seperti yang kau lakukan saat ini. Jangan banyak beralasan dan berhentilah mencari pembenaran!”

            Hening menyergap ruang dialog. Jam butut yang sengaja dipasang lambat sepuluh menit berdetak dengan lambat pula. Aroma baju kotor yang sudah berhari-hari tak dicuci memenuhi paru-paruku. Untunglah sudah agak terbiasa. Ini semua akibat sekamar dengan orang-orang seperti Tegar. Sudah dibilang berkali-kali tetap saja tak ada yang mau membantu membereskan kamar berantakan ini.

            Terdengar hembusan napas Tegar, “Hasan, kau harus paham bahwa kita sebenarnya sama.”

            “Kita berbeda, Gar,” kataku tegas.

            “Baiklah kita memang berbeda. Aku yang belajar banyak hal, membaca buku, dan berpikir menyelesaikan masalah, tapi bolos sekolah. Sedangkan kau yang tidur dan bermalas-malasan, tapi sekolah. Waktu kita sama, kondisi kita sama. Sepuluh jam tanpa guru. Kita punya cara yang berbeda tapi sama saja bukan? Sama-sama beralasan dan mencari pembenaran.”

            Aku terbungkam. Kembali memejamkan mata dan berlarian ke alam mimpi.

***

            Jam kosong atau disingkat jamkos adalah hal yang paling menyenangkan bagi mayoritas pelajar. Frasa ini digunakan untuk menamakan kegiatan belajar tanpa guru atau tanpa tugas, sehingga pelajar bebas untuk melakukan kegiatan. Tapi semenyenangkan apa pun, jika hal tersebut berlebihan akan berdampak buruk bagi kehidupan.

Kelebihan jam kosong akan berdampak besar dalam perkembangan pendidikan di Indonesia. Hal ini disebabkan pemanfaatan waktu yang tidak efektif oleh pelajar. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hasanah, dkk. (2022), aktivitas yang paling banyak dilakukan oleh siswa pada saat jam kosong adalah tidur dan bermain handphone. Tak hanya itu kesalahan juga bisa terjadi karena kurang maksimalnya pemberian fasilitas pendidikan dari pengajar.

Cita-cita Indonesia Emas akan sirna karena kaum mudanya tak bisa memanfaatkan bonus demografi dengan baik. Maka dari itu sudah semestinya kita berhenti saling menyalahkan pihak mana yang paling berperan. Siswa, guru, orang tua, dan pemerintah sama pentingnya untuk memperbaiki sistem pendidikan. Sudah seharusnya kita bergerak dan berhenti mencari pembenaran.           

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi : Novel Nebula Karya Tere Liye

Novel “NEBULA” Karya Tere Liye :  Rahasia Pengintai Terbaik dan Kembalinya Musuh Lama Oleh : Lubna Anfaresi Judul                : NEBULA Penulis             : Tere Liye Penerbit             : Gramedia Pustaka Utama Kota Terbit       : Jakarta Cetakan II        : April 2020 Ketebalan         : 376 halaman Pendahuluan             Serial Bumi merupakan salah satu serial yang dikeluarkan oleh penulis Tere Liye dan berhasil menarik minat pembaca di tanah air. Serial fantasi ini sudah memiliki sembilan seri dengan seri terbaru berjudul “NEBULA”. Sama seperti seri sebelumnya yang berjudul “SELENA”, seri ke-9 ini menceritakan kisah dari sudut pandang Selena sebaga...

Masak, Makan, Lempah Kuning

  Masak, Makan, Lempah Kuning “Wew, banyak kenek ge. Basing ka lah pon!” [1]             Ucapan dari Ami, gadis Bangka yang sudah kutemui sejak lima hari bertugas di daerah ini, terus terngiang di antara malam-malam sepi di kamar berukuran lima kali tujuh meter. Suaranya begitu tinggi, mencekam, dan rasanya penuh kebencian. Raut wajahnya yang mengerut itu terus terbayang, juga ucapan dengan bahasa yang aku tidak mengerti sama sekali. Jauh dari mal perbelanjaan, kafe yang selalu ramai, atau sekadar lalu lintas kota Yogya, aku terjebak sampai sembilan hari kedepan untuk mengerjakan tugas kuliahku di sini. Aku tidur menumpang kepada salah satu warga kenalan kawan kuliahku, yang juga berasal dari Bangka. Katanya itu adalah rumah seperadik [2] -nya. Pintu kamar yang menjadi tempat tidurku sementara tiba-tiba diketuk dari luar. Aku menghela napas, mencoba meraih gagang pintu dan membiarkan sinar lampu di ruang tengah masuk ke d...

Nugget

Pernah berpikir untuk masak nugget goreng yang dicocol dengan cuko ? Itu yang Bene lakukan. Aneh, iya. Tapi Bene tidak akan peduli dengan komentar orang, karena toh dia sekarang ada di kontrakannya. Sendirian. Setelah berkutat dengan kertas-kertas laporan praktikumnya selama satu semester, Bene bisa beristirahat sejenak. Gadis itu tidak pergi ke luar kontrakannya, kecuali untuk membeli makan atau bahan masakan. Keinginannya untuk naik gunung setiap liburan juga harus kandas. Alasanya sederhana, karena ia tidak punya teman untuk naik ke atas sana. Jika kalian semua mendorong gadis itu untuk pergi sendiri,             “Terima kasih.” Dua kata itu akan keluar dari bibirnya yang sedikit kering. Saran dari kawan-kawan dekatnya, biarkan saja Bene asyik dengan dunianya. Ia bisa saja pergi ke Bandung sekarang juga, atau ke Jakarta. Tapi buat apa? Ia tidak mau menghabiskan lebih banyak uang beasiswa yang baru cair satu pekan lalu...