“Setelah
kau dapat angkanya, masukkan ke rumus turunan. Baru kau hitung lagi. Nanti
dicocokkan dengan grafik,” jelas Renai kepada Kirana.
“Grafik? Memangnya kita harus cari
grafiknya?”
“Iya, lah. Coba kau perhatikan
benar-benar perintah soalnya!” Renai menunjuk buku latihan Kirana dengan
tulisan tegak rapi tanpa coretan sedikit pun.
Kirana mengikuti jari telunjuk
Renai. Berhenti sejenak, lalu membiarkan wajahnya tertekuk tambah dalam. Ia
membiarkan lengannya menumpu kepala yang sudah terlanjur berat sejak belajar
matematika bersama Renai.
“Makan gorengan, yuk!” ujarnya
malas.
“Selesaikan dulu PR-mu!”
“Lagian anak IPS ngapain coba
belajar turunan. Enggak akan berguna juga nantinya,” keluh Kirana, “mending
makan gorengan, yuk!”
Renai mengembuskan napas. Kembali
menuliskan beberapa jawaban soal kimia di bukunya. Ia mau tugasnya selesai
sesegera mungkin. Pikirnya akan terlalu malas untuk membuka buku lagi di rumah
dan mengerjakan tugas sekolah. Lebih baik belajar soal-soal UTBK dari buku yang
ia pinjam di perpustakaan sekolah.
“Habis kerjain satu soal ini ke
kantin, ya!”
“Kalau jam istirahat masih ada,”
jawab Renai singkat.
“Baiklah, Bu Guru. Tapi aku mau
ngerjain ini sambil cerita. Biar aku tak terlalu pusing mengerjakannya,” pinta
Kirana.
Renai tak menjawab. Itu artinya dua
hal, dia mau atau dia tak mau. Tentunya persahabatan Renai dan Kirana sudah
cukup untuk menentukan sikap Kirana selanjutnya. Alhasil tanpa gelengan atau
anggukan, Kirana langsung saja bercerita banyak hal. Sebenarnya tidak banyak
juga, karena Kirana hanya bicara hal yang sama berulang kali. Renai
mendengarkan dengan tenang dan sesekali menanggapi. Topik pertama tentang
Kirana yang sampai hari ini masih dipaksa ibunya untuk masuk Fakultas Hukum UI.
Berbagai penolakan sudah coba sahabatnya itu lakukan, tapi nihil. Mau tidak
mau, suka tidak suka Kirana harus menuruti ibunya.
Topik kedua tentang rencana liburan
setelah kelas dua belas selesai. Kata Kirana ia mau mengajak Acha, Nyimas, dan
Renai untuk jalan-jalan ke Bandung. Bermain dan menghabiskan banyak uang di
sana.
“Aku enggak punya uang,” jawab Renai
singkat.
“Nabung!”
Renai menggaruk kepalanya yang tidak
gatal, tersenyum kaku. Andai menabung dapat meningkatkan jumlah uang berkali
lipat dalam waktu sebentar saja, pasti Renai sudah kaya raya sekarang. Ada
kebutuhan lain yang lebih penting dari sekedar jalan-jalan bersama
sahabat-sahabatnya. Lagi pula rencana ini hanya akan terealisasi apabila Renai
dan teman-temannya sudah pasti mendapatkan kampus, kalau belum mana mungkin ada
liburan.
Topik ketiga, tak pernah
ketinggalan. Satu hari tak mungkin Kirana tak menyebut namanya, tak bercerita
tingkahnya, atau seberapa gadis itu jatuh cinta padanya. Topik apalagi kalau
bukan Amsyar sang primadona? Semua orang tahu, semua gadis setidaknya pasti
pernah kagum atau terpesona dengan Amsyar. Laki-laki dengan kacamata besar dan
otak cerdas, tapi tak menjadi anti sosial karenanya. Laki-laki yang dengan
sigap menangkap bola basket, sekaligus menyepak bola ke gawang. Laki-laki yang
aktif sana-sini, main musik apa pun dengan lihai, dan tampilannya yang aduhai.
Renai harus mengakui Amsyar adalah
sosok yang terlampau bersinar. Bahkan ketua OSIS yang biasanya memiliki
pengaruh luar biasa dan pamor istimewa tetap tak bisa mengalahkan Amsyar.
Bingung pula semua orang kenapa bukan Amsyar yang jadi ketua OSIS? Tapi itu
semua tak penting. Karena inti dari cerita Amsyar adalah Kirana. Semua cerita
kehebatan dan ketampanan Amsyar selalu ditutup Kirana dengan,
“Ren, comblangin aku sama Amsyar, dong.
Sudah dua setengah tahun aku suka padanya. Sebentar lagi juga kita lulus SMA.
Masa aku enggak bisa jadian sama Amsyar?”
***
Renai keluar dari kelasnya. Melipat
kepala kerudung ke dalam, membuatnya seperti model berhijab tahun sembilan
puluhan. Renai ingin membeli cendol dan segera pulang ke rumahnya. Hari ini
pelajaran di sekolah benar-benar membuatnya terbantai. Ia hanya ingin tidur dan
bermalas-malasan. Baru nanti malam ia lakukan semua pekerjaan yang menumpuk
bagai tumpeng nasi kuning.
Koridor kelas dipenuhi dengan siswa
lain yang juga berwajah lelah. Renai bertemu dengan Acha dan Nyimas,
berbincang, kemudian berlalu menuju gerbang luar sekolah. Acha dan Nyimas
dijemput orang tuanya, sedangkan Renai harus naik angkot kuning. Berdesak-desakkan
di dalam dengan aroma keringat pelajar SMA lainnya. Dulu saat awal-awal
berteman dengan Acha dan Nyimas, mereka kerap menawarkan tumpangan. Tapi kini
Renai memilih untuk naik angkutan kota saja. Sebab rumah mereka bertolak
belakang. Hanya sesekali kalau Renai sedang tidak punya uang pulang, ia akan
minta tebengan dengan dua karibnya itu.
Kendaraan bermotor berlomba
mengeluarkan asap paling kotor dan hitam. Di sisi lain mobil dan angkot tak mau
mengalah untuk memberikan jalan duluan. Pedangang kaki lima masih setia
menunggu pelanggan datang. Tangan mereka cekatan membuat pesanan, kedua telinga
sudah terbiasa mengingat apa saja yang dipinta. Renai berjalan menuju penjual
es cendol. Tas ranselnya ia sandang setengah saja. Bibirnya tak memberi kesan
senyum sama sekali. Ia tak mau diganggu. Ia hanya ingin es cendol manis itu
sambil berharap bisa memperbaiki sisa hari itu lebih baik.
Beruntung bagi Renai, tidak bagi
penjual, sebab penggemar es cendol hanya sedikit sore ini. Langsung saja ketika
sampai di tempat, Renai mengucapkan pesanannya. Es cendol dengan santan,
nangka, gula merah sedikit saja, kolang-kaling, dan tanpa agar hijau.
“Hai, Renai!” sapa pembeli di
samping Renai.
Renai tak menggerakkan kepalanya
untuk menoleh. Matanya bergerak dengan tak selera, melihat seorang laki-laki
dengan tampilan berantakan tersenyum ke arahnya. Renai tak kenal, ia balas sapa
itu dengan ‘hai’ dan senyum yang cepat sekali.
“Masih galak kayak dulu, Ren?”
Renai mengerutkan dahinya. Orang
aneh mana yang berkenalan dengan kalimat seperti itu? Lagi pula ini sudah sore,
dirinya sudah terlampau lelah meladeni orang-orang tak penting. Ia berharap mas
cendol segera memberikan pesanannya.
“Aku Isam, kelas dua belas IPA.
Kelas kita bersebelahan, tapi kau tak mengenalku?”
“Maaf aku jarang keluar kelas,”
“Bohong. Biasanya kau main dengan
Acha, Nyimas, dan Kirana, kan?”
Tepat setelah ucapan laki-laki teman
seangkatannya itu, Kirana menerima es cendol pesanannya. Ia tak menjawab lagi.
Langsung mencari angkot untuk membawanya ke rumah. Aneh, sok kenal sok dekat.
Renai tak suka orang-orang seperti itu.
Renai sudah menemukan angkot yang
siap berangkat. Tanpa melihat kanan kiri, ia bergegas masuk ke dalam angkot.
Duduk di kursi terpisah yang paling dekat dengan pintu. Kursi itu biasanya
hanya bisa diduduki satu orang saja, kursi tambahan. Bagus bagi Renai karena ia
tak perlu berdesak-desakkan seperti penumpang angkot yang lain.
Angkot belum maju, hingga satu orang
lagi naik ke dalamnya.
“Hai, Ren!”
Gadis berkuncir kuda, dengan senyum
ramahnya menyapa Renai. Renai yang sedang menyedot cendol jadi tersedak. Ia
sedikit batuk-batuk akibatnya. Setelah sekian lama tidak bertemu dengan Kirana
di angkot, ia pantas untuk melotot kaget.
“Geser dikit, Ren,” pinta Kirana.
Renai masih kaget. Tanpa bicara
sedikit pun, ia menggeser pantatnya dari tempat duduk kecil. Semulanya itu
hanya milik Renai. Namun kini ia harus berbagi dengan Kirana. Angkot kuning
yang menjadi tumpangan kedua karib mulai melaju. Sedikit tersendat-sendat
karena mengalah dengan kendaraan lain atau orang-orang menyebrang. Perlahan dan
pasti angkot mengantarkan semua penumpang di dalamnya, menjadikan supir harus
tersenyum karena sore ini berhasil mendapat tiga puluh tujuh ribu.
***
Lapangan penuh rumput yang tidak
merata ditinjak empat kaki yang gontai melangkah. Bunga liar ada di mana-mana,
tapi ada juga satu dua tanaman hias yang sengaja ditanam. Pagar besi yang sudah
berkarat menjadi pemandangan sehari-hari mata hitam milik gadis delapan belas
tahun. Percuma dicat tiap tahun. Sebab cat yang digunakan adalah cat murah yang
hanya butuh tiga bulan untuk terkelupas. Sebuah pohon jambu air menjadi
satu-satunya kesenangan orang-orang rumah. Ya, walau sebenarnya orang di rumah
hanya tersisa Ibu, Bapak, dan Renai. Kakak-kakak Renai sudah merantau untuk
bekerja dan berkuliah. Dua bulan lagi menjadi penentu, apakah Renai akan ikut
merantau atau tidak?
Dua kursi rotan dari toko loak
menyambut kedatangan gadis-gadis itu. Sebuah meja yang terbuat dari potongan
kayu utuh, hanya sedikit polesan pengawet kayu, sudah termakan rayap di
beberapa bagiannya. Tapi tak ada yang acuh. Selama meja itu masih kuat menopang
piring saji dan dua cangkir kopi atau teh, bukanlah masalah yang serius.
“Di luar saja, ya,” ucap Renai.
“Iya,” jawab Kirana singkat.
Gadis berkuncir kuda itu langsung
duduk di kursi rotan. Tangannya membuka kunciran, membiarkan rambut sebahunya
terurai. Ia kemudian meraih handphone di tas kecil. Mulai membuka media
sosial.
“Aku ke dalam dulu. Kau mau makan
atau minum?”
“Mmm…terserah, Ren,” jawab Kirana
tanpa menoleh ke lawan bicara.
Renai mengangguk, ia masuk ke
rumahnya yang kecil. Ruang tamu dengan sofa dan meja rendah dilewatinya. Sebuah
ruang keluarga yang dulu terasa amat hangat kini hanya tersisa sepi. Hanya
karpet berwarna coklat dan beberapa lemari buku yang mengisi ruangan itu. Ada
pun televisi yang biasanya tak henti memutar film, kini hanya setiap malam saja
menyala. Itu pun kalau Ibu keluar dari kamar. Sebab tak ada lagi yang senang
menonton televisi di zaman ini. Bapak lebih senang minum kopi di luar sambil
berbincang dengan temannya atau membaca koran dan buku-buku. Renai menghabiskan
malam dengan duduk di depan meja belajar, menyelesaikan semua soal-soal UTBK.
Tak ada hari libur belajar bagi Renai. Gadis itu semakin kesetanan tatkala
menerima hasil SNBP beberapa hari lalu.
Di samping ruang keluarga, kamar
Renai terletak. Ia membuka pintu, mendapati ruangan berantakan oleh
kertas-kertas soal. Beberapa baju juga terlihat menumpuk di atas kasur. Buku
novel, buku catatan, botol minum, dan segala benda sama sekali tidak pada tempatnya.
Pada dinding kamar yang sudah kusam dan terkelupas tertempel kertas
warna-warni. Renai sendiri yang membuatnya. Kala itu ia sangat semangat untuk
mewujudkan semua impian yang tertulis. Namun semakin dekat dengan momentum,
semakin ia yakin semuanya hanyalah kertas penuh omong kosong yang berat sekali
untuk ia capai.
Renai biasanya mengajak Kirana masuk
ke kamar. Tapi hari ini terlalu berantakan. Ia tak mau Kirana tahu betapa kacau
dirinya saat ini. Bukan apa-apa, Kirana pun pasti sedang kacau sekarang. Renai
pikir ia tak perlu adu nasib dengan sahabatnya itu. Kirana datang hendak
bercerita, hendak minta solusi. Kalau Renai bercerita balik tentang dia saat
ini, bukankah akan menambah beban pikir Kirana?
Renai mengganti bajunya dengan
cepat. Ia melihat sebentar ke cermin, tersenyum. Bintik-bintik di sekitar
pipinya tak pernah mau hilang. Dua tonjolan berwarna merah dengan nanah di
dalamnya terlihat asik menempel di dagu dan dahi Renai. Ini pasti efek stres.
Renai sedikit malu, tapi sudahlah. Setelah puas melihat diri di cermin, ia
menuju dapur. Menuangkan air dingin yang selalu ada di dalam kulkas. Mengambil
toples nastar dan kricu. Sebuah nampan bergambar bunga-bunga dipakainya untuk membawa
cemilan ke teras. Mana seru bercerita tanpa makan.
“Mau cerita apa?” tanya Renai sambil
menata jamuan kepada tamunya.
“Aku kangen cerita sama kau, Ren,”
ungkap Kirana.
“Waw, baru kali ini aku mendengar
kau menggunakan kata ‘kangen’ padaku,” canda Renai. Tapi sebenarnya benar.
“Kau kangen, tapi pacaran dengan
Amsyar terus,” lanjut Renai.
Diam mendadak hadir.
Kirana meraih gelas air dingin,
meneguknya. Lalu ia membuka toples nastar, mengambil dua buah nastar berbentuk
daun. Renai mengerti. Kirana sebentar lagi akan masuk ke mode ceritanya. Ia
hanya perlu ikut alur cerita, tak ada pemaksaan.
“Aku belum bisa sepenuhnya bercerita
dengan Amsyar. Kau yang paling nyaman,” kata Kirana setelah menelan dua nastar.
Renai meneguk gelas air dingin
miliknya.
“Aku sebenarnya tak tahu pantas atau
tidak cerita ini pada kau. Sepertinya ini akan bikin kau sakit hati. Tapi
selain kau, tak ada lagi yang bisa bikin aku lebih baik.”
“Tidak apa-apa, cerita saja. Kalau
aku belum bisa kasih saran, aku hanya bisa dengarkan kisah kau sampai habis,”
ucap Renai lembut.
Angin sore memainkan daun-daun pohon
jambu air. Motor lalu lalang, ada pun anak-anak kecil yang berteriak dengan
semangat sambil mengayuh sepeda. Jeda yang ada dipakai Kirana untuk menarik
napas dalam-dalam.
“Maaf, Ren. Tapi aku benar-benar
tidak mau lulus SNBP. Aku menyesal memasukkan jurusan hukum sebagai pilihan
pertama. Walau orang-orang di luar sana begitu menginginkan hukum UI, ah,
bahkan hanya universitasnya saja banyak yang mau. Aku ingin menolak saja. Aku
tak mau ikuti perkataan Ibuku. Aku benci menyetujui janji yang kubuat sendiri,
Ren.”
Renai terdiam. Kepalanya memutar
memori beberapa hari lalu yang selalu ia tutup setiap hendak berangkat sekolah.
Tangan Renai masih menempel pada gelas air dingin. Kini tubuhnya yang menjadi
dingin.
“Ibu sangat senang ketika melihat
layar pengumumanku menyatakan kelulusan. Kau tahu, kan, aku lulus pilihan
pertama?” Kirana bertanya pada Renai.
Renai mengangguk pelan.
“Ibu menghentikan semua les yang
kuikuti. Kini Ibu tidak lagi banyak marah atau menuntut. Kebahagiaannya sudah
tercapai. Aku sudah masuk ke hukum UI. Tapi…” Kirana berhenti sejenak. Ia
memainkan tutup toples nastar.
“Tapi…aku ingin membiarkan
kesempatan itu terbuang. Aku ingin ikut UTBK atau ujian mandiri saja. Aku mau
melanjutkan mimpiku, yang sama seperti Ayah. Aku…aku tak mau.”
Tangan Renai yang dingin menyentuh
pundak karibnya. Ia kemudian mendekatkan diri, membiarkan kepala Kirana jatuh
ke dalam pelukan. Renai tak tahu harus menghibur dengan apa. Ia juga sedang
buntu dengan solusi-solusi kreatif. Bahkan sebenarnya Renai yang butuh solusi
kreatif untuk masalahnya sendiri.
Jilbab
abu-abu Renai basah oleh air mata Kirana. Keduanya bersama menikmati sore yang
tak menyenangkan itu. Keduanya sama-sama diam.
Komentar
Posting Komentar