Langsung ke konten utama

Secret 11: Kembali

 

“Setelah kau dapat angkanya, masukkan ke rumus turunan. Baru kau hitung lagi. Nanti dicocokkan dengan grafik,” jelas Renai kepada Kirana.

            “Grafik? Memangnya kita harus cari grafiknya?”

            “Iya, lah. Coba kau perhatikan benar-benar perintah soalnya!” Renai menunjuk buku latihan Kirana dengan tulisan tegak rapi tanpa coretan sedikit pun.

            Kirana mengikuti jari telunjuk Renai. Berhenti sejenak, lalu membiarkan wajahnya tertekuk tambah dalam. Ia membiarkan lengannya menumpu kepala yang sudah terlanjur berat sejak belajar matematika bersama Renai.

            “Makan gorengan, yuk!” ujarnya malas.

            “Selesaikan dulu PR-mu!”

            “Lagian anak IPS ngapain coba belajar turunan. Enggak akan berguna juga nantinya,” keluh Kirana, “mending makan gorengan, yuk!”

            Renai mengembuskan napas. Kembali menuliskan beberapa jawaban soal kimia di bukunya. Ia mau tugasnya selesai sesegera mungkin. Pikirnya akan terlalu malas untuk membuka buku lagi di rumah dan mengerjakan tugas sekolah. Lebih baik belajar soal-soal UTBK dari buku yang ia pinjam di perpustakaan sekolah.

            “Habis kerjain satu soal ini ke kantin, ya!”

            “Kalau jam istirahat masih ada,” jawab Renai singkat.

          “Baiklah, Bu Guru. Tapi aku mau ngerjain ini sambil cerita. Biar aku tak terlalu pusing mengerjakannya,” pinta Kirana.

            Renai tak menjawab. Itu artinya dua hal, dia mau atau dia tak mau. Tentunya persahabatan Renai dan Kirana sudah cukup untuk menentukan sikap Kirana selanjutnya. Alhasil tanpa gelengan atau anggukan, Kirana langsung saja bercerita banyak hal. Sebenarnya tidak banyak juga, karena Kirana hanya bicara hal yang sama berulang kali. Renai mendengarkan dengan tenang dan sesekali menanggapi. Topik pertama tentang Kirana yang sampai hari ini masih dipaksa ibunya untuk masuk Fakultas Hukum UI. Berbagai penolakan sudah coba sahabatnya itu lakukan, tapi nihil. Mau tidak mau, suka tidak suka Kirana harus menuruti ibunya.

            Topik kedua tentang rencana liburan setelah kelas dua belas selesai. Kata Kirana ia mau mengajak Acha, Nyimas, dan Renai untuk jalan-jalan ke Bandung. Bermain dan menghabiskan banyak uang di sana.

            “Aku enggak punya uang,” jawab Renai singkat.

            “Nabung!”

            Renai menggaruk kepalanya yang tidak gatal, tersenyum kaku. Andai menabung dapat meningkatkan jumlah uang berkali lipat dalam waktu sebentar saja, pasti Renai sudah kaya raya sekarang. Ada kebutuhan lain yang lebih penting dari sekedar jalan-jalan bersama sahabat-sahabatnya. Lagi pula rencana ini hanya akan terealisasi apabila Renai dan teman-temannya sudah pasti mendapatkan kampus, kalau belum mana mungkin ada liburan.

            Topik ketiga, tak pernah ketinggalan. Satu hari tak mungkin Kirana tak menyebut namanya, tak bercerita tingkahnya, atau seberapa gadis itu jatuh cinta padanya. Topik apalagi kalau bukan Amsyar sang primadona? Semua orang tahu, semua gadis setidaknya pasti pernah kagum atau terpesona dengan Amsyar. Laki-laki dengan kacamata besar dan otak cerdas, tapi tak menjadi anti sosial karenanya. Laki-laki yang dengan sigap menangkap bola basket, sekaligus menyepak bola ke gawang. Laki-laki yang aktif sana-sini, main musik apa pun dengan lihai, dan tampilannya yang aduhai.

            Renai harus mengakui Amsyar adalah sosok yang terlampau bersinar. Bahkan ketua OSIS yang biasanya memiliki pengaruh luar biasa dan pamor istimewa tetap tak bisa mengalahkan Amsyar. Bingung pula semua orang kenapa bukan Amsyar yang jadi ketua OSIS? Tapi itu semua tak penting. Karena inti dari cerita Amsyar adalah Kirana. Semua cerita kehebatan dan ketampanan Amsyar selalu ditutup Kirana dengan,

            “Ren, comblangin aku sama Amsyar, dong. Sudah dua setengah tahun aku suka padanya. Sebentar lagi juga kita lulus SMA. Masa aku enggak bisa jadian sama Amsyar?”

***

            Renai keluar dari kelasnya. Melipat kepala kerudung ke dalam, membuatnya seperti model berhijab tahun sembilan puluhan. Renai ingin membeli cendol dan segera pulang ke rumahnya. Hari ini pelajaran di sekolah benar-benar membuatnya terbantai. Ia hanya ingin tidur dan bermalas-malasan. Baru nanti malam ia lakukan semua pekerjaan yang menumpuk bagai tumpeng nasi kuning.

            Koridor kelas dipenuhi dengan siswa lain yang juga berwajah lelah. Renai bertemu dengan Acha dan Nyimas, berbincang, kemudian berlalu menuju gerbang luar sekolah. Acha dan Nyimas dijemput orang tuanya, sedangkan Renai harus naik angkot kuning. Berdesak-desakkan di dalam dengan aroma keringat pelajar SMA lainnya. Dulu saat awal-awal berteman dengan Acha dan Nyimas, mereka kerap menawarkan tumpangan. Tapi kini Renai memilih untuk naik angkutan kota saja. Sebab rumah mereka bertolak belakang. Hanya sesekali kalau Renai sedang tidak punya uang pulang, ia akan minta tebengan dengan dua karibnya itu.

            Kendaraan bermotor berlomba mengeluarkan asap paling kotor dan hitam. Di sisi lain mobil dan angkot tak mau mengalah untuk memberikan jalan duluan. Pedangang kaki lima masih setia menunggu pelanggan datang. Tangan mereka cekatan membuat pesanan, kedua telinga sudah terbiasa mengingat apa saja yang dipinta. Renai berjalan menuju penjual es cendol. Tas ranselnya ia sandang setengah saja. Bibirnya tak memberi kesan senyum sama sekali. Ia tak mau diganggu. Ia hanya ingin es cendol manis itu sambil berharap bisa memperbaiki sisa hari itu lebih baik.

            Beruntung bagi Renai, tidak bagi penjual, sebab penggemar es cendol hanya sedikit sore ini. Langsung saja ketika sampai di tempat, Renai mengucapkan pesanannya. Es cendol dengan santan, nangka, gula merah sedikit saja, kolang-kaling, dan tanpa agar hijau.

            “Hai, Renai!” sapa pembeli di samping Renai.

            Renai tak menggerakkan kepalanya untuk menoleh. Matanya bergerak dengan tak selera, melihat seorang laki-laki dengan tampilan berantakan tersenyum ke arahnya. Renai tak kenal, ia balas sapa itu dengan ‘hai’ dan senyum yang cepat sekali.

            “Masih galak kayak dulu, Ren?”

            Renai mengerutkan dahinya. Orang aneh mana yang berkenalan dengan kalimat seperti itu? Lagi pula ini sudah sore, dirinya sudah terlampau lelah meladeni orang-orang tak penting. Ia berharap mas cendol segera memberikan pesanannya.

            “Aku Isam, kelas dua belas IPA. Kelas kita bersebelahan, tapi kau tak mengenalku?”

            “Maaf aku jarang keluar kelas,”

            “Bohong. Biasanya kau main dengan Acha, Nyimas, dan Kirana, kan?”

            Tepat setelah ucapan laki-laki teman seangkatannya itu, Kirana menerima es cendol pesanannya. Ia tak menjawab lagi. Langsung mencari angkot untuk membawanya ke rumah. Aneh, sok kenal sok dekat. Renai tak suka orang-orang seperti itu.

            Renai sudah menemukan angkot yang siap berangkat. Tanpa melihat kanan kiri, ia bergegas masuk ke dalam angkot. Duduk di kursi terpisah yang paling dekat dengan pintu. Kursi itu biasanya hanya bisa diduduki satu orang saja, kursi tambahan. Bagus bagi Renai karena ia tak perlu berdesak-desakkan seperti penumpang angkot yang lain.

            Angkot belum maju, hingga satu orang lagi naik ke dalamnya.

            “Hai, Ren!”

            Gadis berkuncir kuda, dengan senyum ramahnya menyapa Renai. Renai yang sedang menyedot cendol jadi tersedak. Ia sedikit batuk-batuk akibatnya. Setelah sekian lama tidak bertemu dengan Kirana di angkot, ia pantas untuk melotot kaget.

            “Geser dikit, Ren,” pinta Kirana.

            Renai masih kaget. Tanpa bicara sedikit pun, ia menggeser pantatnya dari tempat duduk kecil. Semulanya itu hanya milik Renai. Namun kini ia harus berbagi dengan Kirana. Angkot kuning yang menjadi tumpangan kedua karib mulai melaju. Sedikit tersendat-sendat karena mengalah dengan kendaraan lain atau orang-orang menyebrang. Perlahan dan pasti angkot mengantarkan semua penumpang di dalamnya, menjadikan supir harus tersenyum karena sore ini berhasil mendapat tiga puluh tujuh ribu.

***

            Lapangan penuh rumput yang tidak merata ditinjak empat kaki yang gontai melangkah. Bunga liar ada di mana-mana, tapi ada juga satu dua tanaman hias yang sengaja ditanam. Pagar besi yang sudah berkarat menjadi pemandangan sehari-hari mata hitam milik gadis delapan belas tahun. Percuma dicat tiap tahun. Sebab cat yang digunakan adalah cat murah yang hanya butuh tiga bulan untuk terkelupas. Sebuah pohon jambu air menjadi satu-satunya kesenangan orang-orang rumah. Ya, walau sebenarnya orang di rumah hanya tersisa Ibu, Bapak, dan Renai. Kakak-kakak Renai sudah merantau untuk bekerja dan berkuliah. Dua bulan lagi menjadi penentu, apakah Renai akan ikut merantau atau tidak?

            Dua kursi rotan dari toko loak menyambut kedatangan gadis-gadis itu. Sebuah meja yang terbuat dari potongan kayu utuh, hanya sedikit polesan pengawet kayu, sudah termakan rayap di beberapa bagiannya. Tapi tak ada yang acuh. Selama meja itu masih kuat menopang piring saji dan dua cangkir kopi atau teh, bukanlah masalah yang serius.

            “Di luar saja, ya,” ucap Renai.

            “Iya,” jawab Kirana singkat.

            Gadis berkuncir kuda itu langsung duduk di kursi rotan. Tangannya membuka kunciran, membiarkan rambut sebahunya terurai. Ia kemudian meraih handphone di tas kecil. Mulai membuka media sosial.

            “Aku ke dalam dulu. Kau mau makan atau minum?”

            “Mmm…terserah, Ren,” jawab Kirana tanpa menoleh ke lawan bicara.

            Renai mengangguk, ia masuk ke rumahnya yang kecil. Ruang tamu dengan sofa dan meja rendah dilewatinya. Sebuah ruang keluarga yang dulu terasa amat hangat kini hanya tersisa sepi. Hanya karpet berwarna coklat dan beberapa lemari buku yang mengisi ruangan itu. Ada pun televisi yang biasanya tak henti memutar film, kini hanya setiap malam saja menyala. Itu pun kalau Ibu keluar dari kamar. Sebab tak ada lagi yang senang menonton televisi di zaman ini. Bapak lebih senang minum kopi di luar sambil berbincang dengan temannya atau membaca koran dan buku-buku. Renai menghabiskan malam dengan duduk di depan meja belajar, menyelesaikan semua soal-soal UTBK. Tak ada hari libur belajar bagi Renai. Gadis itu semakin kesetanan tatkala menerima hasil SNBP beberapa hari lalu.

            Di samping ruang keluarga, kamar Renai terletak. Ia membuka pintu, mendapati ruangan berantakan oleh kertas-kertas soal. Beberapa baju juga terlihat menumpuk di atas kasur. Buku novel, buku catatan, botol minum, dan segala benda sama sekali tidak pada tempatnya. Pada dinding kamar yang sudah kusam dan terkelupas tertempel kertas warna-warni. Renai sendiri yang membuatnya. Kala itu ia sangat semangat untuk mewujudkan semua impian yang tertulis. Namun semakin dekat dengan momentum, semakin ia yakin semuanya hanyalah kertas penuh omong kosong yang berat sekali untuk ia capai.

            Renai biasanya mengajak Kirana masuk ke kamar. Tapi hari ini terlalu berantakan. Ia tak mau Kirana tahu betapa kacau dirinya saat ini. Bukan apa-apa, Kirana pun pasti sedang kacau sekarang. Renai pikir ia tak perlu adu nasib dengan sahabatnya itu. Kirana datang hendak bercerita, hendak minta solusi. Kalau Renai bercerita balik tentang dia saat ini, bukankah akan menambah beban pikir Kirana?

            Renai mengganti bajunya dengan cepat. Ia melihat sebentar ke cermin, tersenyum. Bintik-bintik di sekitar pipinya tak pernah mau hilang. Dua tonjolan berwarna merah dengan nanah di dalamnya terlihat asik menempel di dagu dan dahi Renai. Ini pasti efek stres. Renai sedikit malu, tapi sudahlah. Setelah puas melihat diri di cermin, ia menuju dapur. Menuangkan air dingin yang selalu ada di dalam kulkas. Mengambil toples nastar dan kricu. Sebuah nampan bergambar bunga-bunga dipakainya untuk membawa cemilan ke teras. Mana seru bercerita tanpa makan.

            “Mau cerita apa?” tanya Renai sambil menata jamuan kepada tamunya.

            “Aku kangen cerita sama kau, Ren,” ungkap Kirana.

            “Waw, baru kali ini aku mendengar kau menggunakan kata ‘kangen’ padaku,” canda Renai. Tapi sebenarnya benar.

            “Kau kangen, tapi pacaran dengan Amsyar terus,” lanjut Renai.

            Diam mendadak hadir.

            Kirana meraih gelas air dingin, meneguknya. Lalu ia membuka toples nastar, mengambil dua buah nastar berbentuk daun. Renai mengerti. Kirana sebentar lagi akan masuk ke mode ceritanya. Ia hanya perlu ikut alur cerita, tak ada pemaksaan.

            “Aku belum bisa sepenuhnya bercerita dengan Amsyar. Kau yang paling nyaman,” kata Kirana setelah menelan dua nastar.

            Renai meneguk gelas air dingin miliknya.

            “Aku sebenarnya tak tahu pantas atau tidak cerita ini pada kau. Sepertinya ini akan bikin kau sakit hati. Tapi selain kau, tak ada lagi yang bisa bikin aku lebih baik.”

            “Tidak apa-apa, cerita saja. Kalau aku belum bisa kasih saran, aku hanya bisa dengarkan kisah kau sampai habis,” ucap Renai lembut.

            Angin sore memainkan daun-daun pohon jambu air. Motor lalu lalang, ada pun anak-anak kecil yang berteriak dengan semangat sambil mengayuh sepeda. Jeda yang ada dipakai Kirana untuk menarik napas dalam-dalam.

            “Maaf, Ren. Tapi aku benar-benar tidak mau lulus SNBP. Aku menyesal memasukkan jurusan hukum sebagai pilihan pertama. Walau orang-orang di luar sana begitu menginginkan hukum UI, ah, bahkan hanya universitasnya saja banyak yang mau. Aku ingin menolak saja. Aku tak mau ikuti perkataan Ibuku. Aku benci menyetujui janji yang kubuat sendiri, Ren.”

            Renai terdiam. Kepalanya memutar memori beberapa hari lalu yang selalu ia tutup setiap hendak berangkat sekolah. Tangan Renai masih menempel pada gelas air dingin. Kini tubuhnya yang menjadi dingin.

            “Ibu sangat senang ketika melihat layar pengumumanku menyatakan kelulusan. Kau tahu, kan, aku lulus pilihan pertama?” Kirana bertanya pada Renai.

            Renai mengangguk pelan.

            “Ibu menghentikan semua les yang kuikuti. Kini Ibu tidak lagi banyak marah atau menuntut. Kebahagiaannya sudah tercapai. Aku sudah masuk ke hukum UI. Tapi…” Kirana berhenti sejenak. Ia memainkan tutup toples nastar.

            “Tapi…aku ingin membiarkan kesempatan itu terbuang. Aku ingin ikut UTBK atau ujian mandiri saja. Aku mau melanjutkan mimpiku, yang sama seperti Ayah. Aku…aku tak mau.”

            Tangan Renai yang dingin menyentuh pundak karibnya. Ia kemudian mendekatkan diri, membiarkan kepala Kirana jatuh ke dalam pelukan. Renai tak tahu harus menghibur dengan apa. Ia juga sedang buntu dengan solusi-solusi kreatif. Bahkan sebenarnya Renai yang butuh solusi kreatif untuk masalahnya sendiri.

Jilbab abu-abu Renai basah oleh air mata Kirana. Keduanya bersama menikmati sore yang tak menyenangkan itu. Keduanya sama-sama diam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi : Novel Nebula Karya Tere Liye

Novel “NEBULA” Karya Tere Liye :  Rahasia Pengintai Terbaik dan Kembalinya Musuh Lama Oleh : Lubna Anfaresi Judul                : NEBULA Penulis             : Tere Liye Penerbit             : Gramedia Pustaka Utama Kota Terbit       : Jakarta Cetakan II        : April 2020 Ketebalan         : 376 halaman Pendahuluan             Serial Bumi merupakan salah satu serial yang dikeluarkan oleh penulis Tere Liye dan berhasil menarik minat pembaca di tanah air. Serial fantasi ini sudah memiliki sembilan seri dengan seri terbaru berjudul “NEBULA”. Sama seperti seri sebelumnya yang berjudul “SELENA”, seri ke-9 ini menceritakan kisah dari sudut pandang Selena sebaga...

Masak, Makan, Lempah Kuning

  Masak, Makan, Lempah Kuning “Wew, banyak kenek ge. Basing ka lah pon!” [1]             Ucapan dari Ami, gadis Bangka yang sudah kutemui sejak lima hari bertugas di daerah ini, terus terngiang di antara malam-malam sepi di kamar berukuran lima kali tujuh meter. Suaranya begitu tinggi, mencekam, dan rasanya penuh kebencian. Raut wajahnya yang mengerut itu terus terbayang, juga ucapan dengan bahasa yang aku tidak mengerti sama sekali. Jauh dari mal perbelanjaan, kafe yang selalu ramai, atau sekadar lalu lintas kota Yogya, aku terjebak sampai sembilan hari kedepan untuk mengerjakan tugas kuliahku di sini. Aku tidur menumpang kepada salah satu warga kenalan kawan kuliahku, yang juga berasal dari Bangka. Katanya itu adalah rumah seperadik [2] -nya. Pintu kamar yang menjadi tempat tidurku sementara tiba-tiba diketuk dari luar. Aku menghela napas, mencoba meraih gagang pintu dan membiarkan sinar lampu di ruang tengah masuk ke d...

Nugget

Pernah berpikir untuk masak nugget goreng yang dicocol dengan cuko ? Itu yang Bene lakukan. Aneh, iya. Tapi Bene tidak akan peduli dengan komentar orang, karena toh dia sekarang ada di kontrakannya. Sendirian. Setelah berkutat dengan kertas-kertas laporan praktikumnya selama satu semester, Bene bisa beristirahat sejenak. Gadis itu tidak pergi ke luar kontrakannya, kecuali untuk membeli makan atau bahan masakan. Keinginannya untuk naik gunung setiap liburan juga harus kandas. Alasanya sederhana, karena ia tidak punya teman untuk naik ke atas sana. Jika kalian semua mendorong gadis itu untuk pergi sendiri,             “Terima kasih.” Dua kata itu akan keluar dari bibirnya yang sedikit kering. Saran dari kawan-kawan dekatnya, biarkan saja Bene asyik dengan dunianya. Ia bisa saja pergi ke Bandung sekarang juga, atau ke Jakarta. Tapi buat apa? Ia tidak mau menghabiskan lebih banyak uang beasiswa yang baru cair satu pekan lalu...