Tangisan
yang selalu bisa Renai kontrol akhir-akhir ini, kembali turun deras.
Ketakutannya akan masa depan yang suram ternyata benar-benar menjadi kenyataan.
Ia tak keluar dari kamarnya sejak membuka laman SNBP. Ia hanya menemani diri
dengan tangis yang tak berbunyi sama sekali. Tak ada yang tahu bahwa Renai
begitu sakit hati ditolak kampus impiannya.
Renai
sudah bercita-cita sejak SMP untuk masuk ke Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Ia tak pernah mendapat nilai di bawah KKM selama tiga tahun belajar
di sekolah. Nilai rata-rata rapot tiap semester selalu meningkat, bahkan
rata-ratanya menjadi nomor empat yang tertinggi di sekolahnya. Renai juga ikut
organisasi. Ia menjabat sebagai Ketua Divisi Pengawasan di MPK sekolahnya.
Semua pekerjaan organisasi dilakukan dengan tepat dan cepat. Semuanya seimbang
dengan nilai-nilai di kelas. Jangan lupakan pula dua sertifikat yang Renai
lampirkan saat mendaftar SNBP. Walau hanya menjadi peserta tingkat nasional dua
kali, harusnya itu cukup untuk meloloskannya.
Tapi semua usahanya berkhianat.
Renai merobek-robek kertas mimpinya. Ia menyelimuti diri dengan kesedihan yang
tak menghangatkan. Dibiarkan bantal menjadi tumpahnya air mata. Bengkak mata
tak seberapa dibanding bengkak di hatinya. Hingga 6 x 24 jam ke depan, ia tak
banyak bicara dengan orang-orang. Pun semuanya tahu aturan tak tertulis ketika
hari pengumuman lolos seleksi SNBP atau SNBT. Jangan bertanya kecuali orang itu
sendiri yang mengumumkannya.
Renai yang jarang makan, mengalami
peningkatan kebiasaan buruk itu. Ia hanya makan jajanan di kantin. Masakan
rumah dibiarkannya, toh ia sendiri yang masak untuk orang-orang di rumah. Renai
kini hanya membuat makanan sederhana, telur goreng, tahu goreng, tempe goreng,
atau mi goreng. Tak seperti sebelumnya yang lebih bervariasi. Ibu dan Ayah
merasa heran, tapi tak banyak bertanya juga. Buat apa? Mereka yakin anak
bungsunya itu tak mau bercerita.
Setiap hari Renai memakai masker dan
kacamata ke sekolah. Padahal ia tidak sakit dan biasanya hanya menggunakan
kacamatan saat di kelas. Renai menjadi lebih diam dari diam-diam yang
sebelumnya. Ia hanya fokus mendengar penjelasan guru, mengerjakan soal-soal
UTBK, atau tidur. Sesekali Amsyar datang mengajaknya bicara. Gadis itu hanya
menjawab seadanya.
Setiap malam Renai mengurung diri di
kamarnya. Ia duduk di depan meja belajar, mengamati setiap soal. Angka dan
huruf yang tercetak di atas buku tebal seakan melayang-layang. Tulisan
tangannya menjadi lebih berantakan dari biasanya. Lalu setiap dua puluh menit
sekali ia mulai menangis lagi. Renai mengacak-acak rambutnya, membuang kertas
coret-coret, tersedu dalam volume paling kecil yang pernah ia keluarkan. Musik
bergenre pop Indonesia diputar keras. Biar orang-orang rumah tak tahu apa yang
terjadi dengan dirinya. Setelah menangis, ia akan kembali melihat buku UTBK.
Sambil mengerjakan, sambil pusing, sambil menangis, ia mantapkan lagi mimpinya.
Ia bangun lagi mimpinya. Berulang kejadiannya, tapi hanya Renai yang tahu.
Acha, Nyimas, dan Kirana, mereka
tahu bahwa Renai gagal dalam seleksi SNBP. Ketiganya berusaha menghibur atau
mencoba menjadi teman cerita terbaik. Tapi semua seakan terasa sulit, sebab
mereka bertiga tidak berada di posisi Renai sekarang. Acha diterima di Fakultas
Psikologi Universitas Pendidikan Indonesia, Nyimas diterima di Fakultas
Teknologi Industri Institut Teknologi Bandung, dan Kirana diterima di Fakultas
Hukum Universitas Indonesia.
“UI pasti nyesel nolak kau di SNBP,
Ren,” hibur Acha.
“Iya, betul. Kalau SNBT nanti pilih
UGM saja, Ren. Pilihan kedua baru UI,” Kirana menimpali.
Renai hanya tersenyum kecut
mendengarnya.
“Kau boleh sedih ditolak SNBP, tapi
cukup sebentar saja Ren. Kami bakal bantu kau untuk bangkit lagi. Kami yakin
kalau kau serius belajar UTBK pasti semua kampus ingin kau masuk ke dalamnya,”
kali ini Nyimas bicara bijak.
“Sebelum UTBK kau harus sehat dulu.
Yuk, ah, jangan malas makan lagi. Masa makannya hanya mi koba sama somay. Makan
nasi, dong,” ucap Kirana lembut.
“Aku sehat, cuma lagi enggak selera
makan aja.”
“Aku kangen kue bolumu, Ren. Kau
sendiri yang bilang kalau lagi kesal atau sedih biasanya bikin kue bolu. Ayo
bikin lagi! Biar kau semangat,” saran Nyimas.
Lagi-lagi Renai hanya balas
tersenyum. Ia tak bisa menangis di depan teman-temannya. Tak juga bisa banyak
cerita. Lebih tepatnya ia tak mau. Entah mengapa, ia juga tak tahu. Bagi Renai
yang layak mendengar tangis dan ceritanya hanya dia sendiri. Hanya Renai dan
buku catatan. Hanya Renai dan kamar berantakannya.
***
Renai menahan sekuat tenaga untuk
tidak ikut menumpahkan air matanya. Ia ikut sedih dengan yang dialami Kirana.
Ia tahu rasanya harus menyerah dengan cita-cita demi orang tua. Tapi sungguh,
dibanding itu Renai lebih ingin menangis karena sakit hati yang baru saja ia
tutup harus terbuka dengan tak diduga. Renai memeluk Kirana, tubuhnya ikut
bergetar. Ia diam saja, sambil tangannya mengelus-elus kepala dan punggung
Kirana.
“Aku…a…aku, harus ba…gaimana?
Aku…capek, Ren. Aku…enggak tahu harus…be…belajar apa nantinya. Tapi, a…aku juga
tak mau lagi bertengkar dengan Ibuku. Ca..pek, Ren…”
Kirana melanjutkan ceritanya dengan
tersendat-sendat. Cemilan di hadapan kedua karib itu hanya bisa membisu. Air
dingin berubah menjadi suhu normal. Tetesan es menggenang di luar gelas. Renai
masih diam. Ia sedari tadi mencoba berbagai kombinasi kata-kata yang paling
tepat untuk menenangkan Kirana. Tapi dirinya juga kacau sekali sekarang. Kalau
tak ada Kirana sepertinya ia bisa teriak, menumpahkan segala rasa kesal yang
bertumpuk-tumpuk.
Renai menutup mata. Tangannya masih
memeluk Kirana. Ia menghirup napas dalam-dalam, mengaturnya agar tak kacau.
Renai membayangkan segala hal indah. Membuang pikiran-pikiran negatif. Ia tidak
bisa menenangkan orang lain sebelum dirinya tenang. Sambil memeluk Kirana, ia
merasakan kehangatan. Ia membayangkan dirinya ditenangkan.
Satu tarikan napas. Dua tarikan
napas. Tiga tarikan napas.
“Ran, aku tahu ini berat. Bahkan
dari awal SMA pun kau sudah berjuang begitu hebat di jurusan IPS. Jurusan yang
kau inginkan, bukan yang ibumu pinta, bukan?” Renai bertanya lembut.
“Ran, kau beruntung diperbolehkan
sekolah di jurusan yang kau mau. Kau harusnya sadar juga ibumu memilih fakultas
hukum bukan tanpa sebab. Ibumu melihat perkembanganmu di SMA, di jurusan IPS.
Beliau pasti tahu kau punya potensi yang lebih baik di situ daripada jurusan
yang kau inginkan sekarang. Jalankan dulu, kalau nanti kau bingung belajar apa itu
urusan belakangan. Kau harus ingat, lingkungan yang menerimamu saat ini adalah
lingkungan positif dambaan orang-orang. Termasuk aku juga.”
Renai terdiam sejenak. Ia kembali
mengatur napasnya. Ia kembali mengatur agar air mata yang sudah siap meluncur
tak jadi keluar. Kalimat terakhir yang ia ucapkan, benar-benar membuat goyah pertahanannya.
“Ran, kau pasti bisa berkembang di
sana. Kau bisa juga jadi penegak hukum di bidang kehutanan nantinya atau kau
bisa membangun kebijakan hukum terkait ilmu-ilmu meteorologi. Memang benar,
kuliah itu kalau fakultas atau jurusannya tidak sesuai dengan minat kita akan
sulit. Tapi, hei, lihatlah! Kau mendapat lingkungan kampus yang terbaik,
bukan?” Hibur Renai.
Kirana masih mengontrol tangisnya.
Ia lebih baik sekarang. Tubuhnya ia lepas dari pelukan Renai. Sambil mengelap
air mata dan ingus dengan tisu, ia duduk seperti sebelum tangisnya pecah.
Renai menuangkan air dingin lagi ke
gelas Kirana.
“La..lu aku harus terima saja?”
tanya Kirana setelah Renai selesai menuangkan air minum kepadanya.
“Ya, tentu. Lagi pula kau harus
memperbaiki hubunganmu dengan Ibu, bukan? Kalau hubungan kalian sudah lebih
baik, kuliah pun akan terasa lebih baik. Jangan sering-sering marah dengan
Ibumu, Ran,” nasehat Renai.
Kirana mengangguk, lantas mengambil
gelas berisi air dingin. Ia meneguknya sampai habis. Kini perasaannya lebih
baik. Angin sepoi-sepoi sore hari menambah kesegaran yang diterima Kirana.
Begitu pula dengan Renai, walau sebenarnya ia tak merasa begitu lega. Langit
sore yang biru bercampur dengan warna matahari yang tak lama lagi akan
terbenam. Suara anak-anak yang bermain sepeda masih asik mengisi ruang dan
waktu. Mereka beradu dengan bunyi kendaraan dan kicau burung walet.
“Kau, bagaimana, Ren?”
Renai menolehkan kepalanya ke arah
Kirana. Sepersekian detik kemudian ia kembali membuang pandang ke depan.
Tatapannya melekat pada pagar karatan.
“Aku ikut UTBK. Doakan yang terbaik
saja,” jawabnya singkat.
Kini suara ibu-ibu komplek mulai
terdengar meneriaki anak-anaknya. Bergegas rombongan sepeda cilik itu menuju
rumah masing-masing. Sedikit mengebut, tapi tak lupa untuk saling berteriak
‘sampai jumpa!’. Pedagang sosis dan jagung manis yang mangkal di dekat komplek
tempat anak-anak biasa bermain ikut bersiap pulang. Sudah cukup mencari rezeki
hari ini.
Diam lagi-lagi menyelimuti Renai dan
Kirana. Mereka menenangkan diri masing-masing. Tapi itu hanya sebentar saja.
Karena Kirana lagi-lagi melemparkan pertanyaan. Ia sudah tenang sekarang. Ia
ingin tahu, apakah kawannya itu juga tenang?
“Bukan itu maksudku. Apakah kau
baik-baik saja? Kau sepantasnya kesal denganku yang merengek ingin batalkan
SNBP. Aku tahu, kampus yang aku dapatkan ini adalah impianmu, Ren,” kata
Kirana. Matanya di arahkan ke gadis berkerudung abu di sampingnya.
Renai tak menjawab. Pandangannya
lurus, tanpa fokus. Ia menggigit bibirnya. Detak jantung berpacu kencang. Air
mata hendak keluar, tak tahan.
“Ren, apa kau,”
“Aku baik-baik saja, Ran.”
Ucapan yang keluar dari bibir gadis
cerdas itu begitu lirih. Terbawa angin, tertutup debu. Hanya menyisakan
senyuman yang tulus. Entah bagaimana ia melakukannya.
Komentar
Posting Komentar