Langsung ke konten utama

Secret 12: Pembohong Ulung

 

Tangisan yang selalu bisa Renai kontrol akhir-akhir ini, kembali turun deras. Ketakutannya akan masa depan yang suram ternyata benar-benar menjadi kenyataan. Ia tak keluar dari kamarnya sejak membuka laman SNBP. Ia hanya menemani diri dengan tangis yang tak berbunyi sama sekali. Tak ada yang tahu bahwa Renai begitu sakit hati ditolak kampus impiannya.

Renai sudah bercita-cita sejak SMP untuk masuk ke Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ia tak pernah mendapat nilai di bawah KKM selama tiga tahun belajar di sekolah. Nilai rata-rata rapot tiap semester selalu meningkat, bahkan rata-ratanya menjadi nomor empat yang tertinggi di sekolahnya. Renai juga ikut organisasi. Ia menjabat sebagai Ketua Divisi Pengawasan di MPK sekolahnya. Semua pekerjaan organisasi dilakukan dengan tepat dan cepat. Semuanya seimbang dengan nilai-nilai di kelas. Jangan lupakan pula dua sertifikat yang Renai lampirkan saat mendaftar SNBP. Walau hanya menjadi peserta tingkat nasional dua kali, harusnya itu cukup untuk meloloskannya.

            Tapi semua usahanya berkhianat. Renai merobek-robek kertas mimpinya. Ia menyelimuti diri dengan kesedihan yang tak menghangatkan. Dibiarkan bantal menjadi tumpahnya air mata. Bengkak mata tak seberapa dibanding bengkak di hatinya. Hingga 6 x 24 jam ke depan, ia tak banyak bicara dengan orang-orang. Pun semuanya tahu aturan tak tertulis ketika hari pengumuman lolos seleksi SNBP atau SNBT. Jangan bertanya kecuali orang itu sendiri yang mengumumkannya.

            Renai yang jarang makan, mengalami peningkatan kebiasaan buruk itu. Ia hanya makan jajanan di kantin. Masakan rumah dibiarkannya, toh ia sendiri yang masak untuk orang-orang di rumah. Renai kini hanya membuat makanan sederhana, telur goreng, tahu goreng, tempe goreng, atau mi goreng. Tak seperti sebelumnya yang lebih bervariasi. Ibu dan Ayah merasa heran, tapi tak banyak bertanya juga. Buat apa? Mereka yakin anak bungsunya itu tak mau bercerita.

            Setiap hari Renai memakai masker dan kacamata ke sekolah. Padahal ia tidak sakit dan biasanya hanya menggunakan kacamatan saat di kelas. Renai menjadi lebih diam dari diam-diam yang sebelumnya. Ia hanya fokus mendengar penjelasan guru, mengerjakan soal-soal UTBK, atau tidur. Sesekali Amsyar datang mengajaknya bicara. Gadis itu hanya menjawab seadanya.

            Setiap malam Renai mengurung diri di kamarnya. Ia duduk di depan meja belajar, mengamati setiap soal. Angka dan huruf yang tercetak di atas buku tebal seakan melayang-layang. Tulisan tangannya menjadi lebih berantakan dari biasanya. Lalu setiap dua puluh menit sekali ia mulai menangis lagi. Renai mengacak-acak rambutnya, membuang kertas coret-coret, tersedu dalam volume paling kecil yang pernah ia keluarkan. Musik bergenre pop Indonesia diputar keras. Biar orang-orang rumah tak tahu apa yang terjadi dengan dirinya. Setelah menangis, ia akan kembali melihat buku UTBK. Sambil mengerjakan, sambil pusing, sambil menangis, ia mantapkan lagi mimpinya. Ia bangun lagi mimpinya. Berulang kejadiannya, tapi hanya Renai yang tahu.

            Acha, Nyimas, dan Kirana, mereka tahu bahwa Renai gagal dalam seleksi SNBP. Ketiganya berusaha menghibur atau mencoba menjadi teman cerita terbaik. Tapi semua seakan terasa sulit, sebab mereka bertiga tidak berada di posisi Renai sekarang. Acha diterima di Fakultas Psikologi Universitas Pendidikan Indonesia, Nyimas diterima di Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Bandung, dan Kirana diterima di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

            “UI pasti nyesel nolak kau di SNBP, Ren,” hibur Acha.

            “Iya, betul. Kalau SNBT nanti pilih UGM saja, Ren. Pilihan kedua baru UI,” Kirana menimpali.

            Renai hanya tersenyum kecut mendengarnya.

            “Kau boleh sedih ditolak SNBP, tapi cukup sebentar saja Ren. Kami bakal bantu kau untuk bangkit lagi. Kami yakin kalau kau serius belajar UTBK pasti semua kampus ingin kau masuk ke dalamnya,” kali ini Nyimas bicara bijak.

            “Sebelum UTBK kau harus sehat dulu. Yuk, ah, jangan malas makan lagi. Masa makannya hanya mi koba sama somay. Makan nasi, dong,” ucap Kirana lembut.

            “Aku sehat, cuma lagi enggak selera makan aja.”

            “Aku kangen kue bolumu, Ren. Kau sendiri yang bilang kalau lagi kesal atau sedih biasanya bikin kue bolu. Ayo bikin lagi! Biar kau semangat,” saran Nyimas.

            Lagi-lagi Renai hanya balas tersenyum. Ia tak bisa menangis di depan teman-temannya. Tak juga bisa banyak cerita. Lebih tepatnya ia tak mau. Entah mengapa, ia juga tak tahu. Bagi Renai yang layak mendengar tangis dan ceritanya hanya dia sendiri. Hanya Renai dan buku catatan. Hanya Renai dan kamar berantakannya.

***

            Renai menahan sekuat tenaga untuk tidak ikut menumpahkan air matanya. Ia ikut sedih dengan yang dialami Kirana. Ia tahu rasanya harus menyerah dengan cita-cita demi orang tua. Tapi sungguh, dibanding itu Renai lebih ingin menangis karena sakit hati yang baru saja ia tutup harus terbuka dengan tak diduga. Renai memeluk Kirana, tubuhnya ikut bergetar. Ia diam saja, sambil tangannya mengelus-elus kepala dan punggung Kirana.

            “Aku…a…aku, harus ba…gaimana? Aku…capek, Ren. Aku…enggak tahu harus…be…belajar apa nantinya. Tapi, a…aku juga tak mau lagi bertengkar dengan Ibuku. Ca..pek, Ren…”

            Kirana melanjutkan ceritanya dengan tersendat-sendat. Cemilan di hadapan kedua karib itu hanya bisa membisu. Air dingin berubah menjadi suhu normal. Tetesan es menggenang di luar gelas. Renai masih diam. Ia sedari tadi mencoba berbagai kombinasi kata-kata yang paling tepat untuk menenangkan Kirana. Tapi dirinya juga kacau sekali sekarang. Kalau tak ada Kirana sepertinya ia bisa teriak, menumpahkan segala rasa kesal yang bertumpuk-tumpuk.

            Renai menutup mata. Tangannya masih memeluk Kirana. Ia menghirup napas dalam-dalam, mengaturnya agar tak kacau. Renai membayangkan segala hal indah. Membuang pikiran-pikiran negatif. Ia tidak bisa menenangkan orang lain sebelum dirinya tenang. Sambil memeluk Kirana, ia merasakan kehangatan. Ia membayangkan dirinya ditenangkan.

            Satu tarikan napas. Dua tarikan napas. Tiga tarikan napas.

            “Ran, aku tahu ini berat. Bahkan dari awal SMA pun kau sudah berjuang begitu hebat di jurusan IPS. Jurusan yang kau inginkan, bukan yang ibumu pinta, bukan?” Renai bertanya lembut.

            “Ran, kau beruntung diperbolehkan sekolah di jurusan yang kau mau. Kau harusnya sadar juga ibumu memilih fakultas hukum bukan tanpa sebab. Ibumu melihat perkembanganmu di SMA, di jurusan IPS. Beliau pasti tahu kau punya potensi yang lebih baik di situ daripada jurusan yang kau inginkan sekarang. Jalankan dulu, kalau nanti kau bingung belajar apa itu urusan belakangan. Kau harus ingat, lingkungan yang menerimamu saat ini adalah lingkungan positif dambaan orang-orang. Termasuk aku juga.”

            Renai terdiam sejenak. Ia kembali mengatur napasnya. Ia kembali mengatur agar air mata yang sudah siap meluncur tak jadi keluar. Kalimat terakhir yang ia ucapkan, benar-benar membuat goyah pertahanannya.

            “Ran, kau pasti bisa berkembang di sana. Kau bisa juga jadi penegak hukum di bidang kehutanan nantinya atau kau bisa membangun kebijakan hukum terkait ilmu-ilmu meteorologi. Memang benar, kuliah itu kalau fakultas atau jurusannya tidak sesuai dengan minat kita akan sulit. Tapi, hei, lihatlah! Kau mendapat lingkungan kampus yang terbaik, bukan?” Hibur Renai.

            Kirana masih mengontrol tangisnya. Ia lebih baik sekarang. Tubuhnya ia lepas dari pelukan Renai. Sambil mengelap air mata dan ingus dengan tisu, ia duduk seperti sebelum tangisnya pecah.

            Renai menuangkan air dingin lagi ke gelas Kirana.

            “La..lu aku harus terima saja?” tanya Kirana setelah Renai selesai menuangkan air minum kepadanya.

            “Ya, tentu. Lagi pula kau harus memperbaiki hubunganmu dengan Ibu, bukan? Kalau hubungan kalian sudah lebih baik, kuliah pun akan terasa lebih baik. Jangan sering-sering marah dengan Ibumu, Ran,” nasehat Renai.

            Kirana mengangguk, lantas mengambil gelas berisi air dingin. Ia meneguknya sampai habis. Kini perasaannya lebih baik. Angin sepoi-sepoi sore hari menambah kesegaran yang diterima Kirana. Begitu pula dengan Renai, walau sebenarnya ia tak merasa begitu lega. Langit sore yang biru bercampur dengan warna matahari yang tak lama lagi akan terbenam. Suara anak-anak yang bermain sepeda masih asik mengisi ruang dan waktu. Mereka beradu dengan bunyi kendaraan dan kicau burung walet.

            “Kau, bagaimana, Ren?”

            Renai menolehkan kepalanya ke arah Kirana. Sepersekian detik kemudian ia kembali membuang pandang ke depan. Tatapannya melekat pada pagar karatan.

            “Aku ikut UTBK. Doakan yang terbaik saja,” jawabnya singkat.

            Kini suara ibu-ibu komplek mulai terdengar meneriaki anak-anaknya. Bergegas rombongan sepeda cilik itu menuju rumah masing-masing. Sedikit mengebut, tapi tak lupa untuk saling berteriak ‘sampai jumpa!’. Pedagang sosis dan jagung manis yang mangkal di dekat komplek tempat anak-anak biasa bermain ikut bersiap pulang. Sudah cukup mencari rezeki hari ini.

            Diam lagi-lagi menyelimuti Renai dan Kirana. Mereka menenangkan diri masing-masing. Tapi itu hanya sebentar saja. Karena Kirana lagi-lagi melemparkan pertanyaan. Ia sudah tenang sekarang. Ia ingin tahu, apakah kawannya itu juga tenang?

            “Bukan itu maksudku. Apakah kau baik-baik saja? Kau sepantasnya kesal denganku yang merengek ingin batalkan SNBP. Aku tahu, kampus yang aku dapatkan ini adalah impianmu, Ren,” kata Kirana. Matanya di arahkan ke gadis berkerudung abu di sampingnya.

            Renai tak menjawab. Pandangannya lurus, tanpa fokus. Ia menggigit bibirnya. Detak jantung berpacu kencang. Air mata hendak keluar, tak tahan.

            “Ren, apa kau,”

            “Aku baik-baik saja, Ran.”

            Ucapan yang keluar dari bibir gadis cerdas itu begitu lirih. Terbawa angin, tertutup debu. Hanya menyisakan senyuman yang tulus. Entah bagaimana ia melakukannya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi : Novel Nebula Karya Tere Liye

Novel “NEBULA” Karya Tere Liye :  Rahasia Pengintai Terbaik dan Kembalinya Musuh Lama Oleh : Lubna Anfaresi Judul                : NEBULA Penulis             : Tere Liye Penerbit             : Gramedia Pustaka Utama Kota Terbit       : Jakarta Cetakan II        : April 2020 Ketebalan         : 376 halaman Pendahuluan             Serial Bumi merupakan salah satu serial yang dikeluarkan oleh penulis Tere Liye dan berhasil menarik minat pembaca di tanah air. Serial fantasi ini sudah memiliki sembilan seri dengan seri terbaru berjudul “NEBULA”. Sama seperti seri sebelumnya yang berjudul “SELENA”, seri ke-9 ini menceritakan kisah dari sudut pandang Selena sebaga...

Masak, Makan, Lempah Kuning

  Masak, Makan, Lempah Kuning “Wew, banyak kenek ge. Basing ka lah pon!” [1]             Ucapan dari Ami, gadis Bangka yang sudah kutemui sejak lima hari bertugas di daerah ini, terus terngiang di antara malam-malam sepi di kamar berukuran lima kali tujuh meter. Suaranya begitu tinggi, mencekam, dan rasanya penuh kebencian. Raut wajahnya yang mengerut itu terus terbayang, juga ucapan dengan bahasa yang aku tidak mengerti sama sekali. Jauh dari mal perbelanjaan, kafe yang selalu ramai, atau sekadar lalu lintas kota Yogya, aku terjebak sampai sembilan hari kedepan untuk mengerjakan tugas kuliahku di sini. Aku tidur menumpang kepada salah satu warga kenalan kawan kuliahku, yang juga berasal dari Bangka. Katanya itu adalah rumah seperadik [2] -nya. Pintu kamar yang menjadi tempat tidurku sementara tiba-tiba diketuk dari luar. Aku menghela napas, mencoba meraih gagang pintu dan membiarkan sinar lampu di ruang tengah masuk ke d...

Nugget

Pernah berpikir untuk masak nugget goreng yang dicocol dengan cuko ? Itu yang Bene lakukan. Aneh, iya. Tapi Bene tidak akan peduli dengan komentar orang, karena toh dia sekarang ada di kontrakannya. Sendirian. Setelah berkutat dengan kertas-kertas laporan praktikumnya selama satu semester, Bene bisa beristirahat sejenak. Gadis itu tidak pergi ke luar kontrakannya, kecuali untuk membeli makan atau bahan masakan. Keinginannya untuk naik gunung setiap liburan juga harus kandas. Alasanya sederhana, karena ia tidak punya teman untuk naik ke atas sana. Jika kalian semua mendorong gadis itu untuk pergi sendiri,             “Terima kasih.” Dua kata itu akan keluar dari bibirnya yang sedikit kering. Saran dari kawan-kawan dekatnya, biarkan saja Bene asyik dengan dunianya. Ia bisa saja pergi ke Bandung sekarang juga, atau ke Jakarta. Tapi buat apa? Ia tidak mau menghabiskan lebih banyak uang beasiswa yang baru cair satu pekan lalu...