Langsung ke konten utama

Secret 13: Pertandingan Voli

 

Dug!

            Renai terjatuh oleh kakinya sendiri. Ia hendak mengambil bola voli yang mengarah kepadanya, tapi tali sepatu yang terlepas dan lupa diikat membuatnya harus menahan sakit. Teman-teman sepantarannya menertawakan Renai. Sepertinya dibanding sakit, Renai lebih merasa malu.

            “Tuh, kan, sudah kubilang. Tali sepatumu itu diikat dulu!” seru tetangganya.

            Renai terdiam, masih dengan posisi yang sama. Ia lama sekali merespon kejadian itu. Satu kakinya tertekuk, wajah menelungkup di atas lapangan pertandingan.

            “Renai, masih main tidak? Kalau tidak aku mau masuk!” tanya teman perempuannya. Rambutnya dikepang satu, manis sekali.

            Renai mencoba untuk bangkit dari jatuhnya. Ia merasa sakit dan malu. Rambut pendek sepanjang daun telinga menutup wajah bulatnya. Kini gadis kecil itu terduduk, tidak menanggapi pertanyaan kawan berkepang tadi. Telapak tangan dibersihkan dari kerikil yang menempel. Renai mengambil napas.

            “Kau tidak apa-apa, Ren?” tanya tetanganya.

            Renai menggeleng. Kakinya siap untuk berdiri.

            “Aw!”

            “Kenapa Renai?”

            “Renai luka?”

            “Renai, sudah tidak usah main lagi. Biar Lia yang masuk mengganti kau.”

            “Iya, benar kau istirahat saja atau pulang Ren.”

            Teman-teman di lapangan voli itu mulai berseru-seru. Mereka tampak peduli dengan Renai, tapi tak ada satu pun yang menghampirinya. Renai meringis melihat luka sebesar kelingking terbentuk di lutut. Air matanya hendak keluar, lebih tepatnya sudah keluar. Ia menahan diri untuk tidak menangis. Ayahnya bilang ia tidak boleh cengeng. Walaupun perempuan, ia tidak boleh menangis karena hal-hal kecil. Lagi pula Renai juga tak mau terlihat lemah di hadapan teman-temannya. Ia memang yang paling muda di antara semuanya, tapi ia tak mau lagi diejek anak kecil. Renai sudah kelas tiga SD, harusnya sudah berani, kuat, dan tidak gampang menangis.

            Di saat ia masih menahan bulir-bulir air mata, uluran tangan diberikan. Renai melongok senjenak, lalu menerima tangan kecil itu. Ia berdiri lebih kokoh sekarang. Kakinya sedikit pincang berjalan ke tepi lapangan. Ada sebuah tempat duduk dari semen di sana. Gadis itu duduk, melihat ngeri ke arah luka. Lagi-lagi ia menahan tangisannya.

            “Amsyar, ayo main lagi! Kita kekurangan orang!” seru teman-teman di lapangan voli.

            “Main saja kalian. Aku keluar dulu,” jawabnya tegas.

            Amsyar, tetangga Renai, dengan cekatan mengambil air minum gelas miliknya. Ia sebenarnya masih haus dan bisa menegak setengah gelas air dingin tersebut. Tapi ada yang lebih membutuhkannya sekarang.

            “Ini mungkin agak perih, tapi kau tahan saja, Ren,” ucap Asmyar.

            Renai tidak menjawab, ia masih menahan tangisnya agar tidak pecah atau mengeluarkan suara. Tanpa bicara lagi Amsyar berjongkok dan menuangkan air dingin ke luka Renai. Perlahan ia membersihkan luka itu dengan air seadanya. Renai kini mengeluarkan semakin banyak air mata. Ia menggigit bibirnya untuk menahan rasa perih. Embusan angin sore mengenai luka basah itu, menghadirkan sensasi dingin dan sedikit menyelekit.

            Amsyar berdiri, ia merogoh kantong celananya. Dua lembar tisu terlihat sudah tak punya bentuk lagi. Laki-laki tetangga Renai itu cengengesan sendiri. Ia menggaruk-garuk kepalanya.

            “Kalau aku tutup lukamu dengan tisu ini apa kau mau, Ren?” tanya Amsyar sambil melihat wajah dan luka Renai secara bergantian.

            “I…itu memang…nya tisu apa?” tanya Renai akhirnya.

            “Aku selalu bawa tisu ke mana-mana. Kata Umi untuk lap keringatku. Tapi aku lebih senang pakai baju atau tangan kalau mau mengelap keringat. Jadi ini bersih, kok!” terang Amsyar.

            Renai mengangguk. Ia tak punya pilihan lain bukan? Ia hanya ingin berhenti melihat darah mengalir di lututnya sekarang. Setelah mendapat persetujuan dari gadis bermata hitam di depannya, Amsyar kembali berjongkok. Ia memperingatkan lagi kalau langkahnya kali ini mungkin akan membuat kawannya kesakitan. Dengan perlahan ia mengelap darah yang masih terlihat. Satu tisunya lagi ia gunakan untuk menutup luka.

            “Aku sebenarnya tak tahu apa ini membantu atau tidak. Tapi kau bisa pegang terus tisu ini sampai lukanya kering,” saran Amsyar.

            Renai menahan tisu di lututnya. Satu tangannya lagi ia gunakan untuk menyeka air mata. “Keringnya kapan, Syar?”

            Amsyar terdiam. Keningnya terlihat berkerut. Ia pun sebenarnya tak tahu kapan luka itu akan kering. Tapi menurut perkiraannya tidak perlu waktu lama.

            “Kalau kita sudah siap pulang sepertinya sudah kering.”

            Renai mengangguk. Ia kemudian melemparkan pandangan ke arah lapangan voli. Ia mau main lagi. Tadi baru saja Renai berhasil servis bola lewat net, baru juga ia berhasil menerima umpan bola. Sayangnya ia harus terjatuh dengan konyol. Air matanya kembali ingin keluar.

            Amsyar masih berjongkok di depan kaki Renai. Ia menatap gadis kecil itu. Rambut pendeknya acak-acakan, ingin Amsyar rapikan. Dia yang termuda di komplek ini, sering menjadi anak bawang kalau main bersama. Hebatnya ia tak pernah malu dan tak pernah mundur. Mentok-mentok ia hanya diam seperti sekarang, menatap penuh minat.

            “Ren, aku boleh ikat tali sepatumu?”

            “Hah?”

           “Kau tadi jatuh karena tali sepatumu tidak kuat. Lagian kalau main sama kami kenapa harus pakai sepatu, sih? Kkita cuma main di komplek, loh” ucap Amsyar.

            Sebenarnya Renai sengaja menggunakan sepatu itu. Ia baru saja dibelikan sepatu oleh Ibu dan Ayah. Sepatunya bagus, warna hitam dan sedikit garis biru putih. Apalagi kali ini sepatunya bertali!

Ia senang sekali akhirnya punya sepatu bertali. Selama ini Renai hanya pakai sepatu dengan perekat. Karena merasa keren dan ingin pamer dengan teman-teman komplek, akhirnya Renai pakai untuk main sore ini. Ia mengikat seenaknya saja. Renai tidak tahu cara mengikat sepatu. Kakak-kakaknya saat itu sedang tidak ada di rumah. Sedangkan teman-teman komplek sudah menjemputnya.

            “Hehehe, enggak apa-apa. Aku suka sepatunya. Bagus, kan, Syar?” Renai bertanya balik.

            “Iya, bagus. Cocok untukmu,” puji Amsyar. Senyumnya terbentuk sambil melihat ke arah Renai.

            “Tapi, Ren, kau salah mengikat tali sepatunya. Jadi gampang lepas, deh. Kau sudah pernah pakai sepatu bertali sebelumnya?”

            Renai menyengir, giginya yang bolong dua ditengah terlihat. Ia menggeleng kepala tanpa dosa. Amsyar senyum lagi, sesuai dengan dugaannya. Tanpa menunggu persetujuan Renai, Amsyar duduk di semen lapangan. Ia mulai mengajarkan membuat ikatan tali sepatu yang benar. Tiga kali harus ia ulangi, sebab Renai masih sulit memahami gerakan-gerakan cepat Amsyar.

            Sore itu Renai belajar tiga hal. Pertama cara servis bola voli, kedua cara membersihkan luka, dan terakhir cara mengikat tali sepatu. Ia senang sekali!

***

            Euforia anak kelas dua belas yang besok akan liburan akhir menjalar ke seluruh siswa. Hari ini pembelajaran fakultatif. Guru-guru membiarkan siswa kelas dua belas untuk bermain dan mengucapkan salam perpisahan untuk terakhir kalinya. Sedangkan siswa kelas sepuluh dan sebelas menikmati berbagai acara yang kakak kelas mereka buat. Ada pentas seni dan pertandingan persahabatan final hari ini.

            Lapangan voli dan futsal dipenuhi siswa-siswa. Mereka saling meneriaki kelas jagoannya. Mereka menyemangati pemain yang sudah lelah mengoper-oper bola agar bisa mencetak poin. Terompet dibunyikan, ember dan galon dipukul-pukul. Bahkan ada yang membawa cajon dan bass untuk mengeluarkan lagu-lagu suporteran. Siswa kelas dua belas melupakan semua beban sejenak. Mereka membuang rasa kesal tidak diterima kampus impian. Mereka juga membuang rasa mual belajar soal-soal kedinasan dan UTBK.

Kumpulan yang lebih dari dua ratus orang per angkatan itu menglorifikasi kebebasan sekolah. Apa pun yang terjadi di masa yang akan datang, mereka sudah lulus. Tidak lagi berurusan dengan aturan sekolah atau tugas yang begitu membuat kepala pusing. Walau pada kenyataannya kehidupan pasca sekolah akan lebih berat, mereka mengesampingkan semuanya.

            Pertandingan di lapangan voli cukup panas. Ini adalah pertandingan terakhir. Sedangkan futsal masih harus memperebutkan tiga juara utama. Siapa yang bertanding? Kelas dua belas IPA 1 dan dua belas IPS 4. Dua sahabat karib bertanding demi piala yang tak ada artinya. Mereka hanya bersenang-senang, semuanya menganggap ini hanya senang-senang. Tapi entah mengapa kali ini Renai merasa begitu semangat untuk menang. Renai berdiri dengan gagah, memegang bola voli. Ia kapten kelas dua belas IPA 1, posisinya tosser. Kali ini kesempatan terakhir untuk mencetak angka. Tipis sekali skor kedua kelas, hingga membuat keringat mengucur tak henti.

            Renai memejamkan matanya. Ia siap melakukan servis atas dan membobol pertahanan lawan. Di sisi yang berlawanan, Kirana juga ikut bermain. Ia siap dengan segala kemungkinan arah bola.

            Peluit ditiup wasit. Renai membuka matanya, menatap lurus ke depan. Kepalanya menunduk, ia sudah memutuskan akan menyerang ke mana. Renai menarik napas dalam dan kembali mengangkat kepalanya. Sepersekian detik kemudian dengan tenaga yang begitu kuat ia melempar bola voli tinggi. Loncatannya juga mantap, dan dengan tangan yang panjang ia berhasil menampar bola voli. Bola berwarna biru kuning itu berputar dan melesat hebat ke lapangan lawan.

            Wajah-wajah tertahan. Dua tangan yang dijadikan satu berhasil menahan serangan Renai.

            “Bagus, Kirana!” seru Amsyar.

            Renai berlari ke posisinya di depan net. Ia menyemangati teman-teman. Mengambil bola kedua dengan mulus, kembali melemparkan kepada pemain tim. Lagi bola itu berhasil ditahan. Cepat sekali bola itu berpindah-pindah.

            “Ayo semangat IPA satu! Jangan sampai kebobolan. Satu poin lagi!” Amsyar kembali berseru.

            Kini bola berada di lapangan IPS 4 Mereka bermain-main dengan bola yang cukup sulit dikendalikan.

            “Renai jaga, Ren!” teriak Amsyar.

            “IPA satu harus menang. Semangat!” seru kawan-kawan yang lain.

            Renai mengatupkan rahang. Matanya bertatapan dengan kawan kelas yang ikut bermain voli. Mereka mengirimkan telepati. Mengangguk, menjalankan rencana.

            “Pas!”

            “Ay!”

            “Siap!”

            “Ren, sekarang!”

            Renai melompat dengan cantik. Tangannya kuat dan menargetkan bola dengan tepat. Ia sudah menunggu momentum ini, melakukan smash.

            Prit…prit…prit!

            Sorakan pecah setelah peluit tanda pertandingan berakhir dibunyikan. Kelas dua belas IPA 1 seluruhnya masuk ke lapangan. Mereka memberi pelukan dan ucapan selamat. Satu dua bersiul-siul. Galon dan ember dipukul lebih keras, memeriahkan pertandingan final voli yang sudah berakhir. Pemain berebut minta air minum. Keringat mereka membasahi baju dan jilbab masing-masing. Wajah Renai sedikit merah. Ia sangat puas dengan poin terakhir yang berhasil dicetak.

            “Renai! Kau keren sekali! Kemampuan volimu sangat berubah dibanding waktu kecil dulu,” puji Amsyar.

Amsyar memberikan botol minum ke teman belakang bangkunya itu. Renai hanya tersenyum, menerima minumnya. Bisa-bisanya Amsyar masih menyimpan kenangan dulu.

            “Hei, Amsyar. Kau itu sebenarnya dukung kelasmu atau kelas pacarmu, sih? Tadi bisa-bisanya ganti-ganti posisi suporter,” Syara teman kelas Renai dan Amsyar ikut dalam percakapan.

            “Eh, memangnya enggak boleh dua-duanya?”

            “Pilih satu aja, Syar,” jawab Syara.

            Amsyar nyengir, ia tidak tahu harus menjawab apa. Renai meneguk air minum.

            “Habis ini kelas kita futsal putra. Nonton, ya, Ren, Syar,” ajak Amsyar mengalihkan topik.

            “Kau sudah kasih minum ke Kirana?” tanya Renai setelah menghabiskan satu botol air.

            “Sudah, dia duluan,” jawab Amsyar cepat.

            Renai terdiam sejenak, lantas tersenyum tipis. Tentu saja pacarnya dulu.

Gadis berkerudung hitam itu kemudian berlalu dari lapangan voli. Ia masih dielu-elukan atas smash yang sangat keren diakhir pertandingan. Renai membalas dengan senyum saja. Ia hendak bergegas ke kelas. Bahkan teriakan Kirana tak ia hiraukan.

            Angin yang berembus pukul tiga sore menenangkan hati Renai. Ia menikmatinya sendiri di dalam kelas. Dua buah kipas angin dinyalakan. Sepi, ia butuh rasa itu. Renai sudah menyelesaikan pertandingan paling hebat di tahun ini. Ia juga sudah memastikan hasilnya. Tak salah lagi, tak ada keraguan.

            Kepala Renai ditelungkupkan ke atas meja. Ia mengatur napas dengan pelan, kembali memberikan sugesti baik. Jika sudah tahu hasil pertandingannya, rasanya Renai punya hak untuk menjelaskan situasi. Toh, tak akan berubah apa pun nantinya. Renai akan tetap kalah, walau ia tahu punya kemampuan juara.

            Gadis yang cinta mati dengan kedokteran itu mengangkat kepalanya yang berat. Ia melihat jam dinding kelasnya. Bangkit dari kemalasan dan rasa sakit. Selembar kertas kusam ia robek dari buku. Pena terbaik ia keluarkan. Ya, sudah saatnya. Biarkan semuanya selesai.

            Renai mulai menulis surat berisi sebuah sajak. Sambil sedikit menangis ia keluarkan emosinya dulu dan kini. Renai, gadis berbola mata hitam itu menahan mati-matian agar kertas kusam itu tak terkena air matanya sedikit pun. Sejak kecil sampai sekarang ia tak mau ada satu orang yang tahu bahwa Renai hanyalah gadis cengeng. Ia menyeka tiap bulir yang jatuh. Sesekali tersenyum getir melihat tulis tangannya sendiri.

            Sebuah surat, punya Renai, disampaikan oleh Renai.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi : Novel Nebula Karya Tere Liye

Novel “NEBULA” Karya Tere Liye :  Rahasia Pengintai Terbaik dan Kembalinya Musuh Lama Oleh : Lubna Anfaresi Judul                : NEBULA Penulis             : Tere Liye Penerbit             : Gramedia Pustaka Utama Kota Terbit       : Jakarta Cetakan II        : April 2020 Ketebalan         : 376 halaman Pendahuluan             Serial Bumi merupakan salah satu serial yang dikeluarkan oleh penulis Tere Liye dan berhasil menarik minat pembaca di tanah air. Serial fantasi ini sudah memiliki sembilan seri dengan seri terbaru berjudul “NEBULA”. Sama seperti seri sebelumnya yang berjudul “SELENA”, seri ke-9 ini menceritakan kisah dari sudut pandang Selena sebaga...

Masak, Makan, Lempah Kuning

  Masak, Makan, Lempah Kuning “Wew, banyak kenek ge. Basing ka lah pon!” [1]             Ucapan dari Ami, gadis Bangka yang sudah kutemui sejak lima hari bertugas di daerah ini, terus terngiang di antara malam-malam sepi di kamar berukuran lima kali tujuh meter. Suaranya begitu tinggi, mencekam, dan rasanya penuh kebencian. Raut wajahnya yang mengerut itu terus terbayang, juga ucapan dengan bahasa yang aku tidak mengerti sama sekali. Jauh dari mal perbelanjaan, kafe yang selalu ramai, atau sekadar lalu lintas kota Yogya, aku terjebak sampai sembilan hari kedepan untuk mengerjakan tugas kuliahku di sini. Aku tidur menumpang kepada salah satu warga kenalan kawan kuliahku, yang juga berasal dari Bangka. Katanya itu adalah rumah seperadik [2] -nya. Pintu kamar yang menjadi tempat tidurku sementara tiba-tiba diketuk dari luar. Aku menghela napas, mencoba meraih gagang pintu dan membiarkan sinar lampu di ruang tengah masuk ke d...

Nugget

Pernah berpikir untuk masak nugget goreng yang dicocol dengan cuko ? Itu yang Bene lakukan. Aneh, iya. Tapi Bene tidak akan peduli dengan komentar orang, karena toh dia sekarang ada di kontrakannya. Sendirian. Setelah berkutat dengan kertas-kertas laporan praktikumnya selama satu semester, Bene bisa beristirahat sejenak. Gadis itu tidak pergi ke luar kontrakannya, kecuali untuk membeli makan atau bahan masakan. Keinginannya untuk naik gunung setiap liburan juga harus kandas. Alasanya sederhana, karena ia tidak punya teman untuk naik ke atas sana. Jika kalian semua mendorong gadis itu untuk pergi sendiri,             “Terima kasih.” Dua kata itu akan keluar dari bibirnya yang sedikit kering. Saran dari kawan-kawan dekatnya, biarkan saja Bene asyik dengan dunianya. Ia bisa saja pergi ke Bandung sekarang juga, atau ke Jakarta. Tapi buat apa? Ia tidak mau menghabiskan lebih banyak uang beasiswa yang baru cair satu pekan lalu...