Dug!
Renai terjatuh oleh kakinya sendiri.
Ia hendak mengambil bola voli yang mengarah kepadanya, tapi tali sepatu yang
terlepas dan lupa diikat membuatnya harus menahan sakit. Teman-teman sepantarannya
menertawakan Renai. Sepertinya dibanding sakit, Renai lebih merasa malu.
“Tuh, kan, sudah kubilang. Tali
sepatumu itu diikat dulu!” seru tetangganya.
Renai terdiam, masih dengan posisi
yang sama. Ia lama sekali merespon kejadian itu. Satu kakinya tertekuk, wajah
menelungkup di atas lapangan pertandingan.
“Renai, masih main tidak? Kalau
tidak aku mau masuk!” tanya teman perempuannya. Rambutnya dikepang satu, manis
sekali.
Renai mencoba untuk bangkit dari
jatuhnya. Ia merasa sakit dan malu. Rambut pendek sepanjang daun telinga
menutup wajah bulatnya. Kini gadis kecil itu terduduk, tidak menanggapi
pertanyaan kawan berkepang tadi. Telapak tangan dibersihkan dari kerikil yang
menempel. Renai mengambil napas.
“Kau tidak apa-apa, Ren?” tanya
tetanganya.
Renai menggeleng. Kakinya siap untuk
berdiri.
“Aw!”
“Kenapa Renai?”
“Renai luka?”
“Renai, sudah tidak usah main lagi.
Biar Lia yang masuk mengganti kau.”
“Iya, benar kau istirahat saja atau
pulang Ren.”
Teman-teman di lapangan voli itu
mulai berseru-seru. Mereka tampak peduli dengan Renai, tapi tak ada satu pun
yang menghampirinya. Renai meringis melihat luka sebesar kelingking terbentuk
di lutut. Air matanya hendak keluar, lebih tepatnya sudah keluar. Ia menahan
diri untuk tidak menangis. Ayahnya bilang ia tidak boleh cengeng. Walaupun
perempuan, ia tidak boleh menangis karena hal-hal kecil. Lagi pula Renai juga
tak mau terlihat lemah di hadapan teman-temannya. Ia memang yang paling muda di
antara semuanya, tapi ia tak mau lagi diejek anak kecil. Renai sudah kelas tiga
SD, harusnya sudah berani, kuat, dan tidak gampang menangis.
Di saat ia masih menahan bulir-bulir
air mata, uluran tangan diberikan. Renai melongok senjenak, lalu menerima
tangan kecil itu. Ia berdiri lebih kokoh sekarang. Kakinya sedikit pincang
berjalan ke tepi lapangan. Ada sebuah tempat duduk dari semen di sana. Gadis
itu duduk, melihat ngeri ke arah luka. Lagi-lagi ia menahan tangisannya.
“Amsyar, ayo main lagi! Kita
kekurangan orang!” seru teman-teman di lapangan voli.
“Main saja kalian. Aku keluar dulu,”
jawabnya tegas.
Amsyar, tetangga Renai, dengan
cekatan mengambil air minum gelas miliknya. Ia sebenarnya masih haus dan bisa
menegak setengah gelas air dingin tersebut. Tapi ada yang lebih membutuhkannya
sekarang.
“Ini mungkin agak perih, tapi kau
tahan saja, Ren,” ucap Asmyar.
Renai tidak menjawab, ia masih
menahan tangisnya agar tidak pecah atau mengeluarkan suara. Tanpa bicara lagi
Amsyar berjongkok dan menuangkan air dingin ke luka Renai. Perlahan ia
membersihkan luka itu dengan air seadanya. Renai kini mengeluarkan semakin
banyak air mata. Ia menggigit bibirnya untuk menahan rasa perih. Embusan angin
sore mengenai luka basah itu, menghadirkan sensasi dingin dan sedikit
menyelekit.
Amsyar berdiri, ia merogoh kantong
celananya. Dua lembar tisu terlihat sudah tak punya bentuk lagi. Laki-laki
tetangga Renai itu cengengesan sendiri. Ia menggaruk-garuk kepalanya.
“Kalau aku tutup lukamu dengan tisu
ini apa kau mau, Ren?” tanya Amsyar sambil melihat wajah dan luka Renai secara
bergantian.
“I…itu memang…nya tisu apa?” tanya
Renai akhirnya.
“Aku selalu bawa tisu ke mana-mana.
Kata Umi untuk lap keringatku. Tapi aku lebih senang pakai baju atau tangan
kalau mau mengelap keringat. Jadi ini bersih, kok!” terang Amsyar.
Renai mengangguk. Ia tak punya
pilihan lain bukan? Ia hanya ingin berhenti melihat darah mengalir di lututnya
sekarang. Setelah mendapat persetujuan dari gadis bermata hitam di depannya,
Amsyar kembali berjongkok. Ia memperingatkan lagi kalau langkahnya kali ini
mungkin akan membuat kawannya kesakitan. Dengan perlahan ia mengelap darah yang
masih terlihat. Satu tisunya lagi ia gunakan untuk menutup luka.
“Aku sebenarnya tak tahu apa ini
membantu atau tidak. Tapi kau bisa pegang terus tisu ini sampai lukanya
kering,” saran Amsyar.
Renai menahan tisu di lututnya. Satu
tangannya lagi ia gunakan untuk menyeka air mata. “Keringnya kapan, Syar?”
Amsyar terdiam. Keningnya terlihat
berkerut. Ia pun sebenarnya tak tahu kapan luka itu akan kering. Tapi menurut
perkiraannya tidak perlu waktu lama.
“Kalau kita sudah siap pulang
sepertinya sudah kering.”
Renai mengangguk. Ia kemudian
melemparkan pandangan ke arah lapangan voli. Ia mau main lagi. Tadi baru saja
Renai berhasil servis bola lewat net, baru juga ia berhasil menerima umpan
bola. Sayangnya ia harus terjatuh dengan konyol. Air matanya kembali ingin keluar.
Amsyar masih berjongkok di depan
kaki Renai. Ia menatap gadis kecil itu. Rambut pendeknya acak-acakan, ingin
Amsyar rapikan. Dia yang termuda di komplek ini, sering menjadi anak bawang
kalau main bersama. Hebatnya ia tak pernah malu dan tak pernah mundur.
Mentok-mentok ia hanya diam seperti sekarang, menatap penuh minat.
“Ren, aku boleh ikat tali sepatumu?”
“Hah?”
“Kau tadi jatuh karena tali sepatumu
tidak kuat. Lagian kalau main sama kami kenapa harus pakai sepatu, sih? Kkita
cuma main di komplek, loh” ucap Amsyar.
Sebenarnya Renai sengaja menggunakan
sepatu itu. Ia baru saja dibelikan sepatu oleh Ibu dan Ayah. Sepatunya bagus,
warna hitam dan sedikit garis biru putih. Apalagi kali ini sepatunya bertali!
Ia
senang sekali akhirnya punya sepatu bertali. Selama ini Renai hanya pakai
sepatu dengan perekat. Karena merasa keren dan ingin pamer dengan teman-teman
komplek, akhirnya Renai pakai untuk main sore ini. Ia mengikat seenaknya saja.
Renai tidak tahu cara mengikat sepatu. Kakak-kakaknya saat itu sedang tidak ada
di rumah. Sedangkan teman-teman komplek sudah menjemputnya.
“Hehehe, enggak apa-apa. Aku suka
sepatunya. Bagus, kan, Syar?” Renai bertanya balik.
“Iya, bagus. Cocok untukmu,” puji
Amsyar. Senyumnya terbentuk sambil melihat ke arah Renai.
“Tapi, Ren, kau salah mengikat tali
sepatunya. Jadi gampang lepas, deh. Kau sudah pernah pakai sepatu bertali
sebelumnya?”
Renai menyengir, giginya yang bolong
dua ditengah terlihat. Ia menggeleng kepala tanpa dosa. Amsyar senyum lagi,
sesuai dengan dugaannya. Tanpa menunggu persetujuan Renai, Amsyar duduk di
semen lapangan. Ia mulai mengajarkan membuat ikatan tali sepatu yang benar.
Tiga kali harus ia ulangi, sebab Renai masih sulit memahami gerakan-gerakan
cepat Amsyar.
Sore itu Renai belajar tiga hal.
Pertama cara servis bola voli, kedua cara membersihkan luka, dan terakhir cara
mengikat tali sepatu. Ia senang sekali!
***
Euforia anak kelas dua belas yang
besok akan liburan akhir menjalar ke seluruh siswa. Hari ini pembelajaran
fakultatif. Guru-guru membiarkan siswa kelas dua belas untuk bermain dan
mengucapkan salam perpisahan untuk terakhir kalinya. Sedangkan siswa kelas
sepuluh dan sebelas menikmati berbagai acara yang kakak kelas mereka buat. Ada
pentas seni dan pertandingan persahabatan final hari ini.
Lapangan voli dan futsal dipenuhi
siswa-siswa. Mereka saling meneriaki kelas jagoannya. Mereka menyemangati
pemain yang sudah lelah mengoper-oper bola agar bisa mencetak poin. Terompet
dibunyikan, ember dan galon dipukul-pukul. Bahkan ada yang membawa cajon dan
bass untuk mengeluarkan lagu-lagu suporteran. Siswa kelas dua belas
melupakan semua beban sejenak. Mereka membuang rasa kesal tidak diterima kampus
impian. Mereka juga membuang rasa mual belajar soal-soal kedinasan dan UTBK.
Kumpulan
yang lebih dari dua ratus orang per angkatan itu menglorifikasi kebebasan
sekolah. Apa pun yang terjadi di masa yang akan datang, mereka sudah lulus.
Tidak lagi berurusan dengan aturan sekolah atau tugas yang begitu membuat
kepala pusing. Walau pada kenyataannya kehidupan pasca sekolah akan lebih
berat, mereka mengesampingkan semuanya.
Pertandingan di lapangan voli cukup
panas. Ini adalah pertandingan terakhir. Sedangkan futsal masih harus
memperebutkan tiga juara utama. Siapa yang bertanding? Kelas dua belas IPA 1
dan dua belas IPS 4. Dua sahabat karib bertanding demi piala yang tak ada
artinya. Mereka hanya bersenang-senang, semuanya menganggap ini hanya
senang-senang. Tapi entah mengapa kali ini Renai merasa begitu semangat untuk
menang. Renai berdiri dengan gagah, memegang bola voli. Ia kapten kelas dua
belas IPA 1, posisinya tosser. Kali ini kesempatan terakhir untuk
mencetak angka. Tipis sekali skor kedua kelas, hingga membuat keringat mengucur
tak henti.
Renai memejamkan matanya. Ia siap
melakukan servis atas dan membobol pertahanan lawan. Di sisi yang berlawanan,
Kirana juga ikut bermain. Ia siap dengan segala kemungkinan arah bola.
Peluit ditiup wasit. Renai membuka
matanya, menatap lurus ke depan. Kepalanya menunduk, ia sudah memutuskan akan
menyerang ke mana. Renai menarik napas dalam dan kembali mengangkat kepalanya.
Sepersekian detik kemudian dengan tenaga yang begitu kuat ia melempar bola voli
tinggi. Loncatannya juga mantap, dan dengan tangan yang panjang ia berhasil
menampar bola voli. Bola berwarna biru kuning itu berputar dan melesat hebat ke
lapangan lawan.
Wajah-wajah tertahan. Dua tangan
yang dijadikan satu berhasil menahan serangan Renai.
“Bagus, Kirana!” seru Amsyar.
Renai berlari ke posisinya di depan
net. Ia menyemangati teman-teman. Mengambil bola kedua dengan mulus, kembali
melemparkan kepada pemain tim. Lagi bola itu berhasil ditahan. Cepat sekali
bola itu berpindah-pindah.
“Ayo semangat IPA satu! Jangan
sampai kebobolan. Satu poin lagi!” Amsyar kembali berseru.
Kini bola berada di lapangan IPS 4
Mereka bermain-main dengan bola yang cukup sulit dikendalikan.
“Renai jaga, Ren!” teriak Amsyar.
“IPA satu harus menang. Semangat!”
seru kawan-kawan yang lain.
Renai mengatupkan rahang. Matanya
bertatapan dengan kawan kelas yang ikut bermain voli. Mereka mengirimkan
telepati. Mengangguk, menjalankan rencana.
“Pas!”
“Ay!”
“Siap!”
“Ren, sekarang!”
Renai melompat dengan cantik.
Tangannya kuat dan menargetkan bola dengan tepat. Ia sudah menunggu momentum
ini, melakukan smash.
Prit…prit…prit!
Sorakan pecah setelah peluit tanda
pertandingan berakhir dibunyikan. Kelas dua belas IPA 1 seluruhnya masuk ke
lapangan. Mereka memberi pelukan dan ucapan selamat. Satu dua bersiul-siul.
Galon dan ember dipukul lebih keras, memeriahkan pertandingan final voli yang
sudah berakhir. Pemain berebut minta air minum. Keringat mereka membasahi baju
dan jilbab masing-masing. Wajah Renai sedikit merah. Ia sangat puas dengan poin
terakhir yang berhasil dicetak.
“Renai! Kau keren sekali! Kemampuan
volimu sangat berubah dibanding waktu kecil dulu,” puji Amsyar.
Amsyar
memberikan botol minum ke teman belakang bangkunya itu. Renai hanya tersenyum,
menerima minumnya. Bisa-bisanya Amsyar masih menyimpan kenangan dulu.
“Hei, Amsyar. Kau itu sebenarnya
dukung kelasmu atau kelas pacarmu, sih? Tadi bisa-bisanya ganti-ganti posisi
suporter,” Syara teman kelas Renai dan Amsyar ikut dalam percakapan.
“Eh, memangnya enggak boleh
dua-duanya?”
“Pilih satu aja, Syar,” jawab Syara.
Amsyar nyengir, ia tidak tahu harus
menjawab apa. Renai meneguk air minum.
“Habis ini kelas kita futsal putra.
Nonton, ya, Ren, Syar,” ajak Amsyar mengalihkan topik.
“Kau sudah kasih minum ke Kirana?”
tanya Renai setelah menghabiskan satu botol air.
“Sudah, dia duluan,” jawab Amsyar
cepat.
Renai terdiam sejenak, lantas
tersenyum tipis. Tentu saja pacarnya dulu.
Gadis
berkerudung hitam itu kemudian berlalu dari lapangan voli. Ia masih
dielu-elukan atas smash yang sangat keren diakhir pertandingan. Renai
membalas dengan senyum saja. Ia hendak bergegas ke kelas. Bahkan teriakan
Kirana tak ia hiraukan.
Angin yang berembus pukul tiga sore
menenangkan hati Renai. Ia menikmatinya sendiri di dalam kelas. Dua buah kipas
angin dinyalakan. Sepi, ia butuh rasa itu. Renai sudah menyelesaikan
pertandingan paling hebat di tahun ini. Ia juga sudah memastikan hasilnya. Tak
salah lagi, tak ada keraguan.
Kepala Renai ditelungkupkan ke atas
meja. Ia mengatur napas dengan pelan, kembali memberikan sugesti baik. Jika
sudah tahu hasil pertandingannya, rasanya Renai punya hak untuk menjelaskan
situasi. Toh, tak akan berubah apa pun nantinya. Renai akan tetap kalah, walau
ia tahu punya kemampuan juara.
Gadis yang cinta mati dengan
kedokteran itu mengangkat kepalanya yang berat. Ia melihat jam dinding
kelasnya. Bangkit dari kemalasan dan rasa sakit. Selembar kertas kusam ia robek
dari buku. Pena terbaik ia keluarkan. Ya, sudah saatnya. Biarkan semuanya selesai.
Renai mulai menulis surat berisi
sebuah sajak. Sambil sedikit menangis ia keluarkan emosinya dulu dan kini. Renai,
gadis berbola mata hitam itu menahan mati-matian agar kertas kusam itu tak
terkena air matanya sedikit pun. Sejak kecil sampai sekarang ia tak mau ada
satu orang yang tahu bahwa Renai hanyalah gadis cengeng. Ia menyeka tiap bulir
yang jatuh. Sesekali tersenyum getir melihat tulis tangannya sendiri.
Sebuah surat, punya Renai,
disampaikan oleh Renai.
Komentar
Posting Komentar