Molor empat hari, hehehe.
Selamat datang di Bakar edisi ke-7!
Wah, aku tidak menyangka bisa menulis angka tujuh di tulisan ini. Kukira
kegabutanku ini hanya bertahan beberapa kali saja.
Bakar 7: Dompet
Ada kejadian menarik di bulan ini.
Aku mulai kembali mengaktifkan mode totalitas dalam diriku. Maksudnya menjadi
pribadi yang keluar dari zona nyaman. Aku coba untuk daftarkan diri di beberapa
kegiatan kampus, tentunya yang tetap sejalan dengan impianku. Kenapa harus
sejalan? Karena aku tidak mau menghabiskan waktu untuk sesuatu yang tidak berdampak
besar dalam menunjang studi kampus.
Salah satu kegiatan tersebut adalah
acara departemen di hari minggu setelah UTS. Hari-hari seperti itu semua orang
banyak yang sudah balik ke rumah, apalagi ini adalah bulan Ramadhan dan
mendekati hari lebaran. Untunglah rumahku jauh dari kampus, yang mengharuskan
naik pesawat selama satu jam. Jadi aku masih bisa menghadiri kegiatan ini.
Aku berangkat sepuluh menit lebih
telat dari janji. Kenapa? Karena budaya ngaret ternyata melekat juga di kehidupan
kampus. Jadi aku sengaja berangkat lebih telat dari biasanya. Karena telat aku
naik ojek kampus yang merogoh uang di dompet sebesar lima ribu rupiah. Sampai
di tempat kumpul, ternyata aku salah lokasi. Aku perlu berjalan lagi sebentar
untuk sampai ke ruang kegiatan.
Kegiatan itu berlangsung kira-kira tiga
jam dengan bahasan ekspedisi ke salah satu taman nasional di Sumatra Selatan.
Aku berusaha untuk tetap fokus, sayangnya hanya sedikit saja informasi yang
kudapatkan. Aku merasa tidak se-excited yang ku bayangkan sebelumnya.
Tapi tak masalah, setidaknya ini menambah pengetahuan dan interaksiku dengan
teman-teman jurusan.
Setelah kegiatan selesai, kami
terjebak hujan deras dengan petir dan guntur. Beruntungnya ada musala di dekat
tempat kami berlindung. Secara bergantian kami melaksanakan salat Asar sambil
berharap hujan segera reda. Sebab ada perut yang minta diisi selama dua belas
jam berpuasa.
Air hujan mulai menetes satu
persatu, Tanpa menunjukkan pesona matahari sore, awan abu-abu berhenti menghujani
kampus. Akhirnya aku dan teman-teman jurusan memutuskan untuk berpisah ke jalan
pulang masing-masing. Hari itu aku bisa saja kembali menikmati makanan gratis
di masjid kampus. Tapi mumpung akhir bulan aku ingin sekali menyantap makanan
lain. Aku ingin es buah atau jus, dengan kentang goreng dan cimol, atau ayam
bakar. Kulangkahkan kaki ke tempat biasanya aku mencari makanan.
Di sinilah kejadian menarik terjadi.
Setelah aku memesan es buah dan sate, kubuka tas
selempangku. Tidak kutemukan dompet yang sebelumnya kukeluarkan uang lima ribu
rupiah untuk ojek kampus. Aku merogoh bagain terdalam tas. Mengeluarkan barang-barang
di dalamnya. Tetap saja tak kutemukan dompet yang berukuran satu telapak tangan
itu. Wajahku terdiam. Segera aku kembali ke pedagang es buah untuk membatalkan
pesanan. Karena es buah tidak bisa dibeli dengan pembayaran QRIS.
Aku kembali ke tempat sate. Duduk dengan
perasaan kalut sambil menghubungi beberapa temanku yang ikut dalam kegiatan tadi.
Siapa tahu mereka ingat aku mengeluarkan dompet atau sembarang menempatakannya.
Tapi aku sendiri juga berpikir tidak mungkin aku mengeluarkan dompet dengan
sembarang. Aku ingat setiap detail kejadian, walau samar-samar karena kepanikan
yang juga muncul. Kutunggu seporsi sate dan ber-istighfar, berharap
dompet itu ditemukan.
Aku berjalan dengan cepat menyusuri kembali jalan yang
kulewati. Kumasuki musala di lantai empat yang membuatku sedikit pusing karena hanya
sahur dengan seteguk air. Aku turun tangga, berjalan lagi ke gedung kegiatan.
Nihil, gedung sudah dikunci. Ku lihat setiap meja-meja di lorong gedung. Nihil.
Lagi pula kalau ada yang menemukannya pasti sudah dilapor atau diambil. Bahkan
aku hampir kembali ke titik di mana ojek kampus menurunkanku. Aku melihat jam,
melihat langit, lima belas menit lagi waktu berbuka akan tiba. Kuhentikan
pencarianku sambil terus ber-istighfar.
Jalan ke asrama kulalui dengan letih dan lemas, Sisa-sisa
air hujan menggenang di beberapa cekungan jalan. Aku bertemu anjing. Tidak lagi
kurasakan takut atau panik karena energiku sudah habis. Azan berkumandang tak
lama kemudian. Kuteguk air di kotak takjil yang kudapati dari kegiatan. Sedikit
saja, karena aku tak selera. Mukena yang kubawa di tangan karena malas mengembalikannya
ke dalam tas selempang, dua kali jatuh dan mengenai air genangan. Aku tak
peduli lagi. Aku hanya ingin cepat-cepat sampai ke kamarku di lantai lima.
Salat magrib
kutunaikan, setelahnya doa kupanjatkan.
“Ya Allah, jika dompet itu masih kau
amanahkan kepadaku maka kembalikanlah. Namun jika dompet itu sudah menjadi
amanah orang lain maka ikhlaskan dan lapangkan hatiku,”
Malam itu saat aku masih memikirkan nasib dompet dan
isi-isinya, masih berusaha menghubungi orang-orang terkait, masih menyebarkan
selebaran bahwa ‘siapa pun yang menemukan dompet harap menghubungi nomor …’, Abi
mengirim pesan bahwa besok sore aku pulang ke tempat asal. Hari kepulangan yang
harusnya masih satu pekan lagi dimajukan. Aku tak menolak, karena saat itu aku
benar-benar hanya ingin pulang.
Kusampaikan pada keluargaku bahwa
dompetku telah hilang dan akan kulanjutkan mencarinya esok hari. Sebelum keberangkatan
aku harus menemukan dompet itu. Sebenarnyalah aku telah ikhlas kalau pun dompet
itu hilang. Aku juga sudah merasa lebih tenang daripada saat mencari-carinya
tadi. Tapi di lain sisi aku menyayangkan dompet itu juga. Dompet yang dibelikan
Umi saat aku lulus SMA, dompet dengan merk dan model yang kusuka, dompet yang
di dalamnya kusimpan foto-foto dan kenangan.
Aku tidak mengerjakan apa pun malam
itu, bahkan tidak berkemas untuk kepulangan esok hari. Aku dengan malas membuka
media sosial, lalu mematikan lampu, bersiap untuk tidur. Kubuka satu buku yang
saat ini masih kubaca. Karya Ahmad Rifa’I Rif’an berjudul Generasi Empati.
Kebetulan sekali, halaman-halaman
yang kubaca malam itu berkaitan dengan syukur, tawakal, ikhtiar, dan sabar.
Salah satu bagian yang ku tandai adalah sebagai berikut,
… Baik menghadapi sesuatu yang
disukai maupun yang tidak disukai, tetaplah memuji Allah. Karena sejatinya
tidak ada satu pun peristiwa buruk yang terjadi pada kita. Segala peristiwa
bisa menjadi hikmah bagi kehidupan kita. (halaman 55)
***
Kabar baiknya setelah aku bertawakal
dan berikhtiar dengan kehilangan dompet, Allah mengembalikan dompet itu
kepadaku. Keesokan hari aku berusaha untuk kembali ke gedung, menemui beberapa orang
yang mengurus sarana prasarana. Kucek tempat dudukku saat kegiatan. Awalnya tak
ditemukan, hingga kucari lagi betul-betul. Ternyata dompet hijau tua itu terselip
di bawah tempat duduk dan hampir-hampir aku melewatkannya.
Demikian kabarku di bulan ini,
semoga kalian bisa mengambil hikmahnya, yaa!
Sampai jumpa di Bakar edisi ke-8 dan
selamat lebaran!
Komentar
Posting Komentar